Benteng Terakhir
Tragedi Cinta Harmoni
Diilhami oleh Tragedi Kemanusiaan
Talangsari Lampung
Sebuah Novel
Pembangun & Pembebasan
Oleh
TOMY IRFANI
Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari pemegang
hak cipta, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, seperti cetak,
ISBN : 978-602-97264-0-4
Editor : Weni Rahayu
Desain cover : Marna Sumarna
Penata Letak : Ach. Sakti W.
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Gaung Media
Email: tomyirfani71@gmail.com
gaungmedia@yahoo.com
© 2010 oleh Tomy Irfani
fotokopi, microfilm, CD-Rom, dan rekaman suara.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Daftar Isi
Daftar Isi iii
Ucapan Terima Kasih v
Sekapur Sirih ix
Bab 1 Bumi Ruwa Jurai 1
Bab 2 Tanah Itu Masih Milikku 33
Bab 3 Mempertahankan Tanah 67
Bab 4 Pencinta yang Tak Berdaya 79
Bab 5 Harga Kehidupan 127
Bab 6 Musuh di Ambang Fajar 159
Bab 7 Antara Merabu dan Talangsari 225
Bab 8 Peristiwa Talangsari 255
Bab 9 Pernikahan Berdarah 311
Bab 10 Asa di Antara Puing-Puing Kehancuran 341
Bab 11 Menelusuri Jejak yang Hilang 391
Bab 12 Kukuhnya Janji Setia 437
Bab 13 Arti Hidup dan Cinta 483
Riwayat Hidup Penulis 529
Ucapan Terima Kasih
Rasa syukur dan terima kasih tak terhingga kupanjatkan kepada Tuhan seru sekalian alam yang telah memberikan kesempatan, waktu, dan ruang untukku hidup.
Juga memberikan kekuatan padaku untuk tak lelah berusaha mengais-ngais mencari celah, ranah kehidupan yang berarti. Hingga kuselesaikan salah satu karya, buku ini.
Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa syukur yang tak terhingga ini.
Namun perlu kiranya pembaca tahu, sebelum novel ini terbit, ide-ide pemikiran di novel ini, beberapa di antaranya ada yang pernah penulis ungkap lewat tulisan berupa makalah kecil atau lewat obrolan-obrolan di suatu organisasi kemahasiswaan dan tempat-tempat tertentu.
Hal yang kerap tak penulis sadari adalah bahwa kalau anggota di setiap organisasi ada orang-orang intelegen, para informan atau anasir serta kaki tangan orang-orang organisasi politik yang mempunyai kepentingan.
Ketika kemudian banyak yang tahu niat penulis hendak menerbitkan novel ini, maka pemikiran penulis dan ide naskah novel ini pun diintip-intip.
Ada yang curiga, ada yang ingin tahu dan ujungnya tentulah berkepentingan terhadap ide-ide serta pemikiran penulis.
Pada akhirnya penulis merasakan adanya berbagai ganjalan untuk terbitnya novel ini. Namun suatu ketika tiba-tiba penulis pun merasakan berbagai kalangan, dari presiden hingga penyanyi, semarak mengungkapkan hal ikhwal yang identik dengan ide
Benteng Terakhir
dan falsafah yang ada di dalam novel ini. Misalnya tentang keseimbangan dan harmoni. Terhadap hal itu, penulis sesungguhnya senang. Sebab dengan begitu berarti pemikiran penulis terpakai.
Namun sesungguhnya pula bersedih. Hal seperti ini penulis ungkap, sekadar memberitakan adanya sebuah pergumulan.
Awalnya, penulis berharap walau sederhana novel ini bisa terbit ketika Soeharto masih hidup. Dengan harapan Soeharto dan orang-orang yang hidup segenerasi dengannya tahu, bahwa generasi baru akan mengoreksi kekeliruannya.
Meski demikian koreksi generasi baru itu amatlah beda dari yang lain selain juga tak kalah mencintai Bumi Pertiwi.
Harapan penulis selanjutnya novel ini dapat penulis hadiahkan pada para kandidat pilpres 2009.
Agar sedikit banyak bisa mewarnai pilpres langsung pertama Indonesia. Sebagai sumbang saran hingga bisa diterjemahkan atau didialektiskan oleh para pemimpin terpilih demi kukuhnya landasan dan tujuan bangsa.
Demi tercapainya kebenaran serta kemerdekaan hakiki dalam wujud keadilan yang tercipta di bumi Nusantara ini.
Sayangnya niat itu semua tak kesampaian.
Namun penulis masih tetap berprasangka baik. Mungkin Tuhan belum menghendaki kehadiran sosok penulis dengan novelnya yang seperti ini, dalam situasi negeri sekarang ini.
Sebab mungkin saja akan melampaui kemampuan kita untuk menahan efek terjangan balik badai perubahan yang dibawa novel semacam ini.
Karena Tuhan sayang pada penulis dan juga pada negeri yang amat penulis cintai ini. Makanya Tuhan belum mengizinkan untuk terbit. Meski naskah dan ide-ide novel ini akhirnya tetap tersebar ke tangan atau pihak-pihak tertentu.
Setelah selesai pemilu, seiring upaya keras penulis meyakinkan berbagai penerbit yang sepertinya takut menerbitkan, penulis merasakan seolah ada tangan tersembunyi, seperti tangan dan hati yang entah sadar atau tidak digerakkan Tuhan.
Mata hati yang diam-diam menyadari pandangan penulis tentang berbagai keadaan bangsa dari degradasi moral, hukum, hingga budaya dengan segala kecarutmarutannya, yang diungkapkan dalam novel ini.
Tangan tersembunyi itu lalu mencoba beroperasi menerjemahkan novel ini dalam bentuk samar sebuah dialektika kehidupan namun nyata dalam mewarnai sebuah
v
Benteng Terakhir
proses perubahan bangsa. Hingga kejadian-kejadian kontemporer yang mengiringi perjalanan bangsa, baik eksplisit maupun implisit terasa sebagai persamaan-persamaan atau terjemahan yang dialektis yang diingini novel ini maupun penulis sendiri.
Tentang kesetiakawanan, kemanusiaan, nasionalisme, keadilan, semangat pembelaan, dan sebagainya yang kita tuntut dan usahakan bersama.
Keinginan menerjemahkan itu sesungguhnya baik.
Namun, cara dan keadaan membuat segalanya seperti proses kesusu tanpa empu, menghasilkan gerakan tanpa bentuk yang akhirnya menghambarkan langkah, bahkan menekan rasa kesabaran di tengah visi, dan misi yang hendak ditempuh.
Meski demikian, lamanya novel ini terbit sejak selesai dikerjakan, penulis sendiri tetap bersyukur, bahkan sekiranya tidak ada penerbit yang berani menerbitkan pun penulis tetap bersyukur.
Sebab selain sedikit banyak telah menetralisir fenomena firasat dan dampak, penulis merasa skenario dialektis itu sedikit banyak telah berjalan, naskah novel ini sudah bisa menebarkan aura pesan perubahan.
Demi kukuhnya landasan dan cita-cita bangsa, cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur dalam kemerdekaan, kemerdekaan dalam keadilan.
Ketika akhirnya novel ini dengan susah payah penulis terbitkan sendiri, penulis tetap menandainya sebagai sumbangsih saran bagi benarnya landasan dan tujuan bangsa.
Namun sekaligus pula bentuk tuntutan dan perlawanan kita, rakyat semesta pada ketidakadilan yang semakin merajalela. Yang harus terus dan terus digelorakan hingga tercapai cita-cita.
Untuk Ibuku yang dengan rahimnya telah melahirkanku dan dengan doa-doa selalu mengiringi langkahku, terima kasih, Bu.
Juga untuk Bapakku yang sejak aku kecil telah tiada. Ya Allah kumohon terangkanlah kuburnya beserta kubur-kubur orang bermanfaat di dunia.
Kuucapkan terima kasih pula kepada yang telah dengan baik hati tanpa pamrih membantuku dalam menyelesaikan novel ini.
Percayalah, pengorbanan itu tak akan sia-sia. Kepada para pejuang bangsa, pejuang kemanusiaan, pejuang lingkungan, dan pejuang demi perubahan yang telah meninggal dunia
Vi
Benteng Terakhir
dalam perjuangan, doaku, doa kami anak negeri, surga terindah untukmu. Percayalah, perjuangan itu takkan henti untuk diteruskan.
Kepada keluarga yang ditinggalkan, yang terlukai oleh sikap para pemimpin yang tak peduli, kami atas nama rakyat seluruh negeri, atas nama negara dan bangsa memohon maaf yang sebesar-besarnya. Sesungguhnya air mata kalian adalah air mata negeri ini.
Salam perjuangan untuk para pemilik ketulusan hati, para aktivis lingkungan, aktivis kemanusiaan, aktivis antikorupsi, aktivis HAM, dan aktivis mahasiswa di berbagai wadah pergerakan dan organisasi kemahasiswaan.
Kita semua telah banyak bersama dalam jiwa dan semangat berdemonstrasi di jalanan, dalam rangka semangat perubahan dan pembelaan.
Dan ini, buku ini, sebagai tanda bahwa perjuangan kita tidak hanya berdemonstrasi di jalanan.
Tetapi ini, gerakan kultur dan moral ini, adalah juga bagian dari perjuangan kita untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita tentang tatanan terbaik sebuah negeri, negara bangsa yang amat kita cintai ini.
Terima kasih pula kepada orang-orang yang telah bersinggungan secara langsung maupun tak langsung denganku disaat aku observasi dan menggali informasi ke tempat-tempat jauh di pelosok Lampung.
Perjalanan panjang yang penuh rahasia. Kesendirian yang sunyi dan kelelahan yang sangat, yang kini terbayar oleh kata-kata syukur, ketika terbitnya novel ini.
Terakhir, kalau boleh kukatakan, buku ini dengan segala isinya, seperti buku-buku ku terdahulu, agar menjadi sumber inspirasi bagi berbilang generasi dunia, khususnya anak-anak bangsaku.
Agar jadilah penguat kecintaan pada bumi, pada bangsa, pengukuh perjuangan demi tercapainya kemerdekaan dan keadilan hakiki.
Menjadi sumber inspirasi pula bagi perjuangan pembelaan akan hak kemanusiaan dan hak azazi alam, yang mengalir di berbilang generasi dan zaman.
Khusus untuk tanah bangsaku yang kuidam-idamkan hijau, indah, damai, makmur dan sejahtera. Sekali lagi, walau mungkin sederhana, Semoga novel ini bermakna.
Vii
Sekapur Sirih
Kesemena-menaan atau kezaliman terhadap hak asasi manusia cenderung akan beriringan dengan perusakan atau kezaliman terhadap hak asasi alam.
Sedangkan hancurnya alam sebagai akibat dari tindakan perusakan oleh manusia, adalah indikasi sedang terjadi atau pernah terjadinya kesemena-menaan terhadap hak asasi manusia.
Apakah itu menimpa negeri kita?
Hilangnya landasan dan arah kerap membuat kita tak sadar apa yang kita buat, menyakiti diri, sesama, dan bahkan bumi kita.
Berangkat dari pemikiran itu semua, muncullah keinginanku untuk membuat jendela dengan sekelumit catatan kecil di dalamnya.
Dan kalau mungkin bisa disebut sebagai jendela peradaban, agar berbilang generasi bisa melihat takdir perjalanan dalam kurun waktu tertentu yang pernah negeri ini lewati.
Maka, kubuatlah novel ini agar dapat terurai di berbilang zaman.
Meski sekadar novel yang kusebut catatan kecil, kuharap jendela yang kubuat menjadi kaca yang akan dapat membuat generasiku, anak-anak bangsaku bisa melihat dirinya, membanding hari lalu, sekarang, dan menatap hari depan.
Kita pernah mengalami suatu masa di mana pemimpin dan kita semua terbilang naif.
Kita tak jauh beda dari “seekor burung beo”. Dipelihara sejak kecil dengan kaki terikat di sebatang kayu dan diletakkan di ruang tamu. Si burung beo menganggap tali yang mengikat kakinya
Benteng Terakhir
merupakan bagian tubuhnya atau bagian dari hidupnya. Oleh Karena itu, ia tak pernah berpikir bahwa itu sesungguhnya adalah belenggu yang telah merampas kebebasannya. Si burung beo pun diajari bicara agar terlihat pintar.
Kita juga dapat diibaratkan sebagai “seekor monyet” atau orang utan. Dipelihara dan dilatih sejak kecil. Setelah besar, disuruh memetikkan buah kelapa atau melakukan pekerjaan apa saja.
Lebih parah lagi,seibarat “seekor anjing liar” yang dipelihara sejak kecil agar setelah besar dapat dijadikan sebagai “penjaga rumah” tuannya.
Pada saat ini, sebagai anak bangsa kita mungkin berada dalam kondisi seperti itu.
Sejak kecil kita dipelihara agar setelah besar dapat digunakan untuk menjaga kepentingan siapa pun yang berkepentingan terhadap republik ini.
Atau parahnya lagi, di mana anjing dimasukkan ke dalam suatu tempat bersama anjing-anjing lain agar berkelahi untuk kemudian jadi tontonan yang menarik untuk diramaikan dengan tepuk sorai.
Ya, seibarat burung beo, monyet, atau anjing liar….kehidupan suatu masyarakat di mana masih menyimpan sifat-sifat primitif atau kebinatangan.
Kenapa analogi kita sampai seperti itu? Karena memang hidup dan kehidupan kita sesungguhnya masih dalam tataran sifat kehidupan binatang.
Kita belum menjadi manusia yang sesungguhnya, yang seharusnya mampu berpikir apalagi bila bersentuhan dengan manusia lain yang seharusnya kita bisa meraba baik dengan insting maupun dengan akal sehat yang kita miliki, akan jadi apa kita, akan kemana kita? Dst. Dst….
Dalam tataran ini, kita masih seibarat burung beo yang terlihat menarik dan merasa menarik karena kicaunya mampu menirukan langgam sang pemilik.
Kita masih seibarat monyet yang berharga karena bisa disuruh apa saja.
Kita pun masih seibarat anjing liar yang sewaktu-waktu dapat membunuh sesama kita, baik disuruh maupun kehendak kita sendiri yang disebabkan kita masih memiliki karakteristik serigala dan primitif.
Kenapa kita masih dalam tataran demikian, padahal di jaman ini telah banyak tercetak sarjana-sarjana yang terhitung pintar? Untuk menjadi manusia yang utuh dan tidak lagi mempunyai
ix
Benteng Terakhir
karakteristik binatang yang diam ketika dicucuk hidungnya dan yang buas seperti serigala, tidak cukup hanya sekedar pintar. Tapi dibutuhkan pula kemauan untuk menyerap mengambil hikmah serta berkaca pada jejak masa lalu.
Karena masa lalu itulah, dalam kontek sejarah yang telah melalui proses dialektis, terinternalisasi, dan terinventarisir, adalah masa depan kita.
Sayangnya sepertinya kita kurang bisa dan berkemauan untuk itu. Kita juga pernah mengalami suatu masa ketika umat Islam dianggap musuh, kemudian ditekan, dan di kemudian hari muncul semangat perlawanan.
Dan karena gegabah dalam memahami arti perlawanan serta cara berjuang, maka muncul semangat perlawanan dalam bentuk radikalisme yang akhirnya merugikan citra Islam.
Pada saat yang bersamaan, kerapuhan diri kita mendorong jiwa kita gamang dan tak jembar memahami landasan dan tujuan kita sendiri.
Ada apas sesungguhnya dengan bangsa kita dan secara spesifik dengan umat Islam di negeri ini?
Dan banyak lagi hal-hal yang kita ketahui serta pertanyaan-pertanyaan lain yang harus kita jawab dengan jawaban dari seorang manusia, bukan jawaban dari beo, monyet, anjing liar, atau serigala.
Walau demikian, sekapur sirih ini tidak secara keseluruhan berhubungan dengan alur cerita yang ada dalam novel.
Sebab novel ini sekali lagi, hanya menggambarkan salah satu kekeliruan terbesar kita dan segenap rezim yang pernah berkuasa di negeri tercinta ini.
Sekadar ungkapan, “Lebih baik hidup di negeri berhias tanaman di huma atau ladang, tanaman di kebun dan hutan, daripada berhias gedung megah, tetapi tersakiti dan tak merdeka dalam ketidakadilan karena terjajah.” Salah satu ungkapan yang mungkin bisa menggambarkan rasa resah karena berbagai kekeliruan kita.
Dan kekeliruan itu tidaklah harus ditutupi. Agar bisa kita jadikan cermin peradaban.
Seorang pemimpin yang besar dengan segala tujuan besarnya pun, jika keliru, dengan jiwa besar akan mengakui kekeliruannya.
Apalagi jika pengakuan itu ditujukan demi kebaikan dan kebesaran bangsanya. Maka tetaplah sang pemimpin menjadi besar dengan kebesaran jiwanya. Lalu terjalinlah jalinan yang indah,
x
Benteng Terakhir
ketika generasi selanjutnya menjadikannya sebagai ladang perenungan. Apa sebaiknya yang harus kita lakukan dan tidak kita lakukan.
Sebab,sebaiknyalah kita ada dan hidup hari ini bukan hanya untuk memikirkan diri kita sendiri, melainkan juga untuk memikirkan beratus-ratus tahun kemudian keberadaan kita dan bangsa yang kita cintai ini, keberadaan anak-anak cucu kita, kita sebagai bangsa, bukan hanya sekedar diri sendiri.
Agar bahagia, agar tak teraniaya, lalu bagaimana dan akan jad iseperti apa masa depan mereka nantinya.
Jakarta
Tomy Irfani
xi
Sebagian kisah novel ini berlatar belakang kejadian-kejadian di masa lalu, di mana kerap terjadi penghancuran alam dan perselisihan atau perseteruan antar kelompok. Hal mana masih juga kerap ada dalam wilayah-wilayah di negeri ini.Sebagian kisah novel ini ditukil pula dari suatu kejadian nyata, di mana tanah Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai, pernah menjadi saksi atas suatu pembantaian manusia oleh manusia di sebuah dusun bernama Talangsari.Kolaborasi antara fiksi dan fakta, baik tempat-tempat kejadian maupun pelaku tidak lain hanya ditujukan untuk mengungkap realita, waktu demi waktu yang dilewati pada saat terjadinya peristiwa itu.Dan karena niat penulis dalam menulis novel ini adalah mencari hikmah, maka nama-nama tempat dan pelaku yang tercantum bukanlah nama sebenarnya. Nama-nama pelaku yang sebenarnya ada pada penulis.
Benteng Terakhir
Bab1
Bumi Ruwa Jurai
(Tanah dua adat)
Angin pagi berhembus menyentuhi dedaunan basah berembun, menelusup di antara beribu batang pepohonan yang berdiri kekar. Layaknya barisan laskar.
Hutan yang lebat. Tanahnya basah. Sungainya mengalir jernih dengan airnya yang melimpah. Gambaran makmur serta sempurnanya tanah ini, tanah surga, tanah kaya raya, di mana tongkat dan batu, kata sebuah nyanyian–pun bisa tumbuh jadi tanaman bermakna.
Angin terus berhembus. Hingga terkadang terasa seperti menebar berita. Hutan, hutan... Itu kayu-kayu berharga, merbau, meranti, sungkai, trembesi, hingga bulian...
Mungkin karena kodrat, sebagaimana angin berhembus dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Tak kenal lelah menebar berita. Sebagaimana angin menebar keharuman pada hidung-hidung manusia yang mengembang.
Sebagaimana kodrat semut yang berkumpul mengejar kemanisan. Sebagaimana virus yang menyebar dan menjalar. Sebagaimana ruh yang mengisi jasad karena kodrat kehidupan.
Tapi angin yang berhembus tentulah tak akan teramat kuat membawa berita hingga sampai kepada manusia.
Mungkinkah ruh-ruh yang ada pada jasad-jasad manusialah yang teramat kuat memiliki pancaindra penciumannya? Hingga tahu di suatu sudut dunia ada hutan lebat dan kaya. Tak tahulah. Yang jelas, kebutuhan manusia, membuat
1
Benteng Terakhir
manusia mengejar mimpi-mimpi manusia atas yang dibutuhkannya. Hingga bila dipandang dari sisi lain, manusia tampak pula seperti angin, seperti semut, seperti virus. Bahkan manusia seperti ruh, yang menyusupi manusia-manusia lainnya.
Sebuah mobil sedan bagus melintas di jalan desa yang belum diaspal. Mobil itu menuju tanah berpohon-pohon, hutan lebat di sana.
Kibas dari laju mobil itu menggoyangkan rumput-rumput kecil liar di pinggir jalan. Angin yang ditebarkan dari manusia yang ada di dalam mobil itu seperti membawa aura dari dunia lain, kemudian menjamah manusia-manusia lain yang dilaluinya.
Dia manusia kota.
Dia telah sampai di desa itu.
Sejak saat itu, di desa cukup jauh dari hutan itu, mendadak sontak ramai orang-orang bergunjing tentang pembangunan industri di desa mereka.
Ada yang bangga, ada yang senang karena desa mereka akan jadi pusat keramaian. Semua menunjuk ke arah hutan di sisi barat desa mereka.
Hutan itulah yang akan jadi tempat pembangunan industri.
Meski demikian, ada juga pihak yang tak setuju hutan di sana ditebangi. Akibatnya, banyak orang teraniaya karenanya. Puncak keteraniayaan itu, hampir satu keluarga ada yang mati terbunuh.
Tapi sekarang tempat di mana hutan itu berada dulu, yang tersisa sebuah kontradiksi. Setiap datang, matahari selalu garang memanggang. Angin yang berhembus kini hanya menyentuhi lereng-lereng yang tiada pepohonan lagi.
Sebuah sungai kurus keriput, dengan airnya yang telah jauh menyusut, tampak membelah tanah kerontang itu. Lepas dari bantaran sungai udara serasa kian panas menyengat.
Cukup jauh dari sungai kurus keriput itu, sebuah pondok berpanggung tampak sunyi. Hanya debu dari tanah kering terpanggang, kadang tampak mengepul di dekatnya. Debu yang diterbangkan angin puyuh kecil, seperti gasing yang berputar sesaat.
Di sekitar pondok tampak tumbuh beberapa tanaman dengan terpaksa. Memang hidup tanaman di lahan itu seperti dipaksa. Beberapa helai pakaian rombeng tergantung di jemuran, bergoyang-goyang ditiup angin.
2
Benteng Terakhir
Di sisi lain pondok, seperti ada tiga gundukan tanah kuburan memanjang, sepanjang tinggi badan manusia. Ujung setiap gundukan tanah ditumbuhi pohon jarak dengan beberapa lembar daun tua. Itu memang kuburan.
Sunyi. Namun dari tanda-tandanya, pondok itu ada penghuninya.
Kian tinggi matahari. Panas pun kian menyengat. Angin panas yang berhembus lalu lalang, sedari tadi tak menyentuh tubuh manusia. Memang tak ada manusia yang mau tinggal di tempat seperti itu, kecuali terpaksa.
Namun, ketika matahari tepat segaris di atas mubung pondok, tiba-tiba dari kejauhan muncul dua manusia mendekati pondok itu. Seorang perempuan tengah baya dan seorang anak. Sesekali ada obrolan kecil di antara mereka.
“Kau lelah, Salwa?” tanya sang emak.
“Ah, tidak, Mak,” jawab anaknya yang dipanggil Salwa.
“Kalau lelah emak gendong.”
“Tidak, Mak. Masa anak Emak begini saja lelah.”
Sang emak tersenyum. “Hidup itu perjuangan,” ungkap sang emak. Sebuah ungkapan yang sering diucapkannya. “Jangan rasakan derita yang sedang kita jalani. Tapi bayangkan kesudahannya,” kata sang emak seraya tersenyum yang diikuti pula senyum anaknya.
Jamila, nama perempuan itu. Ia baru saja menjemput anaknya pulang sekolah. Tujuh kilometer jaraknya. Jarak yang lumayan jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Sesampai di pondok ia berkata, “Cucilah tanganmu Salwa, lalu segeralah makan di atas sana.”
“Iya, Mak,” jawab Salwa sambil menaiki anak tangga dan masuk ke dalam pondok.
Jamila masih meneduh di bawah pondok. Sesekali ia terbatuk sambil memegangi dadanya. Dipandangnya sayur-sayuran dan umbi-umbian yang selama ini telah ditanamnya. Tanaman yang tumbuh kerdil-kerdil karena kekurangan air.
3
Benteng Terakhir
Kemudian disapukannya pandangan ke seantero tempat. Padang gersang, di mana kini ia berada. Sering kali ia tak percaya. Tanah ini,tanah miliknya, kini telah berubah jadi padang tandus. Gersang.
Padahal, tanah ini dulu subur. Hutan di sini dulu lebat dengan airnya yang melimpah. Embun pagi yang jatuh dari daun talas muda di tanah basah, hijau dedaunan dan warna-warni kembang semak perdu dengan harum kebasahannya, adalah keseharian yang dirasakan di sini.
Namun sejak kedatangan orang kota tak bertanggung jawab yang mendalangi penjarahan atas kayu-kayu, yang tersisa kini hanyalah kegersangan. Surga yang hilang.
Sejenak pandangannya berhenti pada tiga gunduk tanah di mana orang-orang terkasihnya: bapak, emak, dan suaminya disemayamkan. Mati, karena mempertahankan hutan dan tanah ini dari rampasan manusia-manusia rakus.
Kematian mereka yang sungguh mengenaskan. Bapak, yang menentang keras kehendak orang-orang yang katanya akan membangun industri di sini hilang dan ditemukan tewas tersangkut di rumpun bambu. Tak lama kemudian, sang emak pun tewas mengenaskan.Tubuhnya berlumuran darah di dasar lembah.
Dan yang masih cukup segar di ingatannya, bagaimana suami tercintanya mati dengan kepala berdarah-darah.
Sejak saat itu penebangan kayu-kayu di hutan pun terus terjadi. Penebangan yang disebut sebagai pembersihan lahan untuk dijadikan lahan industri. Penebangan yang oleh seorang Jamila tak bisa dicegah. Karena bila mencegahnya, ia tahu risikonya mati, seperti suami dan kedua orang tuanya.
Betapa lara batin Jamila. Mengenang nasib dirinya, hutan dan tanah serta orang-orang terkasihnya telah terbunuh di sini. Hatinya diliputi dendam. Andai ia mampu menemukan orang-orang yang telah membunuh bapak, emak, dan suaminya....
Terbayang orang-orang yang dalam wasangkanya telah mendalangi kekejian itu: orang-orang kota, Datuk Mursal Sang Kepala Desa dengan pamong desanya, atau warga yang terpengaruh hasrat menjarah.
Demi cinta dan kesetiaannya pada bapak, emak, dan suaminya yang telah rela mati demi mempertahankan hutan dan tanah ini, ia
4
Benteng Terakhir
pun tetap di sini. Sebab rumah satu-satunya di Desa Sematang telah dirobohkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab yang marah atas perlawanan mereka terhadap keinginan pemerintah yang hendak membangun industri di sini.
Di desa memang ada tetangga dekatnya, Emak Umi. Ia menawarinya untuk tinggal di rumahnya. Tapi Jamila tak ingin keluarga Emak Umi yang juga payah itu ikut menanggung beban kemarahan orang-orang desa. Sebab, semasa bapak dan suaminya masih hidup justru ekonomi keluarga itu bergantung kepadanya.
Selain itu, Jamila pun tak tahu harus ke mana mencari tempat yang dekat dengan mata pencaharian, kalau bukan di ladang ini. Di sini segala sayur-sayuran dan umbi-umbian bisa ditanam dan tumbuh. Cukup untuk makan dan sisanya bisa dijual di pasar untuk mendapatkan uang.
Ah, tapi itu dulu. Saat tanah di sini belum sekering dan setandus ini. Sekarang di sini,tanaman susah tumbuh kalau tidak disirami setiap hari. Ia pun harus mengunjal air dari sungai yang cukup jauh.
Demikianlah pada akhirnya emak dan anak itu tetap menjalani hidupnya di ladang itu.
Sesungguhnya Jamila sudah teramat lelah. Namun ketika terbayang si buah hati, Salwa yang harus terus diperjuangkannya, lelah itu tiada ia rasakan. Sebaliknya, dalam kelelahannya ia berusaha mencari harapan. Harapan untuk melihat kehidupan anaknya kelak bahagia.
Salwa, anak satu-satunya yang ia bela, sesungguhnya gadis kecil yang ceria. Ia gemar bernyanyi. Namun sebagai orang tua, Jamila juga tahu, putrinya sangat merana tinggal di ladang gersang ini karena tiadanya teman sepermainan.
Umi, teman sepermainan terdekatnya ketika masih di desa, tentu tak mungkin bermain di sini. Maka kadang ia berusaha untuk menjadi temannya. Agar keceriaan Salwa tak hilang, Jamila sering memaksakan diri untuk menemani putrinya itu bernyanyi di sela-sela istirahat mereka.
Serumpun padi tumbuh di sawah, hijau menguning daunnya.Tumbuh di sawah penuh berlumpur, di pangkuan Ibu Pertiwi. Serumpun jiwa suci hidupnya nista abadi. Serumpun padi mengandung janji harapan IbuPertiwi...
Itulah lagu yang sering dinyanyikan gadis kecilnya. Lagu yang ia dapat dari sekolah. Lagu yang kedalaman maknanya tak pernah ia
5
Benteng Terakhir
hayati apalagi mengerti, kecuali ia ingin suaranya dipuji. Namun, hidup di sawah ladang dengan segala keterbatasannya membuat Jamila hanya mampu peduli sebatas menemani.
Teringat Jamila dengan ungkapan-ungkapan gadis kecilnya yang di mata Jamila terkesan lucu namun juga menyimpan kemanjaan dan keceriaan seorang bocah yang belum tahu bahwa hidup ini sesungguhnya masalah. Sebelum kekeringan ini benar-benar terjadi.
“Mak, kenapa setiap pagi, pada daun-daun itu banyak airnya? Darimana datangnya? Padahal tadi malam tidak turun hujan.”
“O, itu embun namanya. Dia ada karena udara malam yang dingin. Tapi ada juga yang bilang embun itu ditebarkan Tuhan dari surga sebagai lambang kasih Tuhan untuk menyejukkan Bumi kita.”
“Berarti surga itu dingin ya, Mak? Warna surga itu apa?”
“Emak tak begitu paham, Salwa.”
“O iya, Mak kapan kita bisa ke kota? Aku ingin melihat gedung bertingkat yang tinggi-tinggi, seperti cerita teman-teman sekolah yang punya TV,” ungkap Salwa suatu hari ketika pulang sekolah.
“Ya, nanti kalau kita ada rezeki dan kau sudah lebih besar lagi.”
“Mak, kalau aku menyanyi, suaraku bagus tidak, Mak?”
“Bagus.”
“Tadi waktu pelajaran seni suara aku disuruh menyanyi, Mak. Tak tahulah pontenku berapa. Makanya aku tanya Emak.”
“Ya, kalau Emak yang jadi gurumu, Emak akan ponten seratus untukmu.”
“Ah, kalau seratus terlalu tinggi, Mak. Itu hanya pantas untuk penyanyi betulan, seperti yang di TV-TV atau radio itu. Aku kan hanya penyanyi di ladang,” Salwa tertawa. Emaknya pun ikut tertawa.
“Kalau aku punya cita-cita mau jadi penyanyi boleh tidak, Mak? Kata temanku yang punya TV, jadi penyanyi itu enak.”
“Ya boleh. Malah emak senang kau punya cita-cita. Apa pun cita-citamu, kau harus selalu memperjuangkannya. Sebab, hakikat hidup
6
Benteng Terakhir
adalah perjuangan. Maka, jangan pernah lelah untuk selalu berusaha, berharap, dan tentu berdoa.” Emak tersenyum.
“O iya, Mak, kata temanku, di TV orang kota memanggil emak itu dengan sebutan “Mama”, sedangkan memanggil Bak dengan sebutan“Papa”. Kalau Bak masih hidup aku ingin sekali memanggilnya dengan sebutan Papa, seperti yang diceritakan di TV itu...”
“Ah, kau ini, sebutan itu sama saja,” ujar Jamila tersenyum.
Tak tahu Jamila bahwa pikiran anaknya yang sejauh itu sebenarnya menunjukkan pergumulan batin dan mimpi-mimpinya tentang dunia, tentang kenyataan-kenyataan indah yang dalam mimpi itu ia angankan.
Dari situ terlihat bahwa Salwa bukanlah gadis kecil biasa. Meski dalam kesehariannya hidup di tengah ladang, ada angan-angan besar di dalam dirinya tentang hari depan.
Namun, seperti yang sering Jamila katakan pada sang putri bahwa hidup adalah perjuangan. Lalu hidup akhirnya memang dihadapkan pada kenyataan-kenyataan.
Beberapa tahun hidup di ladang itu, setelah terakhir ditinggal mati suaminya, Jamila sempat menikmati hidup damai bersama sang putri. Walau kompensasinya mereka harus rela melihat kayu-kayu di hutan mereka ditebangi.
Namun, suatu hari tersadar mereka oleh keadaan sekitar mereka yang telah berubah. Hutan-hutan milik mereka telah gundul, seperti hutan-hutan di sekitarnya yang telah habis ditebangi.
Tersentak mereka ketika menyadari bahwa air-air di sekitar pondok yang dulu melimpah pun, kini mulai menyusut. Bahkan perlahan benar-benar menghilang saat terjadi musim kemarau panjang.
Mata air-mata air yang dulu melimpahi sawah dan sumur mereka, kini kering kerontang. Udara kering berdebu menjadi pemandangan sehari-hari di daerah itu.
Ya, seperti keadaan sekarang. Sejauh mata memandang, segenap penjuru hampa tak ada pohon. Udara yang berhembus adalah udara panas yang tak pernah bersahabat dengan manusia.
Perlahan-lahan tanah pun kehilangan unsur-unsur hara dan zat perekatnya. Pertanda awal terjadinya padang pasir sebagaimana terjadinya padang-padang pasir lain di permukaan bumi.
7
Benteng Terakhir
Kekeringan itu membuat Jamila harus mengunjal air dari sungai yang cukup jauh untuk menyiram sayur-sayuran yang mereka tanam. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan itu ia lakukan. Agar ia dan anak satu-satunya yang ia kasihi dapat terus hidup dari ladang itu.
Tak ada pilihan lain, tak ada tempat lain untuk mereka menyandarkan hidup.
Sejak kekeringan itu terjadi, segala harapan, segala keceriaan menjadi sirna. Jamila kini banyak bergelut dengan kelelahannya. Salwa pun tahu dengan kelelahan emaknya.
“Mak, Salwa sudah makan,” suara Salwa membuyarkan lamunan emaknya. “Emak kenapa tidak segera makan?” lanjutnya.
Jamila memang selalu mendahulukan makan anaknya. Ia takut anaknya tidak kenyang. Sebab ia takut makan lebih banyak dari anaknya.
“Iya, Emak akan makan.”
Sang emak kemudian perlahan menaiki tangga.
Hari-hari berikutnya mereka kian bergelut dengan panas dan terik matahari yang kian hari kian membuat tanah gersang dan tandus. Jamila pun semakin kelelahan.
Salwa kecil pun tidak berdiam diri saat dilihatnya sang emak bekerja berat. “Mak, Emak sudah lelah, jangan teruskan lagi mengunjal airnya. Biar besok saja Emak teruskan,” ujar Salwa suatu waktu bila dilihatnya emak tampak terhuyung-huyung membawa air,
“Sekarang biar aku yang mengerjakan.” Kalimat-kalimat seperti itu sering Salwa ucapkan jika dilihatnya emak kepayahan.
“O tidak Salwa, anakku sayang. Jangan kau sentuh bumbung bambu tempat air itu. Tidak, kau masih kecil, Emak tak rela.”
Salwa segera menyurutkan langkah. Ia tahu jika emak sudah melarang seperti itu, ia tak boleh membantah. Walau ia kerap mencuri-curi kesempatan untuk mengunjal air di saat emaknya tertidur.
Semua itu ia lakukan karena ia sangat menyayangi dan mencintai emaknya yang ingin selalu membahagiakannya.
8
Benteng Terakhir
Dalam kelelahannya, masih kerap terdengar emak berkata-kata manis, sebagai khayal yang di mata Salwa tentu harapan. “Segala kelelahan, segala kedukaan, percayalah, kelak akan jadi hal yang indah bila kita telah mencapai cita-cita. Maka, jangan rasakan dulu lelah dan derita yang datang hari ini. Bayangkanlah hari depan cerah menanti kita,agar hidup selalu bergairah....”
“Ya, Mak,” ucap Salwa.
Begitulah Jamila yang selalu menginginkan anaknya selalu ber-semangat dalam hidup dan ceria walau kemiskinan dan derita membelit kehidupannya.
Meski demikian, hidup tidak hanya bertumpu pada harapan. Hidup kadang dihadapkan dengan kenyataan. Ya, pada kenyataannya, kekuatan badan Jamila sudah tak memungkinkan. Ia pun sakit karena kelelahan. Namun, Jamila yang penuh semangat hidup tidak merasakan sakitnya.
Sampai suatu hari, pulang sekolah, karena emak tak juga menjemputnya, Salwa memutuskan untuk pulang sendiri.
Takut sebenarnya ia pulang sendirian seperti itu. Takut dengan serigala yang mungkin mencium keberadaannya yang sendirian. Juga takut dengan orang-orang jahat yang mungkin menculik atau menghabisinya. Terpaksa ia menyusuri jalan setapak bersemak kering menuju pondoknya.
Sesampai di pondok sepi. Ia tak melihat tanda-tanda emak beraktivitas.
“Mak!” dari bawah tangga Salwa memanggil. Tak ada jawaban. Salwa terus menaiki tangga dan masuk ke pondok. Kaget gadis kecil itu ketika dilihatnya emaknya tengah tergeletak di atas tikar berselimut kain. Salwa mengira emaknya sedang tertidur. Ia pun mendekat.
“Mak,” lagi ia memanggil.
Mata emak perlahan membuka. Lalu pelan bibir emak berkata, “Salwa, kau sudah pulang, Nak? Emak tidak menjemputmu.”
“Ya, tidak apa-apa Mak, aku pulang sendiri.”
“Emak lelah, Nak,” suara Jamila lemah.
9
Benteng Terakhir
“Ya, Mak. Hari ini Emak tidur saja. Aku yang akan mengerjakan semuanya. Aku yang akan menyiram.”
“Oh, anakku, kau masih kecil, sayang. Tidak, di luar banyak bahaya. Nanti ada serigala dan orang jahat yang tak mungkin kau menghadapinya.”
“Tidak, Mak, aku sudah besar.”
“Biarlah nanti Emak. Emak hanya lelah sesaat. Mungkin nanti setelah istirahat sejenak, Emak akan pulih. Pokoknya kau jangan banyak di luar, di dalam saja, kunci pintunya!”
Salwa tak menjawab. Ia memang menghendaki emaknya beristirahat.
Salwa lalu mengambil makan di dapur. Usai makan, ia coba-coba keluar sejenak dan berdiri di teras panggung melihat ke alam bebas, tanah lapang, tanah tandus yang luas dan gersang.
Ke hilir ia mengalihkan pandang. Tanah-tanah yang sudah tak dihuni lagi. Angin berhawa panas berhembus menerpa wajah mungilnya, menggoyang helai-helai rambutnya yang ikal bergelombang.
Di sana, di bulatan mata yang kecil itu, entah apa yang terbayang. Mungkin ia sedang membayangkan hari depan yang tak mungkin menjangkau kota, tak bisa menjadi penyanyi terkenal seperti cerita dari beberapa teman sekolahnya. Karena nyatanya ia hanya anak padang, padang tandus lagi gersang.
Tak lama di luar, Salwa pun kembali masuk ke dalam dan mengunci pintu. Tak banyak yang ia lakukan kecuali membuka-buka buku pelajaran sambil sesekali memandangi emaknya yang tampak tengah tertidur pulas.
Ketika matahari mulai condong ke barat, muncul keinginan Salwa untuk turun ke sungai guna menyiram tanaman sayur-sayuran. Tetapi ingat peringatan emak tentang serigala-serigala liar dan orang jahat, ia pun takut dan mengurungkan niatnya.
Sampai hari telah benar-benar petang, bahkan menjelang malam, emak masih tergeletak dan tampak tertidur pulas. Salwa menyalakan lampu.
Namun, tak lama berselang, tiba-tiba emak terjaga dan memanggil Salwa.
10
Benteng Terakhir
“Salwa, anakku.... Emak lelah sekali Nak, Emak ingin istirahat.”
Gadis kecil itu tak begitu mengerti maksud emaknya, kecuali ketika mendengar suara emaknya yang lemah, ia menitikkan air mata.
“Mak, Emak kenapa, apakah Emak sakit?” tanya Salwa sambil memeluk emaknya.
“Tidak, Nak, Emak hanya lelah,” suara Jamila parau. Ia memaksa untuk tersenyum. Tampaknya Jamila memang menyembunyikan keadaannya agar sang buah hati tidak cemas dan gelisah.
Sebenarnya sejak tadi Jamila sedang dalam keadaan naja. Tapi lagi-lagi itu tak ia rasakan. Sebab ia berharap bisa sehat kembali setelah ia tidurkan.
Kekuatan yang membantunya bertahan saat itu adalah anaknya, Salwa. Bagaimana nasibnya kelak andai ia kutinggalkan? Hatinya bertanya-tanya. Karena itulah ia berusaha dan terus berusaha agar segera pulih.
Tetapi ia Justru merasa semakin lemah, teramat lemah. Bahkan ia merasa tak kuat lagi memikul beban hidup jika ia harus terus hidup. Walau ia masih tetap berusaha....
“Salwa, tutuplah pintu dan semua jendela kuncilah pula rapa-trapat,....”
“Iya Mak, sudah kututup dan kukunci rapat-rapat.”
“Emak sayang padamu, Nak.... Emak cinta....Tapi Emak lelah, Nak. Emak ingin istirahat....”
“Iya, Mak, beristirahatlah.... Salwa akan menunggui Emak sampai Emak terbangun...” ucap Salwa berlinang air mata. Sungguh ia tak tahu arti kalimat emaknya itu.
Dan menunggulah Salwa sambil terus berlinang air mata. Menunggu sampai emak terbangun. Menunggu sampai emak mengungkapkan kalimat-kalimat berikutnya. Menunggu, menunggu, menunggu sampai air mata itu kering dan mengerak di pipinya. Menunggu, menunggu, menunggu dengan berbilang rasa setia.
*