Khabarnya, pembuatan film avatar selama tiga decade. Alasannya menunggu tegnologi yang akan diterapkan.
Entah benar atau tidak alasan itu, pastinya selama masa itu apapun bisa terjadi terhadap ide, cerita, atau apapun tentang rencana film itu.
Tahun 2006 penulis melakukan penelitian tentang ideologi dilanjutkan observasi mengenai pembantaian oleh para tentara yang terjadi di tahun 1989 di sebuah Dusun bernama Talangsari Lampung.
Tahun 2007, naskah Benteng Terakhir selesai.
Karena naskah itu mengangkat pembantaian yang dipimpin oleh para jendral, dia jadi sulit terbit. Naskah Benteng Terakhir pun tersebar di kalangan tertentu.
Penulis yang aktif di keaktivisan mahasiswa membuat kesan novel ini akan menjadi penguat pendongkelan pelanggaran HAM.
Dalam pikiran kita, ini bisa saja membuat pihak luar yang punya kepentingan penegakan HAM lalu berbagi info dengan segala apapun kepentingan luar, lalu tercium para sineas dunia.
Karena ide-ide suatu film besar tidak mudah didapat kecuali dengan cara pencarian yang luar biasa.
Cara itu bisa jadi, meneropong kejadian-kejadian penting , baik politik dan budaya termasuk cerita-cerita buku di berbagai belahan dunia.
Tentu saja dengan kecanggihan, tidak akan terjadi penjiplakan secara bulat-bulat.
Kemiripan cerita , latar belakang gagasan, dari mulai penelusuran untuk masuk ke orang-orang teraniaya di sana ada kesamaan.
Soal mesin perang modern, hutan tempat persembunyian, perlawan dengan senjata tradisional, dlsb, bisa menjadi jejak pula dari kemiripan itu. Hanya saja AVATAR kental dengan tegnologi.
Ini bukan suatu kleam. Namun kemiripan itu bisa jadi pula oleh tema besar dari buku ini dan dunia pada saat itu memang digerakkan oleh hal yang sama, isyu yang sama, yaitu pengungkitan kembali pelanggaran HAM.
Novel ini sangat pantas dibaca. Pun kisah cintanya, kesejatian yang menguras emosi.
Dia nyata, sastra penuh makna yang diangkat dari budaya serta kearifan local di tengah hingar bingar budaya pop borjuis dan hedonis di seputar kita.
Benarkah Tragedi Kemanusiaan itu sebuah Takdir?
Ketika HAM (Hak Asasi Manusia) dan HAA (Hak Asasi Alam) berada dalam dua kutub kontradiksi, dasar perilaku yang mewarnai sepak terjang manusia membentuk peradaban yang kini ada. Peradaban yang sesungguhnya dibentuk dari kezaliman.
Berangkat dari kesadaran akan keberadaan diri dan kemanusiaannya, dapatkah manusia berubah? Memberi warna untuk dunia baru yang lebih indah dengan mengagungkan nilai kemanusiaan.
Firman-firman dan petunjuk yang sesungguhnya telah diberikan. Jejak dan acuan yang membuat kita mestinya mengguliri dunia dengan dasar puncak evolusi. Alternatif arah perjalanan panjang umat manusia.
Hingga manusia tak harus lagi bertanya, akan ke mana kita? Demikian salah satu sisi konstruksi pemikiran yang pada akhirnya hendak dibangun oleh novel Benteng Terakhir ini. Sebuah pemikiran, sebuah misi.
Walau demikian, novel yang diilhami oleh tragedi kemanusiaan Talangsari Lampung ini, sesungguhnya adalah novel yang penuh cinta. Kisah kehidupan manusia sepuak dalam menggapai cita-cita dan harapan untuk hidup damai dan bahagia di tanah yang penuh berkah.
Dalam diri manusia yang menyimpan sifat dan sikap kontradiktif itu, terkisahlah sebuah dusun bernama Merabu. Dusun dengan tradisinya menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam, menjunjung tinggi nilai-nilai agama serta adat istiadat.
Dipimpin seorang tetua bernama Kakek Jiban. Di sini peran manusia sebagai rahmatan lil alamin benar-benar diwujudkan. Harmoni antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya tercipta. Simbiosis mutualisme. Manusia memetik keuntungan dari alam dan alam mendapatkan haknya untuk hidup dalam penjagaan.
Di sisi lain, adalah desa bernama Sematang, menjadi gambaran atas keseimbangan kehidupan yang terkoyak. Sebuah desa yang awalnya hijau, karena ketamakan manusianya, berubah menjadi padang gersang. Alam yang tadinya hijau pun tak dapat lagi memberikan manfaatnya bagi manusia di sekitarnya.
Dalam keadaan gersang alam, Rumba dipertemukan dengan Salwa yang meratapi kematian keluarganya karena mempertahankan tanah dan hutannya. Gadis kecil sebatang kara dari Desa Sematang itu pun diasuh keluarga Rumba di Dusun Merabu.
Perhatian serta kasih sayang orang-orang Merabu membantu Salwa bangkit dari luka dan duka hidupnya. Ia bersama Rumba lalu mulai menghijaukan kembali tanahnya yang gersang. Salwa dan Rumba pun saling mencinta.
Sayangnya atas kehendak sebagian orang Merabu, Rumba dijodohkan dengan Nilam. Sebuah adat di mana orang Merabu dikawinkan dengan sesama orang Merabu. Salwa merasa tercampak. Dalam kecewa akhirnya ia kembali ke desanya di Sematang.
Datuk Mursal, kepala desa Sematang, seperti mendapat durian runtuh saat Salwa yang kini telah menjadi gadis cantik itu kembali ke Sematang. Ia memberi Salwa perhatian yang istimewa. Salwa dibangunkan sebuah rumah mewah dan dijanjikan menjadi penyanyi terkenal untuk orkesnya. Di balik kebaikan itu, sebenarnya Datuk Mursal ingin memperistri Salwa untuk menguasai tanah dan hutan yang telah dirawat Salwa bersama orang Merabu.
Tanpa sepengetahuan Salwa, Datuk Mursal menyuruh anak buahnya untuk menyerang Merabu. Merabu pun bertekad mempertahankan tanah dan hutan Salwa serta tanah dan hutan Merabu dari serangan itu. Datuk Mursal melakukan segala cara demi tujuannya. Termasuk mempengaruhi aparat lainnya. Akankah Merabu mampu bertahan dari segala upaya Datuk dan orang-orangnya? Sampai di suatu waktu Merabu dan dusun tetangganya, Talangsari, berhasil mengembangkan diri menjadi pusat dakwah. Namun, lantaran alasan ideologi dan berbagai alasan lain, para aparat seakan mempunyai hak dan legitimasi untuk menghancurkan dusun itu. Dilaksanakanlah sebuah penyerbuan dan penghancuran.
Bersama itu, Salwa tak bisa menghindar dari takdir. Datuk Mursal pun akhirnya menyuntingnya. Namun ironis, justru pada kemeriahan malam pernikahannya, dia menermukan orang yang menghabisi keluarganya. Ia pun ditersangkakan sebagai pembunuh dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Bagaimana nasib dan perjalanan cinta Salwa selanjutnya?
Saras, seorang gadis yang tengah melanjutkan studinya di Jerman, dulu pernah singgah ke Merabu dan mengenal Rumba. Setelah tragedi pembantaian itu, ia datang untuk memberikan pertolongan pada orang-orang yang telah menjadi korban.
Tujuan utamanya adalah mencari keberadaan Rumba. Laki-laki yang sejak dulu sudah dicintainya karena pengorbanannya. Bagaimana nasib orang-orang yang tersisa dari pembantaian itu?
Akankah Rumba ditemukan? Sebuah kenyataan-kenyataan pahit yang harus diterima oleh manusia-manusia teraniaya. Ketika mereka disalahkan oleh suatu kehendak atas nama Negara. Menjadikan segala cita-cita dan harapan sebagai perjalanan berliku.
Apakah mereka akan mereguk bahagia? Mungkinkah takdir memang kejam bagi mereka, sekejam keputusan salah dari orang-orang, penegas dari ungkapan, “manusia tak bisa berlari dari takdir Ilahi?”
Sungguh, ini merupakan perjalanan panjang derita dan luka kehidupan. Panjangnya jalan yang harus ditempuh oleh manusia-manusia dalam tujuan baik, mengejar cita-cita, cinta dan harapan untuk hidup damai dan bahagia.
Gambaran nilai kebaikan selalu mendapatkan tantangan. Juga sebuah gambaran betapa ruh cita-cita hendaklah selalu diingat dan dihidupkan agar cita-cita dapat tercapai. Sebuah melodrama kehidupan dari para perempuan, Salwa, Saras, para perempuan yang sedang berjuang untuk harga diri dan martabatnya.
Menarik membaca novel ini. Kayanya imaginasi berpadu dengan nilai-nilai kearifan lokal dan kental dengan nuansa islami dalam kacamata keindonesiaan, dalam bahasa yang puitis dan mudah dimengerti, sungguh menantang hati.
Pilunya drama kehidupan, mencekamnya suasana pembantaian dibumbui dengan romantisme percintaan antara Rumba, Salwa, dan Saras, begitu menguras emosi. Fakta sejarah yang diungkap dan dikemas dengan apik dalam bingkai fiksi.
Dengan kepiawaian penulis, isu tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hak asasi alam (HAA) diurai dalam kisah yang sangat dramatis. Kayanya bahasa dan imajinasi membawa pembaca mengembara ke masa lalu saat terjadinya tragedi kemanusiaan itu.
Tidak hanya mengumbar rasa ngeri, novel ini pun menyuguhkan nilai-nilai kehidupan yang mencerahkan. Sentilan kritik sosial, penggambaran alam yang cukup detail, dan eksplorasi budaya yang cukup dalam, menjadikan novel ini sarat hikmah dan makna.
Dalam gencarnya serbuan novel luar dan popular, keberadaan novel ini layak diperhitungkan. Temanya yang bersifat universal juga menjadikan novel ini sangat relevan di setiap zaman. Terlebih dengan banyaknya isu pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang kian memprihatinkan.
Semakin jauh menyimak novel ini, semakin jelas misi yang ingin disampaikan penulisnya. Dalam sentilan kritik-kritik sosialnya, tujuan kemanusiaan, pembelaan terhadap kaum teraniaya, tampaknya adalah bagian dari misi itu.
Namun tak kalah penting, misinya mengajak pembaca menemukan hikmah sejarah (terbaca dari riwayat hidup dan riwayat pembuatan novel ini). Kritik novel ini pada kebijakan suatu rezim bersama para pelaku sejarahnya bukan tak beralasan.
Penghilangan manusia oleh manusia dengan dalih membela Negara, namun kenyataannya untuk kepentingan kekuasaan, amat dikritik oleh novel ini. Pendistorsian nilai ideologi yang melemahkan nilai ideologi. Itu pendapat sang penulis. Sebuah kekeliruan besar yang juga amat dikritik novel ini.
Dan di balik kritiknya, penulis memberikan alternatif pemikiran, kekeliruan itu malah dibalik menjadi penguatan dan peyakinan akan kelebihan ideologi itu sendiri. Sesuatu yang tak terduga dan mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita akan adanya hikmah. Hikmah dan pencerahan. Hikmah yang dapat dimaknai sebagai klimaks tesis yang mencerahkan bagi perdebatan panjang kaum agama dan Negara.
Secara keseluruhan novel ini mengungkapkan berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa akhir-akhir ini, seperti masalah lingkungan, sosial, budaya, politik, hukum, dan krisis moral. Keseluruhannya menarik untuk disimak.
Namun, ada beberapa kelemahan dalam novel ini. Pertama, panjangnya kisah serta penggunaan alur maju menjadikan awal-awal bab terasa membosankan. Masalahnya, pembaca tak bisa cepat menemukan inti persoalan cerita. Berbeda dengan alur flash back yang menyuguhkan pokok permasalahannya di awal cerita.
Meski demikian setelah memasuki bab 3 kita akan mulai menemukan greget ceritanya. Konflik demi konflik mulai bermunculan. Kedua, tampak jelas lontaran kritik dan pendapat penulis yang sering disisipkan dalam alur cerita sebagai subjektivitas diri penulis. Seperti sebuah iklan, sisipan-sisipan tersebut terkadang menghentikan nikmat alur cerita.
Latar belakang sebagai aktivis tampaknya cukup mewarnai cara penulisan yang demikian demi tercapainya misi dan tujuan penulis. Sebenarnya ini tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai kelemahan, mungkin malah merupakan kekuatan novel ini, bila iklan sejenak tersebut dapat memancing pembaca untuk berpikir dan merenungkannya.
Selamat menikmati