Perseteruan Islam dan PDIP Terbaca Dari Ketidaksukaan Mega Atas Ibu-Ibu Pengajian. Untuk Kepentingan Apa? Siapa Diuntungkan? Siapa Yang Akan Memimpin Indonesia di Masa Depan?


Mendekati musim pemilu berbagai partai bersiap dengan berbagai cara dan siasat agar perolehan suara partainya bertambah.  Berbagai isyu dan rekayasa dimainkan sebagai  penggedor pintu media dengan harapan datang simpati dari khalayak.

Kali ini secara spesifik penulis ingin menelaah salah satu partai dalam caranya mempertahankan serta mencari tambahan pengikut agar suaranya tidak tergerus oleh suatu kondisi atau suatu fenomena yang berkembang di tengah masyarakat.

Partai yang ingin penulis telaah itu adalah partai yang identik dengan keluarga Nasionalis Soekarno, Megawati dengan PDI Perjuangannya.  Bukan saja karena partai ini agak seksi ditelah lantaran lagi berkuasa. 

Lebih jauh secara praksis partai ini meletakkan dirinya sebagai partai ideologis oleh karena itu setiap langkahnya dalam ekspans dan defens, banyak menjadi ranah atau kurusetra pertarungan ideologis. 

Oleh karena pilihannya menciptakan perseteruan ideologis itulah makanya seksi untuk kita telaah. Suatu pilihan dalam kaca mata mereka mungkin jalan cerdas.

Namun yang paling membuat kita ingin menelaahnya  lebih dalam, ketika perseteruan ideologis itu sangat tampak diarahkan kepada islam sebagai agama maupun islam yang diposisikan secara ideologi dalam ranah negara. Dan terakhir kini terasa islam diseterui dalam ruang kemasyarakatan. 

Oleh karena jauh-jauh hari islam sudah terposisikan sebagai lawan, semakin menjadi perseteruan itu di moment perhelatan Pilkada DKI. Perseteruan ideologis itu membuat ruang dipenuhi oleh isyu persolan identitas. 

Dan karena ketiadaan tokoh atau pemimpin yang mampu menghaluskan kata lawan menjadi kawan, maka setelah pemilu perseteruan itu terus ada dan menjadi perseteruan yang tampak tak bisa sudah.

Nah, apakah perseteruan itu akan terus dilanjutkan di pemilu mendatang? Bagi penulis, akhirnya jadi berpikir, kita sudah terlanjur ada di medan atau kurusetra pergumulan itu. Ya biarkan lanjut saja. Terlepas dari isyu yang dimainkan soal identitas, tinggal lagi kita mencari apakah dari perseteruan ini ada hal baiknya? Ya, memang ada hal baiknya. Namun juga banyak hal tidak baiknya.

Oleh karen itu yang tidak baik kita buang. Dan yang baik kita ambil untuk kita manfaatkan. Hal yang tidak baik dari perseteruan itu adalah sebuah perseteruan yang tidak lagi berbasik gagasan kecuali adu otot dan berbagai celaan yang tidak memiliki dasar keilmuan.

Kenapa penulis berpikir bahwa perseteruan itu lebih baik dibiarkan terus berlanjut saja? Karena perseteruan itu memang sudah terjadi, dan terus berlanjut oleh sebab ketiadaan tokoh atau pemimpin yang bisa menghentikannya. 

Apalagi pada kenyataannya, sampai hari ini, kita memang masih mendapati adanya perseteruan yang diteruskan dan malah sesungguhnya dikipasi oleh orang-orang yang duduk di kekuasaan. 

Berbicara bahwa perseteruan itu diteruskan oleh orang-orang kekuasaan, di sini pengamatan bisa kita mulai dengan mencari gambaran titik hitam putih, bahwa sesungguhnya orang-orang kekuasaan sendirilah yang mencipta  kondisi dan persoalan bangsa ini. 

Sebab mengambil pendekatan istilah tiada asap jika tak ada api, maka kekuasaan masuk dalam katagori api. Api yang menyuluti dan dari situ keluarlah asap, tercium dan mencuatlah masalah-masalah di berbagai waktu dan tempat di republik ini.

Cara kekuasaan dalam hal meneruskan perseteruan ini sebagai gambaran kecil dari suatu maksud di balik penciptaan musuh yang besar seperti halnya Amerika yang mengambil untung dari keberadaan musuh besar yang diciptakannya. 

Ya, ada nuansa mencari untung dari perseteruan yang sengaja dan diusahakan dicipta. Penciptaan musuh besar bersama itu dapat kita lihat dari isyu-isyu atau sikap atau langkah-langkah dan gerak serta ucapan yang dilontarkan  oleh para petinggi partai sampai kepada pejabat negera.

Ingat ucapan salah seorang pejabat negara yang  dapat kita tandai bahwa rezim ini memang mencipta musuh besar bersama dengan mengambil basik propaganda pemikiran ideologi lalu menyebut islam sebagai musuh besar Pancasila . 

Pun ucapan Mega sang ketua umum hingga kepada ucapan anaknya Puan Maharani.

Misalnya ucapan Puan soal akan menghapus mata pelajaran agama di sekolah. Ucapan Puan pula yang terkesan islam sebagai masalah, di mana kurang lebih ia mengatakan, negara lain sudah mencapai bulan, sementara islam masih   sibuk menghafal berjus-jus Alquran. 

Dalam kurun terakhir, ucapan seorang Megawati tentang ibu-ibu pengajian yang dalam celotehnya bahwa pengajian yang kian sering itu memiliki kecenderungan mengabaikan urusan keluarga dalam hal ini merawat anak-anak di rumah.

Dalam pikiran orang awam, mungkin ucapan Megawati itu tidak mempunyai maksud kecuali sekedar ucapan seorang perempuan dan manusia yang karena latar serta kehidupannya terbilang tidak dekat dengan sentuhan keagamaan, sehingga tidak suka dengan yang namanya pengajian.

Padahal, suka atau tidak suka serta dekat atau tidak dekatnya Megawati dengan sentuhan nilai agama, sesungguhnya ucapan Megawati itu memiliki tujuan politik tertentu dalam usahanya mempertahankan ceruk pengikutnya. Atau bahkan mencari untung sebagai kaum nasionalis yang bercirikan abangan dari kaum islam yang dicirikan sebagai lawan seterunya.

Abangan dapat diartikan sebagai kaum yang tidak terlalu kental memegang prinsif serta ritual keagamaan. 

Bahkan dalam kekinian, orang-orang yang anti agama bagi penulis bisa dikata sebagai golongan yang dapat terbilang abangan. Sebab secara politik mereka lebih nyaman ada dalam gerbong partai yang kini berkuasa tersebut. 

Makanya tidak aneh jika dalam kekinian ateis makin mengembang dalam suatu ruang masyarakat yang mayoritas beragama seperti Indonesia. Ini bisa menjadi suatu kesimpulan bahwa negara turut andil dalam membesarkan faham ateisme.

Ya, setidaknya negara membiarkan kaum ateis tumbuh dan berkembang  dalam suatu praktek sekuler yang berlebihan di tataran kenegaraan maupun di tataran kemasyarakatan. 

Ini karena kebijakan negara tidak melihat ateisme sebagai hal yang perlu secara signifikan dilakukan pemantauan. Atau katakanlah tidak dipandang sebagai ancaman.

Hal di atas tentu berbanding terbalik dengan kenyataan yang dirasakan oleh kalangan islam yang begitu merasakan adanya kebijakan represif terhadap islam. 

Kesimpulannya, ateis yang dipandang bukan merupakan ancaman, pun ateis yang secara kelompok adalah kawan yang ikut menyumbang pemikiran yang pada saat pemilu ikut memenuhkan gerbong si banteng gemuk, maka sempurnalah kekuasaan memberi ruang gerak kepada ateis dalam segala lini pergaulan untuk berkembang.

Kembali pada soal ibu-ibu pengajian, oleh karena ingin menambah ceruk pengikut atau mempertahankan ceruk yang sudah ada inilah kenapa sang pemimpin partai tersebut berucap dalam nada ketidaksukaannya terhadap ibu-ibu pengajian yang tampak mengecambah di tanah negeri ini.

Dengan ucapannya, Megawati sebagai tokoh sedang bermain-main dengan kata yang mengarah pada penciptaan kaum setengah-setengah, kaum abangan bahkan kaum ingkar. 

Pun dengan ucapannya, Megawati seolah ingin memberi isyarat kepada pengikutnya kaum abangan bahwa PDIP tetap konsisten di altar abangan dan mengingatkan kepada para pengikutnya agar tidak terlalu jauh masuk dalam budaya islami yang disuguhkan kaum islam.

Ibu-ibu pengajian yang sering tampak kompak dengan adat atau budaya keislamannya itu dapat kita simpulkan sebagai sesuatu yang ditakuti sang pimpinan partai dan tentu secara keseluruhan dikhawatiri oleh segenap petinggi partai yang tengah berkuasa kini.

Semakin mengecambahnya lembaga-lembaga pengajian beserta pengikutnya yang juga makin meriah dan meruah,  ini tentu saja akan menggerus kaum ibu-ibu abangan yang secara poitik selama ini ada di gerbong partai yang berideologi Pancasila ala Soekarno garing PDIP Banteng gendut itu. 

Ikut aktif di pengajian, sama saja mencipta kesadaran para ibu agar meninggalkan cara-cara kehidupan lama menuju kehidupan baru yang sadar akan pentingnya agama dan pembelaan terhadap nilai-nilai agama di mana hal tersebut minim dilakukan oleh PDIP. 

Bagi penulis cara Megawati dan PDIP dalam mengidentifikasi diri sebagai kaum nasionalis yang meletakkan diri sebagai warna abu-abu dan cenderung banyak berseberangan dengan kalangan agamawan, khususnya islam, menjadi maklum sebab  di ceruk itu memang banyak ikannya atau manusinya. 

Berbicara lebih jauh soal ceruk dan soal mempertahankan ceruk, penulis lebih dalam mengamati pilkades yang terjadi di desa penulis sendiri yang kemudian bisa dijadikan sebagai indikasi keseluruhan sikap perilaku partai ini. 

Walau sang ketua umum partai berkuasa telah nyata-nyata berkata kurang mendukung terhadap meruah dan gairahnya ibu-ibu dalam mengikuti pengajian, namun ternyata segenap kadernya dari pejabat tinggi daerah hingga kader-kader gresrut di daerah-daerah terpencil selalu memanfaatkan ibu-ibu pengajian sebagai sarana sosialisasi maksud dan tujuan mereka. 

Dengan kata lain lembaga-lembaga pengajian itu hanya dijadikan sebagai alat pemenangan belaka. 

Ya hanya sebagai alat pemenangan yang sifatnya sementara tepat pada saat adanya kepentingan pemilihan saja. Bukan alat pencerahan yang sifatnya pembudayaan nilai-nilai yang berlangsung terus menerus. Artinya bila mendekati pemilihan, intenslah pendekatan kepada lembaga-lembaga pengajian mereka lakukan.

Lewat ibu-ibu pengajian, diobrolkan atau tepatnya disosialisasikan kelebihan calon tertentu yang didukung penguasa, sang kader partai daerah, misal soal kleam mereka yang mengusulkan atau memperjuangkan pengaspalan jalan, kleam mereka yang memperjuangkan pembagian sembako, dana bantuan sosial, dlsbg.

Dari hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa partai penguasa ini berusaha bermain cantik dengan berdiri diantara dua kaki, yaitu menekan, sementara di sisi lain juga tampil sebagai wajah yang indah dalam usaha mencari celah untuk sedapat mungkin memanfaatkan dan mendapat untung dari segala cara pendekatan-pendekatan yang terbilang istimewa mereka lakukan terhadap islam.

Pada ibu-ibu yang memiliki pengetahuan serta informasi lumayan cukup atas kebenaran serta segala cara kampanye terselubung dan terkatagori tipu-tipu seperti ini, tentu tidak goyah pendiriannya.

Namun untuk ibu-ibu yang sebaliknya, adalah ladang untuk mendapat hasil dari usaha pendekatan mereka.

Pada strata masyarakat tertentu yang umumnya sudah melek informasi dan berpengetahuan, sudah menjadi pengetahuan umum di mana PDIP dapat dikatagorikan sebagai partai yang anti terhadap perkembangan islam, sama artinya sebagai partai Anti Islam.

Kejiwaan partai yang demikian, apalagi adalah partai yang berkuasa, menjadi indikasi dan penjelas dari apa yang penulis sebut di atas sebagai yang sesungguhynya mencipta kondisi dan persoalan bangsa.

Kenapa penulis berani mengatakan mereka sebagai pencipta persoalan bangsa? Ya, jelas. Sebab segala ucapan yang mengobok-obok tatanan keagamaan serta pembiaran atas terjadinya permasalahan di kalangan islam, tidak dapat dipungkiri adalah sebab eksternal yang membuat gaduh kalangan islam sekaligus gaduh anak bangsa di negeri ini.

Islam tidak menutup mata bahwa pada diriya memang banyak persoalan oleh karena masa konsolidasi ajaran yang belum terselesaikan.

Namun sekali lagi faktor eksternal yang berkepentingan membuat konsolidasi itu tampak kadang mendekat dan kadang menjauh.

Terlebih menjelang moment perhelatan politik pemilu, telah terbaca indikasi faktor eksternal masuk dan menusuk-nusuk ke jantung islam di mana aliran-aliran menyimpang difasilitasi oleh negara degan berbagai dalih, alasan dan cara.

Hal tersebut jelas bertujuan untuk merobek persatuan sehingga islam tercerai berai yang pada akhirnya ummat islam yang mayoritas di negeri ini tak bisa mengangkat harkatnya untuk naik dari kelas tiga ke kelas dua dan dari kelas dua ke kelas satu sebagai sang pemilik negara yang berhak sejahtera dan bahagia.


Faham sekulerisme dan liberalisme adalah hal lain yang mendasari Megawati PDIP anti agama

Selain tujuan pemenangan pemilu, ada satu lagi tujuan mereka atas kekacauan islam . Berdasarkan pengamatan penulis atas ucapan beberapa petinggi partai ini,  terbertik suatu maksud bahwa masyarakat yang mereka inginkan di masa depan adalah bertipe seperti masyarakat Amerika. 

Suatu masyarakat sekuler murni yang penuh dengan kaum abangan di mana moralitas runtuh kalah oleh kebebasan. Suatu masyarakat dengan kaum agamanya tersingkir jauh oleh kepentingan materialik, ekonomi dan bisnis tanpa ada batasan. 

Bagi penulis, tidak terlalu menganggap aneh ketika PDIP mengambil jalan pikiran dan menjadikan tipe masyarakat seperti itu untuk Indonesia di masa depan. 

Karena, maaf saja, bukan hendak sombong, dulu rasanya penulislah yang pertama mengungkapkan hal tersebut saat penulis masih rantang-runtung dalam rangka diam-diam melakaukan penelitian ideologi dan bicara rigan pada diskusi dan obrolan-obrolan kecil di organisasi-organisasi kemahasiswaan di Jakarta. 

Saat itu, partai yang berkuasa sekarang ini, ada di luar pemeritahan sebagai oposisi. Penulis pada waktu itu pun ada dalam barisan yang kritis terhadap pemerintah, meski tidak bulat-bulat ada dalam sangkar Banteng yang oposisi.

Nah pemikiran seperti hal di atas tampaknya masih menjadi pegangan mereka sampai kini. Karena apa yang penulis ungkapkan waktu dulu itu memang berdasarkan pemikiran sehat kala itu. tak heran jika mereka mempertahankan pemikiran tersebut hingga kini. 

Maka tak heran jika mereka sangat berkepentingan agar kaum agamis, khususnya islam dengan peradabannya mengalami keruntuhan, dengan peradabananya menjadi sekedar mengembek kepada peradaban lain dalam kenyataan terbelah-belah tanpa tujuan dan arah. 

Dalam pemikiran mereka yang belum berubah soal tipe masyarakat Indonesia di masa depan itu, sementara pemikiran penulis sendiri dalam kekinian tentu saja telah mengambil jarak dari itu.

Sebab, seseorang yang kritis dan siap beroposisi tentu harus memiliki dasar pemikiran sendiri. Begitu pula halnya pendirian penulis. Dasar pemikiran penulis jauh berbeda dari yang pernah penulis cetus di waktu dulu itu. 

Bahwa semakin maju suatu masyarakat, khusunya masyarakat yang terbalut suatu ideologi yang harusnya semi sekuler atau tidak sekuler murni seperti Indonesia dengan ideologi Pancasilanya, maka masyarakat ideal yang tercipta kemudian adalah masyarakat yang cerdas dengan jiwa-jiwa yang  terwarnai nilai keagamaan di dalamnya.

Ketika penulis katakan jiwa-jiwa yang terwarnai nilai keagamaan, tidak harus masyarakat itu penuh dengan orang-orang yang faham agama layaknya seorang santri yang telah lama nyantri. Namun suatu masyarakat dengan individu-individu yang sadar dengan nilai kebaikan, kemanusiaan dan masih takut atas tuhan. 

Melalui pengajaran keagamaan yang benar, kecerdasan pikir akan terbimbing untuk menjadi manusia yang tinggi dalam hal bertoleransi. Tipe bayangan masyarakat itu pernah penulis survei dan kaji dalam suatu penelitian terhadap masyarakat bagian dalam dan masyarakat bagian luar suatu perguruan tinggi di Lampung.

Dasar pemikiran penulis yang berpikir bahwa semakin maju suatu masyarakat maka akan tercipta suatu masyarakat cerdas dengan jiwa-jiwa yang terwarnai nilai keagamaan, adalah berdasarkan pengamatan pula tentang keluarga-keluarga ideal dengan anak-anak yang diarahkan secara baik oleh orang tuanya untuk menimba ilmu, untuk hidup jujur dan ingat akan agama.  

Pemikiran di atas berangkat pula dari suatu kenyataan, bahwa tidak akan ada suatu keluarga yang bertujuan agar anak-anaknya menjadi nakal dan jahat. Setiap keluarga pasti bermimpi agar anak-anak mereka berpendidikan dan berakhlak. 

Nah, jika setiap keluarga bermimpi demikian, apakah itu bukan suatu mimpi bersama yang kemudian akan mewujud menjadi kenyataan besar bersama? 

Atas penelitian di atas maka dalam pikiran penulis, tipe masyarakat yang dituju oleh bangsa ini adalah masyarakat cerdas, agamis dan penuh toleransi. Ketika penulis berkata agamis, sekali lagi, tidak harus semua pintar berbicara dengan dalil-dalil agama seperti santri. 

Dan ketika yang kita butuhkan tentang toleransi yang menguatkan ikatan persatuan bangsa ini, dengan konsep pengajaran yang baik, akan kita dapatkan suatu toleransiisme yang baik.  Pengajaran melalui lembaga agama, akan membuat pengajaran itu berhasil oleh karena disertai dalil keagamaan yang telah menjadi dasar perilaku bangsa ini yang memang beragama.

Pada akhirnya ini akan membuat anggota masyarakat menjadi seimbang dalam hal saling menghargai. 

Namun tentu saja satu hal terpenting dalam pengajaran itu adalah ketika disertai atau dilandasi oleh suatu pandangan serta pengajaran ideologi yang benar pula. 

Dan karena literasi kita saat ini bukan mengupas persoalan ideologi, maka tentu saja di lain waktu akan kita kupas pemikiran ideologi (Pancasila) yang seperti apa yang pas untuk bisa mengantarkan kepada tipe masyarakat yang kita inginkan di masa depan nanti yang berkesesuaian dengan pancasila itu sendiri.  


Kesimpulan:

Negara dalam hal ini partai yang berkuasa meski tidak secara langsung terlihat namun sangat terasa melangkah pada tujuan agar tidak tercipta masyarakat agamis dengan membuat gelembung-gelembung keraguan masyarakat  atas islam, mencipta  keapatisan, keterpecahbelahan, demi kemenangan pemilu dan tujuan lain yaitu sekulerisasi. 

Mereka menempatkan wakil islam di pemerintahan hanyalah politik akomoditas  untuk memanfaatkan massa islam dan demi (dalam bahasa mereka) “mengendalikan islam”, agar tidak semakin tumbuh yang jika tumbuh pesat, dikhawatiri dapat menggeser kedudukan mereka sebagai pengendali di Republik ini.


Apa yang harus dilakukan para aktivis islam:

Sadari bahwa teramat berat islam untuk bangkit. Maka konotasi bangkit harus lentur dan penuh tanggung jawab sehingga dapat dimaknai sebagai bukan mencipta lawan yang berkepajangan yang malah menghasilkan efek di mana bangsa malah menuju perpecahan. 

Kesadaran terpenting dalam bangkit itu bukan sekedar berkonotasi bangkit islam secara ajaran, ideologi, politik dan budaya yang melingkupinya. 

Kebangkitan, terpentingnya adalah kebangkitan cara berpikir ummat islam atas tujuan ekonomi dan kesejahteraan. Ini sesungguhnya adalah kebangkitan dalam usaha serta tanggung jawab sosial dan ekonomi dari kaum teolog (islam) dalam rangka ikut mensejahterakan rakyat( ummat ) dan bangsa di tanah negerinya.

Fakta bahwa di negeri ini ada dua aliran besar yaitu kaum nasionalis dan agamis atau islamis. Nah, biarlah cara pandang kaum nasionalis melihat islam sebagai lawan demi mereka bisa mengambil keuntungan.

Sementara kaum islam yang cerdas, harus melihat mereka dengan kaca mata kecerdasan tersendiri. Menghadapi suatu rezim yang melakukan politik pembodohan dan membodohkan demi tujuan agar mereka bisa mengambil keuntungan, tiada lain jalan kecuali pencerdasan dengan pemenuhan informasi atas seluruh rakyat di manapun di seluruh negeri.

Dengan cerdas islam harus bisa melawan kebodohan, pembodohan dan keminiman informasi dan bersama itu harus pula mampu menjadi pilar kebangsaan yang mempersatukan bersama  usaha islam mencapai kesejahteraan, pemerataan yang berkeadilan.

Dengan cerdas islam harus melihat dan menjadikan pertarungan di suatu pemilihan sebagai adu gagasan. Gagasan yang terbaik untuk diaplikasikan terhadap rakyat bangsa dan negara. Islam harus siap dengan gagasan-gagasan briliyannya. Karena sang pemilik gagasanlah yang sesungguhnya akan menang dan sekaligus memimpin bangsa pada periode, pada tahun dan bahkan pada abad berikutnya.

Wallahua’lambissawab....

Salam Perubahan Untuk Indonesia Yang Lebih Baik


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak