Selamat berkonferensi di Bandung untuk negera-negara kerjasama Islam. Walau beritanya sampai hari ini belum ada isyu penting yang hendak dibahas kecuali perihal urgensi keberadaan forum. Jangan sampai pertemuan seperti ini hanya merupakan kongkou kongkou para delegasi. Ujungnya sarana promosi wisata bagi dalam negeri, dan menjadi sarana bertamasya bagi peserta luar negeri. Lebih parah, acara ini malah menjadi sarana politik unjuk gigi para pemimpin dalam negeri.
Walau kita akan sangat mengapresiasi pertemuan-pertemuan semacam ini. Terlepas mungkin nantinya belum akan menghasilkan gagasan dengan keputusan yang urgent, solutuf dan kontektual, keinginan untuk berkumpul dalam situasi dunia penuh galau, yang di inisiasi MPR ini, patut menjadi harapan. dan pantas kita ucapkan, selamat bekerja dan melayani tamu-tamu negara sebaik-baiknya, duhai MPR kita.
Namun kenapa kita rakyat sampai berpikir skeptic atas konprensi semaacam ini? Sudah terlalu banyak pertemuan serupa, dengan latar dan semangat konfrensi Asia Afrika, namun output dari pertemuan-pertemuan itu tak ada bekas. Apalagi konfrensi kali ini, minim isyu. Padahal dunia sedang dihadapkan banyak masalah yang tentu saja itu mestinya adalah ladang isyu, di mana para pemimpin bisa menjadikan hal itu ruang penyelesaian masalah. Dan bukan ladang sekedar bicara dengan hanya berembel semangat kesejarahan masa lalu. Tapi berbuat di masa kini.
Jika generasi seperti kita-kita ini yang memimpin negeri, maka insyaallah islam bukan lagi bicara di tataran wacana. Terlalu banyak islam dengan masalahnya. Contoh misal, sikap moderat sebgai pola pandang keislaman Indonesia, adalah pola pandang yang berangkat dari kondisi kejiwaan Indonesia. Sementara di negeri lain kondisi kejiwaannya juga berbeda. Ketika dua kondisi ini bertemu, bersama sifat budaya dan ideologi yang ekspansif, maka seolah itu menjadi serbuan yang oleh pemimpin keagaman di negeri ini di sebut sebagai yang sengaja dieksport oleh pihak dari luar.
Dan jatuhnya islam saling menyalahkan. Padahal, masalahnya kita belum menemukan satu titik pandang. Titik pandang itu adalah yang disebut ideologi islam. Ya, islam belum menemukan satu titik pandang itu. Yang mengemuka kini, ideologi islam itu malah identik dengsn kekerasan.
Apa sebab? Islam masih ada di wilayah yang orang lain buatkan untuk permainan dan bermain bagi islam sendiri.
Islam belum mampu membuat corak warnanya sendiri yang kondusif bagi generasinya tumbuh dengan warna agamanya yang penuh kasih.
Apa wilayah yang orang lain buatkan untuk bermain bagi umat islam sendiri itu? islam masih berada dalam lingkup pemikiran survival of the fittest nya Darwin dan homo homini lupus yang dalam kekinian selayaknya sudah tidak terpakai.
Ketika bangsa-bangsa lain berperang hanya demi bertahan hidup, mestinya islam dengan sesama islam tidak melakukan hal itu dan sebaliknya harus menjadi makhluk yang homo homini socius, lebih memilih saling mengasihi serta berbagi.
Dan sekali lagi itu hanya bisa jika islam sudah menemukan satu titik pandang yang sama. Sebuah ideologi bersama yang mampu membimbing umat islam sendiri ada dalam kesatupaduan yang utuh yang penuh cita-cita makmur bahagia dan bermanfaat bagi kebaikan dunia.
Sayangnya, islam dengan segala kondisi masyarakat dan pemimpin berikut para calon pemimpin yang sudah gembar-gembor mencalonkan diri di kontestasi pilpres Indonesia tahun 2024 dekat ini, belum mampu menemukan atau menunjukkan ideologi yang bisa menjadi titik pandang bersama tersebut.
Namun kita akan terus berusaha, menanti dan mencari sampai satrio pembawa nurbuwah itu muncul untuk mudah dilihat halayak, di tengah hiruk pikuk calon yang meng-elukan diri tanpa substansi. Atau haruskah sampai kita menonjol-nonjolkan diri kepada khalayak bahwa generasi kitalah sebenarnya itu?Wallahua’lambissawab.
Salam