Suara Rakyat
Pada sebuah akun di medsos ada konten yang bertanya, jika benar bahwa sejak Nabi Adam hingga ke Nabi Yesus/ Isya adalah Islam, bisakah ditunjukkan bukti catatan kuno berbentuk artefak atau prasasti ada kata-kata Islam tersemat sebagai agama seluruh Nabi? Seluruh komen yang menjawab tampaknya tidak ada yang sesuai dengan maksud penanya.
Tergelitik hati penulis untuk coba mengurainya lalu mengawalkan persoalan tersebut untuk seluruh tulisan sini.
Adam adalah katagori makhluk pertama dicipta yang berkesadaran serta berakal tinggi. Sebagai makhluk, itulah sebab ia disebut manusia dan manusia pertama. Dari Adam hingga mencapai kekinian melalui proses budaya dan pembudayaan di mana setiap tempat dan waktu mengalami adaptasi terhadap iklim serta situasi yang membentuk kebedaan cara sehingga mengalami kebedaan dan terjadilah perbedaan. Di hadirkan Nabi dan agama adalah cara Tuhan agar manusia dalam kurun tertentu mampu menghadapi tantangan untuk mengarungi kehidupan.
Namun dalam banyak kebedaan pada manusia, sejak Nabi Adam, Nabi Yesus hingga ke Nabi Muhammad, ada satu hal yang tidak berubah, tetap sama, yaitu ketauhidan. Sebab kesadaran pertama manusia ketika hidup dan memiliki kesadaran adalah siapa aku dan siapa yang mengadakan diriku. Agama tauhid itulah yang dalam proses dialektika di masa kenabian Muhammad disebut Islam. Jadi masuk akal jika Umat Islam kekinian mengkleam bahwa seluruh agama sejak Adam hingga Muhammad dan kekinian kita adalah agama tauhid. Yaitu keyakinan akan keEsaan Tuhan. Kata-kata Islam bisa dimaknai sekedar sebutan. Intinya adalah tauhid. Dan tauhid itulah Islam. Meski jika ada orang yang tidak mau disebut Islam namun hakekatnya meyakini ketauhidan, tak masalah. Bagi manusia berkesadaran tinggi dari sudut pandang Islam, itu bisa disebut islam.
Secara sejarah, apalagi harus mengacu pada catatan kuno berupa prasasti atau artefak sejak Adam, memang tidak mungkin ditemukan kata-kata Islam. Sebab Islam dan Muhammad menyampaikan risalah kewahyuan di sekitaran tahun 571 M. Dan bila seorang manusia menuntut sekedar pembuktian nama dan menjadikannya sebagai bukti keabsahan pandangan Islam, maka sama saja mencari-cari kesalahan dalam suatu kebenaran yang nyata.
Sambungan sejarah sejak masa lalu, kekinian dan masa depan, subtansi keislaman tidak lagi sekedar berpatokan pada label kata Islam. Hakekat atau substansi bisa menjadi ruang bagi manusia dalam merujuk keagaman diri, kesamaan dan semesta.
Sekarang, hal yang mesti kita pikirkan semestinya bukan lagi pada persoalan nama dan perbedaan-perbedaan yang dalam tempat waktu yang berbeda pastilah akan tercipta cara dan budaya yang berbeda pula. Jika hakekatnya kita manusia sama dan ada benang yang sama, kenapa kita tidak bisa sama. Sama dalam hakekat. Tentu dengan dasar atau ideologi yang bisa menyatukan kita.
Merujuk kepada kesamaan dalam Islam di mana sisi lainnya Islam sendiri sudah terkotak-kotak, mestinya kecerdasan Islam melihat kotak-kotak itu hanyalah berselimut kulit yang di mata Tuhan tidak di hitung kecuali kotak menjadikan kita untuk saling mengenal lebih manfaat sebagai manusia dengan tujuan Tuhan yang sebenarnya. Maka tiada guna lagi kebedaan itu ketika menjadi yang membuat busuk di antara kita. Sebab kita hakekatnya tauhid dalam Islam atau Islam dalam ketauhidan yang sama. Sebagai contoh dalam Islam, ada Syiah, ada Suni; mengacu ke dalam negeri ada NU, ada Muhammadiyah, ada Persis, ada Alwasliyah dan lain sebagainya. Apa yang kita dapat dari kebedaan itu, tentu bukan hal yang malah menjadikan kita busuk semua.
Dari benang merah dan kesamaan pandang di antara kita, kita mesti bisa menjadikan agama yang sudah diberikan Tuhan sebagai alat sehingga manusia menjadi lebih manfaat bagi keselamatan bersama memikirkan masa depan sehingga berarti bagi kelangsungan kehidupan.
Celakanya, walau Tuhan sudah membimbing manusia dengan agama sebagai alat keselamatannya, langkah dan jalan manusia masih juga mengarah kepada kekeliruan dan menuju pada jurang petaka.Agama, sesungguhnya lurus. Namun manusia membongkar sendiri jalan lurus itu lalu membengkokkannya.
Gambaran kecil tentang pembelokan maksud keberadaan agama itu bisa kita lihat wajah-wajah penguasa pemerintahan di suatu negeri dengan kelompok-kelompok rakyat yang dipimpinnya. Di Indonesia akhir-akhir ini misalnya, lihat kelomok atau sikap ormas keagamaannya. Ketika tiba-tiba kekuasaan punya kepentingan, lalu dibuat kebijakan dengan alasan dan narasi seolah bertujuan mulia demi kemerataan dan keadilan kemudian disertakanlah lembaga keagamaan sebagai yang boleh mendapatkan konsesi pengolahan tambang.
Fenomena pemberian hak konsesi tambang oleh penguasa kepada ormas keagamaan bisa kita amati sebagai cara atau bagian dari bentuk-bentuk pembengkokan manusia atas sesuatu yang sifatnya lurus. Ini gambaran nyata bagaimana kapitalis memasuki gerak langkah dan relung fikir agama demi tujuan kekapitalisannya. Atau dalam kekeblingeran yang sudah dalam, kaum agamalah yang mencari ruang untuk agama bermain dengan kapitalis dengan alasan ini jalan mulia beserta pembenarannya.
Dalam hal di atas, kaum agamawan keblinger akan mencari pembenaran dengan pertanyaan, di mana salahnya jika kaum agamawan dengan lembaganya terjun di dunia bisnis pengolahan tambang itu?
Memang urusan cari nafkah kerap tidak tampak salah. Tapi kepada lembaga keagamaan patut dilayangkan banyak pertanyaan atas izin pengolahan tambang yang penuh dampak ini. Baik menyangkut persoaalan etika maupun soal terjadinya kerancuan dalam hal penerapan keadilan.
Tawaran nikmat kepada kaum miskin tentulah sesuatu yang menggiurkan bagi kaum miskin. Imbal baliknya penguasa akan menikmati perpanjangan pengaruh kekuasaan. Meski keduanya baik ormas maupun peguasa sesungguhnya sama-sama ada dalam kekurangan. Dan kekurangan terbahaya dalam bahasa yang lebih lembutnya kita sebut tidak tahu arah jalan, jika tidak ingin kita sebut sebagai kebodohan.
Maaf, bukan maksud penulis hendak mengatakan bahwa ormas dengan tokoh-tokohnya itu sebagai suatu kelompok masyarakaat yang bodoh. Atau mendekati tepat jika kita sebut telmi alias telat mikir. Dan penguasa dengan kaki tangannya tentu tidak diam untuk berkecenderungan membawa kepada kondisi telmi itu. Kenapa bisa kita katakan telmi atau bodoh? Karena keduanya sama-sama tidak sadar dengan naluri dan ilmu bahwa tindakan itu sesungguhnya merusak suatu tatanan masa depan yang hendak dibangun mengacu pada peradaban yang sesungguhnya diinginkan.
Dan memang, unsur kapital atau materialistik, berkecenderungan mengalahkan hal-hal yang bersifat nilai-nilai sosial, etika dan moral. Jika kita amati secara dalam, di sinilah ranah-ranah kekalahan kaum moralis. Inilah modus-modus kapitalis dengan memanfaattkan kekuasaan hingga akhirnya dalam ketidaksadarannya sebagai kejahatan yang pongah menguasai dunia.
Lebih dalam, dari sudut pandang lain fenomena keinginan penguasa memberi konsesi pengolahaan tambang kepada organisasi keagamaan, dalam waktu bersamaan kemunculan Tapera, kenaikan ratio utang, kemudian datang keluhan suatu kementerian hendak mencari dana kepada bank dunia, kenaikan berbagai barang kebutuhan terutama gas yang notabene dikelola negara, jika tidak salah sepertinya bisa menjadi indikasi bahwa negara sedang mengalami kesulitan keuangan akibat model pembangunan yang tanpa perhitungan.
Oleh karena itu pantas jika ada suatu ormas keagamaan mulai bersikap hati-hati dengan uang simpanannya. Suatu upaya cerdas ketika uang besar mereka ditakutkan dipaksa oleh kekuasaan untuk membiayai proyek-proyek tak jelas tujuan.
Jika ormas keagamaan hendak membenahi ekonomi kaumnya, dan jika mereka sama cerdas dengan penguasa, sebenarnya bukan dengan jalan pintas di mana penguasa memberi konsesi pengolahan tambang sebagai cara membangun ekonomi keumatan. Sebab negara itu milik semua rakyat bukan milik satu kaum atau satu golongan saja. Di sini prinsip keadilan dipertanyakan.
Seorang pemimpin cerdas pasti memiliki cara dalam hal membangun ekonomi dan menjamin pembangunan itu menuju kepada pemerataan yang berkeadilan. Tapi jika isi kepala pemimpin hanyalah bagaimana menguasai atau bagaimana menyelamatkan pengaruhnya, sementara yang dipimpin hanya berpikir menyelamatkan pendaringan karena kemiskinannya, repotlah dunia. Sebab kelurusan yang hendak di bangun oleh agama dengan lembaga moralnya, akan selalu dibengkokkan menuju kemunduran, kesesatan yang pada akhirnya menuju kehancuran.
Ingat, kapitalis tidak akan bisa diarahkan bagi pemenuhan keadilan jika belum ditemukan formula yang mampu membuatnya cerdas memaknai kekapitalisannya sendiri.
Hari ini kapitalisme dengan segala dampak negatifnya sudah sangat mendarah daging di kehidupan manusia. Pada pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan serta kedalaman naluri dan rasa, cenderung menjalani hidup ini dengan kapitalisme yang ada seakan tiada ada masalah.
Namun bagi yang berpikir lebih dalam, akan melihat suatu dampak dan arah manusia terjerumus pada keadaan yang lebih parah. Hari ini agama, sementara dalam pandangan Karl Mark adalah candu yang memabukkan. Dalam kenyataannya, agama adalah juga alat yang bisa dibuat apa saja oleh penguasa yang hanya faham kapital itu adalah kuasa, untung dan kesempatan.
Sepanjang sejarah, agama yang telah mengakar, mendarah mendaging pada manusia memang berkecenderungan akan selalu dimanfaatkan dan digunakan sebagai alat legitimasi, alat propaganda, dan alat segala bentuk usaha dalam rangka kapitalis beserta penguasa mencapai tujuannya.
Coba kita ingat sejarah kelahiran kapialis yang bahkan selubung dari kelahirannya sesungguhnya dilandasi niat mulia kaum agama dalam hal ini spirit kristiani. Namun kemudian, kaum kekuasaan dengaan arti kebebasan telah menunggangi spirit itu untuk tujuan kekuasaan ekonomi, budaya dan politik. Ada kelemahan agama yang ditunggangi sejak dicetus spirit kristiani oleh sebab agama kehilangan tujuan dan arah, sampai kepada kejayaan kapitalis kini.
Penunggangan itu akan berlangsung terus di setiap tempat dan waktu. Sampai kapitalis mencapai tujuan tertingginya, sesuatu yang tidak disadarinya karena langkah kapitalis memang kerap berselubung moral. Sesuatu yang tidak disadari itu baru akan muncul ketika telah terjadi petaka seluruh manusia. Ketika manusia sudah sampai pada batas saling mencabik sesama manusia oleh alasan kapital dan berebut sumber daya untuk tujuan kapital.
Sekali lagi, hari ini fenomena pemberian konsesi tambang oleh penguasa adalah cermin dan model dari pembengkokan arah lurus agama dalam keharusan konsistensinya menjaga moral sekaligus sebagai alat penyelamat manausia.
Kembali pada Karl Mark dengan identifikasi agama sebagai candu, menjadikan agama ada di antara yang ingin mencampakkan dan yang ingin memanfaatkan. Lantas di mana akhirnya agama harus berdiri? Menjawab hal ini tidak semudah kita membandingkan antara letak moral dan kejahatan, posisi kebaikan dan keburukan karena berkait dengan persoalan lain termasuk persoalan materialistik. Namun coba kita urai.
Permasalahan di atas sesungguhnya adalah masalah ideologi. Jika ideologi kita, Pancasila Sejati dan secara sejati sudah ajeg dengan sistem kerja ideologi yang juga ajeg, artinya kita sudah bisa mengira suatu tatanan masa depan, maka akan mudah pula setiap anak bangsa ini melangkah dan mengendalikan diri baik dalam bernegara maupun bermasyarakat sehari-hari.
Sayangnya ideologi kita, Pancasila, di dalamnya penuh praktek kapitalis dan proses kapitalisasi semua lini kehidupan. Jika ini kita biarkan, pada akhirnya nanti kita akan menjadi negara dengan moral, etika dan perikemanusiaan yang terpinggirkan. Karena kecenderungan perilaku kapitalis dengan paradigma kelirunya kini adalah menjauhkan atau menegasikan hal-hal yang bersifat moral, etika dan kemanusiaan.
Dalam kehampaan dunia atas moral bagi penyelamatan dunia dengan kemanusiaannya, masih beruntung dunia memilki Indonesia dalam kenusantaraan ini. Indonesia dengan anak-anak bangsanya yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi penyelamat yang menjaga tradisi-tradisi serta kemuliaan agama. Sebagai warga dunia, dalam ruang inilah mestinya kita juga berpandangan.
Maka sebagai warga dunia kita harus merawat pandangan itu. Manusia Nusantara Indonesia dengan ormas-ormas dan pemimpinnya tidak boleh gegabah dalam melangkah sehingga terjebak aliran dunia lain yang salah meletakkan kapitalis yang membuat dunia ada dalam arah kehancurannya. Kita, manusia Nusantara ini harus mulai mendidik diri untuk bertanggungjawab pada dunia yang kita huni.
Kita bukan hendak melawan atau membendung kapitalis sebab kapitalis sesungguhnya juga adalah fitrah dan kebutuhan manusia. Namun sejauh mana kita bisa meletakkan hal-hal yang berbau kapital bisa bersanding atau mengarah dan menjadi lebih humanis. Dan itu, tidak akan pernah bisa jika tidak dengan pemikiran-pemikiran dan praktek kehidupan yang bersifa ideologis.
Apa dan bagaimana pemikiran serrta praktek ideologis itu? Sebelum lebih jauh kita meretas pemikiran ini, usul rakyat, baiknya segala praktek pemberian konsesi tambang kepada ormas tertentu itu ditinjau berulang-ulang. Jika pun penguasa enggan menimbang atas keputusannya karena kebodohan dan kendablegannya, maka para cendikia ormaslah yang menjauhkan dirinya dan lembaganya.
Sebab di masa depan, jika Tuhan menghendaki dan mengizinkan, ormas keagamaan akan ada di altar terhormatnya sebagai penjaga peradabaan akhir zaman. Dan semua itu harus di susun oleh segenap anak bangsa Nusantara ini agar tidak menjadi rancu serta carut marut sehingga mudah kita mengaplikasikan diri pada tatanan indah masa depan yang kita maui.
Ketimbang cara yang selama ini sudah kita jalani dengan keadilan dan pemerataan yang kian terpuruk kini, yakinlah bahwa ada cara membangun ekonomi rakyat yang bermartabat yang sesuai dengan kesejatian keideologian bangsa yang lebih menjamin tercapainya kesejahteraan, pemerataan dan keadilan.
BERSAMBUNG...
Salam