Ateis Kian Meruah. Agama Dianggap Tak Diperlukan Lagi di Masa Depan. Kebangkitan Islam Dipandang Mimpi di Siang Bolong. Generasi Islam Menjawabnya

                                               


Prakata 

Sejarah perjalanan ummat manusia sesungguhnya adalah sejarah pembangkangan manusia atas kebenaran risalah ketuhanan. 

Sebagaimana manusia yang memiliki sifat lalai. Begitulah, setelah melewati masa dan periode panjang, manusia akan kembali mengulangi pembangkangan yang sama, ingkar akan keberadaan Tuhannya.

Maka tak heran manusia kini kembali lupa bahwa pernah ada sosok-sosok Nabi dan Rosul yang telah mengingatkannya tentang kebenaran Tuhan dengan segala norma-norma dan aturannya yang bila dilanggar berakibat kebinasaan (sebutan untuk bahasa kitab suci zaman itu ), atau dalam bahasa kini disebut kepunahan.

Nabi-Nabi dan Rosul yang datang itu selain mengingatkan, sesungguhnya memiliki misi tersembunyi di balik ajaran yang dipikulkan kepadanya. Salah satunya ialah menjaga agar ummat manusia tidak binasa, menjaga manusia agar tidak punah sebelum waktunya.

Kok bisa? Di mana relefansinya sehingga kehadiran Nabi dengan risalah agama yang dibawanya  bisa dikatakan menjaga agar ummat manusia tidak mengalami kepunahan? 

Bertubi-tubi masalah yang mendera umat beragama. Dari fenomena ateis hingga keraguan akan kebangkitan ummat beragama khususnya kebangkitan Islam. Kini saatnya generasi terdalam Islam menjawab dan menjadikan semua itu sebagai tantangan.

Lampung, dalam Indonesiaku tercinta

Tomy Irfani


Ateis dan Kaum Pembangkang

Sebenarnya, kaum atheis sebagai kaum yang berbeda dari sikap serta pandangan kaum mainstream, dalam pikiran ekstrim bisa saja disebut sebagai penyakit atau suatu kelainan.

Dan sebagaimana sifat suatu penyakit atau arti kata “kelainan”, tentu memiliki dampak buruk terhadap manusia, peradaban dengan kemanusiaannya.

Namun terlepas dari itu, kita tidak hendak memandang mereka dengan kaca mata ekstrim. Dan kita harus pula menyikapi mereka jangan dengan perlakuan ekstrim.

Jika di zaman kenabian, mungkin bisa dimaklumi menyikapi kaum pembangkang dengan perlakuan yang keras. Sebab masa itu adalah awal dari sebuah kebenaran ditegakkan. Di sisi lain, sikap kaum pembangkang kala itu juga jauh lebih keras dari para penyampai kebenaran.

Sementara  kaum atheis di masa kini terbilang kaum intelek yang memiliki alasan-alasan intelek yang tampak ilmiah. Itu tantangan yang harus dijawab dengan akal dan pikiran oleh kaum agamawan, bukan dengan kekerasan. 

Kembali soal dampak dari keberadaan kaum atheis, coba ingat-ingat tentang banyaknya peringatan kitab suci terhadap kaum yang membangkang di masa dulu. Sangat sering dalam peringatan kitab suci dan hadist disebutkan tentang kebinasaan sebagai ancaman Tuhan. 

Itu sama artinya bahwa kitab suci sudah memprediksi akibat dari manusia-manusia demikian akan mendatangkan malapetaka di masa depan. Malapetaka di masa kini, yang bisa kita sebut kepunahan.

Jika keberadaan kaum atheis kita kaitkan dengan bahaya kebinasaan atau kepunahan manusia, apakah itu tidak terlalu jauh dan berlebihan?  Sebab butuh suatu penjelasan yang tidak sekedar beralasan dogma melainkaan ilmiah agar bisa diterima sebagai sebuah kebenaran.

Ya, tentu dengan berlandaskan alasan ilmiah. Maka teruslah simak literasi ini agar tidak gagal faham.


Pengakuan jujur kalangan agamawan, bahwa agamalah yang menjauh dari manusia.

Suatu sikap bijak jika fenomena merebaknya sikap atheis di masa kini, kalangan agamawan tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali menunjuk diri sendiri. 

Ya, sejauh kaum atheis itu dapat dikata salah dalam pandangan kaum agamawan, dalam pikir penulis, ketika kaum agamawan meletakkan atheis sebagai orang-orang yang dalam proses kehidupan tiba-tiba harus menempuh jalan di lorong gelap, maka mereka butuh penerangan.

 Dan ketika kaum agamawan sebagai manusia pembawa lentera ternyata cahaya lentera itu tidak sampai menerangi hati mereka, lantas siapa yang mesti disalahkan, kecuali sebagai kaum bijak, agamawan menyalahkan diri sendiri.

Organisasi keagamaan, dari Muhammadiyah hingga NU merasa resah atas kian meruahnya atheisme di kehidupan manusia kini. Bahkan di tanah Arab, atheisme menjadi fenomena yang merebak. 

Hampir sama penilaian semua organisasi keagamaan atas fenomena tersebut, tertmasuk pastilah kalangaan agamawan di luar Islam. 

Keresahan dan penilian itu dipertegas oleh pernyataan Bapak Haedar Natsir, bahwa ini menandakan kelompok dakwah, dalam hal ini islam, tidak hadir membawa solusi atas keresahan theologis anak-anak muda.

 Islam, perlu kembali membangun spiritualitasnya. Namun tidak hanya di masjid-masjid, melainkan di berbagai tempat termasuk di pasar-pasar hingga mall. Demikian Bapak Haedar Natsir, Ketua Pengurus Muhammadiyah.

