Ya, kenapa Roy Suryo kok jadi tersangka? Suatu negeri yang dipimpin seorang pemimpin yang kurang cerdas, maka rakyat (para pengikutnya) berkecenderungan akan menjadi goblog.
Siapa yang menyaksikan kegoblogan tu? Ya kita orang di luar kekuasaan, termasuk pihak asing yang tidak termasuk ke dalam pengikut sang pemimpin yang kurang cerdas tersebut.
Seorang pemimpin yang terbilang cerrdas, insyaallah kebesaran jiwanya melintasi batas apa yang dipikirkan dan bergulat di hati termasuk perilaku dan segala obrolan rakyatnya.
Seorang pemimpin cerdas, melihat hal-hal seperti soal stupa candi yang dirubah jadi berwajah dirinya, itu hanyalah bak perilaku anak-anak yang tengah bermain gambar-gambaran di tanah berpasir di halaman rumah, yang dalam permainan itu anak-anak bebas berimaginasi menggambar apa saja.
Ada yang menggambar pohon kelapa, lalu karena ingatannya penuh diliputi oleh obrolan orang banyak tentang harga minyak yang mahal, lalu dibuatnyalah buah kelapanya sebagai kepala dan wajah yang mirip mentri yang menangai masalah minyak.
Atau gambarnya ular berkepala dua, dan karena pikirannya penuh diliputi kesukaan atau ketidak sukaan terhadap sosok pemimpin, lalu dibuaatnyalah kepala ularnya sebagai sosok pemimpin tersebut.
Hal-hal seperti itu biasa saja. Ingatkan saat kita masih anak-anak dulu, saat main gambar-gambaran di tanah berpasir? Apa saja kita gambar di sana. Dari gambar ,mobil sampai gambar kuda. Dari gambar pemandangan sampai gambar rumah.
Nah, di zaman kini, dengan tegnologi yang sudah canggih, orang tidak mungkin menyalurkan isi otaknya pada tanah berpasir lagi melainkaan melalui computer atau internet.
Terlepas dari tu, persoalan stupa dirubah menjadi wajah pemimpin itu bagi pemimpin yang cerdas serta berpikiran melampaui apa yang dipikirkan rakyatnya, mestinya tak harus di persoalkan sampai harus menyeret yang mengunggah ke depan meja hijau.
Menyeret Roy Suryo ke meja hijau, itu mencerminkan sang pemimpin kehilangan akal sehat, kehilangan cara berpikir sehat yang dalam alam demokrasi mestinya rakyat diberikan ruang berekspresi.
Ya, mestinya biarkan saja, asal jangan gambar yang sifatnya keterlaluan, misal melukiskaan dengan benda atau organ-organ manusia yang bermakna porno.
Kalau hanya wajah dilukiskan sebagai stupa sih, itu mah biasaa saja kaleeee Paaaaak...jangan lebaaaayyyy... Mohon deh kita, pemimpin itu jangan terlalu berlebihan minta disanjung dan dihormati yang akhirnya merusak kebebasan berekspresi.
Pun kepada para pengikut sang pemimpin, yang mungkin peling lebay dari bilangan terlebay. Yang dengan lebaynya itu malah bikin sang pemimpin yang mungkin sesungguhnya tak begitu mempermasalahkan hal tersebut, akhirnya tercoreng namanya sebagai pemimpin yang dalam tulisan ini, maaf akhirnya penulis sebut sebagai “ga cerdas berdemokrasi dan lebay tadi.
Para pengikut yang kebanyakan dalam dukungannya tidak menggunkan akal sehat, tidak melalui cara cerdas dan logika sehat, kecenderungannya carmuk dan asbun (ingat para buzzer yang kerap menyerang ranah pribadi).
Dan semuanya mencerminkan sikap yang kurang cerdas, baik sang pemimpin yang dalam hal ini mungkin akibat imbas para pengikut, maupun para pengikut sendiri yang dilihat dari segala indikasi memang tak memilki kecerdasan serta kesamaan konsep berpikir dengan sang tuan alias pemimpinnya sendiri.
Jadi untuk kasus Roy Suryo, dalam hemat penulis, ada baiknya dihentikan kasusnya. Apa sih, wong hanya unggahan begitu kok di tersangkakan?
Di luaar negeri bahkan ada seorang pemimpin yanag digambarkan kepalanya keroak. Di sana oleh pemimpinnya ga maslah tuh... di era SBY dulu, sampai SBY di ibartkaan sebagai hewan... tapi tidak begitu dipermasalahkan.
Pun kepada para penganut agama Bhuda yang katanya merasa terhina oleh gambar tersebut. Ah...ini pun dalam hemat penulis lebih dari lebay. Bagi penulis, perssoalan stupa yang diedit jadi wajah manusia itu hanya persoalan budaya. Tidak usah dibawa ke persoalan agama.
Apa yang dinista hanya oleh persoalan budaya seperti itu? Kecuali stupa itu ditempeli gambar yang memilki konotasi pornoisme mungkin siapapun kita akan marah jadinya.
Kita semua anak bangsa ini hendaknya janganlah membawa serta menulari hal-hal yang bersifat radikal di tengah program deradikalisasi yang kita galakkan. Kita dari berbagai elemen bangsa ini kerap melakukan hal yang tak disadari yang malah kontraproduktip atas tujuan kita sendiri.
Kita beragama itu dan khususnya seluruh agamawan, hendaknya memilki hati jembar dan asuh. Sekali lagi, janganlah malah menanamkan hal-hal yang bersifat radikal di tengah kita semua ingin mengubur hal-hal yang membuat kita ter-ajak untuk menjadi radikal.
Jika semua agama menjadi manusia sensitive dan berlebihan membela agama dan tuhannya yang dengan agamanya sudah nyata ada perbedaan keyakinan dengan pemeluk agama lainnya, maka agama tidak akan pernah mencapai tujuan diciptakannya agama itu sendiri oleh tuhan.
Perbedaan akan semakin membuat kita saling jauh dan bermusuhan. Dan bukan sebaliknya, rahmat untuk kita lebih menjadi saling mendekat. Bahwa berbeda itu membuat kita saling dekat serta saling membutuhkan.
Jika persoalan Roy Suryo ini diteruskan, sama halnya kita mengajarkan anak bangsa ini untuk terlalu sensistif, fanatic primordialis atas agama serta keyakainan kita sendiri-sendiri.
Akhirnya, mari kita melihat dan menempatkan kasus stupa Roy Suryo ini sebagai pembelajaran demokrasi, sebagai hak demokrasi, sebagai ekspresi budaya yang tidak mesti disikapi dengan tindakan represip yang berlebih.
Masih banyak hal penting yang harus kita selesaikan ketimbang mempermasalahkan hal yang semestinya tak perlu kita permasalahkan. Apalagi sorang Roy Suryo adalah ahli yang pendapat-pendapatnya kerap dibutuhkan sebagai bahan kaji dan uji.
Tulisan ini tidak memilki kepentingan apapun terhadap Roy Suryo. Tulisan ini semata karena melihat kecenderungan arah demokrasi yang kurang sehat. Demokrasi, kebebasan ekspresi yang harus kita jaga, rawat dan hargai.
Salam hormat untuk pemimpin
Salam sayang untuk semesta rakyat yang berdaulat