Surat Untuk
Para Pembawa Perubahan
Dalam kumpulan
PUISI-PUISI PERLAWANAN
Oleh
TOMY IRFANI
Sepatah kata
Perlawanan Sepanjang Perjalanan
Kumpulan puisi-puisi, surat untuk para pembawa perubahan ini aku buat pada masa pemerintahan SBY.
Jujur, puisi-puisi perlawanan ini ku buat untuk menyokong kaum oposan waktu itu dalam rangka mengkritisi kekuasaan SBY.
Ini gambaran bahwa penulis sedikit banyak juga ikut menyemangati dari belakang serta andil membesarkan kaum oposan waktu itu yang menjadi rezim berkuasa kini.
Namun seiring pembuktian benar dan salah masa lalu sebuah kekuasaan yang tidak bisa kita cap benar dan salah ketika “sang panglima hukum” belum menetapkan hal itu, kini bangsa ini dihadapkan lagi dengan kondisi "Indonesia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja" yang lebih parah yang dicipta oleh rezim kini.
Sedihnya, lama menunggu--ternyata makin parah, rezim kini tak juga membuat langkah maju bagi keberpihakan kepada rakyat. Rakyat makin payah dan sengsara. Yang menuntut kita kembali menggemuruhkan perlawanan.
Maka puisi-puisi perlawanan ini, yang telah beberapa bulan ini dipublis, kini penulis revisi dan kita tujukan sepenuhnya bagi gong penyadaran terhadap rezim kini.
Kita bukan manusia yang mengada-ada atau tipe manusia yang cenderung melawan di setiap rezim dan zaman. Namun kesalahan rezim memang ada. Dan takdir kitalah untuk yang menjadi sang penggedor atau dalam bahasa lain sang pengobar perlawanan.
Niat penulis baik, tak ada kebencian, agar rezim kini berubah berpihak kepada rakyat. Kata-kata perlawanan hanyalah penegas dari maksud "rakyat mengharap rezim berubah menjadi berpihak kepada rakyat".Perlawanan dan bahkan niat revolusi menurunkan kekuasan akan mereda dengan sendirinya jika rezim beritikad dan bertindak menyesuaikan diri dengan kehendak rakyat. Namun jika sebaliknya, artinya engkaulah yang memulainya. Maka camkanlah dan berbenahlah!!
Merdeka!!!
Republik Maling
Angan Anak Petani Singosari
Dan tanah Jawa ini
Di suatu generasi manusianya
Ada yang merindui hidup
Lebih dari keberadaan diri
______________________________________
Ken Arok
Anak petani tepian
Dalam jiwa menggugat
Nasib yang tak sepadan angan
Melangkah dalam keburaman cita
Jatuh di tanah padang tak bertuan
Arok
Tumbuh dari angan mencuri
Sebab tak ada yang bisa dimakan
Lekat di jiwa hingga dalam jejak pun nyata
Tak beda lagi putih hitam
Setiap langkahnya adalah kebenaran
Merasa sah setiap jejak tergenapi dengan tipu
Memperdaya dengan satu kata, bunuh
Arok
anak petani rampok
Hidup dalam warna hitamnya padang
Tempat menjagal manusia
Meski rasa cintanya masih ada
Cinta manusia padang hantu
Memandang perempuan sah penguasa dengan jilatan nafsu
Ken dedes pancaran aura agung
Menanarkan mata
Namun memanah pula citra manusianya
Cita-cita Arok si anak hantu seketika tinggi
Jadi pencuri agung yang diagungi
Hingga tak ada yang mampu menunda tekad dan rindunya
Menyentuh tubuh indah
Dan menggenapi nya dengan tujuan tahta
Arok, angan dan tatap bengis asmaranya
Mengeleparkan Raga para Dewi yang dipuja
Mengoyak suci gadis mulus nan manis
Ken Umang yang tertawan rindu
Hingga rela cinta bersumpah setia
Dalam telanjang mengharap rayu
Penuh nafsu
Atas nama birahi
Bersama memainkan misi
Asmara konspirasi di awal kutuk
Melayukan jiwa penguasa Tumapel
Tunggul Ametung pun luruh
Sampai tangan kekar Arok menyemai maut
Dada yang memerah
Dimangsa karya kutuk Gandring yang haus darah silsilah
Penguasa pun mati oleh napsu pencuri
Ken Arok, anak petani papa padang hantu
Menang perang tanpa luka
Dihias cinta yang berkobar
Dirintihi desah dari lembut bibir perempuan
Tubuh gemulai
Menggelepar ditusuk asmara
Ganas birahi di ranjang
Hingga perempuan dan tahta itu sempurna jadi miliknya
Angan Anak Petani Republik
Dan Republik ini
Di suatu generasi manusianya
Ada yang merindui hidup
Lebih dari keberadaan diri
Katanya anak petani
Namun rasa kerdil mengenang nasib
Batin rasa ditohok peluru
Nafsu jumawanya meluruh
Angan yang tak berbatas
Menggoyang jiwa meronta bergemuruh
Lantanglah hatinya bersuara, ini milikku, bumiku!
Rasa kerdil dienyah
Jiwa seperti ditabuh
Mencari penaut
Untuk sebuah cita-cita tinggi
Dalam kesadaran diri hanya anak petani
Ngilmu, njawi
Dalam pandang terprimitif
Cara hidup serigala
Difahaminya hidup dalam cara melarai
Karena falsafah dasarnya hidup menjalani lara
Mengambil manis dari rasa luka manusia
Merakit kata dan perbuatan hingga menjadi suci
Mencari arti meski dari belantara air mata
Dan itu ditemukannya dari hidup orang-orang dulu
Yang berpijak pada congkak
Pengalaman di masa Republik belum ada
Masa hidup manusia yang dianggap leluhur oleh sederhana fikiran
Sebab hidup dizaman ini berasal dari sana
Masa Singosari di awal kehidupan Arok yang papa
Yang mengambil manis dari buah di taman para raja
Masa raja-raja merajut lara
Menanam duri sekaligus harapan
Menanam rindu di cawan angkara
Langkah Leluhur yang agung di matanya
Arok bentangan kisah yang menghalau ragu
Untuk seorang anak petani
Generasi di masa republik berdiri
Arok seperti leluhur
Meski dari kutuk diiring gending keramat
Tak terasa kutuk oleh penerjemah sederhna dimabuk hasrat
Jiwa telah mengganas didera kutuknya
Langkah pun difahami sebagai pembenaran setelah hasrat terlaksana
Persetan dengan jalan kutuk
Sebab sejarah itu titah Ki Buyut
Mengajarkan tahta itu pusaka
Wajib dengan segala cara direbut, jika tidak, bersalah bahkan berdosa
Wajib dimaling, jika tidak, tak kebagian apa-apa
Maling, ya maling…
Maka dengan titah dan pengajaran leluhur, tertularlah tentang cara maling
Ya, maling teriak maling
Maling cinta,…oh tidak! Ini kali aku tak punya hasrat bercinta
Tapi maling harta
Maling tahta!
Maling RepubliK Pertama
Lalu orang-orang diseru dengan bisik
Dijejal tipu daya
Halus kata di bibir berbusa menebar berita
Ada musuh harus diperangi dengan jiwa suci
Dan seribu alasan
Tahta harus diselamatkan
Kata-kata bunuh pun bergema
Gadis-gadis putih mulus ditelanjangi
Aurat bagus ditusuk belati
Berair darah dan nanah
Bibir manis dilumat kejam birahi
Atas nama kuasa laki-laki
Bak gairah hantu—menunggangi
Orang-orang berebut mangsa
Membenarkan dengan dalih
Tak peduli air mata
Untuk membunuh mengambil bagian bukan miliknya
Masa itu, ini negeri di ambang runtuh
Meski tak pernah bisa
Masih ada yang setia berurai air mata
Tapi laki-laki di sana tak berhasrat menjarah menjamah
Meski dara mulus berdiam pasrah
Tidak, tak terlintas itu
Hanya hatinya yang tahu apa yang dirinya mau
Tahta, ya tahtalah yang kuingini
Hingga sejarah berulang bagai keberhasilan Ki Buyut dulu
Penguasa pun runtuh
Di gema bahak anak petani
Tahta itu, telah dimaling, di-cu-ri.
Angan Penguasa Baru
Beriring bergandengan
Meski itu selingkuh
Saling cumbu
Bagai pangeran menang sayembara
Berhadiah segala emas dan cinta
Cinta orang-orang berharap
Percaya diselamatkannya
Tak peduli cara maling mencuri hati
Harta dan perempuan diminta, diserah berserah suci
Percumbuan yang membuai
Hingga tahta bertitah
Kuasaku mengubah jagad
Masa kita seperti masa meramu
Mengambil dari setiap jengkal yang terlihat
Memiliki dari setiap depa yang tersentuh
Untuk golongan dan anak cucu
Pun yang telah berperan menjarah, membunuh
Hiduplah dalam gelimang bahagia
Ambil segala yang engkau suka
Dari tanah dan orang-orang yang hidup di sini
Masaku, kuasa ku adalah kuasa keluarga kita!
Pengalaman pun bertular rupa
Anak-pinak negeri hidup dari pengajaran titah tahta rajanya
Makan, ambil dari negeri ini
Tapi, bahkan dirimu, milik para pembesar negeri
Kan kugebug yang menuntut
Karena kita yang punya negeri!
Jejak juga bertitah
Mengajarkan pada hasrat
Meski tak seperti guru
Tak perlu dikatakan ini, tiru!
Bagi para pemaling baru
Nikmat yang menjalar
Di sanubari para pemangku anyar
Menjelajah, menjajah rawan hati
Dalam cengkram hasrat menirukan
Dalam dalih suci yang dipaksakan
Bisik heroisnya, jangan peduli walau engkau papa
Bisik gaibnya, ambillah jiwa orang-orang
Seperti masa kanak-kanak ketika kau mencuri sekarung mangga tetangga
Yang menjuntai di pekarang rumah
Tak akan ada yang tahu
Bila ada, acungkan kepal
Teriakkan nama pembesar
Curi, curilah rasa orang-orang
Namun diam-diam
Ada gadis-gadis gemulai yang nanti bisa sesuka hati kau telanjangi
Di balik kuasa yang kau ingini
Titah itu lalu menjadi pijak para generasi
Hingga tak terasa kutuk lagi
Ketika kutuk telah jadi biasa
Ketika maling telah jadi kebenaran bersama
Kesetiaan dan rasa yang sama
Menguatkan tahta sang raja
Tiada terpikir keliru tengah diukir
Para penelaah ber-amin dalam riang tawa
Katanya, zamanlah yang inginkan
Mereka, orang-orang yang setia kepadanya
Zaman terus berjalan
Titah dan pembelaan kian suci
Kebenaran dan kepalsuan dibalut manis rasa yang sama
Sama maling,
Sama setia
Demi misi, orang-orang baik dicuri
Orang-orang baik disakiti
Orang-orang baik diracuni
Orang-orang baik dirasuki
Dipaksa makan haram
Kolusi, korupsi, kata-kata gaib yang menjadikan rasa berkawan
Mengukuh diri saling setia
Misi menjadi jejak
Jejak lalu menjadi pijak
Ini diharap merubah nasib kaum papa
Negeri miskin menjadi sejahtera
Disanjunglah ini langkah bijaksana
Sejarah dibalik
Putaran hitung berawal sepuluh, tidak satu
Dari maling,…oh tidak, bukan maling, tapi atas kerasnya usaha
Hingga dunia harus mengaku bahwa adil telah dibuat
Indah dan damai telah digurat
Meski itu mimpi
Bahagia semu
Walau digemakan hingga ke lorong gelap
Dalam tatap mata curiga
Agar mengisi relung derita kaum marjinal di pinggiran kota
Rasa adil dan bahagia tak kan pernah ada
Bahagia penguasa hanya bila hasil maling melimpah ruah
Adil bukan milik bersama
Alam bersaksi
Tiada mungkin didustai
Halal dan haram tetaplah berjarak langit bumi
Namun jejak telah terlanjur disemat
Tak diduga jadi kerikil neraka
Bukan karena dendam orang-orang tersakiti
Alam tak lagi punya selera membela
Republik diambang bangkrut
Seperti aurat, dulu dengan belati ditusuk
Seperti perempuan-perempuan bagus nan mulus dulu dijamah, dipaksa, diperkosa
Republik berdarah-darah
Menyulut rakyat berkata, tidak !
Untuk bersama lagi dalam setia titah tahta raja
Namun keaslian jiwa pemangku tahta tak bisa sembunyi
Lagi, diseru orang-orang dengan bisik
Kata-kata bunuh pun bergema
Gadis-gadis putih mulus ditelanjangi
Aurat bagus ditusuk belati
Berair darah dan nanah
Bibir manis dilumat kejam birahi atas nama kuasa laki-laki
Bak gairah hantu menunggangi
Orang-orang berebut mangsa
Membenarkan dengan dalih
Tak peduli air mata
Untuk membunuh mengambil bagian yang bukan miliknya
Masa itu, ini negeri kembali di ambang runtuh
Meski tak pernah bisa
Masih ada yang setia
Bersama jam dinding nyaring berdentang
Lambang waktu hidup yang tak kekal
Bersama pemilik tahta yang uzur
Redup dalam senja dan bayang hampa
Di linang negeri yang remuk merapuh
Meski ia tak menghendaki keadaan seburuk ini
Sebab sekenario tak sesuai rencana
Cinta kepada negeri yang diartikan sendiri
Mencabik kesendirian cintanya dalam pergumulan kumuh kini
Anak petani yang dulu sekuat baja
Kini merapuh menjelang senja
Dalam lara anak-anak negeri saling melukai
Tak tahu, apakah ia merasa lara
Atau masih kukuh dalam prisif nilai lama
Nilai primitip yang ketika itu kenapa tidak ditolaknya?
Tak tahu, apakah ia merasa bersalah
Dalam air mata kita karena dilukainya
Maling Republik ke dua
Perahu negeri di antara celah karang
Nahkoda berganti rupa
Pun dalam memandang laut dan hidup
Sejarah hanya kemasan
Tak disimak
Pengusa kini juga menanam onak
Cara menguasa yang tak sebersih rupa
Cara maling terlanjur mendarah daging
Para pembesar sudah sebayang dengan tingkah leluhur
Mencuri menjadi bermakna kesempatan dan rizki
Kebanggaan negri
Sudah tak ada
Kecuali bangga atas hasil maling dan menyejarah
Masa ini kini negeri kembali di ambang runtuh
Meski tak pernah bisa
Kesetiaan orang-orang lara masih kukuh
Meski harus berlinang air mata
Tapi ini kali, semua ingin jadi maling perkasa yang dianggap bijaksana
Atas nama kebajikan
Reform menjadi propaganda
Kebenaran dan kebusukan menjadi manis dilantunkan
Air mata teraniaya menjadi citra yang mengharumkan nama
Dan hati yang ditikam iri oleh selingkuh
Percumbuan yang tak sah dulu
Menggoda rasa
Iri, harta dan tahta pencuri terdahulu tak terjamah mata
Negeri dan manusia di sini berubah wujud
Bak serigala pamer taring dan gonggong melengking
Yang di awal sejarah meramu untuk berbagi
Kini saling mencaci dalam sama pencuri
Sesama serigala kenyang menggonggong lapar
Selalu kurang
Merasa perkasa dan kuasa
Tangan meraih segala yang bisa dimiliki
Rakus, tak lagi sembunyi
Terlihat oleh ribuan pasang mata
Tak lagi malu hati
Ngerinya ini tak cuma satu, tapi beribu-ribu
Maling jadi kebenaran bersama
Dipoles kalimat manis dalam dusta yang sempurna
Suci yang dipaksakan
Hingga jadi kebenaran
Yang salah yang tak menjaga rumah, katanya
Yang salah yang tak menjaga Negara
Yang salah yang tak mau seperti kita
Yang salah yang bodoh tak mendapat apa-apa
Perahu yang melaju
Menembus kelam
Bentangan lara sepanjang perjalanan
Buih air mata leleh berceceran
Beranjak setapak perahu
Terseok hampir karam
Arah perahu yang tak pasti
Di ujung mimpi dan tangis kesetiaan memeluk
Negeriku, negeri kita
Dalam tubuh koyak menganga penuh luka
Luka…!!! Lukamu wahai negeri…!!!!
Luka anak-anak lapar terhina dan papa tengadah mendoa
Luka…!!! Lukamu wahai negeri…!!!
Luka anak-anak marginal dicekam derita
Luka…!!! Lukamu wahai negeri…!!!
Luka orang-orang tertidas, mati tanpa salah dan dosa
Luka…!!! Lukamu wahai negeri…!!!
Luka orang-orang tulus dijejal rintih orang-orang yang dilarai
Luka…!!! Lukamu wahai negeri…!!!
Luka kita yang tak lelah bermimpi
Terbebas jiwa dari cengkram tirani
Cinta Dan Tekad
Cinta Dan Tekad I
Saban waktu
Dihenyakkan ke dada
Rasa itu
Berdaulat sebatas kumpulan binatang
Liar, dipandang dari ceruk dunia berkubang
Marginal
Terkucil di taman sendiri
Berjarak ribuan jiwa
Dari rumah-rumah megah hampa nyali
Berkentut sumbang
Apalagi rupa serigala menghunus pedang
Menyalak gagah
Tak ada
Selimut tebal di tanah bukit
Dalam lolong binatang meradang di tanah lembah
Tiada sisa berarti
Bagi semangat perlawanan
Pembelaan atas kehendak nasib ini
Masa itu
Priyai, dunia yang berpaling
Tak eling
Tanah moyang berpancar permata digenang darah dan air mata
Tak eling
Lara jiwa dirampas paksa
Bahkan oleh mereka
Kita, di tanah yang memerah oleh kaki-kaki lara
Orang-orang tak dihitung
Dibentuk nista
Dibenamkan terdalam
Hingga asa diambang sekarat
Timbul tenggelam bak perahu menjelang karam
Putus asa kerap menyergap
Meski bukanlah cara
Segala caralah tumpuan
Sebab ini perlawanan
Demit-demit pagar pembatas kota
Pilihan teman terhidup
Sebab tiada kawan yang sehati sama
Saat membuang debu tradisi menghamba
Hasrat mengalun di nyanyi dan puisi yang dikeramati
Agar bernyalilah perlawanan
Kerelaan menggurat darah di tanah merah
Tanda setia jiwa
Sungguh, kita sama peduli dengan para gundik kegelapan
Ketimbang pongah para priyai negeri terjajah
Menunggu takdir bergulir
Bercengkerama
Setujuan dengan para leluhur tanah moyang
Tanpa kepalsuan
Kutawarkan aroma penawar luka
Dalam bait puisi mengejar hulu ledak di tapal batas
Kita seperasaan
Mencari mulia
Meski kita kumpulan dinista
Hingga pengais hikmah tak kuasa melawan kebenaran
Bahwa sisi dari jiwa terhina adalah kumpulan makna
Seperti makna derita adalah bahagia
Terhina adalah mulia
Marginal sebuah kata
Simbol perlawanan kita
Dan aku menjadi bagian yang terliar membaluri hasratku
Ku mau menjilat kemaluan demit ketimbang berkata santun
Namun tak eling pada yang mestinya kucinta kurindu
Biar ku menggila dalam nyali dan mau
Memberontak atas hening sejarah
Untuk jiwa yang dibiarkan lara berdarah-darah
Kita para binatang
Bahkan demit laranya peradaban
Yang tak dihitung dan ditatap
Karena buta jiwa yang tiada tahu kita
Dari sini
Ku mau menyetubuhi manusia
Sambil menghujam jantungnya
Dengan kutuk hingga tahu harga kehidupan terdalam:
Kebebasan
Sebelum menjelma asa baru
Cinta hidup beribu waktu
Pertemuan
Saat itu aku mengenalmu
Diiringi hasrat liar sebagaimana aku berasal
Rawan hati mendamba asmara ternikmat
Kusadar mencinta
Pada sosok mu
Langkah kita yang sama
Tercampak
Terseok bahkan rapuh
Dalam desing peluru dan pijar cahaya meriam musuh
Obat lara kala itu hanyalah cumbu
Dalam liar jalanan yang bila bertemu tak kan kuhenti berkasih
Kita yang kerap harus berlari dari sorot tajam mata peluru
Hingga resah tak bisa sembunyi
Akankah asmara ini sampai di mahligai?
Tak henti asmara bergejolak
Seperti binatang meradang oleh luka tergoda
Hingga kita bercinta di suatu pagi
Kau begitu liar sayang…
Seperti binatang
Aku sukai itu
Tanpa batas, penuh semangat menggapai bebas
Sayang kita harus berlari lagi
Hingga kita kian mengerti
Pembebasan harus segera dimulai
Tiada lagi waktu berlama menunda nikmat
Untuk seribu tahun memiliki dan termiliki
Di tanah ini
Mahligai
Waktu merenda hati
Belum beranjak kita dari kumpulan orang-orang senasib
Meski telah kita genggam semangat pembebasan
Kuingat rintih derita pejuang di lorong gelap
Rintihan engkau, atas nama setia pada bangsa menyebut namaku
Dan ribuan anak pun menjadi yatim piatu
Ditinggal mati para pembela
Kuingat betapa di balik derita engkau katakan mereka adalah anak-anak kita
Lalu kita dekapi mereka
Kuingat betapa rapuhnya kita saat itu
Dalam derita sebangsa dan malam mencari penyuluh
Namun bersama adalah saat bergulir kehendak
Kukuhnya kita
Hingga derita sampai dikilau cahaya
Serentak lalu kita teriak, meredekaaa!!
Saat itu
Angan panjang yang seperti tak kan sampai
Dicekam kemelut pencarian harkat
Seketika disergap gejolak asmara
Indah mahligai
Meronta cinta dalam dera haus terlirih
Bersama mimpi saat terjaga di pagi berseri
Damai di beranda rumah sendiri
Indah mahligai pun menari
Meski dalam sederhana periuk dan perabot rumah tangga
Kita memang belum mampu membeli ini itu
Tapi cita-cita mahligai, kata Sang Putra Fajar, tiada terhenti oleh ketiadaan satu set sendok garpu
Tekad adalah bentangan takdir
Jembatan emas
Kebebasan memiliki dan termiliki
Menjelmakan mimpi
Dan buah cinta kita satu-satu tumbuh
Dalam tangis saling nakal ditepian perigi rumah
Buah hati yang kita harap kelak meneruskan tekad kita
Cinta Dan Tekad II
Mereguk nikmat
Bersamamu
Mereguk nikmat terdalam
Masih dengan tradisi liar
Yang kita puja sebagaimana kita berasal
Seperti belum kita temukan puncak kebebasan
Mungkin yang kita cari surga tertinggi
Langit pun kita cumbu
Buah dari itu
Setiap zaman
Kita hidup
Aku ingat, masa revolusi di masa putra fajar bersinar
Kita memikul tangan-tangan perkasa
Meski bermandi darah dan air mata
Bak dilenterai puisi yang pernah kita pahat di tanah merah
Luka pembebasan dan onak Revolusi
Hanyalah cara kita sesanak negeri menepis derita
Dan rasa marginal yang kita tandai sebagai proses pembebasan dulu
Perlahan jauh tertinggal
Langkah kita tak lagi tergapai lara
Atas nama pergumulan masa lalu
Kita kini takdir yang bergulir
Gelisah
Suatu pagi
Musim yang telah berganti
Indah senyum kuberi
Masih membara cintamu
Namun saat kurasa tak kau berikan utuh
Aku kehilangan
Hasrat liarku meronta
Meski terpaksa mencumbu langit
Bayang terindah di balik purnama
Adalah lara terindah yang kumiliki
Saat hasrat tak bertemu yang kucintai
Kiranya engkau kini
Bersama orang-orang senasib seperjuangan dulu
Berkelas diputaran negeri yang telah bebas
Cerita tentang orang-orang sabar
Cermin yang meluluhkan hati
Untukku tak menuntut atas kehilangan ini
Di pagi yang lain
Aku mulai gelisah
Buah hati ku
Hilang
Jarak hati terasa kian jauh
Buah hati telah dinyalakan semangatnya
Bukan oleh dentum meriam musuh di linang tangis anak-anak negeri menjelang yatim piatu
Atau pekik lantang yang melara
Menggurat takdir di tanah merah
Nyanyian hedonis
Anggur mengguyur dicelah nadi
Jiwa tenggelam di mesra pengakuan
Buah hatiku bersamamu
Di pagi yang sama
Aku kian gelisah
Bukan karena telah kehilangan cinta
Namun remuk aku dalam bayang kehilangan berikutnya
Hati yang tak lagi di tempat sama
Membayangkan engkau kini
Masa lalu kita
Menentang penjarah tanah moyang
Mengutuki para priyai pongah
Mendekap orang-orang terluka
Masihkah rasa itu kita punya?
Cerita surat kabar dalam bahasa besar
Anak-anak negeri banyak mati di lumbung padi
Tangisnya merintih
Sampai ke ujung gunung
Para pembesar sibuk apa di dalam gedung
Bisik angin
Dari nafas penyaksi sejarah
Engkau dan kumpulan orang-orang besarmu
Menempuh jalan haram
Mencabik kulit anak-anak negeriku
Hanya karena tak sepaham
Fakta
Dari para mata yang tak tidur sampai pagi buta
Kumpulanmu merampok dengan cara halus
Namun terasa memukul dan menendang
Mengambil dalam sunyi di balik undang-undang
Menjarah yang dimuliakan
Pahit bagi kami
Mengenang
Wajah-wajah seperti tanpa dosa
Terbahak menusuk mata
Menanam Tekad
Di petang gerimis
Menyibak cerita tentang tangis
Orang-orang ku melara
Tak lagi punya pembela
Nasib yang digantung
Diujung tali bersimpul
Kumuh demokrasi yang rapuh
Membayangkan engkau kini
Sungguh tubuh serasa meluruh
Sekian banyak kau tahu
Tak pernah kau fahami aku
Aku ini apa
Aku ini siapa
Aku tak kan pernah berpaling
Aku tak bisa melupakan sejarah
Gemerlap kini
Keberadaanku
Hanyalah kumpulan orang-orang terbuang di masa lalu
Menjelma aku di bentukku yang hilang kini
Hanyalah karena saat terbuang kita sempat menggurat takdir di tanah merah
Mimpi kita
Bukan bahagia tak ingin ku nikmati
Namun kebahagiaan yang tak diam
Dicaci harap dan duka orang-orang yang melara
Karena kau tikam
Menjangkaumu
Berkali ku menyakiti diri
Remuk aku merindumu di sini
Bahkan hanya bayangmu
Tak mungkin kembali
Keberadaanmu kini
Akhirnya
Tak ingin kumemaksa untuk lebih dalam lagi dicintai
Keperkasaan mu membunuh derita
Kenyataan yang menjauhkan kita
Aku hanya bayang yang meronta gelisah
Renta di tepian yang bila hanya diam
Olehmu bahkan oleh yang berpijak di sini
Karenamu
Aku kian dilupa
Tangis
Hanya menambah malu
Seperti disayati
Kerdillah aku
Tak ingin aku terperangkap duka itu
Tak kan kubiarkan aku terpenjara
Dicekam najis penglihatan yang tak bisa lagi kusembunyikan
Aku tengah sendirian mendekap lara orang-orangku
Orang-orang kita, yang kita sebut semasa berdarah-darah berpayah dulu
Sudah cukup alasan
Aku menanam tekad, melawan!!
Cinta Dan Tekad III
Air
Kadang aku merasa hilang
Ada di negeri malang
Yang kuharap tak sama
Yang diingini para pendahulu tak sama
Tak ada yang membumi
Di sini
Lihat hujan yang tumpah
Tanah negeri basah
Air meruah
Tapi anak negeri minum sisa
Dari luapan situ Gintung
Sampai banjir bandang papua
Lebihnya mengalir ke negeri jauh
Di sini bahkan mencari pun payah
Mahal membeli di sumur sendiri
Berkah di tanah negeri yang hilang
Di tangan para begundal pewaris tanah moyang
Minyak
Bila bumiku dihisap orang
Bukan aku yang mesti meradang
Karena kutahu aku tak berdaya
Rajaku diam di rumah
Diatapi tempurung kelapa baja
Bumiku sudah tak meneteskan bara
Katanya habis
Namun tak ada yang katakan sebagiannya dimakan para begundal penguasa terdahulu
Karena jeratnya kuat mengikat penguasa baru
Bumiku sudah tak meneteskan api
Habis
Namun tak ada yang katakan sebagiannya untuk makan penguasa kini
Karena malu
Dimakan dirinya sendiri
Bumiku menyisakan tetes air mata
Mengalir di celah-celah mata para ibu
Bara bumi mengeringkan periuk
Lari anak-anak tak sekencang dulu
Bahkan satu-persatu melumpuh
Minyak
Di tanah negeri hampir tak bertuan ini
Tak pernah terjanji menghidupi sampai mati
Manusia sinilah yang mencari
Tapi apakah itu oleh seorang ibu
Pedagang pisang goreng keliling di kampung tempat besarku?
Negeri hampir tak bertuan
Menyedihkan
Isi tanah habis diambil orang
Istana teroris
Teroris
Kejam…
Menakuti…
Kadang aku tak percaya
Istana telah jadi sarang teroris kini
Teroris,
Jangan lagi diarti mengancam amerika
Pun tidak hanya bom sekarang
Resah beribu pedagang
Harga daging tak terjangkau tangan
Hari-hari tercekam
Daging tinggi, dengan apa di beli?
Baso mahal, siapa yang kan bayar?
Masa depan suram di mata
Kebutuhan tak kenal kompromi
Bom telah diletuskan dari istana
Yang pegang kendali
Teroris
Tak lagi dengan bedil
Harga bawang menjulang
Cabe, beras, kedele meroket
Minyak menghilang
Hati rakyat diledakan lagi
Dari istana
Resah, takut
Mencekam
Mendera rasa di hari akan datang
Apa lagi yang kan menjulang
Menindih hati
Rakyat tak berdaya ini
Rakyat hanya tumbal
Tak ada arti telah memberi
Kesetiaan
Kesabaran
Penguasa mencari kambing hitam
Kesaksian
Aku saksi
Alur sejarah yang kau pahat
Kau tak memberi makan dengan keringat dan apa yang kau buat
Tapi dari luka orang-orang yang seharusnya membuatmu berurai air mata
Kau, kepunyaanmu bukan milikmu
Tapi dari air mata keterpaksaan orang-orangku
Yang kau pinta menyerah, mengalah
Kau harusnya memberi bukan lagi meminta
Kau, mengambil cinta dari yang diberikan bukan untukmu
Kebohongan tersempurna
Di wajah mempesona
Kau dan kumpulanmu
Priyai penguasa kini
Ditanah yang telah terbebas
Karena cinta orang-orang seperti kami
Keringatmu rela dijilati oleh yang sengaja kau buat berharap
Kemiskinan
Derita jiwa teraniaya
Tiadalah niat kau hapus
Kau hanyalah membagi lara dari waktu ke waktu
Aku kini
Aku kini
Merasa kembali ke masa lalu
Menyuara mengumpulkan jiwa satu-satu
Menggurat tanah merah
Memulai takdir baru
Aku kini
Bukan kuberlari dari rasa kecewa karena cinta
Meski aku kan berlari
Bersama mengutuk
Jangan kau kira ku kan diam
Ku kan berkata keras kepada yang telah kuharap
Namun tak memberi arti
Ku kan menghantam
Menerjang
Walau ku tahu luka tubuhku meradang
Aku kan mencari
Membuang
Mencari
Yang pernah hilang
Pelacur dan penguasa
Gerbang kota tinggal lima langkah
Burung emprit kaji bersuit sendu ditangkai kembang ilalang
Jiwanya tahu ke mana aku kan melayang
Nyanyinya pilu meratap
Perpisahan yang tinggal lima jengkal
Aku sudah cukup lama ada di sini
Di tempat sekali waktu dulu aku menanam kasih
Dan menggurat nama di tanah merah
Tanah mimpi
Menyisir pinggiran kota
Luka ku menganga
Orang-orangku merenda hidup
Di gubug liar
Menjaja diri
Merindu harap walau sekejap dicintai
Satu teriak kecil cinta nan manja
Melumpuhkan perasaan
Tapi cinta itu sekadar
Menawarkan pergumulan
Hidup lagi ditikam petaka
Anak-anak direntang masa depan yang tak pasti
Dipastikannya hidup untuk hari ini
Di tanah kota
Yang tiada lagi memerah
Seperti dulu
Ketika kami memekik dengan jendela hati terkuak
Dan karena itu kita saling berbagi dalam rasa terbuka
Hingga sajak-sajak manis kerap menyapa di waktu pagi
Jendela-jendela itu kini rapat terkunci
Aku terpanggang lara
Raga-raga bugil tengah menjaja diri di sana
Jiwa-jiwa kerdil
Melacur menghamba penguasa
Berbagi makan bukan miliknya
Tangis orang-orang terkasihku mencari sesuap nasi
Di bawah pintu jendela rapat terkunci
Koruptor dan pelacur
Dan bila ku teruskan perjalanan
Itu, gedung megah
Tempat kumpulan orang-orang berdasi
Nyanyi penguasa di mercusuar tentang pengabdian
Bendera besar dan anyar berkibar
Katanya tanda cinta
Tapi rakyat tak jua bangun
Papa
Itu, di gedung-gedung pemerintah
Bukan tempat orang-orang berdasi lagi
Ini tempat orang-orang melacur diri
Koruptor bertelanjang di hari terang
Mencumbu rasa lara orang-orang kita
Dengan nafsu keji
Di pandang pedihnya mata dan hati
Orang-orang kita yang hampir mati
Dari Harun Masiku dan KPK tak punya malu,
sampai kepada terciptanya generasi baru...
Ketika gedung KPK dipagari moncong bedil. Mahasiswa berderak maju menghadapi maut, tiada takut. Lalu para Mahasiswa bertanya kemana Harun Masiku, kemana KPK yang dulu?
Tak ada jawaban. Yang ada tatap manusia-manusia yang sudah tidak punya rasa malu. Ngaku KPK tapi melepas seorang Harun Masiku di tengah mata rakyat melotot dan terbelalak.
Sungguh KPK baru, undang-undang baru tak punya malu. Malu pada keluarga, pada ayah, pada ibu. Sungguh, KPK baru tak punya malu, memberi makan anak istri dan keluarga dari hasil menipu.
Dan bertitahlah sang penipu di alam bawah sadar sana, “kelak besarmu anak-anakku, jadilah seperti ayah. Makan itu, halal haram hantam! Seperti ayah. Tak ada yang salah apalagi menyalahkan kita. Karena pemimpin dan kekuasaan tertinggi sefaham dengan kita, searah dan se-cara dengan kita.
Yang justru salah itu yang tak sejalan dengan kita. Lebih dari salah, mereka itu tolol! Hidup kok dibikin susah....
Dan sepuluh tahun kemudian
Terciptalah generasi baru, generasi cerdas, pintar dan trengginas. Bahkan generasi yang secara sekil hampir mampu mencapai bulan.
Sayangnya, tak bisa membuang memori bahwa di suatu masa dulu, ia pernah di besarkan dari kebenaran dan pembanran atas suatu jalan yang kini masih dianggapnya kebenaran karena kuatnya doktrin pembenaran.
Dia dan mereka generasi cerdas untuk Indonesia. Namun cerdas pula mencari jalan pembenaran untuk tipu-tipu kepada rakyat dan bangsa. Generasi baru telah tercipta. Dia, dan mereka generasi dari sebuah negeri bernama NKRI, Negara Koruptor Republik Indonesia.
Istana mati di kota mati
Ini kota mati
Isinya bangkai berserak
Penghuninya jasad berdiri
Tak memberi arti
Ada istana di kota mati
Di pertahankan dengan darah dan linang air mata pahlawan negeri ini
Namun darah dan air mata telah dicuci di sini
Lihatlah segala rasa telah mati
Di istana ini tiada rasa lagi
Bahkan sekedar mengerti arti pembela
Apa lagi pahlawan tanpa tanda jasa
Jika mengerti
Diri dan istana ini punya rasa
Punya arti
Istana bukan sekedar onggok bangun
Bukan sebuah abstraksi sejarah yang lalu melayang begitu saja
Namun istana kota ini
Penghuni aslinya
Memang telah mati
Sekarang hanyalah penerus
Penjarah tanah moyang
Yang memberi lara
Tak memperbaiki apa-apa
Buruh dan hantu
Langkah dan lelah hanya bergulirnya waktu
Biasa, tak ada merasa apa
Pagi datang sampai petang menjelang
Berangan sudah di suatu tempat yang lebih senang
Tak ada
Telah habis berharap
Hanya ada kerja
Demi makan keluarga
Pun kadang tak pasti
Pabrik tempat segala hari dan waktu tercurah
Tak ada yang tersisa
Ketika bulan muda
Pun habis, bahkan tak ada yang terbuang
Kerja hari ini untuk makan hari ini
Buruh dipandang lahan
Padahal bergantung para capital
Bahkan hidup negara di tangannya
Kemuliaan memberi hidup menjadi hilang
Kebutuhan hidup mencucinya
Pola hidup meninggalkan kelas tak berdaya
Buruh termarginal
Terpanggang di ladang mulia
Ini terjadi di negeri bangkai
Negeri penuh Jasad
Tak memberi arti
Di balik jasad ada hantu virus
Dalam wajah manis bertulus
Dia ingin benda hidup atau mati sebagi dirinya
Keluh lelah bahkan air mata
Di tiang pancang pengeras suara
Hanya pengukuh keberadaan mereka
Mengadu pada bangkai tak akan mendapat apa-apa
Jangan meminta
Mereka hanya bisa menerima
Mengambil dan makan dari separuh hidupmu
Perubahan nasib hanya ada karena kita
Tidak mati
Tahu rasa dan kasih
Buruh, sejarahmu kini
Sejarah hidup kita di rentang lara
Kita tak kan ada tanpa kata
Namun tak akan terbenam walau dipaksa diam
Maka kita, berkatalah demi kita
Demi Keluarga
Demi Bangsa
Buruh, akhirnya di tanganmu
Bersamamu
Segala harapan
Segala perubahan
Buruh, kan saling menanti
Saat marginal tanpa kepastian akhir
Menjadi takdir yang bergulir
Pemimpin dan Lara Palestina
Tangisnya sampai ke tidur kita
Darah dan air mata
Membiru ditorehan rasa
Anak-anak malang
Lara di tempat terbuang
Para pemimpin terbahak
Nyenyak, makan nikmat di istananya
Bukan pilihan hidup di tanah perang
Pilihan para pemimpin
Membiarkan
Searti menempatkan
Ada surga di palestina
Di jiwa para korban
Diberi para penumpah air mata
Jiwa yang damai mati dalam bebas merdeka
Ada surga di palestina
Yang memikirkan
Bukan surga diberi Tuhan
Namun karena manusia berkasih untuk manusia
Akibat perbuatan
Manusia mencipta surga sendiri
Jiwa damai setelah bebas merdeka dalam mati
Para pemimpin
Dan kita
Hanyalah jiwa tempat segala rasa salah
Rasa tersayat
Ketika membiarkan manusia
Pilu berdarah berair mata
Manusia mencipta neraka sendiri
Pernahkah kita merasa bersalah pada ibu?
Pada kekasih?
Pedih hati tak terkatakan
Atau menghardik orang lara
Sedang hati tak bisa bohong mampu mengasihnya
Namun dunia, adalah perjalanan
Waktu meluruhkan rasa sesalan
Dalam mati
Waktu tak ada lagi
Diam dalam kenang sesal yang panjang
Jiwa disayati
Manusia menyakiti
Mencipta rasa neraka sendiri
HAM di Istana kota mati
Kota mati ini
Di balik gedung-gedung dan istananya
Sedikit manusia
Banyak sapi dan domba
Merumput di waktu pagi
Senja kala, perut kenyang, pulang
Banyak pula sapi merumput di istana
Istana sapi, pantaslah mungkin rasaanya
Di kota ini
Di pelataran istana
Orang-orangku memajang lara
Atas orang terkasih yang di paksa diam
Dibenamkan di tempat terdalam
Di kota ini
Orang-orangku telah dipaksa mengalah
Atas kesadaran cinta kepada negeri
Tiada bedil kami angkat atau mengadu kepada dunia membela hak
Kami di ajar diminta menyinta
Namun hati dan jiwa kami deremukkan pula
Di kota ini
Senja demi senja
Orang-orangku tetap memajang lara
Bersama berpucuk surat atas nama cinta untuk penghuni istana
Bukan air mata lagi yang tertulis
Keteguhan
Menanti kejujuran
Berharap berkuranglah lara
Terbasuh oleh balasan cinta
Senja yang entah ke berapa ratus
Dalam lara
Sama dengan berabad lamanya
Rambut pun mulai memutih
Nyatanya lara hanya milik mereka
Milik kita
Surat hanya sampai kepada orang mati
Manusia kota ini telah banyak yang mati
Jasad
Tiada arti
Sementara sapi dan domba berlalulalang
Merumput di waktu pagi
Senja kala
Perut kenyang
Pulang.
Surga dan Kemerdekaan
Telah ku yakini
Meski masih ku mencari
Di mana surga abadi
Ketika langkahku sampai di hamparan kembang
Sungai jernih mengalir
Gemercik bak alun perkusi di suatu musim
Angin sejuk bertiup
Ujung cemara menari manja
Damai menjalar
Aku seakan temukan surga yang hilang
Resah tentang dunia dengan orang-orangku yang dilara
Sejenak sirna
Tidak, aku tidak menjauh dari panggilan jiwa
Bahkan aku belum menemukan surga yang kumau
Surga bukan sekadar takdir semata
Tapi pilihan
Dan yang kupilih dalam sederhana insan
Surga adalah kebebasan
Dalam misi ini
Remuk rasaku dikungkung rasa salah
Remuk rasaku termarginal di taman rumah
Terjajah dalam rasa terpenjara jiwa
Oleh bayang orang-orangku didera lara
Ku belum berbuat apa-apa
Aku tak bisa mengharap surga
Rasa dan kebebasan itu
Aku belum merdeka
Jiwa, muara segala rasa
Pada akhirnya
Ku tahu aku kan kalah oleh waktu
Sekali lagi, oleh waktu
Bukan dirimu
Ku kan sendirian di suatu tempat
Jiwa hanya kumpulan sebab akibat
Aku tak ingin terperangkap
Aku ingin kebebasan
Kemerdekaan abadi
Surga tertinggi
Langkah Terakhir Di Tapal Batas
Sudah sampai jauh sini perjalananku
Di depan istana ini, garis batas
Menyerah berarti kandas
Hidup tetap terbuang sebelum akhirnya jiwa terkubur dalam sesal panjang
Dan tak ada lagi kesempatan itu
Luka orang-orangku terbasuh
Sudah sampai jauh sini langkahku
Langkah terakhir
Di tapal batas
Melawan berarti menyemai harap
Hidup terbebas
Sebagai generasi menuntas tugas
Meski kami tahu jiwa kami kan lepas
Tak mengapa, ini belum seberapa
Seperti ketika pendahulu menggurat takdir di tanah merah
Ini kali kita kembali memulainya
Sudah, sudah terlalu banyak kata menyeru
Segalanya berlalu
Perlawanan sesungguhnya rasa cinta yang utuh
Tak semestinya kita ragu
Tak ada lagi yang mesti dipendam
Sudah, hari ini segalanya kita tuntaskan!
Lawan, kita menerjang!
Surat Untuk Para
Pembawa Perubahan
Hingga datang surat ini ke padamu
Wahai para pembawa perubahan
Sebab kutahu
Kau tak jauh
Aku pun tak jauh darimu
Tidak di pintu lain yang tak terjamah
Bukan di atas hingga membuat kau payah mendongak
Ku di sisi jiwamu
Menyemangati, menuliskan yang kau mau
Biar dunia tahu
Kau dan kita galau meronta
Tak rela melihat perlahan runtuhnya negeri kita
Sudah terlalu banyak kita meminta
Mengharap keadilan tegak
Negeri sunguh dijaga
Namun semua itu....
Negeri ini terperangkap lagi dalam angan manusia-manusia yang hanya tahu dan hidup dalam ruang dan waktu kediriannya
Manusia yang sesungguhnya tak pernah menjelajah
Seperti zaman ketika republik belum ada
Masa di mana raja-raja runtuh
Dalam republik kini
Kita hanya membesarkan yang semestinya tidak dibesarkan
Rakyat terbengkalai, berpeluh berdarah-darah
Menjadi pemandangan indah mungkin bagi hati yang tak tahu malu
Antri panjang, menadah tangan mengharap rupiah, mencari minyak goreng yang langka atau berebut BBM di harga yang terkhabar akan melejit
Bak waktu berbalik ke masa sengsara revolusi tempo dolo
Presiden sibuk mengurus ibu kota baru
Rakyat dihisap, dicekik harga -harga mahal
Ya, minyak langka, BBM dan gas akan melangit, susu melejit
Di musim pandemi rakyat makin terhimpit
Pemimpin, dengan segala alasan masih sibuk ngurus ibu kota baru
Kita para aktivis sudah lelah berseru
Meski tak kan pernah lelah
Walau oleh pandemi ini kita pun makin payah
Hingga, sudahlah!
Tak perlu lagi banyak cucuran tinta
Carut-marut negeri hampir tak bertuan
Telah kelewat, membuat nak muntah
Belum lagi membayangkan negeri dicengkram mafia
Hukum tiada makna
Para pembesar sombong melangkah di latar istana megah
Orang-orang bobrok
Mengurus negeri
Saling melindungi
Generasi buncus sedang bertumbuh
Di negeri dengan ideologi yang kian merapuh
Tinggal lagi saling memukul di tikungan waktu
Kesempatan yang kita beri
Hanya ditanda anugerah
Bukan masalah tersudah
Tinggal kita ukur kadar kesetiaan
Apakah cinta kita masih ada
Memikirkan, membenahinya
Meski kita kerap terjebak
Dalam sudut pandang yang berbeda
Revolusi, dalam rasa was-was dan bayang kemungkinan lara
Apakah itu akhirnya pilihan kita?
Meski takut sesungguhnya tak perlu
Ini tekad
Yang kan menepis keraguan, ketidakmampuan generasi baru
Untuk sebuah pembebasan
Hidup lebih baik dari generasi terdahulu
Sebab carut-marut persoalan kini
Kian rumit
Di cawan demokrasi tak bertuan
Pemimpin menyandera dan tersandera bayang
Kerdil diolah manusia lain
Diolah tangan-tangan olighrkis
Diolah para pemodal yang menjadi sandaran dana ketika rezim memulai langkah
Pemimpin bak putri malu dalam lari terbiriit ke balik pintu
Keberanian dan kebenaran yang menjauh
Hingga dusta dan tembelang busuklah yang pegang kendali negeri
Pemimpin, membentuk diri dan jiwa negeri dalam alunan nyali sumbang
Cawan negeri hanya terisi kesia-siaan waktu
Dan segala misi dari ruh dan jiwa negeri pun berlalu
Mereka tiada cinta
Bila cinta, hanya ada berbuat tanpa kenal kata paksa
Hanya ada memberi tanpa kita mengemis meminta-minta
Mereka cuma ingin berlama
Menanti akhir sambil mengalunkan tembang citra
Berusaha hidup lebih lama
Bahkan abadi jika bisa
Tiada harapan di alun sumbangnya
Jika kita terus berharap, sama seperti berharap pada para priyai pongah di zaman republik belum ada
Masa rakyat berpeluh berdarah-darah
Priyai kini bahkan kedengaran kentut pun sudah tak ada
Apa lagi garang menghunus pedang
Dia, mereka hanya menambah lara
Harapan hanya ada pada yang tiada punya kekuatan menipu
Sedang kecarutan hanyalah kancah
Dibiarkan, bahkan tempat sembunyi yang indah
Amat sangat keji! Dalam kata dan wajah polos nan lugu seolah paling kasih
Sungguh, tiada arti telah lara seribu jiwa
Yang menandai arti hanya orang-orang yang telah jauh menempuh perjalanan
Sampai perbatasan
Dipaksa takdir harus berbuat, harus membela dan melawan
Dalam dada penuh bara
Lihat, betapa tiada henti pembelaan
Sekali lagi, itu hanya kita
Oleh kita
Carut-marut ini
Galau hati
Namun jangan takut terperangkap
Sebab apapun ketakutan mereka kan berjalan
Menginjak
Kita merayap
Meninggalkan kesetiaan di antara kita satu persatu
Apakah itu yang kau mau?
Maka tinggalkan rasa itu
Masih ada kasih kita pada negeri
Membuat kita bertahan
Pun karena cinta
Kita urai dengan kemauan
Memulainya
Jangan diam
Berkatalah
Bahwa korupsi kejahatan kemanusiaan terbesar masa ini!
Jangan katakan tidak!
Hak hidup telah banyak hilang
Kejahatan hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya mengiringinya
Bahwa kemiskinan itu menjadi sejarah yang menyejarah, dicipta yang tercipta berulang dan untuk diulang. Agar kekuasaan bisa mengambil manfaat. Bukan ketulusan yang semata ingin mengangkat harkat kehidupan rakyat. Tapi beriring dengan mengambil manfaat, menghisap.
Ya, bila melihat ideologi yang mereka genggam, mereka hanyalah kaki tangan dari suatu sistem penghisapan (tentang penghisapan, lihat akan datang postingan anyar berjudul : Menggapai Indonesia emas 2045 lewat percepatan pembangunan berbasik Ideologi)
Negara menjadi alat hisap
Bukan alat pembela bagi rakyat
Rakyat hanyalah alat pelengkap demokrasi
Sementara kemiskinan menjadi sarana agar kekuasaan abadi
Orang miskin dipelihara untuk lumbung suara
Rakyat miskin dihitung
Disanding dengan dana untuk kemenangan yang disahkan
Lalu BLT dan sejenisnya, penghibur bagi si miskin setelah demokrasi mereka beri nama pesta
Setelahnya berlanjut ritual penghisapan lagi
Upacara pemiskinan kembali
Ketulusan yang hilang dibasuh serimoni
Rakyat dan kemiskinan hanyalah dua sisi pelengkap permainan ini
Dan istana
Lihat berbagai tipu-tipu dan pemaksaan segala undang-undang
Omnibuslaw, pelemahan KPK hingga undang-undang pemindahan Ibu Kota Negara dalam masa pandemi yang dikorupsi dan rakyat berpeluh berdarah-darah
Adalah istana segala mulanya
Dan istana
Simbol pertama yang mestinya terjaga
Luluh lantak dan kotor KPK, noda hitam itu
Mestinyalah disapu
Hingga istana tak sekadar melantang kata
Manis, sekadar membasuh muka
Citra, di rintih jiwa rakyat mengharap terbela
Namun hancur KPK ludah termanis
Telah diagungi wewangi pemikat peri penyelamat negeri
Maka menari bahagialah wahai jiwa para pembunuh di alam kubur
Di sini restu saudara sesukumu menyanjung pembunuhan semasa kau hidup
Kau bisa menggugat Tuhan
Atas siksa yang selama ini kau rasakan
Sebab dunia ternyata membenarkan cara membunuh
Lihat KPK kini dengan meruahnya korupsi yang tak tampak lagi
Ribuan kesempatan hidup terenggut
Langkah koruptor telah dicuci
Disabda suci
Penyelamat negeri
Lalu aroma yang bangkit
Di musim manusia sakit
Mengisi dada-dada bernafsu
Anak negeri kelak menjadi yakin
Mencuri dalam merengkuh hasrat itu tiada tabu
Rampok, penipu
Kenapa takut
Kekuasaan mencuci memberi restu
Meski manis ludah tetaplah seanyir najis darah
Bahkan busuk terbusuk dibilangan bangkai bernanah
Manusia waras tak nyaman mendusta
Manusia waras tak mau ditipu dan menipu
Dan istana
Yang diludah oleh yang menyamun dengan bahasa santun
Dalam wangi ludah semisal Harun Masikhu
Sesungguhnya kotor dalam bius virus yang menularkan mati
Berhatikah manusia yang mendekat
Kecuali memang kumpulan zombi serupa mayat
Dalam nyanyi bahkan tangis manusia beradab
Harun Masikhu, korupsi dana bansos, remuk KPK, dan bahkan KKN anak petinggi negeri sesungguhnya aib dan luka
Namun kenapa manusia itu masih senang menelannya
Padahal ia tahu
Untuk sebuah bangun peradaban
Dirinya tengah meruntuhkan istana
Perlahan membunuh negara
Meretas luka-luka kita
Kiranya di mata santun penghulu negeri
Kitalah orang-orang termungkin, ternikmat dilukai
Maka Masikhu, kasus dana bansos, bahkan KKN anak petinggi dan kenyataan remuknya KPK kini dan beribu kasus korupsi
Bagi para penyaksi berhati, tak lain rasa terhina
Masikhu, kasus dana bansos, KKN, pemaksaan undang-undang dan kenyataan KPK kini adalah doktrin dalam lidah dan moncong suci ideologi pemaksaan
Tak layak ada di ruang pikiran
Ideologi butek bercampur tangis kaum papa di rentang kesenjangan yang menganga
Sementara naïf, para petinggi tampil bermuka baja
Berteriak anti korupsi dalam mata rakyat lebar terbelalak
Dicolok benderang fakta
Korupsi dibiarkan bernananana... bahkan berdadadada...
Kita hanya penonton bodoh, bahkan tak ada
Sekali lagi itu menghina
Maka detik ini
Tak ada kaki melangkah kecuali penuntasan menyejarah!!
Penghalang, searti penebar kekejaman
Penunda, searti pendukung kejahatan kemanusiaan
Rasa kasih memang tak berbatas pada manusia apa
Namun persetan ini atas nama kebersihan penghuni istana
Ini soal pelemahan Negara
Kita yang menjaga
Soal kejahatan demi kejahatan lain yang mengiringi
Dan Keterpenjaraan, ketidakmerdekaan
jiwa kita oleh najis penglihatan
Yang bila disembunyikan kian menjadi najis bagi bangun istana
Yang mestinya mulia
Membayangkan rakyat hidup dari rupiah demi rupiah
Berpeluh penuh letih bahkan berdatrah-darah
Sementaara petinggi negeri duduk manis rakus meraup trilyun dengan mudah
Berkuasa di atas derita
Sementara penegak hukum berleha memanjang penantian dan lara kita
Ini bukan soal iri
Tapi keadilan
Cermin di hari depan
Tiada tempat bagi pemimpin gemerlap dari menghisap keringat rakyat
Pemimpin, bahkan harus menunda mati
Sebelum ada pertanggungjawaban atas air mata anak-anak negeri
Keadilan, tak beralasan tiada tegak
Bila beralasan
Telah dibakar hatiku, hatimu, hati kita!!
Lalu kan terbakarlah negeri ini
Oleh api kita rakyat semesta
Yakin, yakini itu, wahai saudaraku!
Bakar, bakarlah negeri dengan percik api di dadamu
Agar seperti semak belukar dilahap nyala yang berkobar
Dari tanah menghitamnya tumbuh benih dan tunas baru
Benih itu jiwamu
Tunas itu ragamu
Maka berbarislah saling mengukuh
Jangan lagi bercerai-berai
Menjaga tekad menuntut
Ini misi suci penyelamatan negeri
Dalam genderang yang tak kan lagi surut
Ini hari kita melawan
Menerjang
Mempercepat dengan memaksa
Membuatkan kursi baru bagi penguasa
Di rumahnya semula
Agar ia duduk manis
Mungkin sementara waktu
Karena rasa kasih kita masih ada
Mungkin lama
Sebab ini masa orang muda membenahi bangsa
Yang tak terjangkau tangan lelah orang tua
Jika niat orang muda tak dimengerti
Maka tiada lain kita menggilas, menggila!
Tak akan henti
Walau seribu mesin perang menghadang
Revolusi, jika harus terjadi maka terjadilah kini
Jika pun tidak, ini kehendak untuk perubahan yang tak terbendung lagi
Sudah sesak dada oleh rasa tidak percaya
Jangan ada tunda
Jika tak ingin tergilas waktu
Dan laju mereka yang menyisakan nista atas orang-orang kita
Penantian dalam harap negeri menjelang kejayaan telah begitu lama
Kesabaran telah sampai batasnya
Dan misi agung ini membutuhkanmu wahai anak-anak negeri nan gagah berani……Butuh kaki dan tangan tulus tanpa pamrih. Untuk menggerakkan dan menyebarkan misi ini ke setiap penjuru negeri.
Cinta kepada tanah negeri ini telah membawaku dan tentu dirimu tak henti memikirkan orang-orang merana di tanah ini. Di tanganmu sandaran lelah yang sangat. Bergayut jiwa negeri dan nafas rakyat.
Maka diri yang tumbuh dari tanah ini, jangan berpaling dari keinginan hati untuk mengabdi. Ini lahan pengabdian termulya. Bukan hidup jumawa mewah di istana kardus yang dilukis warna-warna dusta. Itu pembusukan bangsa.
Ini takdir kita, kini! Di sini, di belahan yang meski sempit berpeluh namun mengagungkan kebenaran sejati, tanpa tipu. Kebenaran agung dari keluhan jujur pertiwi dalam tangis mengharap dicintai.
Maka besarkan hati…berbaris, bersatu dan bergandenglah wahai putra-putri Pembela Rakyat nan perkasa. Telah lama rakyat kita merana dikepung rasa lara. Hingga biduk waktu menyapa tepian rasa di antara bayang suram masa depan bangsaku, bangsamu, Negara bangsa kita. Hingga bangkit ini menjadi niscaya.
Buat ikatan yang kan mengepung kedustaan itu dari segenap penjuru. Busungkan dada karena kebenaran dan kemenangan kan nyata. Ini takdir kita, kini! Di sini, di sisi jiwa duka dan luka orang kita yang merana teraniaya. Di lengan pertiwi yang tak lelah mengusap peluh dan luka kita.
Teguhkan hati. Maka teguhlah wahaaaii.... yang mengerti ini tanda cinta. Jejak kan kita pahat. Maka percayalah wahaaaii... yang mengerti bahwa ini kali kita kan bangun jiwa. Bangun istana sesungguhnya dari tetes peluh raga idealis yang kukuh. Megah di linang air mata penuh rela. Sebab kita kan saling memberi bahagia.
Ku berharap sungguh
Saat ini sampai
Mulailah
Untuk tujuan yang selama ini telah banyak tertunda
Jangan lagi berharap dan bergantung pada yang tidak akan memberi manfaat bagi kesemestian hidup rakyat
Jangan gamang
Sebab di sana mereka tengah berusaha mebangun gedung dan jalan sebagai benteng lalu berharap kebusukan yang dibalut mulut beraroma suci ideologi itu menang
Jangan setengah
Kita kini telah bersama
Walau kadang kita saling jauh
Jangan menunggu
Sekejap, bila mungkin datang waktu untukku
Dan bila mungkin kau ingini
Ku kan datang dengan kencang berlari
Sampai di depanmu
Bila ku memang harus tertinggal
Tak mengapa
Ku kan bangga dalam setia mengawal
Selamat berjuang..!
Namun bila kalian merasa hampa tanpa diriku
Aku di sini dengan segala jejak
Untuk masa depan Indonesia dan sebuah kemerdekaan jiwa
Aku dan kita
tiada kata lain, siap sedia!!
***
Beribu sayang dan cinta
Jakarta/ Lampung, atas nama pergerakan rakyat Indonesia
TOMY IRFANI