Ideologi Soekarno Dalam Pusaran Kehendak Rezim Menghidupkan GBHN/PPHN, Dan Tujuan Amandemen UUD Serta Presiden 3 Periode

 

Dalam sudut pandang dan cara pikir seorang sastrawan/ seniman tulis. 

Kenapa rezim sangat ingin GBHN atau PPHN dihidupkan kembali? PPHN(Pokok-pokok Haluan Negara) adalah GBHN ala orba gaya baru. 

Kenapa rezim berusaha menghidupkannya kembali? Dalam sudut pandang tertentu, penulis ragu dan tidak terlalu percaya dengan tujuan yang tampak mulia dari rezim ini. “agar Presiden berikutnya memiliki arah, berkesinambungan dan tidak semaunya atau semena-mena”, bagi penulis itu alasan politis dari para politisi dalam rangka bertujuan tertentu. Coba kita analisis dengan teropong ala naluri sentul (seniman tulis).

Dalam sudut pandang tertentu, ucapan tentang  “ dengan haluan agar penguasa berikutnya tidak semena-mena...” itu, mengandung unsur hipokrit. Kenapa demikian? Bagi penulis yang sesungguhnya ada justru sebaliknya, penguasa diam-diam mulai sadar kekuasaannya tak memiliki dasar bobot, gagasan pemikiran yang dapat dijadikan sebagai arah dan pijakan. 

Sebab sampai hari ini, apa gagasan mereka, terutama tentang ideologi? Sebuah kekuasaan akan merasa nyaman dan terarah jika ideologi yang menjadi dasar pijaknya adalah kebenaran yang berkesesuaian dengan nilai, tujuan dan budaya pada bangsa itu. 

Sementara rezim ini? Lihat ucapan dan segala kerja BPIP sebagai lembaga yang di jadikan penunjuk arah ideologi namun centang perenang tak memilki pegangan dan kepastian langkah. Yang dirasakan rakyat justru banyak modhorotnya dengan controversial yang terakhir menjadi lembaga pengadu domba. 

Semua memang berangkat dari keterbatasan pemikiran seorang pemimpin tertinnggi. Jika pemimpin punya arah dan pegangan ideologi yang baik, maka tak perlu ada lembaga BPIP yang banyak menghabiskan uang negara. Meski kita maklum lembaga ini memang digunakan selain sebagai bemper dari kelemahan pemimpin soal ideologi, juga sebagai cara rezim mendapatkan dukungan politik dari tokoh-tokoh sepuh. 

Dan semua itu jelas bagi kita sesungguhnya gambaran bahwa secara ideologi mereka telah gagal. Boleh dikata salah tafsir yang berujung salah aplikasi dan implementasi.

Kita pernah melewati masa orla, ideologi itu mengacu kepada tafsir sang pemimpin revolusi, Soekarno dengan sosialis gotong royong dengan faham NASAKOM nya? Bagaimana Soekarno menggabung kelompok nasionalis, agama dan komunis. Dalam pikiran penulis, ya itulah beberapa diantara tafsir Soekarno.

Kemudian kita pernah melewati masa orba yang ideologinya mengikuti tafsir ala Soeharto dengan system kekeluargaan dan otoriteriannismenya.

Lalu sekarang, sebuah rezim dengan kedirian yang walau hampa pemikiran namun meletup-letup secara verbal sebagai yang memegang faham pancasila ala soekarno, meski kenyataannya tetaplah kearah ideologi kapitalis liberalis dan bahkan lebih kapitalis dan liberalis daripada buyutnya liberalis kapitalis.

Ideologi soekarno versi mereka yang mereka gadang-gadang sebagai bahan jualan, bak menawarkan angan memiliki “baju sutra” kepada rakyat jelata. Padahal baju sutra itu tak akan terbeli oleh kaum papa. Karena baju sutra itu memang hanya terbeli oleh kaum borjuis kaya raya. 

Ya, ideologi soekarno di tangan mereka yang mereka gadang-gadang  dan dijual ke rakyat itu sesungguhnya kini sudah berubah menjadi ideologi kapitalis kaum kaya yang tak memihak rakyat jelata. 

Jadi bagaimana mereka bisa membuat rakyat menjadi kaya? Bagaimana mereka bisa membuat agar rakyat miskin bisa membeli baju sutra? Terlalu banyak fakta untuk disebutkan tentang ketidakberpihakan mereka pada kaum kecil, termasuk kaum buruh nelayan dan petani miskin. 

Sedihnya kaum kaya yang kita sebut kaum borjuis itu terbilang para pucuk di sentral-sentral kekuasaan(oligarkiis). Sementara rakyat jelata, hanya dihibur dengan bantuan berupa BLT dan bantuan-bantuan sejenis atau lebih parah janji dengan kalimat-kalimat yang akhirnya menjadi lips servis pemanis mulut tanpa makna. 

Ya,  Ideologi soekarno yang dulu berapi-api diucapkan oleh Soekarno sebagai sosialis ala Indonesia itu, kini sudah menjadi masa lalu, sekarat menjelang ajal, kalah oleh kapitalis dan kenyataan kekinian.  

Yang tersisa hanyalah aroma, aura, kenangan kharismatik yang tak lagi bisa dijelmakan menjadi kekuatan kecuali dipaksakan dengan cara tipu-tipu alias jargon heroistik yang dalam akal kaum terpelajar idealik tidak ada dasar loghic.

Ideologi Soekarno atau pemikiran soekarno dengan Pancasila yang diperas menjadi  trisila, lalu diperas lagi menjadi ekasila yaitu Gotong royong, meskipun ia kearifan local yang sudah ada yang tinggal diambil oleh soekarno, sesungguhnya adalah pemikiran yang terbilang besar waktu itu.

Apa itu gotong royong? Budaya gotong royong sudah ada sejak manusia memulai peradaban  dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari meramu. Kala itu, gotong royong menjadi kebutuhan. Lalu ketika Indonesia berada di titik sejarah kebangkitan menuju kemerdekaan, diambillah budaya gotong royong itu oleh soekarno sebagai pemikiran untuk melengkapi  dasar keberdirian negara republic Indonesia. 

Untuk membedakan dengan sosialis internasional, Gotong royong yang secara system kerjanya memang agak mirip dengan system komunis sosialis, maka oleh Soekarno jadilah ia jabaran dari kehendak sosialis ala Indonesia. 

Sayangnya dalam kekinian, bahkan oleh soekarno sendiri, dalam perjalanan waktu tak kita temukan upaya terkonsep untuk menjadikan gotong royong sebagai nafas dan gerak kehidupan manusia modern Indonesia seperti misalnya konsep dan gerak kehidupan manusia China yang menjadikan ideologi komunis sebagai yang memenuhi system serta struktur birokrasi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan

Gotong royong tidak hidup di ruang itu. Ia  tidak dalam pemupukan. Gotong royong tidak memenuhi system. Ia dibiarkan terlunta-lunta di alam pedesaan. Sebab di kota, di alam modern, ia sudah tidak dikenal. 

Yang kemudian, ketika desa berubah warna menjadi ngota, memudarlah gotong royong kalau tidak hendak kita katakan sekarat dan mati. Gotong royong hanya untuk memenuhi kebutuhan api pidato dan atau pelengkap penjelasan dasar negara Pancasila.

Gotong royong garis miring sosialis ala Indonesia itu, seperti halnya komunis tidak akan subur di lahan sebuah masyarakat yang telah terdeferensiasi. 

Masyarakat komunis hanya bisa berkembang jika dimulai dari sejak awal, dari masyarakat pratradisional atau bahkan berangkat dari masyarakat meramu. Itupun harus dipupuk, dijaga agar tidak terkontaminasi oleh pemikiran seberang yaitu kapitalis dan idividualis.

Dalam sebuah masyarakat kapitalis, individualis dan terdeferensiasi begitu luas sekarang ini, gotong royong menjadi hal muskil untuk menjadi terapan yang menyeluruh. 

Ia bisa hidup namun memerlukan kondisi tertentu. Atau ketika kita kelak telah menemukan suatu alasan yang mendasar kenapa gotong royong menjadi keharusan yang tidak memaksa namun jiwa dan menjiwai setiap langkah manusia. 

Alasan itu lah yang tidak ada pada Soekarno apalagi pada anak-anak boilogis dan anak-anak ideologisnya. Sehingga gotong royong itu menjadi hanya sekedar jargon yang sedihnya masih bisa dimanfaatkan sebagai api pemantik, sebagai modal untuk membual yang membuali kaum jelata yang tak faham kecuali faham atas Soekarno yang dipropagandakan. 

Anak-anak biologis dan ideologis Soekarno hanyalah penikmat dari jerih payah yang dibuat oleh sang pembawa ideologi. Penikmat yang dalam kaca mata penulis terlambat sebab seharusnya itu terjadi pada masa Soekarno masih hidup sehingga sang empu ideologi bisa berdealgis dalam rangka memperdalam ideologi demi semakin berkesesuaiannya ideologi. 

Akhirnya anak-anak ideologi itu tak memilki pegangan kecuali meraba, menarik akar-akar yang ada ketika banjir atau problem keideologian bangsa datang melanda.

Bagi penulis, ketika soekarno mencetus gotong royong sebagai identity atau ciri ke sosialisan Indonesia, ia sang Soekarno itu sudah hampir mengena kepada titik sentral kehendak dan jiwa sebuah ideologi.

Sayangnya  itu masih sebatas sebuah ujung atau muara yang mungkin dapat kita persamakan dalam bahasa kekinian sebagai aplikasi, cara atau gerak kerja. 

Sayangnya lagi, aplikasi haruslah memerlukan landasan atau energy atau semacam mesin inti untuk ia bergerak sendiri, sehigga ia—gotong royong itu menjadi kebutuhan dalam kebudayaan. 

Tapi ketika mesin inti itu tidak ada, di sisi lain mesin kapitalis dengan deferensiasi di masyarakat kian meluas, akhirnya runtuhlah sosialis ala Soekarno itu jika tidak hendak kita katakan mati pelan-pelan. 

Lalu mungkinkah ia hidup lagi? Inilah tantangan....jika ia ingin dihidupkan.

Ketika kita menguliti ini bukan berati kita tidak menghargai soekarno lagi. Soekarno tetap indah di jiwa orang sepertiku.

 Meskipun ia terbilang gagal menterjemahkan pemikirannya sendiri. Kegagalan yang tak seharusnya dilimpahkan kepada Soekarno. Problem besar bangsa dan negara kala itu bukan hanya njelimetin soal ideologi. 

Ideologi kala itu tampaknya hanyalah persoalan ikut kepada blog mana dan siapa, blog timur sosialis komunis, atau blog barat kapitalis. 

Dan soekarno, sebagai jiwa yang penuh berkobar-kobar semangat perlawanan kepada penjajahan, jiwanya, tidak bisa tidak adalah perlawanan itu. Ia penentang kemapanan, ia lebih condong kepada pembelaan dalam kebersamaan, dan itu adalah sosialis.

Namun, Soekarno yang kala itu telah memenuhi takdir dan perannya yang berkata, yang kata-katanya dan pikirannya sesuai zamannya, menjadi embun yang memudar ketika diterpa fajarnya sendiri saat embun dan fajar tak dirawat oleh yang semestinya merawat. 

Merawat itu bukan sekedar meletakkannya di tabung terkunci namun lebih jauh menggali, membersihkannya dari lumut-lumut zaman yang akan membuatnya terkubur secara perlahan. 

Pikiran soekarno seharusnya menjadi awal dari bumi Indonesia disinari anugerah keadilan dan kemakmuran. 

Ketika idealis soekarno yang tidak  berkembang di dada para anak biologis dan anak-anak ideologisnya, soekarno hanya berkembang dalam heroic kenangan. 

Dia tidak tumbuh dalam api gagasan baru apa lagi api pembaharuan kekinian. Oleh karena itulah, dalam kaca mata penulis, berkenaan dengan menghidupkan kembali haluan negara, penulis bisa menyebutnya, “rezim ini penuh ketakutan”. 

Oleh karena itu mereka berusaha merangkum berbagai pikiran dari berbagai sumber anak negeri dengan cara yang sepintas baik namun mengandung unsure sedikit licik, menciptakan diskursus public, agar di dapati formula bagi bahan dasar pemikiran haluan negara bersama. 

Dalihnya tentang “ agar presiden nanti tak seenaknya jika berkuasa maka perlu dituntun dengan haluan, hanyalah akal-akalan agar ketika orang mereka yang berkuasa, akan tidak berhadapan dengan realitas sosial kehidupan rakyat jelata yang sudah banyak mengalami jerat tipu daya dan janji manis belaka. 

Rezim telah berkaca pada kemampuan dan pengalamannya sendiri. Ketika versi ideologi yang mereka agungkan ternyata memang tak berkesesuaian lagi dengan  nilai-nilai yang hendak dituju oleh sebuah bangsa. 

Lihat contoh kecil, kemana Pancasila, ketika korupsi meruah, hukum centang perenang menjadi belantara rimba? Rasa kemanusiaan, HAM dan hak azazi hilang di tanah yang diaku telah merdeka. 

Kemana ideologi bangsa ketika kemiskinan, jarak kesenjangan makin menjurang? Ketika kekayaan negara hanya mengerucut kepada segolongan saja? 

Ideologi, bahkan malah menjauhkan nilai-nilai moralitas, nilai keadilan yang pada akhirnya kelak ditakuti akan meruntuhkan satu nilai yang paling harus terjaga, yaitu persatuan. 

Ini bangsa besar yang kelak akan digugat rakyat karena negara tak memenuhi keadilan yang menjadi hak bagi rakyatnya.

Ya, rezim makin sadar dengan langkah dan kesulitannya ketika gerak tak memiliki basic pemikiran., ketika pemikiran tentang ideologi  versi mereka tak membekaskan keindonesiaan lagi. 

Ketika aplikasi tak bergerak tanpa mesin inti. Ketika sangka mereka dulu, langkah dan konsep itu mudah, cukup mencari dari keranjang sampah para aktivis yang lengah, cukuplah bagi seorang pemimpin meski tanpa isi otak yang punya arah—ya cukup, karena pikir mereka akan dicukupi oleh suatu tim kekuasaan yang saling mendukung. 

Mobilisasi kekuasaan dan kekuatan yang kemudian terbentuk pemerintahan oligharkis. Pemerintahan yang secara politik kuat. Namun secara gagasan lemah. 

Mereka memang keliru. Tim yang tanpa gagasan baru, tidak bisa tidak mengaisi  paradigma lama. Dan akhirnya jika dipandang dari sisi rakyat yang tak terkooptasi kuasa mereka, itu nol besar belaka. 

Mereka hanya membuat gendut perut sendiri, para perut oligharki. Mereka  tak mampu memberi kemakmuran, keadilan dan meratakan kesejahteraan, apa lagi membuat rakyat jelata mampu membeli pakaian sutra, karena mereka sendiri sudah terperangkap dalam jerat pikiran liberalis kapitalis yang punya watak untung, selamat sendiri, dan rakyat atau kaum papa hanyalah makan dari sisa mereka.

Bagi penulis, pemberian atau bagi-bagi BLT dan sejenisnya kepada rakyat itu adalah cara kaum kapitalis Indonesia untuk menenangkan kaum papa. 

Padahal kaum papa itu hanya jadi alat permainan dan pelengkap demokrasi dalam ketidakberdayaannya. 

Tak ada ketulusan untuk rakyat. Buktinya, kue pembangunan ini hanya mengerucut dan mengarah pada kaum elit ningrat yang diprofokasi media sebagai mesin mereka untuk disembah dan dijilat.

Penulis tidak bermaksud mempengaruhi agar kita tidak percaya kepada mereka yang coba berbenah. Kita percaya dan malah senang jika rezim ini mau berbenah. 

Namun kita juga pantas khawatir, jika pun mereka menemukan atau diberikan kepercayaan untuk menjalankan sebuah pemikiran atau  misi pembenahan dan pembangunan bangsa, mereka malah akan mengalami gegar budaya, rusak lantai pijaknya oleh sebab kaki, tangan serta panggul pemikul itu terlalu megah untuk dipikulkan misi visi yang sesungguhnya sederhana  yaitu ketulusan yang setulus-tulusnya untuk menyejahterakan rakyat kalangan bawah. 

Akibatnya, biaya untuk kemegahan itu kelewat besar, perlu makanan besar, perlu dana besar dan akhirnya korupsi pun besar.

Amandemen dan PPHN dengan alasan “agar presiden di masa depan tidak seenaknya berkuasa tapi berdasarkan haluan”, sesungguhnya memiliki makna ular berkepala dua bahkan bisa jadi berkepala tiga. 

Di satu sisi ia tampak terlihat berwajah baik yaitu dalam rangka memberi arah agar pemimpin tak salah jalan. Namun di balik itu, kembali kepada ketiadaan gagasan, ini akan di manfaatkan oleh para calon yang berkontestasi bahwa mencalon itu menjadi tidak perlu bersusah payah memiliki pemikiran dengan bobot yang baik, seorang pemimpin akan cukup hanya jadi pekerja atau petugas partai, atau bahkan robot yang digerakkan. 

Seorang pemimpin menjadi hanya cukup ngganteng atau ayu, atau berduit, atau berkharisma atau punya nyali untuk marah-marah yang dalam hal ini cukup bisa diambil dari kalangan yang berani berkata meluap-luap atau bahkan preman dan para jawara—tanpa memiliki kejelasan pandangan ke depan, tanpa memiliki bobot pemikiran.  

Bila ini terjadi, celakalah kita untuk yang kesekian kalinya. Lihat, apa yang terjadi dengan presiden dari hasil survai? Di mana duit menjadi penentu kemenangan...lalu, masa depan rakyat pun tergadai.

Hal lain, kenapa rezim sangat ingin GBHN atau PPHN dihidupkan kembali, kali ini penulis coba melihatnya lebih dalam dari kaca mata fsikologi politik. 

Secara fsikologi politik kecenderungan segala sikap dan perilaku manusia yang ditampakkan oleh suatu rezim, terutama pemegang kekuasaan dapat didentifikasi sebagai satu diantaranya ketika rezim mulai tidak percaya diri. 

Teorinya begini, semakin besar lawan, semakin besar pula keinginan manusia untuk mengelompok untuk menghadapi lawan itu. 

Semakin sulit suatu jalan, semakin besar pula manusia berkeinginan untuk bersama menempuh dan mengusahakan berhasil melalui jalan itu. 

Semakin sadar manusia tidak memilki alat dan kemampuan, semakin besar kemungkinan manusia untuk mengajak manusia lain yang  dianggap memiliki alat dan kemampuan itu. 

Ketika suatu rezim mulai sadar dirinya tidak memiliki sesuatu yang selama ini mereka propagandakan. Bahwa narasi dan konsep yang mereka agung-agungkan ternyata nol besar, semakin mereka ingin turun gunung untuk mencari atau mengumpulkan dan mendekat pada manusia-manusia yang secara politik berbeda dengan mereka. 

Coba kalau dipikir dengan logika sehat, mereka itu kan lagi berkuasa, mayoritas di DPR MPR pula. Nah untuk apa mereka susah-susah memikirkan GBHN atau PPHN segala? Tanpa GBHN atau PPHN toh kekuasaan mereka akan tetap berjalan karena mayoritas. 

Tapi lain cerita jika mereka berpikir bahwa ada yang kurang di dalam diri mereka berangkat dari kesadaran bahwa yang mereka punya, kini sudah terkuak dan semakin terkuak dan itu tidak relefan lagi untuk zaman kekinian. 

Dulu mereka bisa tipu-tipu rakyat dengan slogan indah, gotong royong, ekonomi kerakyatan dlsb. Tapi kini dan nanti, apakah slogan-slogan itu masih akan mampu menipu rakyat? 

Ketika rakyat ternyata masih miskin bahkan malah jatuh papa di tangan mereka. Makanya mereka seperti istilah turun gunung untuk mengajak semua elemen bangsa rembug bersama membuat haluan bersama. 

Kelompok atau rezim seperti ini, jika mereka memiliki sendiri senjata atau pemikiran itu, wah mungkin habislah kita yang di luar, sudah pasti akan ditinggalkannya. 

Jadi intinya, ketika mereka menghendaki dibuat haluan pokok ideologi, karena dalam kerja MPR itulah kesempatan untuk bersama dengan alasan demi rasa bersama, dimana mereka bisa mendapatkan yang selama ini mereka cari, sesuatu yang selama ini tidak mereka miliki.

Ketidakmampuan mereka memiliki tafsir ideologi selain ideologi versi soekarno, adalah karena gagalnya para kaki tangan mereka yang ada di kantong-kantong pergerakan mahasiswa dan para aktivis untuk nguping atau mencari tahu materi-materi dan obrolan ideologi. Atau gagalnya mereka membuat tema-tema pembicaraan untuk seminar-seminar atau diskusi-diskusi  yang mengarah pada penggalian ideologi. 

Itu karena keterbatasan pikiran. Karena pemikiran ideologi, memang bukan hal mudah yang dapat ditemukan dari sekedar belajar di bangku sekolah atau bangku kuliah. 

Ada hal besar yang di dapat dari bangku sekolah dan kuliah yaitu, dengan kepercayaan diri seorang manusia yang berilmu, akan semakin percaya diri dan kuatlah hati mengenggam idealism. 

Itu jika pengajaran yang diterima benar. Selebihnya, perjalanan hidup membuat maanusia banyak memahami kehidupan. Ranah dimana manusia mulai bersentuhan dengan kenyataan faham dan keideologian.

Kembali ke atas. Lalu, jika telah bersama berkumpul di MPR sana, akan kemana dan dimana mereka bisa mendapatkan hal yang mereka cari-cari itu? 

Sebegitu hebat penulis telah lakukan pembongkaran atau destruktion atas konsep nol besar mereka, tapi kali ini penulis coba tidak memberi ruang bagi sebuah kehancuran yang penuh kecuali membuka ruang kesadaran agar mereka berpikir penuh. Dan ketika jatuh pada pertanyaan ke mana dan di mana? Konsep itu sesungguhnya ada pada keberhasilan mereka mengakomodir, menjembatani atau membuat jalan bagi semua komponen anak bangsa untuk terlibat dalam memikirkannya. 

Terlibat, bukan dalam artian hanya pimikiran yang tertampung dan didapat yang bisa dengan cara ala curi-curi pada suatu diskursus  sebagaimana yang biasa mereka dapatkan dan lakukan pada sebelum-sebelumnya pada sentra-sentra diskusi organisasi kemahasiswaan atau diskurs umum seperti ini. 

Terlibat, meski tidak selalu berupa buah pikiran, bisa juga berarti anak bangsa yang dianggap potensial memiliki pandangan, terakomodir, terakses dan mendapat akses ke sana. 

Telur dari itu namanya adalah kesepakatan bersama sehingga ke depan ruang perbedaan tereleminir, konsep tertulis yang kurang terpenuhi menjadi terpenuhi  karena saling memenuhi.

Sudut Pandang Lain

Hal-hal yang penulis ungkap di atas dengan segala argument dan penguatannya, adalah sudut pandang yang berangkat dari teori konflik. Di mana segala hal di atas berlatar dari adanya berbagai kepentingan yang dapat dimaknai sebagai konflik kepentingan. Sebagaimana konflik terdapat unsur pesimis, keraguan dan curiga. 

Ya, berdasarkan curigalah persepektip penulis melihatnya.  Walau rasa curiga yang tidak semata mengikuti emosi dan kebencian namun nalar pengetahuan atau lebih tepatnya bagi orang yang secara pengetahuan sedikit kurang, kita menyebutnya nalar pengalaman. 

Karena berangkat bukan dari kebencian, maka layaklah penulis mengungkap sudut pandang lain yang tentu bersebelah dengan sudut pandang di atas, yaitu rasa percaya dan optimistis.

Jika memang benar niat mereka tulus,maka  GBHN dengan anak turunannya PPHN itu sesungguhnya pantas di apresiasi sebagai niat yang baik. 

Menjadi apapun seseorang termasuk menjadi presiden, adalah takdir. Seseorang yang biasa saja, jika dirinya dikenai takdir menjadi pemimpin, maka tetaplah ia akan menjadi pemimpin. 

Ada benarnya alasan jika PPHN itu untuk memberi arah sang pemimpin. Dengan haluan, pemimpin yang walaupun biasa-biasa saja, akan memiliki arah, tidak ngawur dan tidak semena-mena. 

Hal ini akan membangkitkan semangat dan harapan kepada siapa saja bahwa siapapun orangnya bisa menjadi pemimpin karena kesulitan-kesulitan dalam masa kepemimpiannya akan dapat diatasi sebab telah ada arah sebagai GBHN atau PPHN yang mengarahkan kepemimpinannya. 

Dan asal tidak menyimpang dari arah yang ada, akan mampulah ia menyelsaikan masa-masa jabatan kepresidenannya.

Sengaja penulis mengungkap ke dua sudut pandang yang bertentangan di atas agar kiranya pembaca  dan para pengambil keputusan  di gedung senayan sana, terberi masukan demi keputusan yang baik bagi rakyat dan bangsa. 

Dengan instingnya, kita yakin para politisi di senayan mampu meraba, jika dirasa curiga atas niat  suatu kelompok yang memiliki tujuan ngakali di balik alasan amandemen dan digulirkannya PPHN tentulah dengan penguatan dan masukan oleh literasi-literasi seperti ini para politisi bisa dikuatkan untuk menolaknya. 

Namun jika terasa niat  amandemen dan menggulirkan PPHN itu penuh ketulusan, mungkin bisa mengambil sikap lebih  akomodatip sehingga menyudahi perdebatan lalu segera diambil keputusan yang terbaik bagi rakyat dan bangsa.

Akhirnya, semua kembali kepada akal pikiran dan kejernihan hatimu duhai para Wakil Rakyat,  yang sangat kita hormati. 

Ini keputusan besar. Membuat penulis tidak coba mempengaruhi dengan pemikiran-pemikiran yang tegas memihak seperti tulisan-tulisan lainya. 

Kali ini penulis tidak hendak memaksakan suara rakyat, melainkan memberi masukan demi keputusan itu menjadi keputusan yang benar-benar menjadi penuh manfaat.


Menyoal Amandemen Bermaksud Melegalkan Tiga Periode Jabatan Presiden

Sebagai kepala ular ke tiga, bisa jadi maksud dari amandemen itu adalah melegalkan jabatan presiden untuk yang ke tiga kalinya. 

Bagi penulis, itu syah-syah saja. Jika ada visi dan misi besar, kebutuhan bangsa ini akan seorang pemimpin untuk menuntaskan visi misinya, mungkin saja membuat seorang presiden dilegalkaan menjabat untuk ke kesekian kalinya. 

Maka kepada yang terhormat presdien kita, Jokowi, jika engkau memiliki misi dan visi itu, atau misal baru kini dalam renungmu itu engkau temukan, kenapa tidak, kenapa  harus ragu, teruskan itu!!! 

Sebab bangsa ini memang membutuhkan pemimpin yang mampu membesarkan bangsa besar ini, asal saja benar jalannya.

Penulis yang sudah berketetapan hati bahwa diri ini, walau informal, adalah suara rakyat, sebuah predikat yang dilihat dari apa yang kerap penulis suarakan yaitu berdasarkan pemikiran jernih dan fakta kehidupan rakyat yang artinya itu suara rakyat. 

Dalam sebuah demonstrasi massa yang besar,  cermin dari suara rakyat adalah berbilang kepala yang bersuara. 

Namun suara rakyat dalam suatu tulisan seperti ini, tentu dilihat dari kejernihan pikir dan fakta keberpihakan serta kebersentuhannya dengan kehidupan rakyat. 

Meski demikian, agak kurang pas jika kata-kata dari penulis lalu dimaknai sebagai melarang atau menganjurkan MPR untuk menetapkan ketetapan amandemen. 

Karena MPR adalah perwakilan dari rakyat. Rakyat hanya bersuara. Dan kalianlah yang memutuskannya. Hanya saja, sebagai suara dari rakyat, penulis berharap MPR benar-benar mempertimbangkan atau menelaah secara dalam apa-apa yang hendak menjadi keputusannya. 

Berdasar apa yang kerap penulis katakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi presiden berkali-kali itu harus memenuhi syarat memiliki visi misi luar biasa yang visi dan misi itu melekat dengan dirinya, yang tak akan bisa dipegang atau diselesaikan oleh siapapun selain dirinya, maka jika amandemen penambahan periode presiden itu 1, diarahkan pada sosok jokowi, apakah seorang jokowi memiliki visi dan misi yang harus atau layak dipagari agar ia berhasil dalam visi misi itu? 

Jika menurut telaah MPR ia memiliki itu, maka monggo, demi kebesaran bangsa, rakyat akan mendoa semoga itu yang terbaik bagi bangsa.

Dan 2, jika telaah dan pandangan MPR tidak semata karena Jokowi, melainkan atas suatu pandangan serta kemungkinan-kemungkinan situasi kondisi atau kebutuhan akan pemimpin /presiden di masa depan, maka presiden tiga periode atau bahkan lebih pun silahkan. 

Tentu, sekali lagi dengan melihat persyaratan yang sangat ketat. Bila perlu syarat itu, harus mendapat persetujuan keseluruhan rakyat berupa reperendum rakyat semesta. 

Yang terpenting lagi dipikirkan, apakah syarat untuk pemimpin 3 periode itu berlanjut untuk pemimpin demi pemimpin berikutnya yang berkuasa di republic ini, atau sekali saja hanya untuk suatu presiden atau pemimpin yang terbilang memiliki gagasan serta misi yang sangat luar biasa.

Lalu silahkan buat aturannya. Rakyat, karena hal itu merupakan kesepakatan dari wakil-wakilnya, tentulah akan mendoa semoga itu keputusan benar dan baik bagi bangsa. 

Lalu hiduplah kita dalam system dari kesepakatan itu. Segala alasan atas pantasnya system itu di gulirkan harus diungkapkan kepada seluruh anak bangsa.

 Agar seluruh anak bangsa faham bahwa itulah demokrasi dan kebutuhan kita. Anak bangsa pun harus siap , calon-calon pemimpin baru harus siap, semua harus siap dengan kesepakatan demokrasi kita.

Kenapa penulis berpikiran demikian dan seolah mengingkari buah pikir dan kehendak reformasi? Padahal tidak. Penulis tidak mengingkari reformasi yang telah kita usahakaan secara berdarah-darah. 

Hakekat yang kita perjuangkan dalam reformasi itu adalah kebebasan pikiran, kebebasan berpikir dan kebenaran, dan itu tidaklah stagnan. Sebuah tradisi membuang yang buruk lalu menyerap yang baik itu harus terus berlaku bagi suatu arah dan kehendak yang ingin maju.

Dan bangsa ini dengan anak-anak bangsanya haruslah bijak melihat dari sudut pandang demokrasi dengan segala azas manfaat dan lain sebagainya, bahwa manusia dari seluruh hayat hidupnya sebagai harga, harus dihargai sampai kelak jika dirinya mati. 

Kesempatan berbuat, berkarya atau mempungsikan dirinya sebagai manusia demi mengangkat harkat martabat kemanusiaan atas diri dan sesama manusia harus diberikan sepenuhnya kepada sesama manusia. Presiden dua periode, bagi penulis, dari sudut pandang tertentu, adalah pembatasan manusia atas manusia lainnya. 

Hak manusia untuk berbuat bagi sebesar-besarnya kemanusiaan terhenti dengan aturan itu. Walau memang demokrasi dibutuhkan sebuah aturan. 

Namun apakah aturan itu sudah secara lengkap mengakomodir sisi lain dari yang kemungkinan dikenai pengekangan atas aturaan itu?

Jawabannya layak ke arah kalimat bahwa aturan haruslah tidak kaku. Namun tidak pula memiliki  makna yang ambigu.

Untuk menegaskan hal dia atas, kita coba melihat kenyataan tentang kebutuhan dan tantangan bangsa ini di masa depan. 

Misal, seorang mantan presiden seperti Mega Wati atau SBY. Karena manusia selama hidupnya adalah belajar yang akan menemukan hal-hal baru baik kecil maupun besar, nah jika suatu ketika dari hasil belajar itu tiba-tiba mereka menemukan pemikiran besar, suatu visi misi besar yang itu hanya akan berhasil jika ditopang oleh kekuatan negara dan dimana ia yang memimpinnya. 

Dalam hal ini kenapa kita tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa memimpin lagi? 

Hal lain pula, misal dalam kondisi tertentu, bangsa ini tiba-tiba kehilangan arah, gonjang ganjing dan ternyata ketika dengan keberadaan sosok-sosok mantan presiden tersebut kondisi bangsa menjadi terarah kembali, lalu kenapa kita tidak memberi kesempatan kepadanya untuk memimpin lagi. 

Atau MPR yang memilki wewenang besar, bisa menciptakan ruang bagi pemimpin sepuh yang memilki visi misi besar itu untuk bisa tetap memimpin di ruang atau lembaga dengan kewenangan besarnya tersendiri. 

Bagi penulis, hal-hal seperti ini justru akan membangkitkan harapan, semangat dan gairah hidup bagi para pemimpin sepuh dan juga para pengikut sang tokoh sepuh.

Terpenting dipikirkan pula, bahwa jika pun masa jabatan dilegalkan ketiga kalinya, apakah kekuasaan kekayaan dan kesejahteraan akan terjamin jadi merata? 

Atau malah sebaliknya makin terpusat ditangan segelinitir elit saja? Pikirkan dan buatkanlah aturannya jika memenag itu sudah menjadi keinginan para pengambil kebijakan para wakil rakyat di senayan sana.

Tentu saja, kembali kepada persyaratan untuk menjadi memiliki hak terpilih berperiode-periode itu haruslah jelas, ketat dan tidak sembarang. 

Saluran demokrasi harus pula dibuka seluas-luasnya. Anak-anak bangsa yang hidup dari yang punya maupun tak punya dari desa terpencil sampai pelosok kota harus terjangkau oleh saluran demokrasi. 

Saluran demokrasi harus berusaha untuk mampu menjangkaunya. Calon pemimpin tidak hanya dibatasi oleh kebijakan-kebijakan rekayasa kaum elit. Syarat calon pemimpin harus lebih mengarah ke basic pemikiran dan bukan sekedar punya banyak uang, pangkat atau kedudukan.

Akhirnya, jika seseorang sudah duduk di singga sana pemimpin, maka rakyat harus mendukung sekaligus mengawasi dalam saluran demokrasi yang terbuka bagi siapa saja. 

Seorang pemimpin yang hendak mencalonkan kembali jika pun ia tak memiliki pemikiran apa-apa untuk bagaimana membangun dan mensejahterakaan serta memajukan bangsanya, apa lagi mengada-ada, rakyat akan mampu menilai di dalam system demokrasi yang terbuka itu. 

Jangankan untuk dua atau tiga periode, sekali periode saja, jika ia tidak baik, maka di tengah jalan pun mungkin rakyat ingin dia segera disudahkan. 

Namun jika ia patut dan layak dan apa lagi  setelah dirinya mampu menyelesaikan periode wajibnya selama dua periode ternyata ia masih memiliki amunisi berupa visi misi besar, kenapa kita tidak berikan kesempatan itu sebagai penghargaan kita pada manusia dengan kemanusiaannya.

Walau kemudian tetap akan dikembalikan kepada dan di hadapan sang pemberi ketentuan, yaitu rakyat semesta sebagai suara tuhan yang memutusnya.

Dengan literasi ini, harapan penulis kiranya MPR mampu memformulasikan fikiran dalam usaha kita bersama mencari solusi terbaik guna ditetapkan demi kebergunaan dan kebaikan rakyat dan bangsa di masa depan.

Jika dirasa periode berkali-kali itu ternyata banyak modhorotnya, maka mungkin yang terbaik tidak memperpanjangnya. 

Namun jika periode ke tiga kali bagi satu saja presiden yang terkatagori luar biasa dan dengan syarat yang ketat itu ternyata akan mendatangkan banyak kemaslahatan, silahkan segala aturan kearah itu di formulasikan dengan bijak. 

Penulis hanya berusaha membantu memberikan pemikiran dari segala sudut pandang. 

Karena ini keputusan besar. Penulis tak hendak memaksa agar diambil keputusan dari salah satu sudut pandang penulis saja. 

Apapun keputusannya, rakyat akan melihat itu sebagai keputusan bijak dari para wakil di senayan dan rakyat dibelakang mengharap itu mendatangkan maslahat bagi rakyat banagsa dan Negara.  

Kini, kembali kita ke leptop, kepada soal Soekarno. Kepada para pengagum soekarno, termasuk diriku, kesekian kali ku katan, tak ada maksud tulisan ini, terutamasekelumit ulasan tentang Soekarno di atas tadi, mengecilkan pemikiran soekarno. 

Mungkin dari sekian anak bangsa, baru ini terdengar seorang aktivis yang berani berbeda memandang soekarno. Aku bukan lagi hendak mengajarkan pertentangan terhadap sang proklamator yang di titik keproklamatorannya kita sangat junjung tinggi dan hargai. 

Dengar ini, Soekarno telah benar dalam membawa kediriannya pada zamannya. Ideologi yang ia genggam itu benar pada saat itu, saat sebagian dunia melawan kapitalis. 

Soekarno telah hidup di bagian itu di zaman itu. Meski di zaman kini, perubahan besar harus dilakukan oleh kita, bukan untuk kembali pada masa lalu pertentangan dengan kapitalis, karena kapitalis sesungguhnya memenuhi ketentuan hukum tuhan tentang kebedaan. 

Namun ketika kapitalis telah menjadi berlebihan, eksploitasi dan membuat kerusakan dan jauh dari keadilan, di sinilah manusia mesti melihat itu dan lalu membuat batasan yang tidak membatasi melainkan mencipta jalan keadilan yang dengan itu rasa manusia tergerak sendiri, seperti halnya manusia yang tergerak dengan sendiri untuk berlomba dalam menjadi dan memenuhi dirinya sebagai manusia kapitalistik. Ini hakekat ideologi.

Siapapun jangan ada yang coba-coba melakukan pengerdilan kepada Soekarno jika tak memiliki dasar pemikiran. 

Sebab soekarno adalah symbol sejarah dan keindonesiaan kita di mana dengan sengaja tanpa bahasa yang baik dan alasan kuat mengecilkannya, akan sedikit banyak bisa meruntuhkan kedekatan jiwa kita manusia Indonesia pada tanah negeri sebagai tumpah darah. 

Kita belum melalui masa beratus tahun sejarah keberdirian bangsa. Kita masih melihat sosok, patron dan keturunan sebagai sebuah alasan perilaku adab dan panutan. Lain halnya jika telah beratus tahun berlalu, di mana kecenderungan cara pandang sosial manusia berubah tak bertumpu lagi pada sosok, patron dan silsilah masa lalu. 

Di sinilah pula berlaku kesemestian kehati-hatian  anak biologis soekarno dalam bersikap, berpolitik dan  berperilaku dalam membawa nama baik ke soekarnoan. 

Ini bukan mengajari ikan berenang tapi kealpaan, ketidaksadaran akan apa dan siapa orang-orang terdekat yang tampak menyokong dan mungkin memang tulus menyokong, namun ketika itu tanpa dilandasi kecemerlangan pikiran, dampaknya buruk kemudian. 

Hal-hal di atas adalah kenyataan-kenyataan yang kerap terjadi pada manusia.

Sekali lagi tak ada yang boleh coba-coba mengerdilkan soekarno. Keberanian penulis hanyalah dalam rangka membuka ruang kesadaran akan sesuatu yang menurut penulis mungkin belum tergarap oleh soekarno sendiri dan tidak terpikir oleh anak-anak ideologinya yang berakibat bangsa ini mengalami banyak degradasi. 

Membuka kelemahan buah pikirnnya adalah satu-satunya cara untuk membuka ruang  sadar kita akan kebenaran yang datang tertunda. 

Dengan ini mari kita berpikir positip, bahwa dalam bumi Indonesia ini, ada yang belum sempat digali oleh soekarno dengan segenap anak sejarah kala itu, oleh anak biologis serta anak ideologis dan anak-anak Indonesia seluruhnya. 

Dalam hal ini penulis tidak akan lebih jauh membawa kita semua menemukan seperti apa pemikiran yang ideal itu. Karena itu hanya akan menghentikan bola salju diskursus ini mengenlinding. 

Dan biarlah ia menggelinding sehingga membuat semua anak bangsa menjadi berpikir sebab penulis pun ikut pula dalam proses berpikir. 

Oleh karena itu mari kita berpikir keras untuk mencari dan menggalinnya demi masa depan bangsa, rakyat dan negeri yang kita cinta.

Kepada siapapun yang merasa lemah pikir dalam melihat perbedaan, jangn takut tidak ada dalam ruang yang sama dengan para pemikir dan pembaharu negeri. Jika hati dan kita membersamakan diri, itu bukan hal kerdil. Yang kerdil  adalah yang tidak mau menegakkan dan bersama dalam kebenaran yang hakiki.

embuat haluan, jika dilandasi hati tulus itu baik agar seluruh anak bangsa mengerti itulah cara kita, tujuan kita. 

Namun mengharuskan  semua anak bangsa tunduk dalam keharusan satu pikiran, satu haluan, tanpa memberikan celah dan kebebasan berkarya, berekspresi dan berbuat kebaruan sesuai pemikiran dan gagasan, adalah pengekangaan dan pengingkaran demokrasi yang telah kita sepakti. 

Pun kesepakatan, bukan pula berarti harga mati untuk tidak bisa berulang bersepakat lagi. 

Semua bergantung kepentingan nasional dan atau kebutuhan atas masa depan bangsa. 

Indonesia, jangan sampai terjebak pada suatu keadaan dimana kita tidak memilki jalan keluar karena kekakuan kita dalam bersikap di hari ini. 

Masa depan yang tak pasti, itu mudah kita lewati jika kita telah menyiapkan segala antisipasi.

Wallahua’lam bissawab...


Salam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak