Alzaitun, Ini Sesungguhnya Yang Terjadi. Islam Diobok-obok di Alzaitun, Ada Bau Anyir Demi Suksesi 2024? Penguasa Terlibat? Siapa Saja Yang Bermain dan Yang Berkepentingan? Ummat Islam Harus Bagaimana bersikap?

Analisis Tajam Tomy Irfani Untuk Suara dan Kepentingan Rakyat

Mestinya yang menggemparkan dari ponpes Alzaitun adalah ketika awal terindikasi menjadi markas NII bertahun yang lalu. Saat itu harusnya pondok sudah harus ditutup atau minimal materi dan sistem pengajaran di sana dirombak total lalu pengurusnya dimintai pertanggungjawaban. 

Namun nyatanya, ponpes Alzaitun tetap kokoh dan makin kokoh, makin megah tanpa ada perubahan secuilpun dengan santri yang juga makin meruah. Kenapa?

Tidak harus berpikir keras, rakyat awampun akan bisa menyimpulkan suatu jawaban. Intinya oleh sebab Alzaitun dibekingi seorang Jendral, dan terakhir diikuti oleh jendral-jendral.

Namun apa tujuan dan kepentingan Jendral itu? Apakah hanya Jendral itu saja yang memiliki kepentingan? Ini yang hendak kita kaji, kuliti dan buka selebar-lebarnya dengn pisau analisis fsikologi politik serta nalar dan imaginasi sastra.

Seorang Jendarl atau mantan jendral yang notebene pada dirinya terkait nama dan kepentingan negara, apa lagi jika jendral itu memang berusaha mengait-ngaitkaan dirinya dengan negara, maka jadilah dirinya sebagai  refresentasi atau lambang keberadaan adanya kepentingan negara.

Tapi tunggu dulu. Ini bukan berarti kita hendak buru-buru mengatakan bahwa negara dalam hal ini pemerintah khususnya jokowi telah terlibat. Sebab ada suatu proses untuk bisa sampai pada titik itu.

Nah dalam hal para jendral yang dekat dan tampak mendekat lalu tampak lalu lalang keluar masuk ke dalam PonPes Alzaitun, dalam pandangan penulis, memang memiliki tujuan-tujuan yang bila dipandang secara kenegaraan, sebagai tujuan yang wajar untuk pendekatan terhadap Ponpes yang pernah terindikasi menyimpang dari haluan negara karena berpaham NII.

Kewajaran tindakan para jendral itu dapat disimpulkan jika: 

1. Melakukan pendekatan dalam usaha secara halus menasionalismekan NII

2. Mewadahi para pengikut NII agar mudah di pantau.

Ya, tindakaan atau langkah-langkah para jendral sebagai seorang abdi negara, akan dianggap wajar jika mereka melakukan pendekatan dalam rangka dua tujuan di atas.

Namun dari sekian kewajaran tersebut, jika dikaji lebih mendalam, ternyata ada tujuan tidak wajar yang bermotip politik bahkan tujuan pribadi yang akhirnya menjelma menjadi motip kelompok yang besar. 

Dilihat Dari Mana dan Seperti Apa Ketidakwajaran Itu?

1. Membekingi Alzaitun bisa menjadi cara agar para jendral bisa dipandang oleh para radikalis seolah dekat dengan islam, ada jalinan kerjasama dengan pusat kekuatan radikalis dan tidak memusuhi islam. 

Dengan demikian, bisa menjadi tempat berlindung bagi para mantan jendral orba yang pernah melakukan dosa kemanusiaan di masa lalu dari kemunginan pembalasan dendam kaum radikal. 

2. Sebagai pesantren, Alzaitun sangat seksi untuk sewaktu-waktu di mainkan dalam rangka tujuan-tujuan poitik tertentu yang berkaitan dengan islam. Baik tujuan politik pribadi maupun tujuan politik penguasa. 

Misal, suatu saat kelompok islam tertentu memiliki suatu pandangan terhadap masalah sosial, ekonomi atau politik, apalagi misalnya itu berseberangan dengan kehendak dan kepentingan penguasa, maka atas dasar pengaruh, kekuasaan dan arahan sang jendral, Alzaitun sangat seksi untuk bisa dijadikan alat counter politik bahkan counter ajaran, dan berbagai kepentingan lain yang bersifat kekuasaan.

Sisi yang lain, sebagaimana kita tahu seorang Hendro Priono, adalah seorang mantan Jendral yang di masa aktipnya terindikasi sangat kuat telah melakukan pelanggaran HAM berat. 

Tangannya terindikasi penuh dengan lumuran darah dari orang-orang islam yang pernah terbantai di masa lalu. Salah satu misal dalam kasus Talang Sari Lampung.

 Pembantaian yang dalam salah satu novel penulis, Tomy Irfani : BENTENG TERAKHIR, Tragedi Cinta Harmoni, diungkap sangat tidak berperikemanusiaan. Pembantaian atau pembunuhan sampai ada yang dipenggal kepalanya dan digantung di gerbang kampung, yang kesemuanya tanpa melalaui prosedur peringatan kecuali rekayasa pembenaran penyerbuan.

Pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap bersalah (meski tidak melalui keputusan pengadilan) dan orang-orang yang tak berdosa baik anak-anak maupun ibu-ibu yang dibakar hidup-hidup di dalam rumah-rumah mereka.

Hendro Priono, adalah seorang jendral yang kemudian sadar bahwa  indonesia ini mayoritas islam yang ditakutinya di kemudian hari bangkit (maka tidak aneh, tren fobianisme dunia terhadap  islam, juga merebak di negeri mayoritas islam ini). 

Fobianisme terhadap islam,  tentu agar islam tidak memiliki kesempatan untuk bangkit, yang bila bangkit tentu akan ditakuti berbalik menghakimi mereka yang telah berbuat aniaya terhadap islam. 

Kita tidak hendak mengatakan sang Jendral bersama penguasa yang dia di belakangnya kini adalah pencipta fobianisme terhadap islam. 

Namun teorinya, seseorang yang anti terhadap sesuatu, bila terjadi fitnah atau pembusukan terhadap sesuatu itu, maka ia tidak akan berusaha menjaga sesuatu itu dari fitnah pembusukan. Atau bahkan ia membuka peluang agar fitnah pembusukan itu terjadi dan berlangsung terus.

Keterusan dari para jendral yang merasa ada salah di masa lalu ini, mereka menggunakan (mencipta) suatu wadah atau panggung yang bisa diolah menjadi lahan bagi pemantapan peran dan eksistensi serta pembersih diri sehingga dari situ tercapai tujuan politik dan tujuan dalam rangka  mencipta tempat perlidungan dari kemungkinan pembalasan.

Terlepas dari masalah  kesalahan masa lalu yang membelit jendral  di atas sehingga mereka berkepentingan membuat tempat perlidungan, lebih jauh alzaitun adalah ruang mereka mencipta ladang permaianan untuk memainkan dan mengolah emosi ummat islam.

Terlepas pula dalam kasus ini Panji Gumilang sebagai tokoh utama, Panji Gumilang hanyalah wayang yang dimainkan dalam tujuan utama para jendral yaitu agar tetap eksis (ada dalam kekuasaan) sehingga aman, bisa bermain dan dibutuhkan dalam percaturan politik nasional. Benarkah? Apa alasannya? Ikuti terus literasinya.

Panji Gumilang Adalah Cerminan Sang Jendral 

Sang Jendaral yang dalam percaturan politik kekinian sesungguhnya dan seharusnya sudah kadaluarsa tapi selalu berusaha untuk  ada dalam gerbong penguasa dengan argumen sebagai yang tahu segala hal  tentang jaringan teroris.

 Sang jendral juga adalah seorang profesor yang mengambil disertasi tentang teroris, dalam pikiran penguasa tentu adalah sosok yang dapat diandalkan untuk memerangi teroris. 

Dalam suatu kekuasaan yang juga berkepentingan ingin islam tidak bangkit, tentu saja argumen serta keberadaan jendral seperti ini akan sangat dibutuhkan untuk membungkam teroris namun buntut atau ujungnya adalah juga  menutup celah kemungkinan kebangkitan islam secara cepat dan masif. 

Sang jendral yang ia gambarkan sebagai yang sangat faham teroris di indonesia dengan gelar profesor tentang teroris nya, dengan segala pengalaman masa lalunya dan dalam kekinian terus menggelembungkan kecuigaan dan terus pula mencari jalan agar kecurigaan itu mendapat pembenaran, pada akhirnya mendapatkan pembenaran dan dukungan dari penguasa.

Sang Jendral adalah bagian dari Orde Baru yang dulu mengambil kebijakan menekan Islam dalam suatu kerjasama dengan Amerika sehingga Amerika menjadi bagian yang mendukung Orde Baru kala itu. 

HIngga kini, dukungan Amerika masih selalu menjadi kiblat di kepala sang Jendral. 

Alasan selalu dicari untuk menekan islam. Dalam rangka menjaga NKRI adalah alasan dan argumen kaum nasionalis anti islam yang kini mengemuka dalam usaha mereka menekan islam agar mengalami kesulitan untuk bangkit. 

Intinya, menangkal kaum teroris sekaligus dimaknai menyempitkan ruang bagi kemungkinan kebangkitan islam, menjadi perhatian penguasa yang notabene adalah keluarga Soekarno. 

Ini dianalogikan juga sebagai menjaga keluarga soekarno atau keluarga besar kaum nasionalis dari rong-rong islam yang bila kaum islam itu agak keras sedikit dalam menyikapi kebijakan penguasa jatuhlah  stigma negatif sebagai islam fundamentali.

Inilah cara kaum yang mengaku kaum nasionalis agar terus memegang kendali di negeri ini. Hari-hari mereka terus menciptakan ketakutan terhadap islam. Tujuannya tak lain agar terus bisa mengambil keuntungan dari kue pembangunan. 

Coba ingat dan bayangkan, dari mayoritas islam di negeri ini, berapa pengusaha besar yang dapat dikatakan mewakili masyarakat islam. Sangat minim dibanding pengusaha besar yang pada dirinya tertempel simbol nasionalis. 

Hal di atas hanyalah salah satu terkecil dari indikasi pemarginalan kaum islam yang kemudian terpetakan dalam suatu diagram ketimpangan kue pembangunan. 

Di mana ummat islam yang mayoritas ini ada di kondisi terpuruk dalam kelas dua atau bahkaan ke tiga pada strata sosial. Apa sebab? Islam mayoritas di tanah negeri ini kekurangan patron-patron ekonomi atau pengusaha-pengusaha besar yang megang sumber daya besar untuk diteruskan ke kalangan islam miskin di garis bawah.

Hal ini terjadi lantaran seting sejak awal agar islam menjadi anak bawang di negeri gemah ripah ini terus dipertahankan.

Segala seting itu, pada akhirnya nyata mencipta bangsa ini terfragmentasi menjadi dua aliran. Sementara kaum yang mengaku nasionalis terus ingin berjaya bahkan terbilang dengan segala cara yang itu tergambar dari sepak terjang sang jendral yang tidak memiliki  visi membangun kecuali cara senjata dan penunggangaan serta pembenaran intelegen yang cenderung tidak terbuka, mencipta kecemasan dan pecah belah.

Di wilayah yang penuh kecemasan yang sudah sang Jendral buat alias ia kondisikan inilah sang jendral dapat leluasa jumpalitan bermain di mana ia bisa mengatur dan mengkondisikan sesuatu serta keadaan dalam usahanya mencapai suatu tujuan. 

Mengatur dan mengkondisikan Alzaitun adalah contoh yang kini ada di depan mata kita

Setelah mendapat simpati dari keluarga besar kaum nasionalis Soekarno lalu memegang serta di tuakan di lembaga intelegent, dengan segala gerak-gerik serta ucapannya, bisa disimpulkan dalam masa kerapuhan dan penuaan umurnya, jendral ini juga sangat berusaha mencari simpati dan perlindungan kepada kekuatan-kekuatan dunia seperti yahudi dan Amerika. 

Ini cara lama, gaya lama Orde baru yang tak pernah lekang dari langkah sang Jendral yang selalu berpatron pada kekuatan dunia yaitu Amerika.

bergandengan tangan dengan kekuatan dunia itu sebenarnya baik-baik saja. apalagi memang dunia ini tidak bisa diurus oleh dan atas dasar ego kita sendiri.

namun ketika sengaja menggandeng kekuatan dunia tertentu dengan embel-embel punya motip pribadi tertentu, itu namanya "ngakali".

 Apa sebab sang Jendral berlaku demikian? Karena ia sangat faham kekuatan dunia sangat punya alasan untuk menandai para pelanggar HAM dan akan menjadikannya sebagai alat tekan politik dan akan mendukung serta menggunakan gerakan pembela HAM sebagai alat politik bahkan pencekalan hingga penangkapan bagi pelanggar HAM di negara manapun berada.

Maka sang Jendral sangat lihai mencipta suasana di mana islam seolah masih yang menakutkan di indonesia dengan harapan, negara dan kekuatan dunia  masih bergantung kepadanya untuk memerangi kaum garis keras islam di Indonesia.

Dari mana penulis bisa menyimpulkan demikian? Mudah saja, dengan sudut pandang fsikologi politik kita bisa mendalami sepak terjang sang jendral. Dengan latar belakang sang Jendral yang terindikasi berat telah melakukan pelanggaran HAM, tentu dalam sepak terjangnya kekinian akan selalu berusaha menghapus jejak dan mencari perlindungan.

Penulis pun cukup lama melakukan penelitian ideologi pada organisasi-organisasi kemahasiswaan. Dari sana penulis bisa menyimpulkan bahwa kaum garis keras di negeri ini hakekatnya separuh penyebabnya karena dipelihara. 

Ya, dipelihara demi tujuan-tujuan tertentu. Salah satu tujuan itu, agar ada yang terpakai untuk suatu misi penumpasan. Mendalami kkata "agar ada yang terpakai", mengerecut pada berbagai sosok. Daan salah satu sosok itu adalah sang jendral. yang dalam satu kesempatan di TV, seorang pengamat mengatakannya Jendral yang berkumis tebal.

Dalam masa pengamatan dulu, wadah-wadah bibit teroris itu dibiarkan tanpa diberi arah dan pencerahan ideologi. Alasannya tentu masuk akal dalam sudut pandang para jendral dan para manusia yang mengaku dari kaum nasionalis yang sangat membenci islam. Agar kaum garis keras itu mudah diidentifikasi kalau ada kandangnya.

Cukup benar argumen itu. Tapi wadah atau kandang itu kemudian banyak diisi oleh anak-anak baru yang awalnya tak mengerti apa-apa kecuali ingin membela islam dalam pengertian ibadah dan dekat kepada Tuhan. 

Coba ingat-ingat dipemberitaan setiap kali ada peristiwa bom bunuh diri, setelahnya akan kita dengar cerita tentang latar belakang para pembawa bom itu. Mereka hampir kebanyakan dari orang-orang biasa yang tidak memiliki latar belakang orang tua atau keluarga yang teroris. 

Mereka ada yang anak-anak, remaja bahkan emak-emak. Mereka kebanyakan terjebak tidak tahu jalan pulang dan kebenaran kecuali kehidupan itu.

Ini karena negara tidak hadir di sisi kehidupan anak bangsanya.  Negara melakukan pembiaran melalui mempercayakan penangkalan kepada orang yang salah.

Namun ini juga karena pemimpin yang tidak memiliki rasa kasih yang cenderung menganggap mereka salah jalan dan bukan tanggung jawab negara. 

Padahal negara memiliki segala sumber daya, pemikiran dan biaya yang bisa digerakkan untuk menangkal aliran-aliran yang terbilang bencana bagi anak-anak bangsa. 

Dibiarkan wadah dan kandang kaum garis keras untuk merekrut dan memasukkan orang-orang baru yang mulanya adalah anak-anak baik, jujur dan berhati mulia. 

Nanti setelah bibit-bibit teroris itu membesar, maka sang pengendali alias sang jendral sudah menyiapkan operasi penggebugan yang dengan agak cukup mudah dilakukan karena para teroris itu sudah dapat diidentifikasi lantaran berasal dari suatu kandang yang juga sudah diidentifikasi.

Kita tidak hendak mengatakan bahwa operasi pemberantasan teroris seperti itu hal yang salah. Tapi dalam tujuan dan caranya, di situ tercium ada bau bisnis, ada bau tujuan pribadi. 

Dan satu hal terpenting, dengan hal di atas tidak bisa mengelak bahwa negara juga mencipta serta menumbuhsuburkan terorisme dengan membiarkan bahkan mencipta ruang atau kandang terorisme. 

Bagi penulis, indonesia kini dikuasai kaum nasionalis yang bisa kita balik sesungguhnya tidak mencintai negeri ini kecuali mencintai kandang mereka dengan segala cara agar tidak tergusur oleh kaum islami yang pada tataran tertentu kaum islami ini bisa kita uji kecintaannya pada negeri ini.

Penulis tidak sedang terprofokasi oleh suasana kekotak-kotakan bangsa ini. Dan tidak pula hendak berlebihan mendiskriditkan kaum nasionalis walau kaum nasionalislah yang telah membawa bangsa ini mendekat pada jurang kehancuran lewat pembangunan mental adu dan pecah belah selama ini. 

Ketika kita bicara kehancuran bangsa oleh pecah belah, hal nyata yang bisa kita lihat di depan mata, adalah keterpecahan rakyat saat pemilu DKI di mana islam sangat bersemangat dalam membela calonnya.

Itu cermin kaum islam yang mati-matian dalam meraih harga dirinya yang telah merasa di nomor tigakan di tanah dan negerinya ini.

Tentu saja kita tidak ingin keterpecahan itu keterusan mengembang menjadi bencana perpecahan yang nyata atas republik kita. Namun keterpecahan itu sungguh tidak akan terjadi jika saja kaum nasionalis tidak berlebihan menekan islam.

Lagi, penulis katakan tidak hendak terlampau menyalahkan kaum nasionalis. Sebab penulis sendiri berani mendeklar diri sebagai seorang nasionalis.

  Meski  insyaallah penulis adalah seorang nasionalis yang sedikit banyak faham apa inginnya mayoritas rakyat negeri ini dengan kemiskinannya yang melekat oleh karena negara (kaum Nasionalis) yang tidak serius membangun mereka kecuali hanya memanfaatkan mereka untuk tujuan pribadi maupun tujuan secara lembaga bernama negara.

Penulis tidak hendak pula mengatakan bahwa cara dan sikap penulis itu adalah yang terbaik. Namun alangkah baik jika cara-cara seperti yang penulis gambarkan itu menjadi landasan kita semua dalam bersikap kepada seluruh anak banagsa.

Agar bencana perpecahan tidak menjadi hantu yang jika dibiarkan lama kelamaan dapat membunuh bangsa. Dalam kenyataan kekotak-kotakkan anak bangsa ini, sisi hatiku yang lain berangan, ingin kotak-kotak itu menjadi samar dan hilang.

Insyaallah itu bisa, ketika kaum islam telah nyata ada dalam kondisi bangkit lalu kaum nasionalis tidak lagi memandang islam sebagai kelas dua bahkan kelas tiga, melainkan sederajad baik secara ekonomi, sosial politik dan budaya di negeri yang telah dengan susah payah merdeka oleh usaha kaum islam juga.

Kembali pada soal teroris yang seakan negara sengaja mencipta melalui pembiaran sarang-sarang teroris itu mengecambah. Padahal jauh lebih penting dari itu negara harusnya melakukan pencerahan ideologi serta infiltrasi lewat pendekatan yang sifatnya mencipta jiwa nasionalisme serta kebangsaan dengan metode-metode pendekatan, kepercayaan dan mempercayakan.

Dana besar untuk penangkalan teroris dengan senjata, (ini yang penulis gambarkan sebagai indikasi permainan bisnis), lebih baik kita lebih alokasikan untuk penangkalan yang sifatnya infiltrasi ideologi melalui metode pendekatan dan mempercayakan.

Sebab dalam pikir penulis, tidak ada yang tidak bisa berubah bila pendekatan terus menerus dilakukan, kepercayaan terus diberikan. Teroris di negeri ini umunya terjadi oleh sebab mereka di jauhi, dijauhkan hingga terjadi merasa teraleneasi dan terstigmatisasi.

Maka setelah kebanyakan ummat islam diperlakukan sedemikian rupa hingga yang tidak kuat akan menjadi radikal, ada waktunya ummat islam harus sadar bahwa ada orang yang mengaku islam yang menciptakan kondisi kejiwaan diri kita untuk menjadi manusia yang terindikasi, terstigma hingga sungguhan menjadi teroris.

Ada waktunya ummat islam harus sadar pada dasarnya untuk menjadi teroris yang sesat itu adalah sebuah proses di mana 75 persennya adalah oleh sebab lain yaitu ketika diri keislaman kita telah terprofokasi.

Waktunya kita sadar bahwa yang memprofokasi itu  adalah yang kemudian akan mengendalikan, mengambil keuntungan dan mengarahkan agar secara keseluruhan mencipta keterpurukan bagi saudara-saudara kita sesama ummat islam.

Manusia sang pengendali dan pengarah sehingga tercipta keterpurukan ini sesungguhnya tidak satu. 

Mereka kebanyakan orang-orang yang memang tak ingin ummat islam bangkit untuk menjemput hak kebahagiaan dan kesejahteraan di tanah airnya sendiri. 

Namun mereka juga adalah orang-orang bermasalah yang ingin berlindung dari masalahnya dengan cara mencipta kondisi seakan islam mencipta kekacauan dan menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan mengangkat dirinya dan kelompoknya sebagai sang hero penyelesai masalah. 

Lebih sepesifik, mereka dapat kita tandai sebagai para petualang dengan embel-embel jendralnya dan para petualang yang meidentikan diri sebagai nasionalis yang ingin selalu mendapat untung dari sejak berdirinya republik ini. 

Kembali pada persoalan penciptaan kandang kaum garis keras. Contoh besarnya dapat kita lihat pada Ponpes Alzaitun. Dibiarkan berduyun-duyun atau bahkan sengaja dimobilisasi agar Alzaitun makin banyak santrinya. Padahal sudah ada bukti indikasi Alzaitun pernah terlibat dalam aliran NII. 

Apakah para santri baru itu sudah pernah mendapat informasi bahwa alzaitun pernah terlibat dalam aliran NII? Mungkin dulu pada awal berdiri dan kasus NII muncul, banyak yang tahu. 

Namun dalam kekinian, para santri baru itu mungkin melihat alzaitun sebagai suatu sekolah yang dapat di maknai sebagi pintu dunia menuju surga.

 Artinya Alzaitun di mata para santri kini adalah sebuah sekolah yang memenuhi harapan untuk menjadi manusia sukses dan baik. Di dalam jiwa orang-orang seperti ini, penulis menyebutnya bukan bibit radikalis tapi bibit untuk menjadi orang baik. 

Nah kesalahan negara, untuk andil dalam mengelola dan mengarahkan orang-orang baik ini ternyata kalah oleh segelintir manusia di dalam Alzaitun yang sejak awal sudah memiliki jiwa radikal.

Dan para jendral itu membiarkan orang-orang atau anak-anak kita yang baik itu masuk serta terjerembab dalam kubang pemikiran keliru itu dengan alasan bahwa berdasarkan penelitian mereka, pengajaran Alzaitun tidak lari dari kontek NKRI dan Pancasila. 

Atas hal ini, maaf, penulis katakan bahwa  jendral yang mengaku profesor itu sesungguhnya memilki indikasi o’on luar biasa. Dan mengambil istilah salah satu pemikir pilsafat, itu dungu namanya.

Kenapa? Seorang jendral bergelar profesor, harusnya faham bahwa pengajaran di alzaitun memang bisa saja adalah  pengajaran yang sesuai kurikulum dan tampak  tidak menyimpang dari koridor kenegaraan kita.

Tapi apakah jendral tahu dan  sudah sangat dalam menyeledik tentang sejauh apa kepatuhan santri Alzaitun terhadap Panji Gumilang alias guru besarnya?

Pernahkaah terpikir oleh para jendral yang mengaku faham teroris, bahwa di dalam islam itu ada yang namnya taqlid yang dalam kadar dan kondisi apapun itu bisa menjadi taqlid buta. 

Jika sudah ratusan ribu bahkan mungkin jutaan para santri dan kader  Alzaitun tersebar di bumi Indonesia dengan pemikiran-pemikirannya, maka para santri dan kader yang tunduk patuh terhadap guru besarnya itu akan dengan sangat mudah digerakkan oleh sang guru besar atau pemimpin tertinggi dalam upayanya mencapai tujuan politik untuk menguasai Indonesia. 

Sementara bagi penulis, seseorang yang  telah sekali  terindikasi mengikuti aliran atau faham tertentu,  maka  seribu kali kemungkinan ia akan kembali pada aliran atau faham tersebut. Walau pun ia sudah sejuta kali  menyatakan diri telah tobat dan berubah.

Pada sisi yang lain, membiarkan Alzaitun makin ramai oleh santri baru yang umumnya tidak tahu tentang ke mana mereka akan dibawa oleh guru besarnya, sama saja mengorbankan mereka untuk kemudian dididik menjadi santri-santri yang berpikiran serupa dengan guru besarnya. 

Sudah banyak bukti-bukti di mana anak-anak santri dan mantan santri yang embalelo terhadap orang tuanya.

Apakah hal-hal yang begini terpikirkan oleh para jendral? 

Janganlah sibuk memikirkan selamat  diri sendiri, sibuk memikirkan serta mencipta  arena permainan agar diri eksis, namun orang tak bersalah anda korbankan seakan dianggap hanya sebagai tai yang setelah terpisah dari raga, tiada arti apa-apa.

Sekali lagi, bagiku  ini perilaku jendral dengan indikasi o’on, namun tentu cerdas menurut mereka sehingga dari pergumulan antara o’on dan cerdas itu kita bisa tarik kesimpulan bahwa dia dan mereka umumnya adalah manusia terindikasi bermental sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan. 

Suatu perilaku yang  dari sisi fsikologi politik adalaah kebiasaan yang berulang. Dan memang perilaku itu sudah sangat bisa kita tandai sebagai yang tidak berperikemanusiaan, sedari  dulu dan kemudian berulang hingga sekarang.

Masih tentang  sang jendral. Setelah ia mengidentikan diri sebagai yang menjaga negara dan Pancasila dengan teori-teori perang terhadap Terorisme yang dikonotasikannya sebagai Islam itu,  terlihat pula ia bergerak sebagai seorang nasionalis dan pelindung keluarga serta kelompok nasionalis Soekarnois. 

Dengan segala hal tersebut di atas, ia telah terposisi sebagai manusia masih yang megang kendali atas intelegen dan segala situasi negeri ini. Karena kemudian ia mendapat hadiah dan diberi kepercayaan di situ. 

Maka sempurnalah bungker perlindungan yang ia buat di masa ketuaan yang disadarinya banyak musuh.

Sedihnya, namun terbilang hebat, karena bobot profesor yang seolah sangat faham  klandestin dan segenap desertasi penangkalan terorisme ia berhasil menjaga wibawa diri di bilangan petinggi intelegent dan lalu dihormati sebagai yang megang kunci sebagai penjaga marwah ideologi Pancasila.

Padahal bagi manusia yang faham dan lebih faham dari sekedar bualan manusia penuh ketakutan, menjaga ideologi dalam masa kekinian terpenting adalah dengan membaharui pemikiran kita tentang Pancasila, memunculkan pemikiran ideologis yang berkesesuaian untuk kondisi kekinian bangsa dan dunia. 

Memerangi terorisme dengan hanya berstrategi senjata dan menampikkan infiltrasi ideologi hanya oleh orang yang penuh ketakutan saja. Ilustrasi ketakutan itu, seolah rumah perlu dalam bentuk benteng dengan moncong senjata di mana-mana.

Memerangi terorisme dengan cara yang selama ini dilakukan sang jendral, termasuk mempertahankan tanpa membersihkan suatu lembaga seperti Alzaitun yang di dalamnya jelas terindikasi menyimpan bibit NII, adalah suatu cara dari manusia yang berindikasi memiliki kepentingan sangat besar. 

Jika tidak ada kepentingan yang sangat besar, Alzaitun mungkin sudah bubar. Kepentingan yang sangat besar itu bukan semata soal mewadahi kaum garis keras agar mudah dipantau. Tapi lebih jauh karena adanya kepentingan yang bersifat pribadi pada diri sang jendral. 

Penanganan Alzaitun, jika tidak dihalangi  oleh sosok yang secara pribadi berkepentingan sangat besar, tentu sangat mudah sehingga tidak sampai menciptakan keresahan yang berlarut dan mengembang ke berbagai hal. 

  

Lalu Dimana Kesamaan Panji Gumilang dan Sang Jedral?

Lihat cara Panji Gumilang dalam mencari dan menarik simpati serta berlindung kepada masyarakat nasionalis dan kekuatan dunia. Lihat bagaimana dirinnya mengidentikan diri sebagai manusia pancasilais yang meneruskan pikiran Soekrno dan Soeharto. 

Bahkan tak lama lagi dia akan jauh mengidentikan diri, seperti halnya sang Jendral, sebagai penjaga pancasila. 

Kemudian, lihat pula dia membawa-bawa Yahudi. 

Panji Gumilang sama persis dengan cara –cara sang Jendral dalam rangka mengangkat diri agar memiliki nilai guna alias dibutuhkan oleh kekuasaan dan dari situ berharap segala tindak tanduk dan tujuannya terlindung. 

Panji gumilang, seperti sang jendral, cukup cerdas dalam bermain membuang jejak. Orang lalu bertanya, dia yang identik dengan islam dan bahkan NII, kok bisa dalam ajarannya kekinian memasukkan sesuatu yang berbau ke yahudi-yahudian. 

Ya, karena dia memiliki kepentingan besar dan untuk itu pikirnya ia harus bermain cantik, menyeret masuk kaum nasionalis Soekarno, kaum nasionalis soeharto dan menyeret kekuatan dunia luar agar menjadi bagian yang juga menjaganya demi tujuannya.

Lalu apa sebenarnya tujuan seorang Panji Gumilang? Dari masa lalunya, dari maksud ucapan-ucapannya dalam menanam isyu dan dari cara dia menempatkaan diri serta mencari celah agar bisa disebut pembaharu, tujuan terbesarnya adalah tetap pada platform pertama, yaitu NII. 

Hanya saja, seorang Panji Gumilang, di balik  koar-koarnya tentang Islam, kristen dan Yahudi yang ia satu-satukan, selain sedang mencari dukungan, ada pula bau hipokrit opurtunistis di ucapan dan langkah-langkahnya. 

Diam-diam ia dan sang jendral memanfaatkan informasi intelegen untuk membaca dan tahu arah pemikiran para pembaharu. 

Dengan informasi intelegen yang dia kuasai, dia tahu tentang gagasan pemikiran yang mengarah pada kemungkinan kesepahaman agama-agama samawi dunia. 

Tampaknya hal ini sang jendral manfaatkan untuk mengarahkan seorang Panji Gumilang menyerobot bersicepat menyodorkan gagasan soal toleransi, moderasi, penghargaan kepada perempuan dan ide-ide mendekatkan titik-titik kesamaan agama. 

Itu tampak dari gambaran sholat ied yang disertai pemeluk lain agama, dan kemudian berusaha mengakomodir salam Yahudi dan segala praktek di Alzaitun yang tampak lain dari yang lainnya.

Tujuannya tak lain bersama sang jendral agar dilihat sebagai kelompok pembaharu, pemersatu dan mengincar tempat terhormat sebagai yang memimpin dan terpenting adalah ingin mencari simpati sekaligus berlindung diri.

Jika seorang Panji Gumilang mendapat apresiasi dan diamini oleh banyak pihak, dan bahkan jika tidak mendapat apresiasi di dalamnegeri sekalipun, maka sang jendral juga adalah sang pengguk untung besarnya.

Karena lagi-lagi ia mencipta bungker baru bagi diri dan kepentingannya bernaung. Sebuah cara melompat dari rezim ke rezim agar tidak terjerembab jatuh.

Ada pun sang Panji, secara diam-diam kepentingan terbesarnya tetaplah akan menjadi pribadi yang menyimpan tujuan mulia baginya yaitu, NII.

Sementara di balik semuanya, kepentingaan sang jendral dan paling membuat Ponpes Alzaitun tetap eksis adalah, ketika dunia tahu bahwa sang Jendral adalah lambang atau refresentasi penguasa. 

Dalam kontek  ini kepentingannya berharap agar kekuatan dunia  seperti Yahudi dan Amerika masih bersama mereka, untuk mendukung mereka melanggengkaan kekuasan pada 2024.

Seting atau cara ini mereka ambil setelah calon mereka Ganjar akhirnya tampak terjebak dalam kontelasi kisruh olah raga sepak bola dunia  di mana Ganjar memilih menolak Israel yahudi masuk dan bertanding di Indonesia. 

Di dalam negeri Ganjar sebagai pribadi memang harus tampil cantik dan ditampilkan seakan membela masyarakat islam. Sementara di sisi lain harus juga mengakomodir kekuatan dunia luar. 

Namun ketika ia terjebak dan tampak lebih  berat ke satu sisi, perdebatan di masyarakat menjadi hal yang mereka rasa tidak menguntungkan rezim dengan ganjar calonnya. Maka diperlukanlah suatu upaya rekayasa yang melibatkan kekuatan orang-orang intelegen yang seperti di Alzaitun ini agar menggema.

Dengan kata lain, cara dalam fenomena Alzaitun ini untuk meredam kelompok pro yahudi yang telah berkampanye anti Ganjar. 

Fenomena Alzaitun yang kemudian meruak menjadi masalah politik di mana Yahudi menjadi milik Panji Gumilang dengan para jendral yang notabene representasi penguasa di belakangnya, menjadi cara dan pesan yang dimaksudkan menghapus kebencian kelompok pro Yahudi terhadap Ganjar. 

Ini  sebuah modivikasi dan rekayasa yang terbilang apik demi kekuatan dunia tahu bahwa gerbong besar kekuasaan mereka tetap pro Yahudi dan Amerika.

Jadi, fenomena Alzaitun bukan sekedar persoalan yang tampak dipermukaan sebagai Panji Gumilang yang sesat atau Panji Gumilang yang terindikasi NII. 

Namun lebih jauh penuh muatan kepentingan berbagai pihak yang diatur dan dijalankan oleh aktor-aktor yang juga memiliki kepentingan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi kepentingan rezim berkuasa, demi mencapai tujuan bersama mereka kekuasaan di 2024. 

Ya, Panji Gumilang pasti punya kepentingan. Hendro priono dengan kawan-kawan jendralnya lebih sangat pasti punya kepentingan. 

Sementara penguasa dalam hal ini Jokowi, sesungguhnya ia sudah tahu namun secara gagasan dan praktek belum terlibat. Karena ide ini berangkat dari para jendral yang memang sudah terbiasa dengan praktek-praktek rekayasa dan permainan intelegent seperti ini. 

Namun seiring waktu, karena fenomena Alzaitun ini akan dilihat atau disodorkan kepada pemimpin tertinggi, setelah berjalan nanti kita akan melihat kemana kekuasaan melepas arah busurnya. 

Jika nanti ternyata terlihat ada manfaat, pada akhirnya pemimpin tertinggi termasuk partai berkuasa akan ikut berkepentingan membekingi dan memberi apresiasi pada kerja jendral-jendralnya. 

Ingatkah kita tentang sepak terjang Jendral Muldoko yang coba-coba mengacak-acak Partai Demokrat? Semacam itulah cara dan motip kerja jendral-jendral di negeri 62. 

Beruntungnya saat itu partai demokrat oleh sebab tertentu tidak tergoyah. Kekuasaan jadi mikir dua kali untuk membekingi kerja dan usaha jendralnya.

Mereka para jendral itu seibarat kesatria yang cari kerja untuk mengacak-acak lawan sebagai kepentingan pribadi yang secara tersirat mereka tujukan untuk kepentingan rezim. 

Hasil kerjanya akan dilihat oleh pemimpin tertinggi apakah mulus, lancar dan ada manfaat bagi kelangsungan kekuasaan rezim. 

Bila ada manfaat dan cela terhadap rezim terasa minim,  pasti mendapat beking lebih besar lagi hingga jadilah itu sebagai kepentingan kekuasaan secara keseluruhan.


Dua Kelompok Besar Dalam Pemerintahan Jokowi Dalam Fenomena Alzaitun

Dalam hemat penulis di dalam kekuasaan Jokowi berkenaan Alzaitun ada dua kelompok besar. Dua kelompok besar ini pada intinya sama sebagai representasi dari kepentingan pemerintah atas kasus Alzaitun. 

Kelompok para jendral 

Kelompok ini sangat berkepentingan agar mereka tetap terpakai dan ikut mengendalikan Republik. Maka mereka berusaha mencari terobosan cara-cara rekayasa intelegent yang kemudian disodorkan kepada penguasa sebagai bentuk pengabdian mereka kepada pemimpin tertinggi dan rezim secara keseluruhan. 

Kelompok sipil Islam

Kelompok ini secara tersirat dipimpin oleh Wakil Presiden dan dijurubicarai oleh Mahfud MD. Kelompok ini tidak terlibat apapun sampai terjadi letusan Alzaitun. Keterlibatan mereka hanya setelah kejadian. Mereka terlibat dalam kerja dan bekerja agar kasus ini selesai dengan baik.

Apa perbedaan dua kelompok ini?

Kelompok para jendral sesungguhnya tidak peduli nasib islam, pun tidak terlalu khawatir atas nasib Panji Gumilang. Sebab secara intelegen, mereka sudah menyiapkan seperti prosedur baku, di mana mitra kerja akan dilindungi. 

Bila dalam proses investigasi samapi naik ke proses hukum tidak bisa maksimal melindungi, maka sudah akan dipersiapkan perlindungan dalam bentuk keringanan hukuman.

Dengan persoalan yang makin ruwet, masyarakat makin heboh, beritanya kemasna-mana, bahkan bila terjadi pertumpahan darah pun para jendral tak akan peduli. 

Sebab dengan makin besarnya persoalan ini, maka makin berhasillah tujuan mereka untuk menjadikan Alzaitun sebagai alat di mana jika masyarakat makin besar mengutuk Alzaitun yang di situ ada nama besar Yahudi dan ada beking para jendral pemerintah, maka makin besar mereka mendapat simpati kekuataan dunia sebagai yang paling pro Yahudi dan Amerika. 

Maklumlah, di kepala jendral ini dan sebagian besar jendral indonesia masih terlalu takut melihat kekuatan dunia seperti Yahudi dan Amerika. Secara fsikologi politik dapat kita amati dari perkataan-perkataan sang jendral. 

Bahkan pernah sang jendral tampak sangat takut membela Palestina sebagai bangsa terjajah oleh karena jiwanya memang seperti putri malu yang menjalar kemana-mana dengan duri-durinya. Tapi ketika dipisuh sedkit, mengkerutlah otak dan badannya.

Padahal bangsa ini ketika gigih membela palestina, adalah perintah UUD. Dan pembelaan itu bukan pula berarti ingin berperang dengan Yahudi, melainkan penuh semangat kasih baik kepada yahudi maupun Palestina di mana kita ingin mendamaikan mereka.

Nah dengan semakin besarnya masyarakat mengutuk Alzaitun yang di situ ada simbol dan nama Yahudi, harapan mereka kemudian, akan semakin besar pula kekuatan dunia menganggap mereka sebagai kepentingan yang harus dijaga. 

Mereka, para jendral ini, sekali lagi,  hanya bertujuan agar pesan mereka sampai kepada kekuatan dunia. Selanjutnya agar kekuatan dunia merasa yakin bahwa para jendral dengan kekuasaan rezim ini masih berada bersama mereka. 

Sementara tujuan ke dalam, para jendral ini memberi pesan kepada kekuasaan bahwa mereka ikut berusaha memenangkan pertarungan di 2024 nanti agar kekuasaan tidak lepas dari rezim kini dan terpenting para jendral agar tetap terpakai oleh sebab jasa-jasa mereka.


Sementara kelompok ke dua, kaum sipil di pemerintahan yang tampak sebagai representai penguasa yang peduli terhadap islam.

Kelompok ini akan terus berupaya melakukan investigasi sebagai lambang bahwa rezim peduli atas ummat islam yang ajarannya telah diobok-obok oleh Alzaitun. Orang awam menganggap Alzaitunlah persoalan. Padahal hakekatnya Alzaitun dituggangi oleh kepentingan penguasa melalui para jendralnya.

Bila investigasi kelompok sipil itu nanti tidak dicampuri oleh instruksi intelegent baik melalui jendral maupun lewat yang lebih tinggi, maka panji gumilang akan masuk bui.

Namun bila ada campur tangan karena Panji Gumilang masih dianggap diperlukan, mungkin akan mendapat hukuman ringan atau bahkan dengan berbagai alasan dibebaskan.

 

Kesamaan Dua Kelompok Ini

Dua kelompok ini hakekatnya sama-sama bekerja untuk kepentingan rezim yang berkuasa dan demi berlanjutnya kekuasaan rezim di rentang waktu berikutnya.

Intinya, apapun usaha penguasa dalam menangani kasus Alzaitun, adalah permainan yang tampak sebagai sebuah kesungguhan penguasa atau rezim dalam usaha mendapatkan simpati. 

Ke dalam ingin mendapatkan simpati dari ummat islam yang merasa terbela dan terwakili oleh keseriusan pemerintah dalam mengivestigasi yang diwakili mentri-mentri dari kalangan sipil islam dalam menyelesaikan kasus ini. 

Masyarakat awam yang tidak tahu ini permaian, akan sangat merasa terbela oleh kerja pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini. Mereka tidak sadar bahwa yang mengobok-obok itu sesungguhnya adalah kehendak dari kalangan kekuasaan sendiri. 

Sementara ke luar, rezim yang khawatir, sangat ingin memastikan simpati dari kekuatan dunia berpihak kepada mereka.

 

Nah, sekarang, setelah kita tahu sedemikian rupa dan dengan segala caranya mereka berusaha agar tetap berkuasa dengan mengobok-obok Islam, apa yang harus dilakukan oleh ummat Islam?

Jawabnya, mudah saja. Kuatkan ikatan persaudaraan dan persatuan ummat islam. Yakini bahwa masa depan rakyat, bangsa dan negara bahkan masa depan dunia ada di tangan islam dan oleh karena rasa tanggung jawab ummat islam.

Dengan pemimpin yang benar dan tepat bersama rakyat, menjemput tanggung jawab itu adalah keniscayaan bagi lahirnya perubahan besar, peradaban besar nan agung yang penuh maslahat.

Jangan terprovokasi oleh permainan mereka. Sebaliknya anggap permainan itu hanyalah permaianan recehan meski digerakkan oleh intelegent dan sumber daya negara. Dewasakan jiwa islam dalam pola pikir yang sadar dengan kebesaran islam. 

Sebab apapun tindakan masyarakat islam dalam menyikapi fenomena Alzaitun, telah di seting sebagai hal yang menguntungkan bagi rezim.

Yakinlah, bahwa manusia-manusia yang selalu mencipta rekayasa dalam mencapai tujuan politik dan kekuasaannya, dapat kita maknai sebagai manusia atau kelompok hipokrit  yang sesungguhnya tidak memiliki konsep besar yang bisa diandalkan bagi kemaslahatan bangsa dan dunia. 

Barisan rakyat dari luar kekuasaan, harus berpikir dan yakin memiliki konsep sendiri bagi perdamaian dunia, bagi kesejahteraan, serta pembangunan bangsa yang adil makmur dan merata.

Wallahu’alambissawab...

.................................

Segala tulisan ini adalah  seibarat suara rakyat yang berhak berpendapat, berhak memiliki persepsi dan keyakian, berhak ngobrol, bicara di kedai kopi, di jalanan atau di mana saja berada tanpa harus meminta izin kepada siapapun dan menunggu diberi izin oleh siapapun. 

Tanpa pula harus takut oleh karena rakyat memang punya hak untuk memperbincangkan para pejabatnya yang terindikasi salah, apalagi yang terbilang pasti salah. 

Tulisan ini tidak ditujuakan untuk kebencian terhadap pihak tertentu. Jika ada kalimat yang terasa membuka fakta dan menyakiti telinga, itu mungkin karena penulis kehabisan kata dalam penggambaran dan menjadi bagian dari cara penulis menyampaikan pemikiran. 

Jika ada yang menganggap tidak sesuai fakta, mohon dikounter dengan membuat literasi tandingan sehingga terbangun perdebatan literasi yang mencerahkan bagi bangsa dan  rakyat semesta. 

Salam damai untuk pembaharuan Indonesia kita


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak