Akhir-akhir ini kita senang dengan banyaknya kalangan yang berbicara tentang konsep peradaban masa depan. Yang bicara menandakan kepedulian dari manusia-manusia yang dengan pemikirannya adalah manusia yang bermartabat dan menjaga martabat.
Sebab, banyak manusia kadang tak mengerti apa yang harus dibuat dan bahkan tak ingin berbuat. Hanya manusia yang mengerti dengan martabat dan bahwa di dalam kediriannya ada martabat yang harus dijaga dan junjung tinggi maka ia akan berbuat suatu hal demi menjaga martabat kediriannya dan martabat kaumnya.
Ya, martabat manusia ditentukan oleh apa yang dibuat. Dan manusia-manusia yang memikirkan peradaban masa depan adalah manusia-manusia berbuat yang bukan saja demi martabat dirinya namun juga martabat kaumnya. Sementara peradaban, hasil buah tangan dan pikiran, adalah juga tingkat martabat manusia di suatu jaman.
Martabat yang penulis maksud di sini lebih kepada arti kehormatan, yang harus dipertahankan oleh manusia. Namun tentu saja tulisan ini tidak akan mengelaborasi perihal martabat. Melainkan lebih menukik ke pada perihal peradaban.
Kita senang dengan berbagai kalangan yang konsen memikirkan tentang peradaban, salah satunya kalangan nahdiyin yang menyuguhkan konsep fiqih peradaban yang disampaikan pada harlah tepat seabad keberadaan organisasi islam itu.
Apalagi peradaban yang hendak dituju itu tentulah peradaban agung yang penuh nilai-nilai. Tentu ia telah melalui konsep pemikiran yang bersungguh. Kesungguhnan yang harus dihargai. Sebab peradaban yang agung, sesungguhnya tidak datang dengan sendirinya. Ia tercipta melalui tangan, perbuatan dan pikiran-pikiran yang agung pula.
Agungnya suatu peradaban akan membuat peradaban itu terguna dan oleh karena itu menjauhkannya dari kata punah. Meski memang sebuah peradaban bisa punah, seagung apapun itu. Namun campur tangan manusia, bisa membuat peradaban itu mengalir dan menghiasi kehidupan sepanjang ruang, zaman dan waktu.
Suatu budaya luhur yang berasal dari peradaban agung akan menyerupai air jernih yang terpakai dan mengalir sepanjang zaman. Contoh itu bisa kita lihat dan rasakan dalam bentuk kesantunan atau kesopanan, kerendahan hati, kasih dan sayang pada Ayah Ibu, kasih sayang pada sesama manusia, hormat pada orang yang lebih tua, perilaku menjaga dan memelihara alam, dll, dari kehidupan suku-suku tertentu di tanah pedalaman bangsa ketimuran.
Peradaban Timur dalam wilayah Nusantara, salah satunya peradaban Sunda, terbilang salah satu peradaban tertua di dunia. Terlepas dari kebenarannya karena masih dalam penelitian, Sunda Land menurut para ahli adalah benua Altantis yang hilang yang diperkirakaan tenggelam akibat banjir besar yang menenggelamkan benua atlantis sekitar 30 ribu tahun yang lalu.
Sebagian penduduk yang wilayahnya tenggelam lalu bermigrasi ada yang sampai ke daratan Amerika, pedalaman Asia, China, India, Mesir hingga ada yang sampai ke wilayah Yunani Eropa dan sekitarnya.
Sunda Land menjadi awal penyebaran peradaban dunia. Itulah makanya diperkirakan penduduk asli Amerika sesungguhnya adalah keturunan yang berasal bukan dari China daratan melainkan dari Sunda Land, seketurunan dengan suku Sunda, salah satu suku di Nusantara.
Dari hal di atas menjadi tidak aneh jika kemudian logika berpikir kita menghubung-hubungkannya dengan keberadaan situs Gunung Padang di tanah Sunda. Situs Gunung Padang diperkirakan telah berusia sekitar 5 sampai 10 ribu bahkan 20 ribu tahun. Ini melebihi situs piramida di Mesir yang diperkirakan di buat sekitar 4 ribu tahun lalu.
Sebagian ahli menyebut Situs Gunung Padang sebagai bangun Punden Berundak. Namun karena megah dan menyerupai bentuk piramida dan lebih dari itu, ternyata di dalamnya memiliki ruang-ruang, akhirnya ada pula yang menyebut piramida. Situs Gunung Padang menjadi bukti bahwa peradaban Nusantara adalah peradaban yang terbilang awal di dunia.
Penulis ungkap hal-hal di atas, selain sebagai kebanggaan juga sebagai pemicu bagi generasi dari tanah ini bahwa leluhur kita sesungguhnya bukan kaleng-kaleng. Dan oleh karena itu generasi dari tanah ini harus mampu bersaing dengan peradaban-peradaban di belahan dunia yang lain. Generasi dari tanah ini harus mampu menelurkan gagasan-gagasan besar yang berguna bagi peradaban umat manusia dunia.
Bukti lain dari sisa peradaban tertua dunia itu masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Coba kita hayati tentang sikap-sikap moderat atau islam garis tengah dengan keunikan budayanya, yang penulis tahu hanya dimiliki dan diyakini oleh penghuni dari tanah ini.
Tentu saja dalam pikiran sehat, kita memahami bahwa hal itu bukan kebetulan belaka, melainkan pastilah ada keterkaitan jejak budaya atau tradisi agung keagamaan dari leluhur-leluhur terdahulu.
Belum lagi bukti dari tradisi-tradisi serta ajaran budaya yang lain, kesantunan, kesopanan, kerendahhatian, serta penghormatan kepada guru, orang tua dan sebagainya yang hingga kini masih sangat melekat dijalankan di pedalaman di tanah Sunda dan di tanah-tanah lain di bumi Nusantara. Semuanya mengindikasikan bahwa peradaban dan kebudayaan tua nan luhur itu pernah ada di tanah ini.
Dengan budaya-budaya luhur itu, penulis sempat membayangkan jika dikemudian hari peradaban kita menjadi kiblat atau acuan dunia. Lalu ketika kemodernnan dan kecanggihan manusia sudah mampu menjangkau kehidupan antar planet, tak terbayangkan bila manusia-manusia yang hidup di zaman itu masih memegang perilaku sopan, santun, menjaga tatakrama, bermoralitas tinggi, saling menyayangi sesama manusia, hormat sayang pada orang tua, guru dan lain sebagainya. Betapa mengagumkannya peradaban dan budaya-budaya agung nan luhur itu.
Dan kebudayaan luhur seperti ini harus dipupuk, dibudayakan, ditanamkan atau diajarkan agar tidak mengalami kepunahan lalu menjadi kekayaan peradaban bangsa. Dan tentu saja agar peradaban dan kebudayaan itu menjadi berarti bagi kebaikan dunia.
Kita tidak ingin mengulang punahnya peradaban-peradaban yang sudah pernah ada sebelum peradaban-peradaban serta kebudayaan itu memberi makna pada kesejarahan perkembangan perikemanusiaan ummat manusia.
Dan bila kepunahan suatu peradaban identik diiringi dengan kepunahan suatu negeri dan bangsa, maka bisa dibayangkan betapa pentingnya arti menjaga peradaban dengan budaya-budayanya.
Untuk itu diperlukan suatu konsep dan pemikiran guna tercipta dan terpeliharanya peradaban agung lalu arah tujuan serta segala nilai agung yang terkandung di dalamnya senantiasa terpakai agar tidak mudah punah ditelan zaman.
Kepunahan suatu peradaban karena manusia belum memiliki konsep dan kesadaran yang matang tentang peradaban, tentang keterciptaannya, maknanya serta mempertahankannya.
Ketika terjadi perang misalnya, terjadi penghancuran terhadap bangun-bangun megah yang bernilai sejarah. Segala tradisi dan budaya yang ada di balik bangun-bangun sejarah itu pun jadi hilang.
Sikap, sifat dan perilaku kejam manusia membuat sang lawan seolah binatang yang bila hidup kembali dan bahkan jejakanya akan menjadi ancaman.
Lalu kita bisa memetik hikmah dari perjalanan ummat manusia dengan peradabannya yang punah terdahulu, ketika mengaku sebagai makhluk yang ingin di sebut manusia namun membiarkan perjalanan sejarah umat manusia hanya melalui jalan lapang tanpa dipikirkan kemana arah, apa makna dan seperti apa setiap langkahnya, maka setiap ada peradaban muncul, bahkan yang kita cipta sendiri tak lama kemudian hilang tak berbekas lagi.
Ini terjadi karena manusia pada saat itu memang masih berada pada tahap kesempurnaan wujud saja sementara sikap, pikiran, sifat serta perilakunya belum sempurna sebagai manusia, masih binatang yang tiada peduli, saling memakan dan saling memusnahkan.
Peradaban seibarat bumi tempat tinggal umat manusia. Peradaban pun cermin penghargaan manusia terhadap kedirinnya. Semakin tinggi peradaban manusia, mestinya semakin tinggi manusia menghargai tempat tinggalnya. Semakin menghargai, berarti semakin merawat, semakin menjaga dan akhirnya semakin nyamanlah bumi ditempati oleh manusia.
Kepunahan manusia adalah kepunahan peradabannya. Atau sebaliknya, kepunahan peradaban dapat diartikan kepunahan ladang kehidupan ummat manusia. Begitu pentingnya peradaban.
Peradabaan seibarat rumah atau ruang yang hanya dibuat oleh makhluk yang pantas mengaku manusia, yaitu makhluk yang berpikir yang mestinya memikirkan masa depannya, yang memikirkan bagaimana rumah atau ruang itu menjadi berbentuk yang ketika dihuni mencipta damai, mencipta bahagia serta menjamin kelangsungan kehidupan masa depannya.
Peradaban juga adalah seibarat rumah sementara jiwa dari rumah itu adalah budaya. Maka tepat kiranya prinsip : mengambil serta mempertahan hal-hal yang penuh manfaat lalu membuang hal-hal yang bersifat penuh mudhorat—yang bagi penulis bisa disebut sebagai benteng budaya—dan lalu mungkin, dengan prinsip itu dirancang fiqih peradaban oleh kalangan nahdliyin sebagai suatu maksud menguatkan.
Itu suatu usaha pembudayaan dan agar setiap budaya agung tidak terlempar punah melainkan tumbuh demi lestarinya peradaban agung yang umat manusia tuju. Meski untuk lestari, suatu peradaban dengan budayanya tidak hanya ditentukan oleh kegigihan melestraikan. Jauh lebih penting lagi, adalah mutu serta manfaat dari kebudayaan dan peradaban itu sendiri.
Melihat puncak peradaban umat manusia kekinian dengan era modernnya, yang ditandai megah bangunan, sistem ekonomi serta tegnologi canggihnya kadang kesadaran kita sebagai manusia tercengang tak percaya.
Betapa manusia, yang pada awalnya adalah makhluk tak berdaya, yang kemudian berevolusi menjadi sangat digjaya, dengan kecerdasan dan akalnya lalu membangun peradaban yang sebegitu hebatnya.
Namun menukik lebih dalam, peradaban maju yang di salah satu sisi sudah berhasil membangun manusia ke tingkat sejahtera dan majunya, sementara di sisi yang lain kesadaran kita akhirnya dijejali oleh kenyataan adanya dampak dari kemajuan dari peradaban yang di buat oleh manusia. Dampak itu tidak bisa kita diamkan sebagai angin lalu.
Dampak itu bukan hanya bisa menghilangkan peradaban yang sudah dibangun. Namun bisa membuat punah manusia sebagai sang pembuat peradaban itu.
Ini sebagai kecelakaan sejarah yang nyata ketika peradaban maju itu harus disusul pula oleh degradasi moral yang justru mengecilkan atau bahkan menghilangkan nilai agung martabat kedirian manusia. Disusul pula perilaku yang seolah tak bisa dihindari yaitu perilaku kejam, kehilangan rasa peduli terhadap alam sebagai tempat tinggal manusia dengan semakin parahnya kondisi iklim dunia, semakin hilangnya rasa toleransi dan rasa peduli yang tampak pada terjadinya perang demi perang sebagai ladang perebutan sumber daya dalam usaha untuk survive dan eksis peradaban.
Dalam masa modern ini setidaknya manusia sudah mengalami perang dunia ke satu, ke dua, dan perang-perang lain di berbagai belahan dunia yang di kemudian hari bisa saja menuju pada perang dunia ke tiga sebagai perang akhir peradaban.
Belum lagi kondisi kekinian dengan kemiskinan, kesenjangan, konplik masyarakat, konplik individu, krisis kemanusiaan, krisis moral, krisis iklim, kekacauan perilaku, pengingkaran atas nilai-nilai serta tumbuhnya keapatisan manusia atas nasib sesama manusia, yang kesemuanya mengancam masa depan kehidupan bahkan kepunahan umat manusia.
Maka dalam pandangan penulis, ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan agar peradaban ke depan tidak malah kembali jatuh terjerembab ke dalam kubang yang justru membawa nestapa bagi umat manusia.
Namun sebelum kita memapar jauh ke sana, ada baiknya kita sasar sedikit perihal peran manusia atas terciptanya situasi dan kondisi umat manusia di era peradaban modern kini.
Apa yang ada di hari ini sesungguhnya adalah buah karya manusia dari sejak manusia diciptakan oleh Tuhan dan memulai peradaban.
Dari keadaan ini, tentu saja semua pihak, dari kelembagaan suatu masyarakat hingga pemimpin dan individu manusia ikut andil dalam pencapaian kondisi kini, utamanya “kecelakaan sejarah” yang terjadi di era modrn ini. Dan bila kita bicara lembaga, maka itu artinya ada pula lembaga agama di sana.
Ingat lembaga agama, bukan ajarannya. Lembaga agama dengan rodanya yang bergerak oleh tangan penggerak. Ya, di balik sifat serta ajaran kebajikan yang ada dalam agama dari sejak dilahirkan sesungguhnya agama juga telah ditarik untuk ikut serta mencipta kondisi jalan celaka kekinian bagi umat manusia.
Peradaban yang kini ada juga adalah buah dari kepercayaan dan keyakinan manusia atas keberadaan Tuhan (agama) dengan segala primordialisme, sikap serta sifat suevivel dan ekspansifnya. Dengan kata lain peradaban kini adalah buah dari kehidupan manusia dalam kondisi perang yang pernah direstui serta berkobar atas nama keyakinan dan terjemah agama.
Itu membenarkan ungkapan orang-orang bijak, tunas dari pohon yang penuh duri pastilah juga dahan dan ranting yang berduri-berduri. Dan itu akan terus berulang. Artinya manusuia akan terjebak lagi di kemudian hari dalam situasi yang sama.
Namun hari ini, umat manusia mulai berpikir bahwa kecelakaan sejarah itu sudah harus diakhiri. Kalangan agamawan, yang entah sadar atau tidak bahwa sesungguhnya lembaga agama sudah ikut menyumbang kondisi kecelakaan sejarah itu, harus menjadi salah satu yang terdepan dalam hal mencipta, membenahi dan memelihara peradaban.
Dan memang akhirnya tampak kaum agamawan, dalam hal ini islam, dengan para pengikut yang faham jalan lurus sebagai titah kitab suci dan sunnah suci kenabian, merasa bertanggungjawab atas masa depan ummat manusia.
Tangguñg jawab itu bisa saja diperkuat oleh landasan yang salah satunya bunyi kitab suci dan hadist yang maknanya kurang lebih sama bahwa yang tidak mengikuti petunjuk setelah datang petunjuk maka akan tersesat jalan. Jalan sesat itu menjadi bukti kini betapa ummat manusia mengalami kecelakaan sejarah.
Dengan hal di atas bukan lantas ummat islam sombong dengan kebenarannya tapi harus menjadi alasan untuk membenahi peradaban dunia.
Namun kita juga sangat tahu mencipta peradaban yang diartikan menerapkan aturan tuhan dengan kitab sucinya secara literluc, tidak akan menyelesaikan permasalahan dan malah bisa memunculkan tatanan yang merusak oleh karena batasan antara tuhan dan manusia memang berbeda.
Kaum agamawan yang bijak sangat tahu hal itu. Tinggallah akhirnya kita membuat jembatan antara kitab suci di mana terkandung nilai-nilai maksud tuhan dengan kemampuan keberadaan manusia sebagai makhluk yang tak berdaya.
Sementara jembatan yang telah kita buat selama ini yang telah menghasilkan peradaban ke arah “kecelakaan sejarah” itu, artinya, di sina ada cara tafsir, cara jabar atau lebih tepat penulis sebut sebagai “cara identifikasi” atau “cara adaptasi”, sebab kata tafsir atau jabar lebih berkonotasi literluc. Ya, cara adaptasi kitalah yang keliru di situ.
Maka kesimpulannya, sehebat dan sesempurna apa pun kitab suci bila diadaptasi atau diidentifikasi secara keliru akan menghasilkan manusia-manusia dengan langkah, tingkah laku, pemikiran serta peradaban yang keliru yang kita sebut “kecelakaan sejarah” itu, dan pada akhirnya akan menuju kepada peradaban yang tidak berkesesuaian lagi dengan harapan masa depan umat manusia yang ujungnya tentulah keruntuhannya.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, tentu saja membuat kita semua dan dalam hal ini terutama kaum agamawan yang sadar, mesti arif dalam menilai serta berusaha menerapkan tradisi-tradisi kehidupan.
Kita bangsa ketimuran yang memiliki akar nilai budaya ketimuran dengan nilai-nilai agama di dalamnya. Kita memiliki jiwa dengan semangat kearifan lokal yang luhur dan bijaksana.
Ini semua bahan atau modal bagi landasan kita untuk mulai berpikir tentang peradaban masa depan. Sebab memang kita tidak ingin meninggalkan segala nilai dan tradisi baik yang kini kita punya.
Segala tradisi dan budaya dengan segala nilai-nilainya adalah kekayaan bagi manusia itu sendiri dan tentu pula kekayaan bangsa dengan manusia-manusia cerdas di dalamnya. Dan itulah yang di sebut benteng peradaban atau benteng budaya bangsa.
Dengan benteng itu kita akan siap berhadapan dengan suatu masa depan yang penuh pernik budaya yang berkemajuan dengan segala arus baik dan buruknya.
Dan kembali kepada ungkapan penulis di atas, setidaknya ini pikiran yang sedang bergumul di kepala penulis. Ada beberapa hal yang terpikir oleh penulis agar peradaban ke depan tidak jatuh terjerembab ke dalam kubang yang justru membawa nestapa bagi umat manusia.
Yang pertama, peradaban jangan berorientasi ke masa lalu.
Manusia hidup bukan tiba-tiba ada dalam wujud dewasa dan lalu mampu berpikir dewasa. Manusia berangkat dari bayi lalu remaja menuju dewasa dan tua.
Tidak cukup menjalani fase-fase itu, agar manusia menjadi sempurna bisa disebut manusia yang berkepribadian baik artinya memiliki budaya tinggi, manusia harus mau mensosialisasi diri, yaitu belajar, menyerap dan memahami berbagai bentuk serta warna kehidupan di sekitarnya.
Cerminan sosialisasi diri sebagai fase demi fase pribadi ini dapat dipandang sama sebagai cerminan suatu perkembangan masyarakat. Suatu pribadi yang semasa fase-fase hidupnya kurang sosialisai diri dan semasa fase hidupnya lebih dipenuhi satu arah pengetahuan maka kecenderungan hidupnya bergumul dengan pembenaran atas yang ia tahu dan fahami lalu menampik kebenaran lain di sekitar kehidupannya.
Dan bila pribadi-pribadi semacam ini berkumpul, maka sudah bisa ditarik kesimpulan masyarakat yang terbentuk cenderung memiliki satu arah pandang yang sama atau sealiran.
Masyarakat atau individu yang demikian, cenderung menganggap kebenaran hanya ada di sisi hidupnya karena ketiadaan pembanding dari warna kehidupan yang lain. Padahal dalam kekinian, kebenaran itu sudah merupakan sesuatu yang terhampar di mana manusia berhak hidup atas yang ia miliki dan yakini oleh sebab serap budaya telah mengkodratkan kebedaan dalam setiap jengkal tanah tempat hidup dari berbagai warna manusia.
Masyarakat atau individu yang demikian, jika dari suatu kelompok agama ( islam misalnya) dan jika bicara masalah sejarah (tentang Islam) misalnya, maka kecenderungannya akan menganggap masa lalu adalah kebenaran agung sebab mereka tak pernah ingin belajar dari hal lain, membuka diri atas pergaulan, fakta dan kenyataan kehidupan lain dalam kekinian.
Masyarakat atau individu demikian, dalam pengagungan terhadap masa lalunya pun berkecenderungan menganggap segala unsur dari segala kehidupan masa lalu yang bisa kita kemas dalam satu nama sebagai “peradaban masa lalu” adalah panutannya.
Untuk memperkuat pendapat ini, penulis pernah suatu saat wawancara tersembunyi dalam bentuk ngobrol dengan orang per orang dari kelompok atau aliran islam tertentu dengan latar belakang pengetahuan mereka seperti yang penulis gambarkan di atas.
Maka sangat jelas bisa ditarik kesimpulan bahwa mereka keras mempertahankan pendapatnya yang berkecenderungan menginginkan masyarakat kini seperti masa-masa di awal islam.
Bagi penulis, kita bukan tidak menghargai pendapat serta keinginan dari saudara-saudara kita yang tampak sangat mencintai islam. Namun dalam pikiran penulis, ada hal yang tidak loghis dari keinginan mereka.
Untuk memperjelas gambaran tentang peradaban masa lalu, agar kita bisa menarik hikmah dari masa lalu itu, coba secara singkat kita paparkan sejarah peradaban islam. Di mana sejarah peradaban islam dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama, adalah periode islam klasik.
Masa ini bersamaan dengan masa eksfansi di mana waktu itu memang pusat-pusat kekuasaan dunia dalam kondisi saling menaklukan. Bersama kemenangan demi kemenangan yang diraih, kemudian islam mencapai masa kejayaan atau masa keemasan di mana islam menjadi kiblat dunia, ilmu pengetahuan berkembang pesat, para ilmuwan, para imam serta ahli fiqih bermunculan.
Fase ke dua, periode pertengahan
Fase ini umat islam mengalami kemunduran yang diawali oleh desentralisasi kekuasaan pemerintahan. Berlanjut terjadinya disintegrasi yang ditandai dengan perang demi perang sesama muslim terjadi, politik perebutan kekuasaan dan saling menjatuhkan, perpecahan demi perpecahan semakin meluas samapi pada perpecahan terbesar yaitu semakin melebarnya perbedaan dan pertentangan antara islam sunni dan islam syiah.
Kemudian keterpecahan itu menjadi keterpecahan islam secara geografis antara islam arab dengan wilayah-wilayah sebagai pengikutnya, dan islam persia pun dengan berbagai wilayah yang menjadi pengikutnya.
Pada masa kemunduran ini pernah ada usaha umat islam untuk bangkit dengan kemunculan kerajaan-kerajaan besar di berbagai belahan dunia. Utsmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India.
Namun tetaplah akhirnya kejayaan itu tidak bisa diraih lagi. Kiblat ilmu pengetahuan dan secara umum kiblat peradaban telah berubah ke pada belahan dunia lain.
Fase islam modern
Masa ini, disebut sebagai fase islam modern karena islam memang berada dalam suatu masa di mana manusia secara keseluruhan telah masuk dalam suatu peradaban modern. Namun sayangnya pada fase ini, islam dengan masyarakatnya hanyalah masyarakat yang malah mengagumi kemasyhuran serta kemajuan peradaban belahan dunia lain.
Kita sangat ingat bagaimana para tokoh islam sendiri pernah berpendapat bahwa mereka menemukan peradaban yang maju dan islami itu di negeri lain yang secara jumlah penduduk pengikut islamnya minim.
Islam di masa ini malah terpecah. Atas kemajuan dunia lain itu, secara fsikologi mempengaruhi kejiwaan umat, ada sebagian umat islam yang merasa dulu ketika jaya, oleh sebab tangan-tangan merek para musuh kejayaan itu runtuh sehingga kini mereka merasa tertekan dan merasa terjajah.
Berangkat dari situ maksudnya ingin merintis suatu cara kebangkitan lalu mengambil sikap perlawanan seolah masih meneruskan perlawanan perang di masa islam klasik dulu. Untuk menguatkan tujuan serta caranya, mereka menanamkan jiwa syahid dan kerelaan berkorban seperti di zaman suci kenabian.
Sementara masyarakat islam yang lain, mengambil sikap mengikuti kehendak sejarah dunia dengan mencoba mencari-cari apa penyebab sehingga peradaban islam jatuh bersama usaha untuk bangkit ingin menampakkan muka sebagai bagian dari peradaban dunia di mana islam pernah mencapai masa jaya.
Dengan berbagai aliran di dalam islam sendiri, dalam masa modern ini, islam justru malah tampak sebagai masyarakat yang belum selesai dengan problem kediriannya sendiri. Perpecahan oleh beda faham bahkan hal sepele pun kerap menjadi hal besar untuk saling menjatuhkan.
Belum lagi persoalan benturan ideologi yang membuat pihak luar makin bersemangat mengipasi. Bahkan bukan sekedar mengipasi. Pada saat tertentu pihak luar akan ambil bagian dalam konplik dengan memihak kepada yang diperkirakan mendatangkan keuntungan.
Sangat jelas terpampang dua ideologi besar yang berperang diantara umat islam sendiri, yaitu islam garis keras dan islam garis moderat. Konplik berbagai aliran, juga persoalan politik islam sunni dan islam syiah yang tak kunjung usai. Makin parahlah kondisi kejiwaan umat islam dalam masa yang disebut sebagai masa modern ini.
Kembali kepada persoalan individu-individu atau orang-orang sebagai pengagum masa lalu yang sangat berhasrat mengembalikan peradaban kepada masa lalu, masa suci kenabian dan ekhalifahan.
Dalam pandangan penulis, benarlah bahwa kehidupan pribadi-pribadi agung tertentu dari manusia terdahulu bisa menjadi panutan. Namun yang menjadi panutan itu adalah nilai-nilai dari kehidupan itu. Sementara sistem dan cara berkehidupan di masa itu tentulah berbeda dengan masa kekinian.
Nah, barusan kita menyebut kata sistem. Mari coba sedikit kita elaborasi. Ini penting karena sangat berhubungan dengan peradaban. Berbicara masalah peradaban, kita tidak akan lepas dari masalah sistem kenegaraan atau sistem pemerintahan atau sistem kekuasaan.
Karena pusat kendali peradaban adalah kekuasaan. Runtuhnya sistem ekuasaan, kecenderungannya akan diikuti oleh runtuhnya peradaban.
Peradaban islam yang mundur di masa modern, membuat para pemikir islam mencari-cari apa sebab kemunduran peradaban islam sejak dimulai dulu.
Terlalu banyak penyebab kemunduran itu dari mulai perpecahan, kemunculan pusat peradaban baru, ketiadaan ideologi pemersatu (persoalan ideologi ini nanti akan kita bahas lebih detil lagi), hingga salah perhitungan perang sehingga satu-satunya sisa kekuatan peradaban islam yaitu turki ustmani yang satu blog dengan jerman yang kalah ketika perang dunia 1, akhirnya ikut mengalami kehancuran.
Namun satu diantara sebab lain yang ingin sedikit kita elaborasi adalah mulai terjadinya berbagai tuntutan yang berakibat terjadinya desentralisasi kekuasaan di zaman itu. Bisa kita fahami bahwa sistem kekuasaan kala itu adalah sentralistik atau terpusat kepada khalifah. Mulai dari sentralistik persoalan agama, hukum, ekonomi dan sebagainya.
Sementara ketika sentralistik itu di masyarakat bergeser menuju desentralistik sesuai tuntutan zaman, maka goyah dan lemahlah sistem kekhalifahan. Tuntutan zaman menghendaki sistem masa lalu itu berubah.
Dan ketika perubahan itu tidak terakomodir, kemunduranlah yang terjadi. Maka dapat dipastikan bila suatu peradaban berkecenderungan orientasinya adalah masa lalu, akan berbenturan dengan kenyataan kehidupan kekinian.
Peradaban masa lalu dengan budaya serta kondisi perang, misalnya, tidak akan pas dengan budaya kekinian yang sudah harus meninggalkan sikap-sikap permusuhan.
Zaman-zaman suci kenabian, zaman-zaman ekspansi masa kehalifahan dan sentralistiknya walaupun dalam hal-hal tertentu mungkin ada hal baiknya, namun secara keseluruhan sistem itu tak mungkin lagi diterapkan di zaman sekarang di mana demokrasi adalah satu-satunya sistem terbaik di puncak peradaban ini.
Sistem demokrasi entah itu berasal dari Barat atau dari manapun, adalah keniscayaan terbaik yang tak bisa ditolak di masa kekinian. Zaman awal peradaban Islam dulu dengan sistem yang ada pada saat itu memang bisa mencapai kejayaan. Namun jangan lupa, masa itu kondisi memang menghendaki, persoalan dan tantangan pun tidak sekomplek dan serumit di masa kini.
Pun demikian bagi umat kristiani di belahan negeri lain yang identik dengan peradaban baratnya. Walau tonggak peradaban mereka di mulai di masa Yunani dan Romawi, tak mungkin mereka mengulang sistem, cara hidup dan budaya hidup seperti pada waktu itu.
Tak mungkin mereka kembali pada sistem kekuasaan seperti kekaisaran Yunani atau Romawi. Walau misalnya sampai di barat ada tuntutan garis keras seperti tuntutan garis keras yang ada pada islam untuk kembali mengagungkan sistem kekuasaan berlandaskan agama, tak mungkin, tak mungkin mereka akan kembali kepada kekuasaan gereja seperti di abad pertengahan yang penuh kegelapan.
Sebab masa renaisans, aufklarung sampai revolusi industri sudah mereka lalui sehingga menghantarkan mereka kepada era kebebasan dan peradaban modern ini.
Hanya manusia bodoh yang masih berpikir ingin kembali ke masa lampau.
Pun walau misal kaum kristiani harus menghadapi sikap garis keras islam yang mengobarkan keterusan perjuangan syahid jihad zaman suci kekhalifahan, hanya demi semangat perlawanan, tak mungkin kaum kristiani di Barat mengubah sistem, cara dan budaya hidupnya untuk kembali ke zaman dan cara hidup seperti pada zaman perang salib yang memang semangat perlawanan untuk memenangkan setiap pertempuran itu sangat besar.
Di sisi lain, kesadaran manausia dengan akal budinya rasanya sudah tidak berkesesuian lagi jika untuk eksis hidup di masa kini digantungkan pada sikap menyerang, membunuh atau saling memusnahkan.
Jika pun masih ada keharusan atau keterpaksaan ketika ada dalam kondisi demikian, maka peradaban, budaya serta perilaku kekinian yang sesuai adab serta tahap dari pencapaian kesempurnaan manusia yang sudah harus ada dalam altar tertinggi perikemanausiaan, akan mengikis hal-hal yang demikian.
Mengikis, masuk dalam pengertian peduli dengan kondisi itu. Peduli, artinya pula berusaha mencarikan jalan keluar, mendamaikan atau menyelesaikan, mencipta hal baru yang lebih berkesesuaian.
Dunia sudah harus menempuh arah baru. Dunia dengan segenap masa lalunya terutama yang berangkat dari tradisi perang harus ditinggalakan.
Dunia masa lalu sampai batas di hari ini entah sadar atau tidak, entah disengaja atau tidak, juga adalah dunia yang terseting atau diarahkan oleh ideologi liberal kapitalis dan teori Darwin “survival of de vittes” atau oleh “homo homini lupus” miliknya De Hobbes.
Dan dunia masa lalu sampai batas hari ini adalah dunia yang tak lama lagi akan kita sebut sebagai peradaban lama.
Dunia lama yang di atas penulis katakan sebagai yang terjadi karena juga andil lembaga “agama” yang seolah merestui sikap permusuhan demi eksistensi diri, yang merestui sikap ekspansif atas nama mencapai kejayaan, mempertahankan diri dan keyakianan, yang tanpa sadar lalu ikut membesarkan pola-pola pikir pemusnahan serta isme-isme dunia yang dalam kenyataan akhirnya mengarah pada menjerumuskan peradaban yang kita rasakan kini sebagai suatu kecelakaan.
Ya, dunia yang sebenarnya kacau itu. Dan apakah kita akan menyalahkan pihak-pihak yang seolah telah merestui juga seolah telah menyeting sejarah manusia sehingga melakukan upaya saling memusnahkannya? Rasanya juga tak sampai pada pengadilan seperti itu dalam takaran pikir keinteletualan kita.
Kita hanya menyesali bahwa akal budi kita tidak pernah menemukan atau berupaya untuk suatu pembaharuan sehingga mampu menempatkan kemanusiaan di atas altar sesuai maksud penciptaan oleh Tuhan.
Kita akhirnya menjadi maklum bahwa itu bagian dari evolusi berpikir kita sebagai manusia yang ketika itu belum sampai di titik kebenaran yang sesungguhnya.
Dan atas kenyataan sejarah masa lalu kita yang kelam, kesimpulannya, masa kini harus dihadapi dengan budaya, pola pikir dan cara hidup kekinian. Setiap zaman dengan masalahnya, menyediakan bentangan jalan keluar yang berbeda untuk setiap masalahnya.
Masalah hari ini harus kita hadapi tidak dengan paradigma masa lalu melainkan dengan paragima masa kekinian. Sementara masa depan, kita hadapi dengan pola pikir yang berdasarkan kajian atas tantanagan yang akan kita hadapi di masa depan.
Yang ke dua, peradaban jangan sekedar meneruskan.
Hari ini, peradaban umat manusia sudah sampai pada era puncak yang kita sebut era modern namun di sisi lain menyisakan dampak kekumuhan perilaku sebagai kecelakaan sejarah yang cepat atau lambat, sadar atau tidak sadar kita sedang menuju pada titik kemusnahan.
Sebagaimana yang sudah kita papar dia atas, coba lihat perjalanan sejarah dunia yang semakin mengakumulasi ke dalam kondisi buruk, perang dunia ke satu, ke dua, dan perang-perang lain di berbagai belahan dunia yang di kemudian hari bisa saja menuju pada perang dunia ke tiga sebagai perang akhir peradaban.
Perang-perang itu tidak lain karena perebutan sumber daya dalam rangka eksistensi manusia dan peradabaannya. Dengan ideologi kebebasan yang seolah disyahkan oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang harus melawan dan saling memusnahkan, maka dunia tidak akan terbendung oleh tujuan peradaban yang malah memusnahkan peradaban.
Belum lagi kemiskinan, kesenjangan, konplik masyarakat, konplik individu, krisis kemanusiaan, kekacauan perilaku, pengingkaran atas nilai-nilai serta tumbuhnya keapatisan manusia atas nasib manusia lainnya, yang kesemuanya mengancam masa depan kehidupan atau kemusnahan.
Dengan segala kondisi di atas, dapat kita katan bahwa peradaban Barat modern semakin menuju dan bahkan telah kehilangan ruh kemanusiaannya.
Ya, manusia sebagai penyelenggara, pewaris serta penjaga dunia dengan kehidupannya, yang seharusnya memperpanjang nyawa kehidupan namun malah membuat kubur kemusnahan.
Di balik kumuh perilaku dan kecelakaan sejarah yang akan kita tuju, bagi penulis sangat beruntung lahir suatu sikap di kalangan ilmuwan yang masih mau mengkritisi era modern ini.
Seperti yang kita tahu, di balik efouria, meriah dan megahnya pencapaian manusia dalam peradaban yang di sebut era modern ini, lalu muncul suatu masa dengan wacana yang kemudian disebut postmodernnisme.
Era postmodernnisme adalah era di mana kaum berpikir menggugat keberadaan modernnisme yang malah mencipta peluang untuk menjurus kepada penciptaan kecelakaan sejarah umat manusia.
Dan menurut penulis, postmodernnisme adalah nilai-nilai yang seharusnya membuat manusia berpikir kenapa, bagaimana dan harus apa, atas gejala kemusnahan yang akan terjadi dari akibat kemajuan peradaban modern yang sudah dijalani ini.
Namun dalam kekinian, kenapa postmodernnisme seakan tenggelam tanpa gaung lagi. Itu karena kebutuhan manusia jauh lebih besar dari sekedar berbicara nilai atau membayangkan kehancuran masa depan.
Postmodernnisme hanya menjadi wacana di kalangan pemikir yang memikirkan nilai. Sementara modernnisme lebih nyata sebagai kebutuhan kini yang tidak bisa ditunda untuk dipenuhi.
Nah hubungannya dengan peradaban baru yang akan digagas dan dipikirkan oleh para pemikir moral, para pemikir nilai dan ahli kebudayaan, bahwa kritik postmodernnisme atas modernnisme adalah landasan bagi peradaban dengan kebudayaannya yang akan terjalani dan terbudayakan di masa depan.
Masa depan akhirnya mendapat semacam rel atau jalan yang sedapat mungkin terjauhkan dari kecelakaan. Masa depan akhirnya diwarnai oleh pemikiran-pemikiran yang bernilai demi kecelakaan sejarah umat manusia tidak semakin parah.
Tapi mungkinkah modernnisme akan mampu terbendung hanya sekedar oleh wacana paradigma nilai belaka? Sementara modernnisme adalah kebutuhan kekinian manusia?
Jawabannya sangat jelas, agar peradaban baru beserta kebudayaan yang mengiringinya, minimal tidak bulat-bulat meneruskan budaya yang sekarang ada.
Postmodernnisme bahkan harus menjadi bukan sekedar wacana dan warning melainkan nyata sebagai dasar bagi munculnya peradaban baru yang tetap modern namun menjadi lahan pula bagi pembudayaan sendi-sendi kehidupan yang jauh dari mencipta kecelakaan sejarah.
Pembudayaan artinya mengarah pada pelestarian terhadap hal-hal yang penuh nilai. Namun juga bisa berarti mencipta hal-hal baru yang agung yang juga penuh nilai. Akhir dari itu, peradaban adalah ruang yang mencipta ruang bagi keberlangsungan kehidupan, bukan kemusnahan.
Yang ke tiga, peradaban harus memiliki arah atau panduan yang bisa kita sebut ideologi.
Peradaban yang telah manusia jalani dari sejarah karya dan karya umat manusia, sejarah perang dan saling memusnahkan sehingga sampai pada titik modern ini, benarkah adalah peradaban yang berjalan atas dasar evolusi yang alami?
Apa yang membuat peradaban Barat akhirnya menelurkan faham liberalis kapitalis? Tentu adalah situasi dan kondisi kemasyarakatan Barat pada waktu itu.
Di mana masyarakat Barat menghendaki persamaan dan kebebasan setelah mereka melewati masa-masa gelap kekuasaan gereja dan masa kekuasaan feodal. Lalu dikuatkan pula kondisi pertentangan dengan faham lain semisal dengan sosialis komunis.
Namun kemudian, dalam situasi kehidupan dunia Barat yang gandrung akan kebebasan dan sikap perlawanan terhadap sosialis komunis, lahir lagi teori seleksi alam Darwin yang seakan melegitimasi atau membenarkan sikap manusia yang menganggap manusia lain adalah pesaing atau lawan bagi dirinya.
Untuk survive dan tetap eksis mau tidak mau manusia harus saling mengalahkan dan itu bisa berarti saling membunuh sebagai bentuk dari seleksi alam.
Ya, dari kelahiran faham liberalis kemudian lahir Darwinisme, tampak ada benang merah yang saling menguatkan di antara ke duanya. Meski itu bisa difahami sebagai suasana kejiwaan eropa di masa revolusi itu.
Namun kondisi zaman, pada kenyataan dan keterusannya adalah suatu keadaan yang akhirnya mau tidak mau terkondisi oleh maksud dari faham dan teori itu, di mana manusia akhirnya berperilaku menjadi seakan syah saling memusnahkan yang terlihat dari perang demi perang yang tidak dapat dielakkan.
Sementara di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana kebebasan berperilaku manusia dari akibat ideologi liberalisme dan kapitalisme.
Nah, maksut penulis mengulas sedikit tentang liberalis dan Darwin, untuk mengungkap fakta bahwa sesungguhnya perjalanan peradaban manusia bahkan tingkah laku manusia sesungguhnya dapat di rekayasa, diarahkan atau di seting sesuai kemauan besar kemana peradaban hendak menuju. Di situlah peranan ideologi.
Dan jika kita amati, peradaban islam misalnya, sejak masa dimulai sejarah keberadaan islam, belum pernah penulis tahu ada suatu pemikiran yang kemudian bisa mengarahkan akhir dari peradaban islam di kemudian hari adalah begini atau begitu. Atau karena keterbatasan pengetahuan penulis sehingga tidak cukup tahu.
Namun setahu penulis ada tafsir-tafsir ke agamaan yang berupa hadist hadist yang memperkirakan keterpecahbelahan umat islam menjadi sekian.
Sementara pemikiran yang secara spesifik membuat arah agar menuju kepada kemajuan masyarakat islam itu belum penulis dapati. Baik ketika islam ada dalam fase keemasan maupun ketika islam ada di fase pertengahan dan di masa modern.
Yang penulis temui pada fase awal serta fase peretengahan hanyalah tipe masyarakat feodal yang tunduk kepada raja atau khalifah.
Ketiadaan perkembangan masyarakat islam dalam usaha menuju masyarakat modern sesuai ciri keislamannya, dapat dimaklumi karena islam sejak berdiri dan sejak ditinggal Nabi wafat selalu dilanda perang saudara.
Kekuasaan demi kekuasaan islam jatuh bahkan kadang oleh kelompok-kelompok yang ada di islam sendiri. Islam di hadapkan pada persoalan dirinya sendiri. Islam belum sempat mengalami fase konsolidasi ketika kendali peradaban akhirnya beralih ke tangan di luar islam.
Sementara yang terjadi pada masyarakat Barat, memang fase-fase awal peradaban yang mereka lalui adalah dalam kerangka alamiah, sebuah proses atau evolusi dari sejak dimulai era kekaisaran yunani dan romawi, masa renaicans, aufklarung hingga terjadi revolusi industri, tampak semuanya berjalan karena sebab yang alami.
Nah barulah setelah ada di antara masa revolusi industri sampai pada awal modern, mulai ada penekanan pada tonggak-tonggak suatu rumusan dengan tujuan penciptaan suatu tatanan masyarakat tertentu. Rumusan itu penulis sebut ideologi.
Seperti yang kita tahu, secara garis besar ada dua ideologi besar yang muncul kala itu, yaitu ideologi kapitalis liberalis yang bertujuan mencipta masyarakat liberal kapitalis, kemudian ideologi komunis sosialis yang bertujuan mencipta masyarakat komunis sosialis.
Ideologi adalah buah dari peradaban. Sementara suatu kondisi masyarakat tertentu akan mencipta pemikiran atau rumusan tertentu dalam usaha mencapai cita-cita tertentu. Pemikiran tertentu itu seperti kita sebut di atas sebagai ideologi.
Perkembangan pesat masyarakat liberalis kapitalis sesungguhnya juga didorong oleh kondisi perseteruan dengan tipe masyarakat sosialis komunis. Kristalisasi masyarakat yang anti komunis sosialis adalah terciptanya masyarakat liberalis kapitalis.
Dan seperti kita tahu perkembangan selanjutnya perseteruan antara ideologi liberal kapitalis dan ideologi sosialis komunis berujung pada perseteruan antara dua blok negara besar yaitu AS dan US.
Sebenarnya, kita tidak bisa menutup mata bahwa di dalam faham sosialis komunis ada nilai-nilai. Dan sesungguhnya masyarakat sosialis komunis itu bisa diwujudkan bila saja kemunculan kesadaran masyarakat sosialis komunis itu tidak insidental dalam artian kemunculan nya dengan teori marxisnya tidak di waktu ketika ingin menghadapi kaum pengusaha kapitalis serta kaum borjuis bebas yang semena-mena.
Melainkan kesadaran mewujudkannya dimulai dari suatu fase masyarakat awal yaitu masyarakat meramu. Suatu fase masyarakat yang telah tertinggal jauh. Dalam fase awal masyarakat meramu itulah sesungguhnya ciri-ciri sosial komunal itu masih melekat.
Namun ketika masyarakat sudah mengalami suatu fase berkembang apa lagi sudah ada di tahap modern yang sudah semakin terdeferensiasi, masyarakat sosialis komunis itu sulit diwujudkan.
Tapi misalnya masyarakat sosialis komunis mampu dibentuk sedari awal masyarakat meramu pun, dalam pandangan penulis, tetaplah di sana akan melewati suatu garis batas hak dan kemanusiaan, di mana perkembangan manusia akan mengenal rasa hak dan kemanusiaan itu.
Hak dan kemanusiaan itu adalah rasa ingin hidup, rasa memiliki, rasa berdikari, rasa ingin berkumpul, rasa ingin berpendapat, rasa ingin berkembang dan ingin menjadi sesuatu yang lain, rasa narsis, dan rasa-rasa lain yang di dalam masyarakat sosialis komunis mungkin terbatasi.
Lalu ujung dari masyarakat sosial komunis itu tak lain adalah masyarakat liberal kapitalis. Meski kemudian keliberalannya sesuai takaran atau kebutuhan, yang berati akan berbeda-beda sesuai kondisi serta kehendak umum masyarakatnya.
Pada akhirnya perseteruan antara kedua ideologi besar dunia itu di menangkan oleh masyarakat liberalis kapitalis. Seperti kita tahu, pihak pemenang perang tentu saja akan menguasai pasar, bebas berkehendak bahkan bebas menguasai dunia dengan segala cara dan pembenarannya.
Dan perseteruan ini menghasilkan peradaban modern yang tentu saja dapat dikatagorikan sebagai peradaban perang.
Banyak hal di pasar yang bisa kita katagorikan sebagai ciri dari benda-benda atau perilaku modern dari peradaban dan budaya perang.
Tidak usah jauh-jauh, misalnya saja gadjed atau HP yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil dari persaingan dan mungkin di dalam mesin HP itu ada disiapkan aplikasi atau fitur-fitur yang kegunaannya untuk menyadap, merusak atau apapun yang sifatnya untuk mengalahkan lawan dalam hal ini lawan sesama produsen HP.
Lalu ada lagi perilaku yang dapat dikatagorikan sebagai perilaku dari peradaban serta tradisi perang yang liberal, kapitalis individualis dan ditujukan untuk survive bahkan pemusnahan lawan.
Misalnya perilaku menyogok pembuat undang-undang demi mendapat dan digulirkannya undang-undang yang akan memuluskan keinginannya untuk mendapat kemudahan lahan tambang yang tambang itu akan digunakan sebagai mencari kaya, survive serta eksis diri, dan eksis kelompoknya.
Segala benda-benda dan contoh perilaku di atas, dari mana lagi sumber gagasannya kalau bukan berangkat dari sifat, situasi dan kondisi kejiwaan perang atau kejiwaan untuk survive dan keinginan untuk menang.Apalagi ideologi atau pandangan yang meliputi jiwa manusia nya adalah ideologi yang membiarkan, mensyahkan, membolehkan, memfasilitasi atau bahkan menganjurkan untuk sang manausia melakukan hal itu demi tujuan keuntungan, survive dan keekstensian.
Dan sekali lagi penulis sebut, bahwa perseteruan antar dua ideologi yang terlibat perang ini akhirnya dimenangkan oleh ideologi Barat dengan Liberal kapitalisnya.
Ada banyak hal yang membuat ideologi Barat dengan liberal kapitalisnya memenangkan perseteruan. Salah satu sebab terbesarnya, dibanding ideologi komunis sosialis, ideologi Barat lebih tidak menetang kehendak manusia dengan kemanusiaannya, yaitu kehendak untuk berdemokrasi dan kehendak untuk bebas memiliki.
Bila didekatkan dengan prinsip keagamaan pun ideologi ini tidak bertentangan karena agama mengakui hak kepemilikan, hak membela, mencari dan memilki.
Itulah maka di atas kita sebut agama dengan kelembagaan yang digerkkan oleh manusia di dalamnya ikut menyumbang atas kebesaran isme-isme dunia, termasuk menyumbang terhadap kebesaran ideologi liberalis kapitalistik.
Dan lihatlah betapa lembaga agama saat ini malah ada dalam lingkar kapitalistik dengan berlomba-lomba mencari kekayaan dengan alasan demi mensejahterai anggota umatnya.
Sementara kapitalis sendiri pun berasal dari tradisi dan nilai etik agama. Dalam hal ini etik kristiani, yang artinya memang lembaga agama adalah awal dilahirkannya gagasan tersebut.
Setelah kemenangan Barat dengan ideologinya, selain sifat dari ideologinya yang bebas, ditambah kemenangan barat atas perseteruannya dengan ideologi blok timur, tak ayal segala hal di sudut dunia adalah pembenaran atas nama kebebasan.
Sementara sistem yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kekeuasaan Blok Barat menjadi mesin pencari untung demi survive dan semakin eksisnya kelompok mereka menguasai dunia.
Sesungguhnya ini wajar. Wajar dalam artian bagi setiap pemenang pasti akan bertindak begitu. Wajar pula bagi manusia yang dihinggapi sifat ideologi kebebasan tersebut akan berkecenderungan berperilaku bebas seperti itu.
Dan atas nama kebebasan, karena kita pun butuh dengan kebebasan itu, kita memaklumi serta tidak terlalu ambil pusing, artinya kita tidak iri, tidak kecewa atas keberuntungan pihak-pihak mereka (kaum kapitalis) yang mendapat hasil dari kebebasan dan usaha mencari untungnya.
Ya, kita tidak mempermasalahkan kaum kapitalis yang mencari untung dari segala usahanya.
Namun, kekinian akhirnya kita berpikir tentang suatu dampak dari kebebasan itu. Lihat dunia kini.
Seperti yang sudah kita paparkan di atas, setidaknya dalam masa modern manusia sudah mengalami perang dari perang dunia ke satu, ke dua, dan perang-perang lain di berbagai belahan dunia yang di kemudian hari bisa saja menuju pada perang dunia ke tiga sebagai perang akhir peradaban umat manusia.
Belum lagi kondisi sosial kekinian dengan kemiskinan, kesenjangan, konplik masyarakat, konplik individu, krisis kemanusiaan, kekacauan perilaku, pengingkaran atas nilai-nilai serta tumbuhnya keapatisan manusia atas nasib sesama manusia, yang kesemuanya mengancam masa depan kehidupan bahkan berakibat kepunahan umat manusia.
Semua itu adalah dampak dari pencapaian peradaban manusia modern kekinian. Sementara di dalam peradaban manusia modern itu telah kita ketahui ada suatu ideologi, di mana ideologi itu merestui bahkan jalan dan acuan bagi tindak manusia yang akhirnya mencipta berbagai dampak sebagai kecelakaan sejarah bagi peradaban manusia.
Dan dengan ideologi liberalis kapitalis itu, walau sudah membawa umat manusia ke titik modern yang didambanya, namun suka tidak suka kaum potsmo akhirnya menemukan alasan kuat atas gugatannya.
Dan dalam pandangan keintelektualan, inilah ladang dan saat yang tepat kaum postmodernnisme membuktikan bahwa pemikiran mereka bukan sekedar menggugat dalam bentuk wacana apalagi ruang hampa, melainkan bukti lalu menunjukkan lahan yang mesti dibenahi.
Dengan kenyataan bahwa bicara peradaban pada akhirnya akan terfokus pada persoalan ideologi, kita bisa melihat betapa pentingnya peranan ideologi bagi terciptanya kondisi kejiwaan manusia yang hidup dinaungi ideologi itu untuk suatu peradaban yang dituju.
Dapat kita simpulkan pula bahwa dengan ideologi dan segala perangkat sistemnya manusia bisa kita rekayasa atau kita kondisikan. Sebuah masa depan itu bisa kita sekenariokan agar bisa mencapai peradaban yang kita inginkan.
Caranya?
Tinggal lagi, salah satunya dengan prinsif mengambil yang maslahat membuang yang mudhorat, kita menginfentarisir segala hal baik yang mengarah kepada hal baik yang pernah manusia cipta dalam peradabannya.
Sementara hal-hal buruk dan pencapaian yang menghasilkan hal buruk selayaknya kita tinggalkan. Berangkat dari situ, langkah selanjutnya adalah pembudayaan.
Dari timur, apa yang bisa kita ambil dari perikehidupan dan pola serta budaya ketimuran. Indonesia, selain memiliki budaya luhur dalam keyakinan agama yang kuat, juga memiliki adat budaya sebagai kearifan lokal dengan sikap-sikap santun ketimurannya.
Dan islam, bisa saja menjadi penguat yang meletakkan budaya budaya baik nan agung yang tersebar itu menjadi tradisi keagamaan yang bernilai ketuhanan. Ini gambaran kecil saja. fiqih peradaban mungkin salah satunya. Sementara secara luas, tentulah para ahli bisa menggali lebih dalam lagi.
Islam harus jembar dan cerdas berpikir untuk bisa menerima budaya-budaya dari luar sebagai yang memperkaya khasanah kebudayaan islam sendiri. Sikap kaku seperti aliran-aliran yang seolah bertujuan pemurnian islam misalnya, harus kita letakkan di sebuah panci lalu kita godog agar menjadi lentur dan mudah tergunakan.
Lihat tanah Mekah sebagai tanah kenabian menurut khabar kini banyak kehilangan situs-situs yang itu sesungguhnya penuh nilai kesejarahan di mana kini dan di masa depan dapat menjadi bukti sebagai jejak-jejak kenabian.
Nah, bagi para penghancur situs-situs sejarah jejak-jejak kenabian itu, apakah dulu sudah terpikir oleh mereka bahwa situs-situs yang dihancurkan itu sesungguhnya kelak akan menjadi penguat pesan kenabian? Mungkin tidak pernah.
Itulah manusia puritan. Manusia yang hidup tidak melihat kebenaran lain kecuali benar diri mereka. Belum sampai jangkauan pikiran mereka tentang masa depan karena dikuasai kebenaran serta keilmuan masa lalu yang kelam.
Hilangnya jejak-jejak kenabian oleh tangan-tangan yang membawa aliran yang seolah suci hanya berpatokan kepada kitab suci. Tak sampai pemikiran mereka, bahwa hilangnya jejak-jejak kenabian, di kemudian hari bisa menjadi alasan kaum orientalis untuk memutar-mutar sejarah sehingga memiliki alasan untuk suatu pandangan bahwa islam tidak valid dan penuh penipuan.
Adanya aliran dari kelompok yang sesungguhnya penuh tujuan politik tertentu yang ingin selamanya berkuasa di tanah arab, mestinya harus mulai di sadari oleh kaum di tanah itu sebagai yang membelenggu.Masayarakat di tanah itu, terutama kelompok dan aliran tersebut, dengan niat baik mari kita ajak dan anjurkan untuk berani telanjangi diri dari baju puritan agar di dapatkan kemurnian manusia tanpa politik penunggangan dan ditunggangi yang mempersempit ruang gerak islam untuk mengembangkan peradaban.
Sifat-sifat dan sikap manusia opurtunis yang terbiasa menunggangi, masuk dalam golongan manusia munafik, sangat dibenci tuhan dan merusak peradaban di masa depan.
Peradaban dalam kekinian dengan tantangan masa depan, adalah kurusetra bagi perkembangan atau “pertempuran” yang itu terjadi di ranah lembut kebudayaan.
Di situ ada adopsi, adaptasi dan akulturasi yang tidak boleh dibelenggu oleh faham-faham sekelas aliran yang terbilang fasis tapi kuno dan maaf, naif, kalau tidak mau dibilang tolo karena kurang mau menyediakan hidup untuk sosialisasi diri selama fase pertumbuhan menuju kematangan intelektual.
Atas dasar kurang sosialisasi diri, kaum seperti ini tidak memiliki dasar pijak yang ilmiah untuk suatu perkembangan peradaban apalagi jika harus dikenai tanggung jawab dan amanah menopang peradaban di masa depan.
Ingat, Allah tidak melarang apapun bentuk karya yang berbudaya karena itu kodrat manusia sebagai makhluk budaya yang mencipta budaya. Yang Tuhan tidak mau, manusia ingkar dan menyekutukannya.
Islam harus melihat segala budaya luhur yang berada di ruang yang telah digauli islam, adalah khasanah kekayaan budaya islam.
Lalu budaya dan peradaban Barat yang sudah mapan dan berhasil dengan teknologinya, dengan faham demokrasi, liberal serta kapitalisnya, apa yang bisa kita ambil dari situ?
Kita harus sadar, segala pencapaiaan peradaban umat manusia, teknologi, liberalis, demokrasi dan kapitalis adalah pencapaian tertinggi atau puncak tertinggi dari sekian proses evolusi peradaban umat manusia. Kita tidak bisa menentang karena itulah hasil dari perjalanan umat manusia dalam peradabannya.
Apakah itu pencapaian yang hanya pantas dikatakan sebagai milik Barat? Rasanya tidak juga. Sebab andai sejak awal ditakdirkan bahwa peradaban islam yang terdepan dalam mengendalikan dunia, atau peradaban china, Rusia, dan lain-lainnya, maka tetaplah kita akan menemui suatu konsep bernama liberalis, demokrasi dan kapitalis.
Karena demokrasi, faham liberalis serta kapitalis adalah tuntutan atau kebutuhan. Sementara tuntutan dan kebutuhan manusia itu cenderung sama di setiap tempatnya.
Jadi sesungguhnya itu adalah hasil dari perjalanan umat manusia secara keseluruhan. Hanya saja bila itu lahir dari bumi timur misalnya, mungkin akan ada hal-hal yang sedikit berbeda saja. Misalnya demokrasi, mungkin akan menjadi demokrasi yang bercorak ala kita, sesuai dengan kebutuhan kita.
Nah, oleh karena itu bangsa timur tidak perlu alergi menerima konsep-konsep dari peradaban Barat. Jalan yang harus kita tempuh adalah dengan tidak membuang peradaban itu. Kita justru harus mengadopsi dan mengadaptasikannya ke dalam kesisteman kita.
Namun kembali kepada soal postmodernnisme di mana kita ada di situ yang dengan sikap dan sifat menggugatnya sesungguhnya adalah misi dan visi pembenahan peradaban.
Pun islam yang mewakili agama-agama yang ada dengan segenap nilai-nilai agamanya yang penuh terkandung perintah untuk berbaik sesama manusia serta pelihara bumi sebagai ladang kehidupan.
Maka kesadaran kekinian kita harus melihat dan menjadikan hal itu sebagai bukan “buah Kuldi” yang bisa membuat celaka bagi yang memakannya.
Segala hal yang telah salah sebagai kecelakaan sejarah dari peradaban modern Barat, adalah ladang koreksi untuk pembenahan oleh kita. Kita harus memodifnya agar menjadi berwatak lebih humanis.
Pembenahan itu dengan menggunakan instrumen apa? Jawabnya adalah dengan instrumen ideologi pula. Ya, ideologi yang berbeda tentunya. Ideologi yang kan menuntun kita agar tidak malah kembali terperosok dilubang yang bahkan lebih dalam.
Perubahan atau pembenahan tanpa Ideologi, hanya akan membuat kita kembali menjalani bahkan menguatkan kehidupan liberalis kapitalis modern lama yang kering akan nilai.
Ini ideologi yang kita harapkan bisa menjembatani antara peradaban Barat yang berhasil maju namun penuh dampak mengerikan itu, dengan budaya serta keraifan lokal ketimuran yang santun serta penuh budi pekerti.
Dengan modal keluhuran dan kearifan budaya bangsa kita yang telah teruji sebagai budaya luhur dan terbilang tertua, maka insyaallah kita bisa menjadi peradaban yang kan maju dalam keluhuran dan pantas memimpin perjalanan zaman.
Teringat dengan tulisan salah seorang tenaga ahli komisi X DPR RI, Aulia Agus Iswar dengan judul : Ideologi dan Tatanan Peradaban, yang sempat penulis baca saat-saat terakhir menyelesaikan tulisan ini. Ia kurang lebih mengatakan :
Siapa saja yang bisa mengkonvergensikan peradaban Barat dengan falsapah budaya luhur dunia Timur, dialah yang akan mampu membentuk tatanan dunia masa depan. Dialah yang akan memimpin peradaban masa depan.
Salah satu syarat untuk menjadi pemimpin peradaban itu adalah keharusan memiliki ideologi yang konprehensif yang mampu mengakomodasi dan mengkonvergensikan semua hal positip yang ada di Barat dan Timur. Yaitu sebuah peradaban yang maju dalam hal IPTEK dengan nilai palsafah dan budaya luhur sebagai ideologinya. demikian pendapat itu.
Sangat relefan dengan pemikiran penulis di tulisan ini bukan? Dan wujud atau narasi ideologi yang penulis maksukan itu cepat atau lambat nanti waktu akan menjelmakannya.
Yang ke empat, peradaban harus berdasarkan pada kesepakatan bersama
Menggagas kebersamaan dalam masyarakat hiterogen seperti Indonesia, apalagi dunia, mungkin sulit. Namun kita akan berusaha. Karena sulit, lalu kita cari unsur-unsur yang mungkin bisa membuat kita sama sehingga kita bisa bersama.
Yang termudah mungkin mencari unsur kesamaan keyakianan agama. Setelah kesamaan rasa dan pandangan terbentuk, barulah di hari kemudian meneruskan suatu usaha bagi terbentuknya peradaban yang indah untuk seluruh umat manusia.
Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai budaya timur dalam penyebarannya penuh dengan kisah-kisah legenda yang indah tentang akulturasi. Itu sesungguhnya perjuangan yang maha berat oleh para pendahulu. Setelah perjuangan itu, secara keyakinan mungkin umat islam terbilang menduduki rengking ke satu.
Namun dalam hal lain, misalnya soal ekonomi, umat islam menduduki strata ke dua atau bahkan mungkin ke tiga kalau tidak hendak kita sebut strata terbawah. Itu karena peradaban islam walau sesungguhnya agung, namun ada dalam genggaman manusia-manusia yang secara etos dan budaya terbilang rendah.
Etos yang rendah bukan pula karena karakter orang-orangnya. Di sini terkait sistem, terkait pemimpin, terkait situasi kondisi bahkan ketika kita berkata terkait sistem, itu artinya juga terkait ideologi.
Ketika kita berkata terkait pemimpin, artinya terkait kebijakan pemimpin dan negara. Mengenakah kebijakan pemimpin terhadap kebutuhan kehidupan rakyat miskin yang mayoritas jumlahnya.
Dan semuanya dapat kita akumulasi sebagai persoalan peradaban. Sebab peradaban yang baik tidak sekedar dilihat dari keagungan nilai peradabannya. Tapi sejauh mana manusia-manusia yang hidup di situ dengan budayanya bisa meninggi pula sifat, sikap serta jiwa pemahamannya tentang hal-hal yang menyangkut kehidupan bersama.
Misalnya, pemimpin mengerti tentang rakyatnya, rakyat mengerti tentang etos kerja untuk diri dan untuk negaranya, dan lain sebagainya, yang kesemuanya, sekali lagi adalah cermin kehidupan dari sekumpulan manusia yang berbudaya serta berperadaban tinggi pada masanya.
Nah pada penghujung peradaban modern ini, sebagaimana kita tahu betapa umat islam kian tersadar dengan ketertinggalan peradabannya.
Umat islam di masa kini malah jatuh dalam nestapa jiwa saat terpana dalam kekaguman melihat peradaban lain di luar dirinya yang justru mencerminkan keagungan nilai-nilai keagamaannya.
Dalam kondisi ini, umat islam keras berpikir, mencari-cari sebab peradabannya yang dibanggakan hilang ditelan gemuruh zaman. Kenangan masa lalu akan kejayaan peradabannya terbayang di mata. Ruh islam itu menangis menitikkan air mata bening pertanda jiwa dan akal tak mampu menjangkau masa lalu itu lagi oleh karena kenyataan kini.
Melihat kenyataan kini adalah bak melihat tubuh sendiri yang tampak terlihat penuh koyak porak poranda, terpisah antara tangan dan kaki, antara tubuh dan kepala. Yang tinggal hanya jiwa.
Ya, jiwa islam yang meronta-ronta. Meski demikian masih beruntung jiwa ini masih bisa menitikkan air mata. Sebab itu tanda masih ada rasa, masih ada kesadaran jiwa.
Ada pendapat seorang ahli atau ilmuwan yang penulis lupa namanya. Begini kurang lebih pendapatnya yang karena adanya kesamaan pemikiran jadi kurang lebihnya pula penulis tambahi dan simpulkan sendiri.
Bahwa kesadaran manusia setelah mati tidak hilang begitu saja. Di dunia ini, kesadaranlah yang lebih dahulu ada ketimbang materi. Dan kesadran itu abadi sebagaimana abadi atau kekalnya energi.
Kesadaran itu telah ada dan setelah jasad mati pun kesadaran menarik materi untuk hidup kembali dalam kehidupan yang lain (hanya allah yg tahu hidup dan kehidupan seperti apa). Hanya saja, agar kesadaran bisa menarik materi baru, dibutuhkan faktor tertentu.
Berangkat dari pemikiran di atas, bersyukur kesadaran umat islam masih ada dan insyaallah itu akan kekal, tak akan hilang. Hanya saja, dalam pikiran penulis kesadaran umat islam kini sedang menanti momentum untuk membentuk materi baru.
Semakin tertekan, semakin mengenag, namun di situ pula semakin cinta....insyaallah kemudian kesadaran itu akan mencipta tubuh islam yang kemudian bangkit untuk menopang suatu misi kehidupan yang baru.
Kembali pada soal peradaban yang harus berangkat dari kesepakatan bersama. Ketika penulis menitikkan bicara peradaban di sini seakan terfokus pada soal membangun peradaban islam, ini tidak bermaksud primordial, melainkan seperti yang sudah penulis ungkap, ini hanya soal teknis ketika kita sulit menyatu, lalu kita cari unsur-unsur yang mungkin bisa membuat kita sama sehingga kita bisa bersama.
Pertanyaannya sekarang, masihkah islam mau terus menjalani hidup dalam nestapa jiwa saat terpana dalam kekaguman melihat peradaban lain di luar dirinya yang justru mencerminkan keagungan nilai-nilai islam?
Dalam kerangka ini, sekali lagi bukan primordialisme apalagi ingin mengambil jarak dan bersiap berhadap-hadapan dengan peradaban di luar islam. Tapi oleh sebab di dalam diri manusia yang yang sehat akal pikiran dan memiliki budi, senantiasa memiliki keinginan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia lain dan dalam hal ini mencipta atau sumbang saran untuk peradaban umat di seluruh alam.
Dalam kondisi ini, masihkah umat islam kan terus berpikir mencari-cari sebab keruntuhan peradabannya yang hilang ditelan gemuruh zaman. Padahal nyata, keruntuhan itu sebab besarnya karena hilangnya persatuan atau kebersamaan.
Keruntuhan itu karena politik saling hasut dan saling menikam sesama islam. Keruntuhan itu karena kehilangan pegangan ideologi yang membuat kita bisa memiliki alasan untuk tegak kukuh memegang panji persatuan.
Hari ini telah kujanjikan, ideologi itu tinggal waktu yang kan membawanya ke altar pengukuh peradaban. Ideologi itu kelak bersifat universal. Insyaallah ia akan menjadi mesin yang akan menggerakkan langkah manusia menuju peradaban yang indah, damai, sejahtera dan bahagia.
Tinggal lagi, kepadamu hai saudaraku kaum islam, maukah bersepakat untuk memikul misi ini. Karena ini kepentinganmu maka katakanlah mau, jika tidak ingin tertinggal. Sebab ideologi yang ku maksud kelak akan menjadi milik peradaban semua umat dan semua zaman.
Hari ini kuingatkan, ini doktrin terbaru tentang budaya dalam islam. Bahwa segala sesuatu yang berasal dari diri, dari ruang dan jiwa yang telah disentuh islam sesungguhnya adalah juga bagian dari islam. Karena islam tak akan pernah menyentuh yang tidak baik. Maka yang telah di sentuh pastilah baik dan tidak akan bertentangan dengan ruh kebaikan islam.
Maka agar peradaban islam yang di dirimu bergemuruh, penuh semangat ingin agar kata rahmatallilalamin itu nyata membenahi peradaban umat manusia, tiada alasan lagi bagimu untuk bercerai berai.
Bersatulah dalam rasa memiliki ideologi bersama. Ideologi yang kan menuntun kita mampu mencipta peradaban yang indah dan penuh makna. Hingga tiada alasan lagi bagimu termangu seraya batinmu menitikkan air mata bening di depan pintu gerbang peradaban negeri lain yang di matamu tampak masyhur dan mengesankan.
Bicara ideologi, bukan pula sekedar bicara peradaban secara umum yang henda kita capai. Namun menenggelam lebih dalam, bagaimana mengangkat kesejahteraan rakyat.
Kondisi rakyat yang banyak masih miskin dan ketimpangan yang menganga, membuat kita jadi faham jika jiwa kaum radikalis akhirnya merasa terjajah dan tertekan sehingga mengambil garis perlawanan frontal.
Sebab sebiji beras dan dimanapun berada manusia, di zaman ini sesungguhnya telah terhubung dan bergantung dengan kaum kapitalis baik lokal maupun global.
Namun dalam kaca mata intelektual, bagi penulis itu bukan penjajahan, kaum kapitalis hanya membuka usaha dan berusaha untung dari usahanya. Ketergantungan kita dan kita tidak memiliki cara untuk lari dari ketergantungan itulah yang membuat segalanya jadi seakan telah terjadi penjajahan.
Walau memang ada kapitalis yang rakus. Dan kaum kapitalis yang rakus itulah yang akan terkikis oleh keberadaan ideologi yang konprehensif ini nanti. Dengan ideologi ini peradaban yang dituju, adalah peradaban di mana manusia tidak menyesal ditakdirkan menjadi manusia.
Itu artinya manusia yang bahagia. Ya, itulah tujuan ideologi ini, tujuan peradaban yang hendak dicapai oleh makhluk yang benar-benar telah menjadi manusia.
Maka hari ini konsolidasi peradaban, konsolidasi budaya bahkan konsolidasi ajaran dan segala aliran dari segenap penjuru bumi, dari benua afrika, Asia, Eropa, Amerika dan Atlantis Asia tenggara, harus dan harus segera dimulai.
Islam harus bersepakat untuk peradaban masa depan yang hendak dibuat. Hari ini mestinya tak ada lagi pertengkaran sesama ummat pilihan. Hari ini seluruh ummat manusia menanti ummat pilihan ini berbuat untuk dunia.
Wallahua’lambissawab...
Salam perubahan yang tak pernah kunjung padam