Kalangan agamawan memang memiliki kewajiban  mendakwahkan kebenaran  agamanya. Dan tidak ada yang tidak membenarkan pendapat tokoh agama seperti Haedar Nastir tersebut.

Dari jawaban di atas, ada dua makna bagi penulis. 1, secara tersirat tampak adanya pengakuan yang jujur kalangan agamawan, maraknya atheis suatu indikasi   agama yang menjauh dari manusia. Tercermin dari diksi ungkapannya, perlu hadirnya kelompok dakwah dalam kembali membangun spiritualitasnya.

 Dan ketika kita menitik beratkan pada kata agama yang menjauh, artinya di situ adalah para pemikul tanggung jawab tegaknya kebenaran. Mungkin karena lalai, sibuk dengan rutinitas dan ritualitas hingga tak sempat lagi berpikir problem umat, kehilangan semangat, ranah dan ruang serta kecerdasan dan kreatip sehingga tidak menemukan suatu masalah dan apalagi jawaban atas masalah kekinian ummat.

Ke 2,  ucapan Bapak Natsir tentang nilai-nilai spiritual di atas, aplikasinya dapat diartikan sebagai tujuan dakwah yaitu mencipta masyaraka islami. Suatu masyarakat yang kebanyakan terdengung di pikiran kita identik dengan manusia yang memakai kain sarung, memakai peci, baju koko, yang dengan santun saling mengucap salam, lalu berperilaku jujur, tertib, adil dan sebagainya  yang semuanya mencerminkan nilai-nilai  agama. 

Ya, itulah kurang lebih devenisi masyarakat agamis, masyarakat islami secara mainstream kini. Dan itu tujuan yang baik. Namun apakah itu saja sudah cukup? Terutama dalam menghadapi pandangan serta pemikiran kaum atheis di masa kekinian.


Ateis, Langkah dan Jawaban Kalangan Agamawan

Bagi penulis sendiri, sebenarnya tidak ingin lebih jauh ikut campur pada urusaan dakwah para agamawan. Sebab, kalangan agamawan, dengan metode dakwahnya, pastilah punya cara dalam dakwahnya, yang tujuan dakwah itu seperti yang digambarkan dari ucapan bapak Haedar Natsir di atas.

 Hanya saja ketika penulis melihat tujuan penciptaan masyarakat berperilaku ketuhanan dan yang bertatanan baik itu ternyata akan berhadapan dengan fenomena atheis yang di kemudian hari tampaknya bisa menjadi masalah sosial yang pastilah akan menciptakan keresahan sosial, terbertik hati penulis untuk turun rembug memikirkannya. Coba mari kita bedah.

 Islam dengan segala kelengkapan kitab sucinya sesungguhnya sangat banyak memiliki pedoman dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan serta keraguan ummat terhadap kebenaran ketuhanannya. 

Namun sayangnya dibalik itu semua belum banyak digali,  secara substansi, secara kwalitas pemikiran dan terutama menyangkut hal-hal yang belum terjangkau akal pikiran masyarakat awam, dalam dakwah jarang disuguhkan.

Mungkin itu berangkat dari kenyataan bahwa ahli-ahli dakwah hanya berbekal pengetahuan yang berasal dari kitab-kitab bermateri agama yang sifatnya hafalan pun kitab-kitab dengan katagori lampau. Minat baca terhadap buku selain buku bernuansa agama masih minim. 

Penalaran tidak terasah untuk bisa menggali, mentafsir atau menterjemahkan pengetahuan alam yang notabene di situlah ayat-ayat Tuhan dan tanda-tanda Tuhan terbesar dengan logika bisa dibuktikan.

Pada masa kekinian, dengan akal pikiran, tegnologi dan masalah sosial serta ekonomi yang sudah semakin maju dan komplek, adalah masa setelah manusia melewati ribuan tahun semenjak kedatangan para Nabi dan Rosul, di mana keraguan akan kebenaran adanya tuhan itu merebak dipertanyakan. 

Hal ini terjadi karena pengetahuan manusia, dengan segala tegnologi dan budayanya jauh berkembang pesat. Sementara tatanan, hukum, nilai-nilai dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama atau ketuhanan jauh tertinggal. 

Dalam kondisi itu, manusia dan fikirannya sudah berkembang jauh melampaui apa yang bisa dan sudah diterangkan oleh para ulama dan para cerdik pandai keagamaan. Tuntutan manusia kini atas kebenaran tuhan sudah jauh pula berbeda bersama penemuan-penemuan tegnologi canggihnya. 

Logika ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia seakan berkesempatan memenuhi hasrat mencari keberadaan tuhan. Dan ketika tuhan secara kasat mata tidak juga ditemukan, sementara kalangan pendakwah tidak hadir untuk menjelaskan secara cerdas logika ketuhanannya, membuat manusia berkeyakinan lain, adakah tuhan? Tuhan menciptakan atau tuhan diciptakan?

Kemajuan ilmu pengetahuan dengan tegnologi penemuan-penemuan terbaru tanpa disadari menjadi lahan kampanye bagi kaum atheis sebab di balik itu seolah kaum agama menjadi kian tak mampu membuktikan keberadaan tuhannya.

 Belum lagi soal fobianisme agama yang tercipta. Di tambah pada negara-negara yang pemerintahannya memanfaatkan agama sebagai penopang politik kekuasaannya. 

Ketika ternyata pemerintah tidak mampu memenuhi harapan kebahagiaan rakyatnya, makin besarlah kekecewaan yang di alami masyarakat, makin besar pula keinginan mereka untuk tidak percaya kepada agama. 

Terlalu banyak alasan manusia sehingga memilih untuk atheis. Dari berbagai alasan ada pula yang bahkan lebih tepat pembenaran, menganggap bahwa jauh dari keberadaan agama dengan segala norma-norma atau aturannya sesungguhnya adalah kebangkitan spiritual, puncak dari kerelegiusan itu sendiri.

 Sebuah pandangan yang dari sudut kaum beragama yang juga mementingkan ritualitas dan syariat perlu, tentu saja pandangan yang keliru.

Intinya apapun alasan manusia untuk memilih atheis, pada dasarnya adalah sikap menggugat atas keberadaan Tuhan.

Lalu apakah mereka akan kita salahkan secara membabi buta, ketika kita sendiri yang memiliki juru penerang atau pencerah pada kenyataannya memang tidak mampu memberi pencerahan? 

Menghadapi hal itu dalam hemat penulis, sudah benarlah sikap kaum agamawaan yang tidak berlaku keras, dan tidak pula terjebak pada pola-pola liar kaum atheis yang menuntut bukti nyata keberadaan Tuhan. Tuntutan itu hanya pengulangan atas risalah lama yang terjadi pada masa Kenabian dan kerosulan.

Kaum agamawan hanya perlu menganggap itu tantangan bagi semakin tingginya kwalitas keyakianan dan kebenaran. Diikuti perlu memperdalam serta meningkatkan fungsi agama sebagai suatu lembaga tertua di muka bumi yang dalam kekinian tidak kehilangan peranan. 

Peranan yang paling dituntut  kekinian adalah di bidang integrasi atau kebersatuan menuju yang besar, yang dari situ kemudian bisa membuat suatu upaya pengajaran, upaya pembudayaan, moral, sosial dan ekonomi yang menyeluruh dan juga besar.

Bersama dengan itu harus ada keberanian bagi kalangan agamawan untuk menggali lalu menyuguhkan pemikiran-pemikiran atau tafsir-tafsir baru yang membongkar tafsir lama apalagi yang bernuansa klasik dan cenderung usang.

Nah, untuk implementasi semuanya, perlu ada semacam panduan atau arah yang dapat kita sebut ideologi bersama atau ideologi pemersatu yang bisa menjadi wadah logika agar proses dustruktion dan proses implementasi segala pemikiran yang bersifat pencerahan itu benar-benar tidak salah kaprah dengan hasil yang juga tidak salah penerapan. 

Ini sekaligus pula kita jadikan sebagai awal kebangkitan, ruang perubahan dan ruang penataan peradaban baru bagi manusia kekinian. 

Kembali pada soal atheisme, dalam pandangan penulis, terlalu banyak ayat dan pemikiran yang tidak melulu dogmatis melainkan mengandung unsur yang bisa ditafsir ilmiah dan pemikiran logis yang bisa menjawab serta membendung fenomena atheisme yang merebak dan menghantui kekinian ummat  manusia.

Sebagai contoh, dalam kondisi keindonesiaan, penulis pernah  melihat suatu konten di facebook. Di sana tampak seorang pemikir atau katakanlah seorang nara sumber menyampaikan pemaparan yang intinya adalah pembenaran kaum atheis atas sikap mereka yang tidak percaya akan ketuhanan. Inti paparannya bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia.

Atas hal ini lalu penulis berkomentar sebagai berikut : 

Penjelasan sampean itu sudah sering terdengar dan dapat kita fahami sebagai orientasi atheis. Namun tak mengapa. Ini tantangan. Dan mari berdebat dalam cakrawala pandang yang berbeda-beda. Tuhan mencipta itu tidak akan laporan pada anda broo. 

Tuhan mencipta apapun itu melalui proses yang tidak ujug-ujug. Itulah yang kita sebut proses penciptaan yang bermula dari makhluk bersel satu hingga menjadi makhluk rumit yang bernama manusia.

Yang mengawali segalanya adalah “kehendak”, yaitu keinginan untuk menjadi sesuatu yang lain. Itu sifat ilmiah dari suatu entitas yang bernama kehendak. Ini jika dalam agama bisa disebut sifat Tuhan. Nah, apa namanya ini hayoo? PR yaa.. Coba cari sendiri jawabannya biar tambah pinter...

Dan atas keterbatasan jangkauan akal fikirannya, manusia menyimpulkan yang maha berkehendak itulah yang di sebut Tuhan (agama). Apakah itu salah? Tidak, dalam kaca mata kemanfaatan atas manausia. Sebab pada kenyataannya agama bermanfaat untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan keterpeliharaan dunia itu sendiri.

Ingat, bila tidak ada agama, maka manusia tidak akan pernah ada (punah). Penjelasan terhadap hal ini tidak hanya bisa dari sudut dogma agama, namun juga bisa dari sisi ilmiah. Tapi akan panjang lebar lagi. Butuh setidaknya 2 SKS dalam program ilmu ini, hahaha, hihihi...

Demikianlah komen penulis  untuk konten tersebut.

Ya, bila tidak ada agama, maka manusia tidak akan pernah ada. Manusia sudah mengalami musnah sejak awal-awal keberadaannya. Ini ungkapan yang sejak  awal tulisan ini, sudah penulis ucapkan.

Kembali kita bertanya, kok bisa? Dari mana logika ilmiahnya?

Menyangkut persoalan agama, banyak hal menjadi pertanyaan yang menghinggapi kepala kita yang dalam era sekarang bila tidak terjawab secara ilmiah maka akan membuat manusia menuju jalan yang tidak terang. 

Ambil misal, Kenapa tuhan tidak terlihat, malah seperti menjauh dan sulit ditemukan keberadaannya? Padahal bila mudah ditemukan, akan mudah pula bagi menanusia mengimaninya. Bukankah katanya Tuhan maha penyayang yang seharusnya mempermudah bagi manusia untuk menemukan keberadaannya.

 Atas pertanyaan di atas, secara dogma mungkin sudah terjawab oleh suatu kisah kenabian Musa, bahwa manusia dan bahkan gunung-gunung akan hancur bila harus menampung penampakan Tuhan. Karena Tuhan Maha Besar.

Sementara jawaban ilmiahnya, seungguhnya ini demi kelangsungan kehidupan manusia sendiri. Sebab bila manusia sudah melihat keberadaan Tuhan, maka kehidupan akan terhenti. Peradaban yang merupakan hasil dari hasrat antar manusia akan berhenti berganti dengan hasrat manusia terhadap tuhannya.

Bicara masalah kebesaran Tuhan, dalam bahasa yang lain zat maha berkehendak dan oleh pengharapan kita kita sebut maha rohman dan rahim.  Itu adalah zat yang kebesarannya dan apapun tentang Dia, menjadi tak terdivinisi.

Kenapa tak terdivinisi? Seperti alam raya yang tak mengenal batas. Jika alam raya sebagai ciptaannya terbatas, dan Jika Tuhan memenuhi katagori terdivinisi atau menyerupai sesuatu dan terlihat, maka bukan Tuhan namanya. 

Jadi alam raya yang tak terbatas, Tuhan yang tak terdevinisi, keberadaan Tuhan yang tidak terlihat, bahkan seakan kian menjauh dan makin sulit ditemukan, secara dogma adalah maksud Tuhan. dalam ketidak berdayaan manusia, maka yakini dengan iman.

Secara ilmiah sesungguhnya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Agar roda kehidupan terus berjalan, dan itu menjadi simbol bahwa ilmu pengetahuan tak mengenal batasan.

Namun di sini kita tentu saja tidak akan berpanjang lebar perihal itu. Kembali pada pertanyaan, bila tidak ada agama, maka manusia akan punah. Kok bisa? Di  mana logika ilmiahnya?

Di dunia ini ada sebuah hukum, di mana diciptakan hal yang satu tidak lain untuk melengkapi hal yang lain. Hal tersebut searti dengan, diciptakannya hal yang lain tidak lain untuk menjadi penyembuh atau obat atau termanfaat bagi yang lain, dan seterusnya, dst.

Nah kenapa agama diciptakan? Tidak lain untuk memenuhi hukum di atas. Secara ilmiah, agama ada oleh karena tuntutan dari kebutuhan manusia sendiri. 

Kebutuhan manusia akan pencarian siapa pencipta dirinya, kebutuhan manusia akan ketenangan di saat ada dalam kepasrahan ketika dikenai kenyataan hidup yang mungkin tidak sesuai harapan. Pun kebutuhan manusia atas rasa aman dan keamanan hidupnya. 

Diciptakannya manusia diciptakan pula segala alat kelengkapan yang bisa manusia gunakan untuk bisa bertahan hidup beranak pinak generasi demi generasi. 

Kenapa agama ada? Jika mengacu pada dogma, Itu visi Tuhan yang manusia tidak tahu tujuan penciptaan. Pun itu adalah kehendak Tuhan agar manusia hidup  memiliki pedoman. 

Namun ilmiahnya, agama adalah simbol ketidakberadayaan manusia namun sekaligus bentuk pencarian sebagai makhluk berakal. Sementara di sisi yang lain agama juga adalah alat agar manusia tidak punah sebelum waktunya.

Bayangkan pada kehidupan dinosaurus yang punah. Itu adalah makhluk terkuat yang pernah hidup di muka bumi. Namun terkuat menjadi percumah, ketika tidak memilki akal dan tidak memiliki  keyakinan awal sebagai makhluk Tuhan.

Kehidupan diantara mereka menjadi bar-bar. Sehingga mereka tidak menjadi makhluk yang memiliki aturan serta hukum yang dengan hukum itu jadi terlindungi dan saling melindungi sehingga terhindar dari kepunahan.

Benar memang makhluk dinosaurus dalam spesiesnya yang terakhir punah diperkirakan karena meteor menimpa bumi. Namun selama ribuan tahun mereka hidup tidak mengarah pada evolusi menjadi makhluk yang lebih berakal, akhirnya tiada kuasalah mereka atas kedatangan bencana yang memusnahkan. 

Sementara terhadap manusia, bayangkan manusia primitip yang masih memiliki sifat yang menganggap manusia lain adalah ancaman bagi manusia lainnya sehingga membunuh manusia lain baginya menjadi sebuah keharusan. 

 Dan bayangkan jika manusia sama dengan binatang yang saling membunuh. Pada akhirnya manusia tak akan pernah hidup dan mencipta peradaban. 

Ingatlah pula bahwa musnahnya peradaban demi peradaban yang manusia buat tak lain karena berangkat dari sifat primitif, sifat binatang manusia yang saling menaklukan dan memusnahkan.

Lalu datanglah agama. Jika mengacu pada dogma, agama adalah maksud dan tujuan Tuhan, refresentasi dari zat berkehendak, maha kasih rahman dan rahim, yang dengan kasihnya melindungi manusia.

Ilmiahnya, agama menjadi kebutuhan bagi manusia sendiri. Agama sebagai alat yang dengan segala aturan yang ada di dalamnya untuk melindungi manusia sendiri agar manusia tidak saling membunuh, tidak mengalami kepunahan sebagaimana punahnya makhluk atau bangsa-bangsa terdahulu yang belum sampai akal pikirnya sehingga manampik tujuan baik agama.


Agama dalam kondisi manusia yang masih primitif

Dalam kaca mata penulis, meski manusia sudah akrab dengan agama di era peradaban modern kini, sesungguhnyalah agama sebagai suatu alat perlindungan yang difahami manusia masih sebatas pemahaman primitif. 

Ibaratnya, seorang anak manusia yang sejak kecil hidup di tengah hutan.  Lalu, ketika ada musuh, untuk menyelamatkan diri manusia itu lari manaiki pohon. Nah baru sebatas menaiki pohon itulah manusia memanfaatkan agama sebagai perlindungan.

Pandangan di atas berangkat dari suatu kondisi di mana agama sejak kelahirannya sangat sedikit melangkah apalagi berlari. Malah kini ada kesan agama hampir terduduk di kursi roda.

Ya, dibanding ilmu pengetahuan sains dan tegnologi, agama jauh tertinggal. Memang antara sains dan agama sulit disejajarkan, dipersamakan atau diperbandingkan . Karena keduanya memiliki ranah yang berbeda. Tapi setidaknya, pemikiran agama harusnya bisa sedikit mengimbangi.

Makanya penulis berani menyebut agama masih dalam ruang primitif. Dan itu atinya manusia yang memaknai, mengartikan atau mentafsirkan agama. Semakin maju pemikiran serta peradaban manusia, jika segala yang bersifat primitif itu belum berubah, maka agama cenderung akan menjadi suatu bahan terjadinya benturan budaya dan nilai.

Ini akhirnya membuat manusia agama mengalami keterguncangan sehingga pada pribadi yang tidak kuat akan kehilangan  simpati lalu meninggalkan agama.

Apalagi ketika manusia sudah menemukan hukum-hukum pengganti yang dapat dijadikan sebagai alat perlindungan sekaligus mengatur segala problem kehidupan. 

Dalam kondisi ini, agama malah ada dalam pendistorsian nilai diri. Maka agama akan semakin tidak dipandang. Tidak bisa tidak, muncul berbagai pandangan bahwa suatu saat agama akan benar-benar mengalami nasib ditinggalkan.

Agama yang ditinggalkan, ini terjadi pada peradaban dengan pemikiran yang sudah maju. Hal itu telah terasa gejalanya di saat ini di mana faham atheis yang meninggalkan agama makin merebak.

Ya, modernnitas dengan segala kelengkapan hukum-hukum modernnya, mau tidak mau, pada akhirnya ikut menyumbang kehendak manusia modern untuk hukum agama tersingkirkan. 

Tuhan tidak lagi terlalu berpengaruh atas bahagia yang mereka dapatkan. Itu fikir mereka atas kenyataan kehidupan keagamaan di masa modern yang mereka rasakan.

Namun itu kebanyakan terjadi pada manusia yang memandang bahwa hidup hanya sekedar pragmatisme, meski sedihnya dalam era modern sesungguhnya adalah penciptaan manusia pragmatisme. Maka semakin banyaklah agama ditinggalkan. Makin meruahlah penganut atheisme.

Meski kemudian kita bertanya, sejauh manusia telah mencapai tahap modern dan merasa bahagia dengan hukum-hukum modernnya, apakah agama (primitifisme) memang benar-benar tidak diperlukan lagi? 

Jika  melihat tradisi kehidupan dengan keyakinan reinkarnasi di China yang dikleam sebagi masyarakat tak bertuhan yang ternyata mampu bertahan sebagai masyarakat yang tertib, benarkah China tak bertuhan atau tidak beragama? 

Dalam hemat penulis, jika disebut mereka tidak beragama, itu kurang tepat.  Sebab keyakinan reinkarnasi dengan segala kegaibannya (oleh sebab harus melalui kematian baru terjadi reinkarnasi dan karma), itulah agama mereka. Artinya tertib masyarakat China adalah juga karena adanya keyakinan dan itu dapat disebut agama.

Kembali kepada pertanyaan, apakah ke depan agama memang sungguh tidak diperlukan dalam masyarakat modern yang sudah memiliki tata aturan hukum modernnya?

Coba kita melihat agama sebagai suatu alat yang dipraktekkan masih secara primitif. Meski dengan cara primitif namun sedari awal telah mampu melindungi manusia. 

Artinya agama dengan kitab sucinya ada sesuai dengan derajat pemikiran dan kebutuhan manusia. Sampai pada akhirnya agama (primitifisme) itu mampu mengantarkan manusia primitif pada kehidupan modern yang kini ada. 

Sekarang agama (primitifisme) yang kita anut meski menjadi beban oleh sebab membawa banyak benturan budaya dan nilai, namun pada kenyataannya mampu membawa kita sampai pada titik manusia kini yang terhindar dari kepunahan. 

Di balik agama, ada suatu keyakinan ( dogma) bahwa atas rahmat dan kasih sayang Tuhanlah yang mangantarkan manusia bisa sampai di tahap peradaban yang tidak punah kini. 

Penjelasan ilmiahnya, keyakinan itu akan mencipta sugesti yang kan membawa tenang hati manusia. Di sisi lain faktanya agama dengan hukum-hukum, norma-norma dan konsep penyerahan diri, bersyukur serta memiliki pendamping dari suatu kehendak yang maha berkehendak, membuat manusia merasa terlindung dan damai dalam mengarungi hidupnya. 

Agama dengan kitab sucinya juga penuh berisi agar manusia menghargai semua makhluk, menjaga bumi, saling cinta kasih dan menyayangi.

Agama telah pula membuat manusia merasa memiliki kesamaan nasib, tujuan dan lain sebagainya sehingga manusia mampu melewati hari dan sampai pada titik keberhasilannya kini. Jadi plus minusnya, agama masih lebih banyak mendatangkan kebaikan pada manusia. 

Lalu apakah kita mau ambil resiko dengan meninggalkan agama, lantas menyerahkan penjagaan manusia  kepada hukum-hukum modern yang sesungguhnya belum teruji baik secara waktu mapun secara pengalaman bagi kelangsungan masa depan umat manusia?

Seperti yang kita tahu, kaum pembangkang di dalam kitab suci, dulu diancam oleh Tuhan dengan pembinasaan. 

Dalam dogma, itu menandakan betapa Tuhan sangat protektip dan melindungi ras manusia sampai harus membinasakan mereka, suatu kaum yang bila dibiarkan makin membuat kerusakan.

Ilmiahnya, suatu kaum dengan mental rusak, kecenderungannya pastilah akan selalu membuat kerusakan. 

Dan bagaimana dengan kaum atheis sekarang, dengan era modern yang sudah dibatasi atau diatur oleh hukum-hukum modern, apakah kaum pembangkang (atheis) keberadaan mereka masih mungkin mencipta kerusakan dan kepunahan?

Memang benar ada perbedaan antara kaum pembangkang dahulu yang masih relatip primitif dengan kaum atheis di zaman modern kini. Di mana kaum pembangkang kini telah mengenal hukum dan aturan yang relatip baik.

Namun tetaplah ada kesamaan mereka sebagai kaum yang mendengungkan kebebasan (liberalisme). Semangat ingin bebas itulah yang tidak terkontrol kecuali oleh hukum-hukum yang dibuat oleh keinginan dan kehendak mereka sendiri yang dapat membuat arah dunia menuju kehancurannya. Cerminnya, lihat kondisi bumi dan kondisi manusia dengan kemanusiaannya kini.

Sementara sistem pengajaran, pembudayaan (pembiasaan) termasuk sistem sosialisasi dan internalisasi diri belum teruji pada kaum atheis ini yang pada situasi tertentu bisa menjadi liar dan merusak.

Lain halnya agama.  Walau pernah dalam sejarahnya agama menjadi yang mencipta kegelapan peradaban ketika agama diletakkan pada altar penentu dan penguasa segala kebenaran. 

Namun itu adalah sejarah gelap masa lalu gereja di Barat. Sementara Islam, bercermin pada sejarah kegelapan, itu harus jangan pernah lagi terulang. Islam sebagai agama terakhir, harus menyuguhkan keterbalikan dari sejarah gereja. 

Nah, pertanyannya sekarang, untuk tujuan itu apakah agama bisa mengalami perubahan, loncat dari keprimitifismean menuju pada altar penyesuaian? Kitab suci, tentu tidak. Sementara tafsir, tentu bisa. Sebab kitab suci, hemat penulis, sejauh apa kemajuan pikiran, sejauh itu pula ia bisa ditafsirkan.

Meski untuk tetap dipercaya, islam tetaplah harus bersama agama-agama lain termasuk agama gereja dalam bersinergi demi mencapai tujuan kebaikan masa depan ummat manusia.

Dengan sejarah perjalanan panjang antara gelap dan terang, segala pengajaran dan pembudayaan aturan telah dilakoni agama, maka agama akan menjadi jalan terakhir yang kemudian siap bila harus mengamankan generasi demi generasi ummat manusia.

Jadi kesimpulannya, manusia beragama adalah pilihan yang tepat untuk menjaga dunia dan berbilang generasi ummat manusia.

Terhadap primitifisme yang membuat beban dan membawa benturan budaya, dalam pikiran penulis itu hanya soal budaya dan pembudayaan yang segala problemnya bisa di eliminir melalui bahan pengajaran dan tekad pengajaran sistematis serta pembiasaan yang adaptis. 

Menjadikan agama sebagai yang tidak membuat beban melainkan yang membahagiakan, sesungguhnya adalah teknik dakwah dan pengajaran dan pola adaptasi yang bisa dicarikan jalan keluarnya lewat pleksibelis pembaharuan tafsir pemikiran.

Dan kembali kepada era modern kini yang membutuhkan agama untuk jadi yang terus dibutuhkan oleh manusia, inilah penegas dari yang penulis maksud sebagai agama  yang telah meninggalkan manusia.

Maka agama dengan para pemikir pelaksana agama itu harus berani mengkonsep ulang pemikiran agamanya, untuk menjadikan manusia tidak ditataran primitif lagi dalam memahami agama. Agar agama tidak kian jauh meninggalkan dan ditinggalkan ummat manusia.  

Ini sekaligus menjadi upaya dari para pemangku tanggung jawab keagamaan untuk mengkonsep kebaruan peradaban yang menjamin masa depan umat  manusia.

Agama harus tumbuh sebagai yang bukan lagi menjadi beban peradaban dan penyebab keretakan serta permusuhan antara manusia dan antar agama. Pandangan lama yang penuh ego aliran harus dibuang dengan mencari titik temu kesamaan ideologi atau kesamaan pandang, pertalian benang kesejarahan dan ajaran. 

Sebab agama sebagai lembaga tertua di dunia yang pada kondisi kini terbilang paling bisa dipercaya, tentu dengan manusia-manusia pelaksana yang juga bisa dipercaya, harus menjadi yang terdepan sebagai penyelamat dunia.

