Jadikan kata-kata PERSATUAN sebagai sesuatu yang mahal dan berharga bagi rakyat indonesia. Seorang pemimpin, dalam hal ini presiden, mestinya sadar, faham dan menjiwai ucapannya. Terutama ucapan-ucapan yang berkaitan dengan sakralitas serta serimoni penting kebangsaaan kita.
Kata-kata persatuan, selintas hal biasa, di suatu kampung, di desa atau pelosok-pelosok kota, dari mulai pejabat tingkat bawah hingga atas terbiasa mengungkap kata-kata persatuan.
Tapi seorang pemimpin yang mestinya sangat dalam menyelami jiwa nurani rakyatnya, ketika mengucap kata persatuan bisa mengalirkan air mata di jiwanya.
Dulu saat melawan penjajah, kita bergembira dalam persatuan demi satu titik dan harapan, kemerdekaan. Nyata, bahwa untuk bersatu dibutuhkan kesamaan rasa, kegembiraan bersama, dan harapan besar bersama.
Namun sadarkah kita, di balik itu kata-kata persatuan tidak hanya ada anjuran, kehendak, kemauan, langkah dan jalan? Mereka yang berteriak bersatu, bahkan kaum papa dari sudut dusun dan sudut kota lupa deritanya.
Kita yang berpunya, kita yang kebetulan memiliki kesempatan ada di ruang kekuasaan tertawa senang melihat mereka. Suatu sisi, kita menandai mereka sebagai menghargai kita karena kita ada di titik kuasa yang dalam makna lain penyeru mereka untuk tunduk dalam arti persatuan itu.
Sekali lagi, itu karena kita di titik kuasa. Tapi mereka? Hidup terjepit dalam sempitnya harapan dan bahkan tak punya harapan, bersorak dalam girang menyebut kata persatuan. Bandingkan dengan kita yang hidup bergelimang bahagia dan harapan.
Dalam kaca mata kita dari langit, artinya mereka menjalani ketertipuan, dipaksa oleh suatu keadaan yang dibuatkan agar mereka tunduk pada persatuan. Yang dipersatuan itu mereka tidak tersadar akan harapan dan bahagia yang tak mereka punya. Ini terjadi dalam kondisi mereka tak sadar dan kaca mata langit itu dari sisi kita yang punya kuasa.
Bagaimana jika mereka sadar dan kaca mata langit itu dari sisi mereka? Tentu mereka akan menganggap bahwa hidup itu tidak adil. Sebab untuk bisa ada dalam barisan bersatu itu mestinya mereka harus memilki kesamaan bahagia dan kesamaan harapan.
Dan ketika mereka harus tunduk dalam makna bersatu juga, itu siksaan. Ya, siksaan bagi mereka yang tak punya harapan.
Bagi seorang presiden, mestinya ketika mengungkap kata persatuan, menjadi evaluasi tahunan. Dibalik kata persatuan, lihat orang-orang yg dengan jiwanya masih teraniaya..para korban HAM yang setiap kamis berjejer di depan istana dan korban-korban lainnya.
Lihat jiwa yang teraniaya akibat hak-haknya terampas pada perkebunan kelapa sawit di mesuji lampung sana, rasakan derita orang yang mati sia-sia tanpa dosa, rasakan detak jantung dan jiwa orang-orang lapar miskin papa, para buruh, petani, nelayan kita..apakah kemerdekaan dan kata-kata persatuan itu menggembirakan jiwa mereka?
Atau kita tengah melilitkan bendera merah putih pada leher mereka, lalu dengan kegembiraan kita di altar kuasa dan kemenangan menyeret bendera itu sehingga mencekik leher mereka...
Duhai presiden, hormat menjura kita rakyat tak terkatakan padamu Itu karena harapan engkau memenuhi takdirmu sebagai yang memberi dan menyempurnakan harapan bagi mereka.
Mari renungi, dan jika jiwamu sampai pada jiwa mereka, menangislah. Menangisi nasib rayat yang teraniaya di suatu sudut negeri yang tak terjamah tanganmu adalah pengakuan dan sekaligus permohonan kekuatan pada tuhan.
Menangislah untuk merka. Menangis bukan kelemahan. Menangis untuk suatu nilai tertinggi, demi makrna kemanusiaan adalah tangis kekuatan. Kekuatan tertinggi bukan hanya pada ketika kita mampu membuat manusia lain terperangah.
Ketika manusia mampu menangis oleh dera dan derita kemanusiaan justru adalah kekuatan manusia yang sesungguhnya...
Salam