Bangsa ini, dengan rakyatnya yang sederhana, sesungguhnya adalah bangsa yang arif bijaksana. Bahkan saking bijaksananya, walau melihat para pemimpinnya semena-mena, mereka yang hampir berjumlah 260 juta jiwa ini terbilang membiarkan saja dirinya disemena-menai.
Dari mana indikasinya? Ya, lihat saja, ternyata dari hampir 260 juta manusia Indonesia, tak sampai satu juta yang berani tumplek di Jakarta, yang sadar untuk membela rakyat yang disemena-menai. Semua lebih senang menonton, melihat orang-orang yang rela membela di sana remuk dipukuli oleh pasukan sambo di jalanan. Dan siapa sesungguhnya orang-orang yang hanya senang menonton ini?
O, ternyata mereka adalah kaum yang membela sang pemimpin rezim, kepentingan partai-partai dan para kaki tangan kekuasaan. Miris, hanya karena kesukaan atas pemimpin, tokoh, dan kesukaan atas partai, mereka jadi merelakan kondisi diri mereka sendiri disemena-menai oleh pemimpinnya sendiri.
Entah ini rakyatnya yang bodoh, atau rakyat yang telah dibodoh-bodohi. Yang jelas, hal demikian jika dilihat sepintas, terkesan sebagai rakyat yang arif dan penuh kebijaksanaan, penuh maklum atas kebijakan pemimpin yang dikagumi walau kebijakan itu telah menyekek leher mereka sendiri.
Atas kondisi jiwa rakyat yang demikian, memang berat rasanya bagi kaum pembela untuk memenangkan pertarungan melawan kekuasaan yang semena-mena. Meski sesungguhnya tidak harus cemas bagi jiwa-jiwa yang telah terbiasa melihat dan mengalami kehidupan berdasarkan rangkaian keberlikuan.
Bahwa segalanya adalah proses. Proses menyadarkan rakyat akan hak untuk hidup sejahteranya yang telah terenggut. Juga proses untuk memenangkan pertarungan melawan kekuasaan.
Jalan resmi demokrasi memang adalah di gedung parlemen. Namun jika parlemen tidak menyediakan jalan maka unjuk rasa adalah pengganti jalan resmi itu. Unjuk rasa di jamin oleh undang-undang di mana rakyat memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul dalam usaha menyampaikan pendapatnya. Rakyat yang telah dibodoh-bodohi, atau yang telah terbutakan matanaya oleh kekaguman atas sosok pemimpin membuang kesempatan untuk tahu hakekat demokrasi yang sebenarnya. Demontrasi jalanan dianggap mengganggu. Padahal dalam setahun hanya dua atau tiga kali terganggu.
Dan para aktivis sejati, tidak harus terlalu hirau dengan orang-orang yang seperti itu. Terus melangkah, terus bergerak, terus menghunus tekad sebab ini jalan kebenaran itu. Jika parlemen tidak menyediakan diri sebagai jalan, bahkan menurunkan kekuasaan presiden sekalipun lewat kekuatan massa adalah syah adanya.
Maka terus berjuang adalah pilihan yang sadar. Sampai suatu tujuan berhasil di genggam. Sampai kesadaran rakyat semesta itu mewujud dalam gelombang bah yang dahsyat memenuhi semesta. Yakin, dan yakinlah itu akan sampai waktunya.
Namun sementara kemenangan itu belum sampai, kita berhitung bagaimana mencari menang lewat cara yang lain. Coba kita selami kemana maunya kekuasaan itu. Coba kita siasati dengan cara menyiapkan diri dan lalu mengikuti kemana alur yang mereka ingini. Dan jangan takut akan kekalahan.
Ya, akhirnya kita sampai pada suatu pertanyaan kepada sang pemangku kekuasaan, maumu apa Jokowi?
Mau 3 periode? Silahkan jika di situ ada jalan dan cukup alasan.
Mau mencalon menjadi wakil presiden? Silahkan. Sebab ini tidak melanggar undang-undang dan mungkin lebih masuk akal bagimu dan kroni dalam mempertahankan kekuasaan. Kita rakyat yang harus cerdas, justru tidak sepakat dengan pihak-pihak yang melarang yang menunjukkan betapa tidak demokratiknya mereka punya pikiran.
Jika pencalonan Presiden menjadi wakil Presiden itu akan melanggar undang-undang yang telah membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode, sebab bila presiden terpilih berhalangan tetap, maka sesuai undang-undang wakil lah yg meneruskan jabatan presiden dan itu sama artinya melanggar undang-undang pembatasan jabatan presiden yang hanya dua periode.
Dalam pandaangan penulis, sebenarnya ikut membenarkan pandangan itu. walau di balik itu ada juga pandangan lain dari penulis terhadap hal itu. Menurut penulis, jangan-jangan yang berpendapat demikian, walau benar namun ada juga sisinya yang keliru. Kekeliruan yang hanya karena niat politik menjegal sang presiden ikut kontestasi menjadi calon wakil presiden pada pemilu.
Dalam kasus seperti di atas di mana presiden sudah dua periode menjabat lalu ikut pemilihan sebagai wakil presiden, jika dikemudian hari presiden terpilih berhalangan tetap, benarlah bahwa secara undang-undang dinyatakan bahwa sang wakil tidak bisa secara otomatis menjadi presiden, yang artinya demi undang-undang jabatannya sebagai wakil presiden otomatis vakum atau mungkin di sebut gugur. Atau, artinya lagi bahwa presiden dan wakil presiden secara bersamaan berhalangan tetap.
Nah, dalam kondisi ini, pemerintahan kan dapat terus dilaksanakan dengan undang-undang lain yang menyatakan bila presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara bersamaan maka jabatan presiden dapat diteruskan oleh menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan menteri pertahanan, sampai kemudian MPR dalam waktu kurang lebih sebulan mampu memilih presiden yang baru. Atau undang-undang lain pula yang menyatakan bahwa pelaksana jabatan Presiden dapat dilakukan oleh ketua DPR, sampai MPR mampu memilih presiden yang baru.
Dengan demikian, di mana letak masalahnya? Jika ditakuti barangkali terjadi kekosongan kekuasaan, kan system pemerintahan bisa di atasi dengan naiknya para mentri yang telah ditetapkaan oleh undang-undang?
Bangsa ini belum pernah mengalami hal-hal yang mendesak dan terdesak oleh suatu keadaan yang membuat bangsa ini bisa tetap tegak dalam segala terpaan keadaan.
Nah atas dasar, agar bangsa ini memiliki pengalaman-pengalaman baru dalam hal ketatanegaraannya, selama itu konstitusional, apa salahnya kita akomodir keinginan Jokowi untuk melenggang maju mencalon sebagai wakil presiden pada pemilu 2024 mendatang.
Kenapa penulis sampai jauh berpikiran demikian? Padahal, melihat kebijakan Jokowi penulis juga banyak tidak senang. Karena bagi penulis, janganlah karena ketidaksukaan lalu kita membabi buta, seperti kerjaan para buzzer yang mencari-cari salah lalu memutus kesempatan seseorang bisa meraih dia punya mimpi.
Jika kita hendak menjadi seseorang yang penuh bertindak serta berpikir demokratik, ya harus demikian berkesimpulan. Selama undang-undangnya ada dan memfasilitasi, maka tidak baik kita membatas-batasi hak orang lain untuk mencalonkaan dan dicalonkan dalam sebuah kontestasi.
Jadi jika pemikiran yang saya sampaikan ini benar secara ketatanegaraan, (maklumlah, basic saya hanyalah sastrawan), maka monggo Pak Jokowi sampean melu meneh pada pilpres mendatang sebagai calon wakil Presiden.
Sebab ketika Pak Jokowi mau ikut kontestasi lagi sekalipun rela menjadi wakil, pastilah memilki alasan yang kuat dan masuk diakal dalam ukuran dirinnya sendiri. Sementara rakyat, akan menilai dari segala sepak terjang yang sudah dirinya lakukan untuk rakyat dan negeri ini. Artinya kita kembalikan persetujuannya kepada rakyat. Itulah jalan demokrasi yang telah kita pilih.
Hal berikutnya, berkenaan dengan pertanyaan, maumu apa Jokowi?
Mungkin Jokowi ingin mempertahankan kekuasaannya melalui cara lain, mendukung salah satu calon yang berkontestasi, menjadi king maker misalnya? Kesekian kali kita katakan, monggo Pak Jokowi.
Dan kemudian, rakyat beserta tokoh-tokoh yang berseberangan melakukan perlawanan di jalur demokrasi ini dengan mempersiapkan segala argument, konsep dan cara demi mengganti rezim Jokowi. Tentu dengan cara-cara konstitusional yang beradab.
Sekarang pertanyaannya, apakah kita sebagai rakyat yang selama ini berada di luar kekuasaan mampu mengganti rezim Jokowi ini?
Seorang petarung sejati dengan isi otak serta keyakinan yang tinggi, akan melihat nilai lawan adalah tantangaan dan kebanggaan. Ketimbang mengalahkan para pembantu Jokowi yang terdiri dari para mentri yang sudah kelihatan serpihan isi otaknya, ya mending melawan sang tuan sekalian yang meski secara pemikiran mungkin tak jauh beda dengan para pembantunya, namun mengalahkan makhluk yang pernah hidup di tampuk tertinggi dan sangat dielu-elukan sebagai pemimpin dari rakyat dan terhebat itu adalah sebuah kebanggaan dan prestasi.
Walau tentu saja kita sadar ini bukan soal bangga-banggaan melainkan soal masa depan bangsa yang bila kemudian beralih dipimpin seorang pemimpin berkelas, maka kehidupan rakyat pun insyaallah akan naik kelas.
Benarlah itu. Namun yang terpenting pula dari semua itu, kita jangan menghalalkaan segala cara. Atas nama demokrasi jangan lantas menebas hak orang lain yang memiliki hak atas nama konstitusi.
Untuk menang melawan rezim ini, bukan dengan penyetopan-penyetopan atau pembatasan-pembatasan yang mengada-ada dan mengingkari konstitusi. Melainkan dengan mendidik dan memberi penerangan kepada rakyat untuk sadar akan baik dan buruk kebijakan Jokowi, dan lalu memberi perlawanan melalui jalur yang juga benar menurut konstitusi.
Dengan begini, bangsa ini akan tenang dan damai jadinya. Bertempurlah hingga titik keringat penghabisan. Namun semua menuju penyelesaian yang berlandaskan konstitusi yang konstitusional.
...........................
Tulisan ini hanya pemikiran dari seorang sastrawan.
Yang kebenarannya mungkin kurang berbasik ilmu ketatanegaraan.
Namun mungkin lumayanlah sekedar sumbang saran menyambung diskurs kita dalam rangka sama-sama memberi dan mencari kecerahan.
Segala kata atau kalimat yang berlebih, mungkin terasa merendahkan dan menyakiti. Namun itu hanyalah dalam rangka menegaskan, menguatkan dan memberi arti. Tidak ada kebencian di sini.
Salam