Kepada kaum atheis yang dalam kitab suci disimbolkan sebagai kaum pembangkang, jika alasan kalian menjadi atheis karena agama tidak membuat bahagia, maka, tetaplah masuk ke dalam golongan para pencari Tuhan. dengan demikian kalian masih layak disebut sebagtai manusia yang belum menemukan Tuhan. 

Bila belum utuh menjadi manusia beragama, masuklah separuh sebelum akhirnya sepenuhnya percaya dan yakin sebagai golongan yang percaya kepada Tuhan. Sebab 1, secara dogma, bila ternyata Tuhan ada dengan segenap janji Tuhan akan hari keadilan, kalian tidak harus ada dalam kondisi jiwa penuh sesal. Renungkanlah, jika hari keadilan tidak ada, maka alangkah tidak adilnya dunia atas segala yang pernah teraniaya. 

Jika tidak ada hari keadilan, renungkanlah betapa tidak adilnya para ibu kita yang di dunia telah bersusah payah menjalani kealamiahan sebagai ibu yang bersusah payah membesarkan dan menghidupi kita anak-anaknya. Maka balasan keindahan untuk ibu itu harus ada.

Pun renungkanlah pula, bila memang tuhan dengan keadilan akhirnya tidak ada, jika kita beragama, setidaknya kita masuk dalam golongan yang menyelamatkan dunia bersama tujuan suci agama yang menyelamatkan ummat manusia.

Sesungguhnya, secara ilmiah, syurga dan neraka serta hari keadilan itu sangat bisa dijelaskan. Namun karena ini menyangkut hal sensitip maka tunggulah setelah melaui proses syura, insyaallah dalam kesempatan yang lain akan penulis buka sebagai keterusan literasi ini. 

 2, Dengan agama dan pelaksanaannya yang tepat bagi peradaban, mari kita menjadi  golongan yang ikut berjuang memperbaiki dunia.



Tanggapan orientalis barat dan kaum skeptisme serta pesimisme atas masa depan Islam

Tidak dapat dipungkiri, keinginan manusia untuk menjadi atheis, agnostik dan spiritualistis tampak sebagai sesuatu yang alami bahkan suatu evolusi, perkembangan keyakinan dari kesadaran manusia. 

Ini menjadi legitimasi atau pembenaran bagi kaum orientalis untuk berkampanye tentang kebenaran faham kaumnya. 

Dalam sebuah buku berjudul: Sejarah Dunia Yang Disembunyikan, dalam pengantarnya dikatakan ada 8 pembahasan di buku ini. Dua diantaranya penulis soroti di sini: 

7, Di Jaman baru gereja dan agama tidak lagi diperlukan. Zaman baru adalah zaman pencerahan. Manusia kembali kepada spiritualitas dan mengamalkannya. Ini zaman tidak lagi memerlukan agama. Karena tanpa agama pun mereka bisa menemukan tuhan dan menjadi manusia seutuhnya yang humanis.

8, Ini mengubah sudut pandang beragama. Agama kerap menjadi kendaraan politik menjadi alat kontrol rakyat yang doktrinal. Inilah yang membuat eropa jatuh dalam abad kegelapan dan kenapa civil society berkomplik dengan gereja.Kemudian terjadi pemberontakan civil society mencetuskan sekuleritas. Setelah sekuler terjadi justru eropa mencapai zaman keemasan.

Zaman yang dimulai dengan pencerahan renaissance. Di zaman baru nanti, pencerahan akan menyeluruh. Manusia akan kembali kepada spiritualitas dan mengalami perkembangan yang maju yang penuh cinta kasih.

Melihat pandangan di atas, tergambar betapa beratnya tantangan kaum penegak agama. Ok lah dikatakan bahwa akhirnya manusia akan ada dalam kondisi tertib dengan kembalinya manusia pada altar spiritualitas yang kan mencipta manusia humanis.

Namun tetaplah hal di atas masih merupakan prediksi atau boleh dikata angan atau cita-cita dari kelompok tertentu, mungkin kelompok atheis, agnostis atau kaum pemuja spiritualitas itu sendiri. 

Suatu cita-cita yang ketika hendak diwujudkan tentu akan menghadapi tantangan dari pihak lain yang terusik. Itu artinya akan mendatangkan benturan demi benturan.

Nah hemat penulis, daripada manusia harus dihadapkan pada benturan demi benturan, mendinglah kita para penangung jawab agama berusaha sekuat tenaga agar ummat manusia tidak masuk ke dalam pemahaman-pemahaman yang kan membuat terjadiya benturan demi benturan itu.

Islam sebagai agama wahyu, adalah agama terakhir yang akan merangkum, meinfentarisasi segala bentuk kegagalan agama kakak nya terdahulu untuk kemudian bersiap dan siap sedia merebut estafet menjadi pengarah dunia.

Dalam suatu buku yang lain, berjudul, Islam Moderat Versus Islam Radikal, lewat pengantarnya mengatakan bahwa kebangkitan Islam itu hanyalah mimpi di siang bolong. 

Dalam publishnya, ada tiga bukti bahwa kebangkitan Islam itu tidak mungkin.

1, sampai saat ini masih banyak negara-negara islam Arab dan non arab yang masih berkutat dengan masalah ekonomi sosial dan politik yang tak jauh-jauh dari kemiskinan dan korupsi bahkan peperangan yang tak kunjung usai. Dst,..

2, negara islam memang ada yang kaya. Namun kekayaan mereka karena minyak bumi yang mirisnya mereka sibuk dengn urusan domestik negara sendiri.  

Mereka bukanlah tipe negara yang mau mendedikasikan kekayaan sumber dayanya untuk  mendorong kemajuan iptek dan program-program pengentasan kemiskinan di dunia. Kekayaan mereka ditelan sendiri. dst,...

3, banyak terjadi tragedi kemanusiaan terorisme dan perang yang justru melibatkan islam sebagai pelaku. Sedihnya para pelaku menggunakan identitas Islam dan diperintah Tuhan. Hal-hal ini justru membuat citra buruk islam sehingga menambah penganut agnostik dan atheis kian merebak atas islam. 

Ini semua terjadi karena umat islam masih terjebak dalam lefel kesadaran yang rendah. Metode pembelajaran mereka masih banyak yang berkutat pada hafalan dan doktrin dan dogma belaka. Sehingga pemikiran kristis dan rasional dan kritisnya tidak bertumbuh. Dan seterusnya, dst...

Mengkaji bukti-bukti di atas, penulis merasa sangat bersyukur telah menemukan pemikiran yang memandang kebangkitan itu dari sisi dan sikap sekeptis dan pesimistis.

Sebab selama ini literasi demi literasi dari penulis dalam publish di judul-judul yang lain kebanyakan lebih bersifat optimis. Bagaimana penulis memandang kebangkitan itu memerlukan Ideologi, sistem pengajaran yang terencana dan sistematis, sampai kepada keharusan islam untuk mau mendustraktion atau membongkar tafsir-tafsir lama, melihat islam sebagai rahmat dan penyempurna, harus ada kemauan ummat untuk bersatu atau berintegrasi hingga kemauan untuk konsolidasi. 

Pada akhirnya, sikap skeptis, pesimis dan optimis memang diperlukan untuk saling mengisi dan menghiasi. Namun sifat kehidupan yang tidak menuju ke belakang apa lagi kejurang, maka sikap yakin bahwa kebangkitan itu bukan sesuatu yang mustahil harus lebih kita ke depankan. Dan itu jauh lebih baik dari pada kita dihantui rasa tak akan mampu.

Kebangkitan, mari kita persamakan dengan makna kata merdeka. Bangkit adalah puncak kulminasi. Bangkit adalah jembatan emas.

Dulu, segala semesta ini ada dalam tiada. Segalanya berawal dari keinginan berkehendak untuk ada. Dan manusia sebagai makhluk berakal, tinggal tekad dan usaha yang kuat untuk suatu tujuan itu tercapai. 

Jika di katakan bahwa kebangkitan itu tak mungkin karena islam miskin, ini justru melecut kita untuk merubahnya agar kebangkitan itu bisa membuat kita kaya raya. Karena negara-negara Islam sesungguhnya memiliki sumber daya yang sangat luar biasa.

Jika dikatakan kita ada yang kaya namun tidak peduli dengan  sesamasaudara maka dengan ideologi serta pemikiran yang terbarukan kita akan menjadi manusia-manusia yang peduli pada saudara.

Jika dikatakan dalam kondisi kini islam tak mungkin bersatu karena secara fakta islam sudah terpecah belah, maka dengan melihat ini adalah misi dan tanggung jawab bersama ideologi pemersatu, yakinlah bahwa bersatu itu kita mampu.

Dan beribu lagi ungkapan untuk menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan kebangkitan itu mimpi di siang bolong. Sebab kita Islam sesungguhnya memang benar-benar mampu. Tidak ada alasan untuk ragu.


Penutup 

Agama pernah mendapat kesempatan memimpin dunia. Namun ternyata dunia masuk dalam masa kegelapan kala agama dipimpin oleh kekuasaan gerejani yang belum sadar bahwa dunia sesungguhnya adalah wadah dari pertemuan sifat keilahian dan rasa kemanusiaan.

Lalu apakah kita kapok atas sejarah kelam itu? Ya, kita kapok. Namun bukan berarti hendak membuang dan terlalu menjauh dari nilai agama seperti yang dilakukan oleh kaum atheis, agnostik hingga kaum spiritualis.

Sadar bahwa agama jugalah yang menghantarkaan kita pada kondisi ummat manusia yang eksis hingga kini, maka kebijaksanaan budi, harus menjadikan sejarah kelam itu sebagai bagian dari proses evolusi manusia dalam mencari kebenaran serta membentuk peradaban yang berkesesuaian antara kehendak Tuhan dan kehendak kemanusiaan. 

Berangkat dari itu semua, kita masih punya waktu untuk berbenah, kita masih terlalu yakin agama adalah pilihan yang terpercaya. Dan kepercayaan tugas kesejarahan itu saatnya dipikulkan sebagai misi kepada islam.

Bukan berarti  ini islamisasi. Islam dengan kehati-hatiannya ingin mengkoreksi dan mengefaluasi sebuah kesalahan masa lalu gerejani kemudian menjadi yang memulai. Bukan pula hendak merendahkan agama lainnya. 

Islam yang selama ini belum mendapat tugas sejarah, dengan ideologi kebaruannya mungkin pantas mengambil tongkat estafet itu hingga menjadi yang juga pantas dipercaya sebagai pengarah sejarah.

Sementara agama yang lain bukan lantas berdiam melainkan bersama dalam misi besar ini, jika belum bisa melebur maka menjadikannya sebagai usaha dalam wilayah keyakinan masing-masing untuk menyelamatkan masa depan ummat manusia.  

Ingat, hanya orang-orang yang tahu bersama pikiran cemerlangnya, bahwa masa depan dunia ada pada ummat beragama. Pun masa depan Indonesia ada pada ummat beragama di pundak dan bahu Islam khususnya. 

Namun masa depan itu juga ditentukan bagaimana Islam berbagi kasih dengan ummat-ummat dari agama lainnya.

 Wallahu’alambissawab...

Salam 

 



 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak