BENTENG TERAKHIR Juga adalah cerita tentang gadis kecil yang bercita-cita ingin menjadi penyanyi ternama




Novel BENTENG TERAKHIR, selain berkisah tentang pelanggaran HAM, laranya hidup orang-orang yang terbantai teraniaya dan pelanggaran Hak Azazi Alam, dimana hutan dan alam hancur oleh tangan-tangan manusia serakah, 

Novel BENTENG TERAKHIR juga adalah cerita tentang suatu cita-cita gadis kecil yang ingin menjadi penyanyi, biduan ternama. 

Cerita seorang gadis bernama Salwa, bagaimana ia berusaha menggapai yang diingininya dengan segala luka, dendam dan cinta.

Sungguh, tak akan ada yang bisa menjalani hidup seperti dia...cinta memang menguatkannya. Tapi apakah ia mampu menggapai cita-cita dan cintanya..

Bagi para perempuan yang punya cita-cita menjadi biduan ternama, pun kepada para perempuan yang sudah menyandang status biduan...novel ini pantas dibaca oleh anda. Untuk menguatkan dan gambaran bahwa itu lah anda....


“Kakak, lihatlah....ini rahmat turun ke bumi, tanah kita. Mengisi berbilang harap yang telah kita semai sejak kita memulai doa,”

“Ini rahmat yang akan memupus ketertundaan tanah kita menjadi berkah.... yang akan memupus ketertundaan segala tanaman yang kita semai untuk tumbuh bertunas dan berbunga.” Jawab Rumba dengan hati yang tak kalah girang pula.

“Kakak, lihatlah.... ini hujan seperti menyirami hati, meneteskan bahagia.”

“Ya di mana tunas dan bunga adalah harapan, ketika yang kita jambang, yang kita impikan bersemi. Inilah sesungguhnya kita. Di tanah yang terhujani ini, kita selalu berharap dengan penuh kesabaran.”

Demikian sepenggal dialog yang diambil dari novel Benteng Terakhir ini. Gambaran keindahan kisah cinta dan gambaran alam raya, yang terkisah sebagai kearifan lokal dan menjadi salah satu kekuatan novel ini. Sehingga novel ini layak pula disebut sebagai novel lingkungan.

Bagaimana alam yang telah begitu terasa banyak memberi dan mempengaruhi tindak-tanduk manusia, di sisi lain bagaimana manusia mentradisikan diri untuk berbuat yang terbaik pada alam raya.

Namun sifat kontradiksi pada manusia, antara yang membenahi dan merusak, menyulut perseteruan yang berakibat pada terzaliminya hak asasi alam raya. 

Bersamaan dengan itu, perseteruan, menjadi suatu ladang bagi terzaliminya Hak Asasi manusia.

Tampaknya, bersandar pada kenyataan terzaliminya Hak Asasi Alam dan terzaliminya Hak Asasi Manusia inilah, novel ini direntas jalan ceritanya.

Rumba, Salwa dan Saras, adalah pelaku utama novel ini. Kisah kehidupan sedari belia hingga dewasa. Kehidupan cinta dan cita-cita manusia sepuak yang penuh tantangan. 

Gambaran betapa suatu cita-cita yang selalu diingat, diperjuangkan, niscaya kelak akan mencapai tujuan. Meski tak ada kepastian bahwa kehidupan cinta dan cita-cita manusia sepuak itu akan berakhir bahagia. 

Walau mereka sesungguhnya orang-orang yang selalu berusaha agar berarti bagi kehidupan.

Salwa dengan cita-cita hidup dan cinta yang dipunyainya. Keinginan meraih cita dan kebesaran cintanya membawanya menjadi sosok yang rapuh. 

Meski dalam hal cita-cita ia sesungguhnya perempuan yang kukuh. Saras, gadis berpendidikan, pintar dan memiliki rasa kemanusia tinggi. Mereka, menjadi gambaran bagaimana para perempuan berjuang untuk harga diri dan martabat kewanitaannya. 

Mereka menjadi warna yang mengiringi perjalanan kehidupan Rumba dan puaknya dalam meraih damai dan kebahagiaan. Siapakah diantara mereka yang akan bertahan dalam cinta dan kehidupan puak, dusun mereka yang penuh ancaman. 

Sebelum membayangkan bahagia cinta mereka, sesungguhnya pertanyaan besarnya, apakah dusun mereka, dusun dengan orang-orang baik yang penuh tradisi menjaga alam itu mampu bertahan? Dusun yang ingin dilenyapkan. Gambaran nilai kebaikan selalu mendapatkan tantangan.

Novel dengan tema HAM, yang terilhami kasus tragedi kemanusia Talangsari Lampung ini, sangat menantang untuk kita simak. 

Ada apa di dalamnya. Karena sesungguhnya tema seperti ini membutuhkan keberanian untuk menjadikannya sebuah novel yang kemudian bisa sampai di rak buku kita. Ini tergambar dalam riwayat hidup penulis saat menyelasikan hingga berusaha menerbitkan sendiri novel ini.

Gaya bahasa yang mudah dicerna dan kayanya imaginasi sang penulis, kerap menyuguhkan lompatan-lompatan pikiran yang kerap tak terduga dan sebagai kenikmatan bagi para pembaca yang haus pencerahan.

Novel ini maksud sesungguhnya ingin menyampaikan sebuah fakta. Sebagai sebuah misi kemanusiaan. Fakta yang dikemas dalam sebuah bingkai fiksi imaginar. 

Sebuah kolaborasi yang lihai. Hingga bingkai fiksi itu mampu mengungkap fakta terjadinya penghilangan manusia oleh manusia.

Walaupun latar novel ini masa lalu, namun isyu yang dibawanya kontek kekinian. Bahkan tak jarang lompatan pikiran masa depan. 

Secara keseluruhan, novel ini mengungkapkan berbagai permasalahan yang sedang kita hadapi akhir-akhir ini, seperti masalah lingkungan, sosial, budaya, politik, hukum dan krisis moral. 

Pengemasan kisah yang memadukan permasalahan di atas dengan nilai-nilai agama, kemanusiaan, kebangsaan, dibumbui lika-liku kisah percintaan, menjadi suatu ladang pencerahan yang tidak membosankan bahkan menantang.

Cara penulisan yang sedikit lari dari kaidah sastra mengakibatkan penulis tidak terikat aturan baku sebuah penulisan. Kesannya, bahwa bagi penulis yang penting menulis dan tulisannya bisa dinikmati dan tersampaikan misi. 

Sehingga penulis pun bebas mengeksplorasi imaginasi dirinya. Munculnya buah2 pikiran dalam alur2 tertentu, memperkaya novel ini dengan imaginasi pencerahan dan segala misinya.

Penghilangan manusia oleh manusia dengan dalih melindungi kepentingan kekuasaan, amat dikritik oleh novel ini. Perilaku yang disebutnya mengingkari nilai-nilai atau pendistorsian ideologi.

 Namun tentu saja kritik yang beralasan. Hingga kritik itu bermuara pada sebuah hikmah, pemikiran yang mengukuhkan kembali ideologi yang telah didistorsi.

Pemikiran yang menarik. Bukan saja karena memperkaya pikiran, namun lebih dari itu, semangat novel ini memang pantas disimak oleh kita yang gandrung akan pembelaan dan perubahan. 


Kelemahan novel ini:

Kritik keras novel ini pada para aparat dan pada para pemuka agama, terkesan sebagai keberpihakan. Mestinya, penulis bersikap netral. 

Meski bila disimak secara lebih dalam sesungguhnya tidaklah demikian. Benteng Terakhir dan sang penulis, memang sepertinya menjadikan Benteng Terakhir ini sebagai sarana menyampaikan kriktik. 

Walau sesungguhnya ini adalah sebuah cara peduli.  Hingga akhirnya kriktik keras itu akan kita sadari sebagai bisikan yang mencerahkan.

Jalan cerita novel ini cukup panjang, para penikmat baca yang tidak sabar untuk segera sampai di inti cerita, mungkin akan merasa kelelahan. Meski kisah awal dengan segala latar belakang para pemerannya adalah syarat bagi para pembaca untuk bisa utuh memilki referensi serta kesempurnaan kenikmatan baca. 

Cara penulisan sedikit keluar dari kaedah sastra. Cara yang sebenarnya justru menjadikan leluasanya penulis dalam mengeksplorasi imginasinya. Hingga yang tersaji memenuhi harapan misi sang penulis. 

Namun sedikit banyaknya muatan opini yang tersaji, menjadi terasa sebagai bentuk interpensi dan sedikit mengajari. Mungkin ini karena latar belakang sang penulis sebagai seorang aktivis yang dengan cara apapun berusaha agar suara nuraninya sampai pada para pembaca.

Dan akhirnya, kelebihan dan kekurangan novel ini sesungguhnya adalah warna-warni yang apapun alasannya, membawa pesan dan semangat. Kiranya pesan dan semangat itulah yang harus kita simak.


                                                                     ***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak