Benteng Terakhir: Tragedi Cinta Harmoni. Bab 4, Pecinta Yang Tak Berdaya. Sebuah Novel Pembangun dan Pembebasan



Benteng Terakhir

Tragedi Cinta Harmoni

Diilhami oleh Tragedi Kemanusiaan
Talangsari Lampung

Sebuah Novel
Pembangun & Pembebasan

Oleh
TOMY IRFANI


Bab 4
Pencinta yang Tak Berdaya. 

Seekor monyet berlompatan, merangkak, dan berjalan, tak mau diam di sebuah tunggul pohon belimbing di depan rumah besar dan mewah. Hari telah pagi, bahkan sebentar lagi siang menjelang. 

Tetapi rumah besar itu tampak masih sepi. Hanya di belakang rumah tampak
ada tanda-tanda kehidupan. Bau angin pagi yang masuk lewat celah jendela kamar di rumah besar dan terlihat mewah itu, tak mengusik sang pemilik untuk bangun dari tidurnya. Dialah Datuk Mursal, Kepala Desa Sematang itu. 

Sampai kini terlihat belum terlalu tua ia. Itu karena ia orang kaya. Kecukupan harta membuatnya tampak awet muda, walau memang usianya pun belum terlalu tua. Karena kekayaannya pula, maka ia disegani, bahkan ditakuti. 

Setelah kaya, menjabat kepala desa pula, maka lengkaplah sudah kuasanya atas desa itu. Dan keadaan yang seperti
itu telah berlangsung sejak dulu. Oleh karena itu, tak ada yang berani
membangunkannya saat ia tidur, walau sampai siang bahkan sampai petang.

Akhir-akhir ini Datuk memang sering begadang. Tadi malam juga. Ini yang mungkin membuat Datuk sampai sesiang ini masih membujur 

76

Benteng Terakhir

diam di kasur empuk kamarnya. Bahkan sinar matahari sudah pula
menyapa lantai kamarnya. Ia masih tetap bergeming dengan mimpi dan
dengkurnya. Tidur di waktu pagi memang membuat kuat begadang di 
malam hari.
 
Datuk dengan beberapa orangnya akhir-akhir ini memang tengah dibuat pusing memikirkan orang-orang Merabu yang tampaknya semakin kuat bercokol, mendiami lahan-lahan di sebelah barat desa mereka. 

Mereka merasa lahan-lahan itu telah diambil oleh orang-orang Dusun Merabu. Apalagi lahan-lahan itu kini sudah ditumbuhi tanaman-tanaman berharga. Tambah tergiurlah mereka untuk kembali menghaki lahan itu. 

Oleh karena itu, mereka sedang mencari cara bagaimana mengusir orang-orang Merabu di sana dan mengambil kembali tanah serta lahan itu.
 
“Kalau saja si Jalud, Rodi, dan tiga anak buahnya masih hidup, kita tak akan kesulitan mengusir orang-orang Merabu itu,” gumam Datuk sambil melempar kartu gaple ke meja. Mereka membicarakan soal orang-orang Merabu sambil bermain kartu tadi malam.

“Tapi andai si Jalud dan Rodi beserta anak-anak buahnya itu masih hidup pun, sepertinya belum tentu mampu pula menghadapi orang-orang Merabu yang pintar berperang itu,” ujar salah seorang anak buah Datuk sambil melempar kartu pula. 
.
“Ah, kata siapa tak sanggup? Mereka itu punya ilmu dan kepandaian. Dalam kondisi seperti ini, mereka bisa bergerilya membunuhi orang-orang
Merabu itu satu per satu. Tapi, ya….sekarang mereka sudah mati.”
Sang Datuk tampak menyesali kematian anak buahnya dulu. “Meski
begitu, sampai kapan pun kematian mereka jangan sampai diketahui
warga kita,” tiba-tiba Datuk agak berbisik pada Sadeli, salah seorang anak buah terdekatnya. “Kalau warga kita tahu, maka berkuranglah wibawa
kita. Karena Jalud, Rodi, dan anak-anak buahnya itu sangat ditakuti warga. Maka itu warga pun sopan dan tunduk kepadaku. Tapi sayangnya mereka telah mati….” lagi Datuk seperti menyesali.

“Bagaimana kalau kita lapor ke atasan polisi langsung, Datuk. Kita bilang pada tentara, orang-orang Merabu itu sudah membunuh. Biar orang-orang Merabu itu diciduk.”

77

Benteng Terakhir

“Ah, kau ini Sadeli! Sedari dulu kau selalu mengusulkan itu. Kalau aku mau lapor, semenjak Jalud, Rodi, dan anak buahnya mati, dan kau selamat waktu itu, aku sudah melapor. Tapi kau tak sadar apa, Jalud, Rodi, dan anak-anak buahnya itu kan buronan polisi. Matinya mereka, malah membuat senang polisi.
 Kalau polisi tahu nantinya, malah memperjelas sepak terjang mereka di mata warga. Ah, lagi pula mengundang polisi ke mari, membuat tidak tenang kita. Bisa-bisa semakin habislah uangku untuk menyogok atau memberi tip pada polisi-polisi itu,” Datuk seperti bergumam. Namun, diteruskan dengan suara di hatinya yang berkata-kata, “cukuplah hanya polisi si Mardin itu yang jaga dan pelapor kondisi desa 
kita ke koramil di kecamatan sana. Agar orang-orang menyangka kayu-kayu yang ditebang dan diangkut itu memang untuk pemerintah.”

Datuk melempar lagi kartunya. Kartu yang ia lempar adalah kartu terakhir di tangannya—ia pun terbahak-bahak tertawa karena menang dalam permainannya.

“Tapi gadis itu, Datuk?” tiba-tiba anak buah Datuk yang dipanggil Sadeli tadi, mengubah tema bicara.

“Nah, coba ceritalah lebih jauh lagi tentang gadis itu…. tapi jangan kau usulkan lagi untuk menculiknya, sebab itu tak mungkin. Orang-orang Merabu akan mencarinya. Nanti salah-salah kita diserbu mereka. Kita belum ada kekuatan.”

“Ah, bukan usul itu lagi, Datuk. O iya, dulu ketika Kakek, nenek, dan bapak gadis itu mati, kira-kira gadis itu sudah tahu belum orang-orang tuanya itu berseteru dengan siapa? Kira-kira dia tahu belum waktu itu Datuk berperan
dan berposisi sebagai apa?”

Mendadak Datuk terdiam. Seperti ada yang cukup serius dipikirkannya. Namun kemudian, “Ah, aku rasa tidak tahu. Karena waktu itu sepertinya dia masih kecil. Jangankan dia, orang tuanya pun sepertinya tidak tahu. Waktu itu semua orang tahu bahwa yang berseteru adalah warga bersama pejabat dari kota yang ingin tanah itu dijadikan lahan industri melawan mereka yang mempertahankan tanah dan hutan itu. Sedangkan aku adalah penengah di antara mereka. Kalau gadis itu 

78

Benteng Terakhir

suatu saat nanti menanyakan itu ini tentang peristiwa masa lalu itu, aku
bisa menerangkannya tentang posisiku.” Cukup meyakinkan ucapan
Datuk tentang masa lalunya. 

“Nah, karena itulah sekarang usulku bagaimana kalau gadis itu Datuk ambil saja sebagai istri kedua.”

“Hahaha….” pecah tawa Datuk bersama tawa anak buah yang lainnya.

“Ah, kau ini ada-ada saja….” seloroh Datuk bersama tawanya.

“Tapi sungguh, itu bisa saja terjadi, Datuk. Gadis itu sudah besar, cantik pula. Cocok dengan Datuk yang masih terbilang muda dan gagah. Istri Datuk kan baru satu. Wajarlah laki-laki seperti Datuk beristri lebih dari satu.”

Pecah lagi tawa Datuk Mursal yang diikuti tawa anak buahnya. “Bisa,
bisa…. Gampanglah itu nanti. Sekarang bagaimana cara mengusir dan
mengalahkan orang-orang Merabu itu dulu. Sedangkan kita tak punya
kekuatan seperti dulu lagi semenjak Jalud, Rodi, dan anak buahnya mati.”

Suasana mendadak hening. Tampaknya mereka sedang berpikirkeras. Meski tangan-tangan mereka masih sibuk bergerak memainkan kartu. 
Begitulah yang mereka lakukan akhir-akhir ini tiap malam. Sampai Subuh. Sampai datangnya rasa kantuk, kemudian Datuk merasa cukup. Lalu si anak buah pulang. 

Sementara Datuk pergi ke kamarnya. Untuk tidur, bermimpi mengalahkan dan mengusir orang-orang Merabu di
lahan yang ia anggap milik desanya, milik dirinya.
 
Pagi menyingsing, bahkan matahari mulai meninggi, tiba-tiba terdengar
Suara monyet berteriak-teriak dari halaman rumah besar Datuk. Datuk pun terbangun karena suara teriakan monyet itu. “Ah, kau, Meranti, kau sudah lapar rupanya…” suara Datuk seperti bergumam, menggumami monyetnya. 

Meranti, sesungguhnya adalah nama sebuah pohon. Namun, sengaja ia ambil untuk mengabadikan dan mengenang nama pohon tempat terakhir monyet itu ditangkap. Pohon-pohon itu kini telah ditebangi. Hutan-hutan itu kini telah habis. Sisanya, ya, monyet itu. Makanya ia mengambil nama pohon itu, meranti, untuk nama monyetnya.

79

Benteng Terakhir

Diam sebentar Datuk di atas kasurnya. Pikirannya sedang melayang-layang.
Membayangkan sosok gadis cantik, yang ia dengar dari cerita Sadeli semalam. 

Cerita kecantikan gadis itu memang sudah kerap didengarnya dari ungkapan Sadeli yang berulang-ulang. Selama itu tak pernah terpikir olehnya, melihat tanah dan gadis itu sebagai hal yang satu. 

Tapi kini, di balik angan-angannya memiliki tanah-tanah yang kini telah 
ditumbuhi tanam-tanaman dengan kayu-kayunya yang berharga itu,
tiba-tiba terpikir olehnya, andai ia memiliki gadis jelita itu, tentu berarti
ia telah memiliki lahan dan tanah itu pula.
 
Benar, itu benar! Hati Datuk meyakinkan diri. Mulailah ia memikirkan 
gadis itu dengan serius kini. Tapi mendadak ada yang mengganjal di pikirannya. Tentang pertanyaan Sadeli tadi malam. Masa kecil gadis itu, apakah ia mengetahui sepak terjangnya saat itu? 

Ah, tapi masa bodohlah! Tiba-tiba Datuk merasa harus berpendirian 
seperti itu. Ia akan membuat gadis itu tak memikirkan masa lalu. Ia akan menawarkan dan melakukan apa saja. Tak ada manusia yang tak luluh oleh kebaikan yang dilakukan terus-menerus. Tak ada manusia yang tak terlena oleh kedudukan, uang, harta, dan sanjungan, pikir Datuk dengan yakinnya. 

Suatu keyakinan yang tampaknya sudah sangat ia pahami, karena 
berasal dari pengalaman hidupnya. Maklumlah, ia orang kaya. Di mana orang-orang miskin, orang-orang butuh kerap mengiba, mengharap kepadanya.

Cukup lama sang Datuk termenung di atas kasur tidurnya, 
ketika tiba-tiba bibirnya tersenyum-senyum. Bersama dengan itu, ia bangkit. Wajahnya berubah ceria. Sepertinya ada sebuah ide yang tiba-tiba ia temukan dan kini tersimpan di kepalanya. 

Lalu ia bangkit untuk menuju ke rumah belakang. Keluar dari sana, ia telah membawa pisang dan jagung. Sambil bersiul-siul penuh gembira, ia menuju Meranti, monyetnya. Monyet itu diberinya makan dengan pisang dan jagung. Mendapat makanan, monyet 
pun berteriak menunjukkan rasa girangnya.

Pada saat memberi makan monyet seperti itu, kenangan sang Datuk 
kerap melayang ke masa lalu. Masa lalu ketika ia berumur belasan tahun,umur saat mana jiwa terbentuk hingga membentuk seorang manusia dewasa dengan segala sifat-sifat kedewasaannya.

80

Benteng Terakhir

Saat itu, bersama dengan seorang teman yang kini juga jadi kepala desa 
di seberang sana, mereka sering pergi ke ladang orang untuk menjerat 
burung. Pada saat-saat seperti itu, mereka kerap pula mencuri dengan 
memetiki buah-buahan di ladang atau kebun orang.
 
Teringat ia, di suatu hari, saat mengintai jerat puyuh di pinggir ladang 
jagung seorang petani. Di sana terdapat sebuah gubug kecil di antara ladang jagung yang sedang berbuah. Gubug itu sepi. Karena sesiang itu pemiliknya belum juga datang ke ladang.
 
Burung-burung puyuh bertebaran di permukaan tanah. Beberapa 
di antaranya mengais-ngais tanah kering di bawah gubug. Mengepulkan debu. Mereka sedang bermain tanah kering, memupuri diri.
 
Beberapa yang lain bertebaran mencari makan. Mematuk rumput-rumput liar yang masih muda di antara batang-batang jagung yang tinggi. Sementara itu, segerombolan monyet tengah bergelantungan di dahan-dahan 
pohon dekat ladang jagung itu

Mata monyet-monyet itu tertuju pada buah jagung yang ranum-ranum.
Sepi. Ketiadaan manusia di sana membuat si monyet berani turun, 
hendak mencuri buah-buah jagung itu. 

Tak lama kemudian, monyet-monyet itu pun berpesta. Entah berapa banyak buah-buah jagung di sana yang mereka petik. Dengan lahap mereka memakannya lalu menyimpan butiran butirannya di dalam pipi kanan dan kiri mereka. 

Kantung di leher mereka pun membesar penuh dengan butiran biji jagung. Bukan hanya itu, mereka masih memetik beberapa buah jagung dan mengempitnya di ketiak.

Tak lama kemudian muncullah Pak Tani sang pemilik ladang dan kebun jagung. “Hei, sialan!” ia berteriak sambil berlari mengejar. “Hayo….
hayo….hayo….!” teriaknya berkali-kali mengusir monyet-monyet yang ada
di ladang jagungnya. Monyet-monyet pun berlari.

Namun sayang, karena terlampau bersemangat mengejar bercampur
rasa marah dan kesal, kaki sang petani tersandung akar. Tak ampun,
tubuhnya terjerembab jatuh.
 
“Hahaha….” melihat kejadian itu, Mursal dan temannya tertawa-tawa 
sambil menutupi mulut dari tempat persembunyiannya. Bagi mereka, itu
kejadian yang lucu. Tampaknya mereka memang menyukai pertunjukan
seperti itu.

81

Benteng Terakhir

Dan setiap kali teringat itu, Datuk Mursal kerap tertawa sendiri karenanya. Padahal, Datuk Mursal sedang tertawa di atas derita manusia,
sesamanya. Datuk Mursal tak pernah berpikir untuk menarik hikmah 
atas pengalaman masa lalunya itu. 

Saat burung-burung puyuh yang ia saksikan hanya makan dari rumput-rumput liar, itu karena burung-burung puyuh yang kecil itu memang ditakdirkan hanya merayapi muka bumi.

Tak terpikir oleh mereka untuk menjangkau buah jagung di atasnya yang bernas dan nikmat sebagai makanannya. Seorang Mursal pun tak pernah bisa memahami kearifan alam itu. Bahwa segala sesuatu ditetapkan dan diletakkan pada tempatnya. 

Seekor puyuh hanya mampu berjalan di muka bumi. Tak mampu ia bertengger lama di sebuah dahan atau terbang tinggi sehingga tak pernah terpikir olehnya untuk memiliki atau menikmati jagung yang ranum. 

Ia hanya memakan apa yang menjadi miliknya. Bayangkan andai burung-burung puyuh itu mampu terbang tinggi. Kaki-kakinya mampu mencengkeram dahan lalu hinggap di atas batang jagung, atau di 
tangkai-tangkai padi para petani. 

Tentu mereka akan sangat merugikan para petani. Karena jika ia mencuri 
lewat bawah, para petani akan kesulitan menjaga tanamannya. 
Alam memang telah mentasbihkan sebuah keteraturan. Sehingga
keselarasan senantiasa berjalan seiring melajunya zaman.

Namun, sebuah keselarasan kadang terkoyak bila suatu makhluk yang 
memiliki kelebihan di atas keberadaan makhluk lainnya—menyeberang, 
melampaui batas-batas keberadaan dan miliknya. Kelebihan itu akhirnya
menjadi momok dan ancaman bagi yang tak berdaya.

 Inilah yang disebut seleksi alam itu. Hukum bagi yang kuat, dengan 
kekuatannya adalah anugerah. Tapi bagi yang lemah, adalah petaka. Sebab 
yang kuat bertahan dan yang lemah tersingkirkan.

Saat itu sebenarnya Mursal dan temannya melihat ulah monyet-monyet
yang berpesta mencuri jagung-jagung itu. Monyet si binatang rakus. Serakah. Namun anehnya, mereka tak berbuat apa-apa. Hati mereka tak tergerak untuk mengusir monyet-monyet itu. 

Tak terlintas di pikiran mereka rasa kasihan pada pemilik kebun jagung. Pikiran mereka hanya tertuju pada jerat burung puyuh. Mereka takut jika menghalau
 
82

Benteng Terakhir

monyet-monyet itu, burung puyuh yang hampir terkena jerat akan lepas
dari kemungkinan kena jerat mereka. 

Padahal bagi seorang petani jagung, ketika berusaha menghalau monyet-monyet itu, adalah bentuk perjuangan untuk mempertahankan hidup, untuk survive. 

Jika dihubungkan dengan teori seleksi alam, survival of the fittest, si monyet juga makhluk yang ingin bertahan hidup (survive). Namun, secara tidak langsung ulahnya dapat memusnahkan makhluk lainnya, dalam hal ini sang petani, manusia.
 
Beruntung pada kenyataannya monyet tak pernah berhasil mengalahkan
manusia. Justru monyetlah yang kemudian kalah. Ketika hutan-hutan
ditebangi dengan amat rakus oleh manusia—jauh lebih rakus dari cara
monyet-monyet mencuri. Ketika monyet-monyet itu dikejar-kejar atau diburu….

Gambaran kekalahan monyet itu terlihat di sebuah desa, di depan
rumah sang kepala desa. Seekor monyet sedang diikat dengan rantai
di pinggangnya yang diberi kawat melingkar. Monyet itu ditangkap
saat ia terjebak di rimbun terakhir dari pohon-pohon yang ditebangi.

Anak buah Pak Kades lalu menangkapnya. Rupanya monyet itu menarik minat Pak Kades untuk memeliharanya. Pak Kades cukup perhatian pada monyet itu. Ada rumah-rumahan kecil yang dibuatkan untuknya berteduh. 

Makanannya pun tidak terabaikan. Setiap pagi dan petang diberi makan pisang atau buah-buahan lain.  Bahkan, kadang-kadang diberi nasi lengkap dengan lauknya. Beberapa hari sekali monyet itu pun dimandikan.

Tampaknya kepala desa itu amat peduli dan mengasihi binatangdengan sepenuh hati. Itu sangat baik. Namun, mengapa harus mengikatnya? Bukankah itu berarti manusia telah memenjarakannya.

Dengan cara itukah manusia menunjukkan kasih sayangnya? Atau karena ia takut ditinggal pergi oleh piaraannya? Ah, rasa-rasanya tidak juga. Sebab bila benar begitu, berarti manusia memiliki bakat psikopat sejati. 

Yang terjadi saat itu adalah saat manusia menganggap monyet itu bukan lagi lawan, melainkan makhluk yang telah ditaklukkan dan dapat dijadikan
 
83

Benteng Terakhir

teman. Maka, tampak terjadilah hubungan yang saling membutuhkan.
Di sini seperti berlaku hukum harmoni atau keselarasan.

Lalu, kenapa antarmanusia sendiri kadang tidak bisa saling
menyelaraskan atau mengharmonisasi diri? Tidak bisa hidup 
berdampingan saling mengasihi? Peperangan atau saling membunuh masih kerap
terjadi. Manusia merasa mendapat legitimasi atas pendapat bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) dan
menganggap sebagai  sesuatu yang alamiah andai manusia melakukan
kekerasan atau memerangi manusia lainnya. 

Apakah harmonisasi dan keselarasan itu hanya dapat tercipta setelah 
manusia saling mengalahkan terlebih dahulu? Seperti ketika manusia telah 
mengalahkan binatang.
 
Bukankah manusia yang hidup saat ini bukan binatang seperti dulu lagi?
Bukankah manusia yang hidup saat ini mempunyai akal budi, tahu mana
yang baik dan mana yang buruk? Ya, seharusnya manusia menyadari hal
itu.

Tapi pada kenyataannya, saling menyingkirkan dengan saling membunuh terus saja terjadi. Terlebih ketika ini mendapat legitimasi oleh teori yang 
dibuat oleh manusia sendiri.

Akal budi lalu seperti disingkirkan. Padahal dengan akal budi manusia dapat merekayasa masa depannya. Manusia sebagai makhluk sosial, adalah juga makhluk belajar—di mana masa depannya ditentukandari menyerap pelajaran demi pelajaran dalam hidupnya. 

Bila yang diserap hal yang baik, maka baik pulalah tingkah lakunya. Jadi, manusia bukan serigala, bukan pula ada untuk saling meniadakan manusia lainnya. Keinginan seperti itu justru akan memusnahkan eksistensi 
manusia itu sendiri.

Teori survival of the fittest yang berarti melegalkan perbuatan saling menyakiti dan membunuh itu lebih tepat jika berlaku bagi makhluk selain manusia atau manusia di zaman dulu sebelum mempunyai sifat serta budaya beradab seperti layaknya manusia kini. 

Sekarang, setelah manusia mampu berpikir dan sadar akan kemanusiaannya, teori yang berlaku sesuai dengan tingkat kesadaran kemanusiaan dan pemikiran manusia kini, selayaknya diteruskan oleh  hukum keselarasan atau harmonisasi. Bahwa
 
84

Benteng Terakhir

evolusi yang terjadi pada manusia kini adalah puncak dari evolusi fisik.
Evolusi yang terjadi saat ini adalah evolusi sosial, mental, dan pemikiran
karena manusia adalah makhluk sosial yang menuju pada kesempurnaan
pemikiran dan kesadaran akan luhurnya nilai-nilai kemanusiaan. 

Dengan kesadaran dan semakin dalamnya rasa kemanusiaan, untuk bertahan hidup, manusia tidak perlu harus saling membunuh. Manusia tidak
harus menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). 

Pada tingkat ini manusia kian menyadari bahwa membunuh bukanlah sifat dasar manusia. Kesempurnaan pemikiran manusia membuat manusia bisa saling menyayangi dan mengasihi. Untuk bisa bertahan hidup, berdasarkan hukum keselarasan, harmoni atau keseimbangan, dasarnya adalah saling membutuhkan antarmanusia. 

Karena dalam tahap ini manusia semakin sadar pula akan kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Kebutuhan antarindividu, antarkelompok 
masyarakat, sampai antarnegara.
 
Ya, manusia yang sadar seharusnya mengetahui hal itu. Tapi bagaimana
dengan Datuk Mursal, seseorang yang masa kecil, dan masa remajanya justru dekat dengan sikap-sikap ego serta jauh dari hal-hal yang berbau kemanusiaan?
 
Setelah cukup lama bercanda dengan monyetnya, Datuk Mursal masuk lagi. Ia mandi. Rencananya ia akan pergi ke balai desa. Sekadar setor muka sejenak pada carik atau sekretaris desa dan beberapa anggota pamong lain yang sebenarnya adalah Cs-nya juga. 

Mereka sudah saling mengerti dan sepakat untuk membagi tugas. Tugas 
carik di balai desa, sedangkan kepala desa di rumah—mengurusi penjualan 
kayu. Hasilnya, yang lain kecipratan juga.
 
Setelah beberapa saat di balai desa, Datuk kembali ke rumahnya. Di sanalah  kantor abadinya. Tempat ia menunggu para pelanggan pembeli
kayu yang kerap datang dengan truk untuk membeli kayu-kayu yang ada 
di gudang besar di belakang rumahnya.

Tapi hari itu, dengan hati gembira, ia juga sedang menunggu Sadeli. Ia akan mengajak anak buahnya itu untuk merancang rencana yang ada di kepalanya sejak tadi. Ia sudah tak sabar.
 
85

Benteng Terakhir

Saat Sadeli muncul di halaman rumah, segera tangan Datuk mengawai, 
“Hei Sadeli, kemarilah kau segera!” 

Sadeli tahu, kalau begini ini, pasti ada proyek, pikirnya. Perintah Datuk yang lumayan rumit, biasanya disertai uang jalan yang lumayan banyak juga. Itulah yang disebutnya proyek.

“Ada apa, Bos Datuk?” tanya Sadeli mendekat.
“Aku punya rencana bagus,”
Sadeli menyorongkan muka dan telinganya.
“Kau tahu bukan, gadis itu dulu adalah orang kita, dia berasal dari 
desa kita ini.”

“Ya, ya,” Sadeli mengangguk-angguk.
“Begini, tanah bekas bangunan rumahnya dulu di desa ini, kan masih ada. Nah, kita bangun rumah yang bagus di sana sekaligus kita isi dengan perabotan lengkap. Kemudian, kita tawarkan untuk menjadi milik gadis itu. Syaratnya, dia mau menempatinya.”

“Kalau gadis itu menanyakan alasan Datuk memberinya rumah,
bagaimana Datuk?”
“Nanti kita katakan padanya bahwa pembongkaran rumahnya dengan alasan takut dihuni orang-orang jahat dulu merupakan sebuah kekeliruan. Makanya, orang-orang Sematang minta maaf. Permintaan maaf itu kita wujudkan dengan membangun kembali rumah itu menjadi lebih bagus. Sebab kita pun tidak ingin gadis itu sebatang kara tanpa tempat tinggal.” Diam sesaat sang Datuk, kemudian, “Bagaimana
menurutmu, ide itu bagus, bukan?”

Sadeli terdiam. Keningnya berkerut.

Datuk Mursal mengetahui keraguan Sadeli, “Kau kan tahu, banyak 
teman-teman gadis itu di desa ini. Suruhlah satu teman terdekatnya
untuk membujuk gadis itu. Mintalah dia untuk mengatakan bahwa teman-temannya di sini sangat mengharapkan gadis itu kembali. Mereka akan senang jika gadis itu kembali ke desa ini…. Bagaimana Sadeli?  Kau jangan banyak terbengong-bengong begitulah!”

“Bukan apa-apa Datuk, aku hanya berpikir apakah gadis itu mau.”

86

Benteng Terakhir

“Ah, coba dululah, pasti mau! Daripada ia tinggal di rumah panggung orang-orang Dusun Merabu itu, ya lebih baik tinggal di rumah sendiri di sini. Rumah bagus pula. Mintalah temannya untuk benar-benar membujuknya. Katakan, di sini hidupnya akan dibiayai. Dia mau apa, mau dagang, mau buka usaha, akan dituruti. Yang penting ia kembali
ke desa ini. Karena desa ini membutuhkan dia dan ingin membantunya, khususnya teman-temannya dulu—katakan begitu.”

“Ya, ya….akan aku lakukan Datuk. Aku akan mencari orang yang bisa kita suruh ke sana.”
“Harus teman terdekat sewaktu gadis itu tinggal di sini dulu. Mungkin teman di sekitar rumahnya, tetangganya….” 
“Ya, ya Bos Datuk, sekarang, kan?” Sadeli hendak beranjak dari kursi.
“Hei, tunggu dulu!” ujar Datuk tiba-tiba, “rumahnya kan belum kita
bangun.”

“O, iya ya….” Sadeli tertawa menyadari kebodohannya.
“Nah, nanti kau kuberi uang untuk membangun rumah itu. Bangunlah secepatnya. Kerahkan tukang sebanyak-banyaknya. Beberapa hari ke depan harus sudah selesai. Aku sudah tak sabar untuk melihat gadis itu segera ada di desa ini.” Di ujung ucapannya Datuk Mursal seperti bergumam. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang. Tak lama, ia muncul kembali dengan uang di tangannya.

“Nah, dengan uang ini, carilah pasir, batu, bata, dan semen. Gunakan mobil truk yang mana saja di gudang belakang sana. Soal tukang, menyusul kemudian. Yang penting sekarang siapkan dulu bahan bangunannya!”

“Baiklah, Bos Datuk,” Sadeli mengambil uang di tangan Datuk yang jumlahnya entah berapa. Yang jelas cukup banyak. Lalu Sadeli keluar dengan hati senang karena benar-benar ada proyek untuknya kini. 

Setelah penebangan kayu di hutan sebelah barat desa berhenti, karena kayu-kayu yang ditebangi telah habis, ia memang jarang mendapat kerjaan yang lumayan menghasilkan uang lagi. Sekarang tiap hari ia ikut Datuk
 
87

Benteng Terakhir

mengurusi penjualan kayu di gudang belakang rumahnya yang besar dan
luas. Ia bergantung pada Datuk. Dengan ikut mengurusi penjualan kayu-kayu
itu, uang yang ia dapat dari Datuk memang lumayan banyak. Tapi andai ada 
proyek-proyek kecil seperti ini, tambah banyak lagi hasilnya. Hahaha…. Ia berharap sering-sering ada pekerjaan tambahan begini.

Hati girangnya berkata-kata sambil melangkah menuju gudang kayu di
belakang rumah Datuk. Di sana ada beberapa mobil truk milik Datuk.
Mobil yang sejak dulu dipakai sebagai pengangkut ribuan kubik kayu.
 
Setelah kepergian Sadeli, ada senyum di bibir Datuk. Di matanya terbayang sukses rencananya. Lalu ia berjalan ke halaman. Ke rumah kecil milik Meranti. Monyet kesayangannya. Beberapa saat kemudian, ia telah bercanda dengan monyet itu.
  
Sementara itu, di bagian rumah belakang, istri Datuk Mursal tengah sibuk di dapur bersama dua orang pembantu. Mereka tengah mempersiapkan masakan untuk makan para pekerja kayu di gudang belakang rumahnya. 

Daripada mereka pulang untuk makan di rumah atau membeli di warung, lebih baik dimasakkan seperti itu. Tetapi harus tetap membayar! Itu peraturan Datuk.
 
Hahaha….hihihi….. hati Datuk tertawa-tawa sendiri. Tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia tengah berkhayal, membayangkan daun muda, membayangkan seorang gadis jelita. 

                              *
Hampir sebulan waktu berjalan. Pembangunan rumah sedang dikerjakan. Hampir selesai.
 
Seorang gadis yang tinggal di gubuk reot hampir rubuh tidak jauh dari situ, sejak rumah itu dibangun, selalu memerhatikan rumah itu.

Ia bertanya-tanya siapa gerangan bakal pemilik rumah itu. Pasti orang
kaya, pikirnya. Ia ingin bekerja pada orang itu. Jadi pembantu, mengasuh
anak, atau apa saja, yang penting ia ingin bekerja agar ia mendapat uang
yang pada saat itu sangat ia butuhkan.
Ketika melihat Sadeli keluar masuk rumah itu, gadis itu segera 

88

Benteng Terakhir

menghampiri. Terjadilah obrolan di antara mereka. Saat gadis itu mengaku butuh pekerjaan dan kenal dengan gadis kecil yang dulu tinggal di rumah itu sebelum dihancurkan, maka senanglah hati Sadeli dibuatnya. Kebetulan, pikirnya. Dengan janji suatu imbalan, maka gadis itulah yang diminta Sadeli untuk membawa Salwa yang kini berada di dusun seberang sana, untuk kembali ke sini.

                               * 
Entah mimpi apa Salwa semalam. Saat ia sedang tekun membersihkan
kebun ladanya bersama Rumba, tiba-tiba muncul Adin. Seorang gadis
berjalan mengikuti langkah di belakangnya. “Kak, Kak Salwa….ada tamu yang ingin bertemu Kak Salwa.”

Salwa memerhatikan gadis sebaya dengannya yang ada di belakang
Adin. Ia masih belum yakin. Namun setelah lebih dekat, “Ya, Tuhan….Umi?!” Salwa berteriak memburu. 
“Salwa!” Umi pun memburu.

Mereka berpelukan. Perpisahan yang telah sekian lama membuat keduanya tak mampu menahan linang air mata.
“Dari mana kau tahu aku di sini?”
“Dari salah seorang pamong di Desa Sematang.”
“Bagaimana kabar emakmu?”
“Alhamdulillah….emak masih hidup. Tapi emak sakit-sakitan.”

“Ya Allah, sakit apa? Sudah kau bawa berobat?”
“Tak tahulah Salwa, sakit apa…. Aku sedang berusaha agar bisa membawanya berobat.”

“Kak Rumba, ini Umi, teman kecilku semasa aku di Desa Sematang 
dulu,” Salwa mengenalkan mereka. Rumba dan Umi bersalaman.

“Mengobrollah di dangau sana, Salwa,” Rumba menganjurkan.
Salwa pun membawa Umi ke dangau.
“Siapa dia, Salwa?” tanya Umi saat menuju dangau. “Tampan sekali,
suamimu?”

89

Benteng Terakhir

“Ah, kau Umi….bisa saja. Dialah orang yang telah menolongku sampai aku selamat dan berada di sini. Kalau tak ada dia, mungkin aku sudah mati dimakan serigala-serigala liar atau dibunuh oleh orang-orang jahat di ladang kita dulu.”

“O, jadi kau belum kawin?”
“Belum. Aku bersyukur kau temukan aku di sini. Aku juga bahagia 
melihat kau lagi.”
“Aku juga, Salwa. Tapi, kau cantik sekali setelah besar begini, 
Salwa,” mata Umi memandangi wajah dan  tubuh Salwa. “O, iya, kalau kau belum kawin, kapan rencananya?”

“Ah, aku masih sekolah, Umi.”
“Oh, masih sekolah, di mana kau sekolah?”
“Aku sekolah di sebuah SMA swasta di pusat Desa Raja Sembilang. Kau sudah kawin?”

“Aku juga masih sekolah. Tapi itulah Salwa….aku ke mari dalam rangka cari penghidupan demi sekolahku yang tinggal sedikit lagi selesai. Juga untuk mengobati emakku…. Sejak bapak meninggal, emak sakit-sakitan. Sepertinya emak sudah tidak kuat lagi bekerja di ladang kamiyang cuma sejumput di sebelah timur Desa Sematang itu.”

“O, jadi bapakmu telah meninggal dunia?” 
“Iya, Salwa. Setahun yang lalu. Bapak kena TBC. Tadinya sudah berobat. Dapat obat gratis dari puskesmas di kecamatan. Bapak disuruh minum obat sampai habis selama enam bulan. Cuma sayang, bapak hanya minum obat tiga bulan. Disangkanya sudah sembuh. Lalu berhenti minum sisa obat untuk yang tiga bulan berikutnya. Ternyata penyakitnya kambuh. Dan sangat parah. Akhirnya Bapak tak tertolong lagi….”

“Ya Allah, semoga kau tabah Umi. Walau nasib orang tuaku dan aku sendiri sebenarnya lebih malang dari orang tuamu.”
“Ya, aku sudah mendengar kabar itu sejak dulu.”

“Sudahlah, sekarang jangan cerita tentang derita. Ceritakan saja harapan ke depan. Kita mau apa dan akan jadi apa. O, iya, ngomong-ngomong kau sekolah di mana?”

90

Benteng Terakhir

“Aku sekolah di sebuah SMA swasta di desa sebelah selatan desaku
sana…. Dari semua desa, hanya desakulah yang tak mempunyai sekolah.
Jangankan SMA dan SMP, SD pun tidak ada.”

Salwa tertawa mendengarnya.

“Sudah beberapa bulan aku belum bayar SPP, Salwa. Rumahku pun 
sudah miring dan hampir roboh. Namun, bukan itu yang membuatku
risau. Yang paling aku takutkan adalah soal sakit emakku…. Maaf, ya,
Salwa. Aku datang ke mari hanya membawa masalah dengan cerita duka.
Tapi masalah ini ada jalan keluarnya andai kau mau membantu, Salwa.”

“Katakan Umi, apa yang bisa aku bantu? Kalau kau mau, kau bisa
tinggal di sini, di Dusun Merabu bersama emakmu, atau di pondok kita
di ladang sana dulu. Soal sakit emakmu, nanti kita carikan obatnya.”

“Ah, bukan itu bantuan yang aku maksudkan, Salwa.”
“Lantas?”

“Begini, Salwa….kau ingat rumahmu di Desa Sematang dulu, kan?”
“Ya, bukankah rumahku itu sudah dirobohkan?”
“Iya, tapi sekarang sudah dibangun kembali, Salwa. Di tanah yang 
dulu berdiri rumahmu itu, kini dibangun rumah besar dan bagus.”

“Rumah siapa?”
“Kau jangan kaget, Salwa....itu adalah rumahmu.”
“Ah, kau bercanda? Siapa yang akan membangunkan rumah 
untukku?” Salwa tertawa.

“Itulah Salwa, tadinya aku tidak percaya. Tapi ternyata itu benar.”
Salwa masih tertawa. Hatinya masih tidak percaya.
“Yang membangun adalah pamong desa,” Umi meneruskan 
keterangannya.

“Hmmm….apa alasan mereka membangunkan rumah untukku, 
padahal orang-orang pamong desalah yang dulu merobohkannya.”

“Begini, Salwa….” Berceritalah kemudian Umi —seperti cerita yang 
ia dapat dari Pak Sadeli.

91

Benteng Terakhir

Namun, cerita dan bujukan Umi ternyata tak menggerakkan hati
Salwa untuk meninggalkan Merabu. Cerita Umi tentang rumahnya yang
telah reot dan hampir rubuh, bahkan harapannya untuk menempati
rumah itu bersama Salwa, tak membuat Salwa mengubah pendiriannya.
Salwa justru mengambil uang yang selama ini disimpannya bersama
Rumba dan diberikannya pada Umi.

“Pakailah uang ini untuk berobat emak, biaya SPP-mu, dan biaya
makan sebelum kau bisa bekerja,” ucap Salwa.

Umi tak bisa berbuat apa-apa lagi. Baginya apa yang diperbuat Salwa
kepadanya sudah lebih dari kebaikan yang tadinya ia harap. Namun, ia
harus menghadapi Pak Sadeli untuk menerangkan kenyataan bahwa ia
tak mampu membujuk Salwa.

                                  *

Seekor murai betina tengah memakan belalang di tanah. Sementara
sang jantan, kekasihnya, memerhatikan dari sebuah dahan. 
Namun tiba-tiba, dari arah belakang muncul seekor murai jantan
yang terbang rendah lalu mendarat di tanah dekat si betina. Entah apa
maksudnya. Karena lapar dan tergiur bekas belalang yang disantap si
betina, atau ia sengaja ingin menggoda. Melompat-lompat ia mendekati 
betina. Tak peduli pada si jantan pemilik betina itu di atas sana tengah 
memelototinya.

Chieeeeeettss….! Si betina bersuara--mungkin mengusir karena tak 
ingin diganggu.
Chieeeeeettss….! Dari atas si jantan bersuara pula. Lebih keras 
suaranya.

Tetapi rupanya si pejantan penggoda tak peduli. Ia terus mendekati 
murai betina itu. Sampai akhirnya murai jantan di atas sana tak sabar
melihat kelakuan murai jantan di bawahnya. Turunlah ia sambil berteriak
garang, Chieeeeeettss….!

Si pejantan penggoda ternyata melawan. Chieeeeeettss….! Ia berteriak
lagi.
 
92

Benteng Terakhir

Namun, murai jantan pemilik betina langsung menyerbu. Menerjangnya.
Terjangannya langsung ke tubuh lawan. Murai jantan penggoda segera 
terbang ke tangkai sebuah dahan.

Tetapi pejantan pemilik betina memburunya. Chieeeeeettss….! Si jantan
penggoda kontan berteriak sambil berusaha terbang menghindar.
Kemudian ia  terbang menjauh.
 
Di dahan itu jantan pemilik betina berkicau lagi. Terus dan terus
berkicau. Sampai akhirnya kicauannya terdengar seperti meracau. Entah
apa artinya. Sepertinya ia sedang  benar-benar gembira.

Sementara si betina menyisir bulu dengan paruhnya. Sambil bersiap-siap,
sebab sebentar lagi si pejantan kekasihnya akan mengajaknya
bercumbu….

Itulah suatu gambaran pertarungan memperebutkan cinta. Perjuangan
hidup antar makhluk. Namun, makhluk kecil. Bagaimana andai itu 
terjadi pada manusia? Apalagi manusia yang mempunyai kuasa. 

Di desa seberang sungai, Desa Sematang, tak ada yang tahu
bahwa Datuk Mursal, sang kepala desa itu, tengah meradang hatinya.
Bayangan lahan luas milik Salwa dengan kayu-kayunya yang bagus, telah
membuatnya iri dan ingin memiliki lahan itu kembali. Ia pun berusaha
untuk memiliki gadis itu.
 
Namun, cara apa yang kini mesti dipakainya agar gadis itu dekat di
sisinya, paling tidak tinggal di wilayah kekuasaannya. Tidak ada cara lain
lagi yang bisa ia perbuat setelah cara pertamanya gagal. Satu-satunya jalan
adalah mengalahkan orang-orang Merabu. 

Namun, mengalahkan orang-orang Merabu yang pandai berperang itu 
rasanya tak mungkin. 

Beberapa hari kemudian, Datuk Mursal memanggil 
Sadeli. Ia minta Sadeli mengumpulkan pemuda sebanyak-banyaknya.

“Kita akan melatih mereka berperang. Kita akan mencari pelatih 
perang yang andal. Suatu saat nanti kita akan memerangi orang-orang
Merabu!” ujar Datuk Mursal pada Sadeli penuh semangat.

93

Benteng Terakhir

Sadeli tak percaya dengan tekad Datuk yang sangat besar. “Apa
alasan kita nanti menyerang Merabu, Datuk? Bukankah gadis itu ada di
pihak mereka? Tentu kitalah yang nanti salah.”
 
“Ah, tolol amat kau, Sadeli! Kau ingat bukan, selain tanah milik
gadis itu, di sana ada tanah lain milik orang-orang dusun kita. Kita sogok
para pemiliknya untuk megusir mereka. Kalau orang-orang Merabu itu
tidak mau, itulah alasan yang kita gunakan untuk menghabisi mereka!”

Sadeli akhirnya mengangguk-angguk tanda setuju.

“Tapi carilah tempat berlatih yang jauh. Usahakan tak ada orang 
tahu kalau semuanya atas perintahku.”

“Beres, Datuk.” Sadeli tersenyum menerima perintah tuannya itu. 
Perintah yang dianggapnya suci dari sang tuan dan akan sangat dijaganya.
Maka, bergeraklah kemudian ia mencari anak-anak muda di desanya.
 
Sementara itu, setelah memberi bantuan uang kepada Umi tempo
hari itu, keadaan Salwa dan Rumba di Dusun Merabu biasa-biasa saja.
Hampir sebulan sejak kejadian itu telah berlalu. 

Mereka pun telah mendengar khabar bahwa emak Umi sudah sehat dan bisa bekerja
kembali. Rumahnya pun sudah diperbaiki. Umi dan emaknya mulai
bertanam di sawah sejumput milik mereka yang terletak di sebelah timur
Desa Sematang. 

Emak dan anak itu bekerja keras untuk memenuhi 
kebutuhan hidup mereka. Umi bertekad setelah tamat sekolah akan 
mencari kerja di pabrik-pabrik yang mulai menjamur di sisi kanan kiri
jalan aspal di sebelah tenggara desanya.

Salwa dan Rumba sangat senang karena bisa membantu Umi
dan emaknya dengan uang mereka. Walau sebenarnya mereka akan
memerlukan uang itu nantinya.
  
Kicau murai jantan di sana masih terus meracau. Sang betina kian
mendekat, kemudian  sang jantan menaiki tubuh betinanya.
 
Tiba-tiba, “Kak Rumba sedang memerhatikan apa?” tanya Salwa saat
melihat Rumba khusyuk memandang lurus ke pohon petai. “O, Kak
Rumba sedang mengintip sepasang murai yang sedang berpacaran, ya?”
goda Salwa saat tahu di dahan petai itu ada sepasang murai.

94

Benteng Terakhir

Rumba hanya tersenyum menanggapi canda Salwa.

Salwa pun tertawa. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan Rumba.
 
Sebenarnya  akhir-akhir ini Rumba tengah memikirkan suatu keadaan
yang mengerikan. Lazimnya orang-orang Merabu ketika sudah dewasa, ia
pun harus menikah. 

Berdasarkan urutan silsilah, jodoh Rumba adalah
Nilam. Dan itu harus! Padahal ia tidak mencintai Nilam. Andaipun
dipaksakan mencintai, dia tidak akan pernah bisa.
 
Celakanya, bila ia menolak, berarti ia telah mengingkari tradisi. Ia tidak 
mau disebut generasi Merabu yang pertama kali mengingkari tradisi. Inilah 
kengerian yang Rumba maksudkan. 

Sadar Rumba, mungkin ia generasi Merabu yang pertama menyadari bahwa perkawinan harus dilandasi atas dasar cinta. Lantas, siapa sesungguhnya gadis yang dicintainya? 

Ah, ia pun tak tahu... Bayangan gadis yang mungkin bisa mengisi relung hatinya itu rasanya masih tampak samar di matanya. Sekali waktu, pernah melintas di matanya bayangan Salwa. 

Tapi makna kata adik masih dominan di kepalanya. Atau barangkali hatinya 
belum yakin benar telah  tersentuh oleh rasa cinta…. Atau mungkin pula ia 
belum menyadarinya. Yang pasti, ia merasa takdir itu belum sampai kepadanya.

                                         *
 
Mak Sani, sangat menyayangi anak laki-lakinya, Hasan. Ia berharap
anaknya kelak dapat membalas budi baik orang tua yang sudah melahirkannya. Mampu menjadi tulang punggung keluarga. 

Ia cukup berbangga hati dengan anak laki-lakinya yang terbilang cukup tampan itu. Sebagaimana orang tua lainnya, bila sang anak tak mampu menemukan jodoh, ia juga berusaha  mencarikan jodoh yang tepat buat anaknya.

Namun, bila mengingat hal itu hatinya sangat sedih. Agaknya jodoh Hasan tidak selancar saudara-saudaranya yang lain. Seharusnya Hasan dijodohkan dengan keturunan Kakek Jiban—cucu ketiga dari buyut dan
buyut leluhur. Namun sayang, keturunan Kakek Jiban tidak ada gadis
yang seusia dengan Hasan.
 
Kenyataan ini membuat Mak Sani merasa kecil hati. Takut anaknya
tidak bisa menikah tepat pada waktunya karena harus menunggu ada
gadis yang lebih muda tumbuh dewasa. 

95

Benteng Terakhir

Namun ketika seorang gadis kecil, bernama Salwa, tiba-tiba datang dan menetap di Dusun Merabu, tumbuh harapan di hati Mak Sani. Ia berharap kelak Hasan bisa dijodohkan dengan Salwa. 

Pikirnya, tak mungkin Salwa dijodohkan dengan Rumba. Karena sesuai silsilah, Rumba harus berjodoh dengan Nilam. Karena itulah, sejak dulu ia telah mengincar dan memerhatikan gadis kecil itu, meskipun dengan sembunyi-sembunyi. 

Disuruhnya Hasan mendekati Salwa secara pelanpelan.Pantun-pantun cinta 
sering dibuatkannya untuk diungkapkan Hasan kepada Salwa.

Sayangnya, Mak Sani tidak sedari awal merebut hati gadis kecil itu. Saat Salwa sangat membutuhkan pertolongan.  Saat Salwa sangat membutuhkan tempat sandaran hidup dan berteduh. 

Andai sedari dulu Mak Sani menawarkan agar gadis kecil itu tinggal bersamanya, tentu akan lain ceritanya. Ya, setiap orang memang punya cara sendiri untuk memperoleh sesuatu dalam hidupnya. 

Mungkin dulu Mak Sani tidak enak bila hendak mengambil Salwa karena 
Rumbalah yang menemukan gadis itu. Mungkin Mak Sani berpikir biarlah gadis itu tinggal bersama keluarga emak Rumba agar bisa membantu keluarga itu dulu. 

Atau mungkin karena alasan lain, misalnya ia tidak mau menanggung hidup gadis itu semasa kecil? Tak tahulah, apa yang ada di kepala Mak Sani.
Yang jelas, saat ini Mak Sani sangat ingin menyandingkan Hasan dengan
Salwa yang kini telah tumbuh dewasa dan jelita.

Namun, ada ketakutan di hati Mak Sani jika Salwa menolak dijodohkan dengan anaknya. Karena itu, ia membujuk emak Nilam agar mendukungnya. Sebab, emak Nilam tentu ingin anaknya, si Nilam,berjodoh dengan Rumba.

Suatu hari Mak Sani dan Mak Nilam mengutarakan niatnya pada emak Rumba untuk segera menjodohkan anak-anak mereka. Pembicaraan
itu terkesan memaksa. 

Emak Rumba pun mengalah. Tak ada gunanya berdebat dengan mereka. Baginya, berdebat hanya akan mengeraskan hati. Apalagi ia tahu watak dua saudaranya itu, dalam urusan seperti ini tak bisa mengalah. Walau ia masih berharap nanti ada jalan keluar yang lebih baik. “Kalau begitu, nanti setelah selesai mereka sekolah,
 
96

Benteng Terakhir

insya Allah, kita jodohkan mereka,” akhirnya ucap Maryam menandai
pengalahannya. “Tapi, aku mohon jangan beritahu mereka sekarang.
Biarlah kita beritahu nanti jika sudah hampir tiba saatnya.”

“Kenapa, Maryam? Bukankah bila mereka cepat tahu, mereka bisa
bersiap-siap?” tanya Mak Sani.

“Aku tak ingin belajar mereka terganggu. Sebentar lagi mereka kan
ujian. Biar nilai ujian mereka bagus-bagus. Untuk sementara, biarlah kita
saja yang tahu rencana perjodohan ini. Seperti kita dulu, hanya orang tua
kita yang tahu. Ketika tiba saatnya, tiba-tiba kita dikawinkan.“
 
“Ah untuk apa nilai bagus. Bukankah setelah itu mereka akan kita
kawinkan?”
“Ya, aku hanya ingin menghargai jerih payah mereka belajar selama
ini. Bukankah mereka senang kalau nilainya baik. Dan itu menentukan
mereka lulus atau tidak.”

“O, iya ya,” emak Nilam mengangguk-angguk sambil tersenyum,
“Pintogh tanno ya, Yu Maryam. Padahal sama seperti aku, kita dulu gegeh-gegeh
mak mengan  sekolahan.”

“Hahaha….” Mereka tertawa bersama-sama.

Di luar, di halaman, ada anak-anak sedang bermain. Saat terdengar 
pecah tawa tadi, sejenak permainan mereka terhenti. Tetapi mereka tak
tahu apa yang ditertawakan emak-emak mereka di dalam.

                               *

Murai itu berkicau lagi. Kali ini dari dahan tertinggi sebuah pohon
besar di tengah Dusun Merabu. Merdu. Namun juga nyaring dibawa
angin yang bertiup sendu. Setidaknya batin Rumba yang merasakan
hal seperti itu. Kesenduan nasib. Sendunya  perjalanan hidup di antara
harapan datangnya keajaiban. Ya, Rumba tengah menanti keajaiban itu.
Entah kenapa ia begitu ngeri membayangkan waktu yang bergulir dan tak lama lagi menuju ke titik di mana ia harus menikahi Nilam.

_______
5 pintogh tanno: pintar sekarang
6 gegeh-gegeh mak mengan  sekolahan: sama-sama tidak makan sekolah

97

Benteng Terakhir

Ketika keajaiban itu tak kunjung datang, pelan namun pasti, hidupnya
serasa kian terhempas ke lembah kesedihan. Takut membayangkan
dirinya akan dinikahkan dengan Nilam. Mendadak ia pun merasa akan
kehilangan Salwa. Entah kenapa ketika membayangkan bersanding dengan Nilam, hatinya tiba-tiba merasa menjauh dan mencampakkan, bahkan merasa mengkhianati Salwa. Apakah ia telah benar-benar jatuh cinta? Ah, tak berani Rumba meneruskan praduga hatinya. 
  
Murai terus berkicau. Tak tahu, sang pendengar di sini sedang lara hati. Kicauan itu terasa memperolok dirinya. Bahwa ia seakan tak mampu membela dirinya.
 
“Kak Rumba,” suara Salwa seakan mengingatkan. Bibirnya menyung
ging senyum indah. Telunjuknya teracung ke arah datangnya
sumber suara, ke arah Dusun Merabu. “Dengarlah suara murai itu….”
tambahnya. “Bagus ya, Kak, seperti suara Kak Rumba jika adzan Subuh,”
ujar Salwa diiringi derai tawa.

Ya, murai itu kini menjadi hal menyenangkan bagi Salwa. Ia selalu
membicarakannya dalam setiap kesempatan. Sejak ia memergoki Rumba mengintip si murai yang sedang bermesraan.
 
“Kemarin aku melihat lagi murai itu di dahan petai….mereka berdua. Mereka seperti kita, hihihi….” tawa Salwa menahan malu namun semakin jadi.

Bahkan Rumba pernah melihat tulisan tangan Salwa di sebuah kertas
putih, di daun pisang muda, atau di tempat-tempat yang bisa diukirnya.
Kalimat-kalimat yang menunjukkan isi hatinya. Kalimat-kalimat yang akhirnya jadi nyanyian yang ia lantunkan berulang-ulang di setiap tempat dan kesempatan. 
……
Kuingin 
kau jantan
seperti  murai
untuk bela cinta sang betina
.
98

Benteng Terakhir

Maka ku kan jadi betina itu 
yang kan rela persembahkan hidup karena cinta
Bila kau tak mampu
Karena berat medan yang kan kau tempuh
Kuingin
Jadilah kau kumbang penghisap madu bunga.
Maka kan kurelakan maduku karena cinta.
Aku tahu, jika ku tak jauh mengharap, kau pun merindu seperti rinduku.
Aku tahu jika ku tak terlampau merindu, kau tak mampu mencinta karena
sesuatu.
Maka biarkanlah ku memulai cinta dengan caraku.
Andai kau tetap tak mampu berkata
Biarkanlah ku menanti walau seribu tahun lamanya.
Andai seribu tahun harus kuarungi derita.
Maka biarkanlah, bila kita tetap bersama.
…….  

Ah, kau Salwa, adikku, yang aku cinta…. Akhirnya Rumba berani
jujur bahwa ia mencintainya. Walau kejujuran itu hanya ada di hatinya.
Tak apalah, agar tak ada penyesalan. Hatinya menegaskan. Penyesalan di
titik kesadaran bahwa ia tak akan memiliki gadis itu. Ah, takdir kadang
memang terasa kejam…. Walau di sana tertuang hikmah. Hati kecil Rumba berkata-kata dalam keruh dan duka perasaannya. 

Aku tahu kau kini ibarat murai betina yang mengharap sang jantan berani menantang maut, menghalau lawan, lalu mencumbu dan merayumu…. Aku tahu kau kini telah menjadi gadis belia dimabuk cinta. Kau mengharap aku pelan-pelan menyadari cintamu. Kau tak lagi peduli bahwa kejujuran itu menyakiti dirimu. Malah kau bahagia dengan ungkapan dan harapan itu. Oh, Salwa, kau belum tahu bagaimana
akhir dari harapanmu nanti…. Oh Tuhan, apa gerangan misteri di balik
ketidakberdayaan dua hati ini?

Suara murai itu terdengar lagi.
“Kak Rumba,” Salwa kembali mengingatkan. Saat itu mereka sedang 
menyiangi kebun lada.

99

Benteng Terakhir

Rumba tersadar dari lamunannya. “Ya, Salwa, aku mendengarnya,”
suara Rumba sedikit parau. Ia tersenyum. Senyum terpaksa karena
hatinya menahan pedih. Kepedihan membayangkan Salwa yang kini
di sisinya, namun kelak tak akan dimilikinya. 

Rumba yang mengetahui perjodohan itu, tak bisa membayangkan jika 
harus kehilangan Salwa. Salwa yang sudah bertahun-tahun hidup 
bersamanya. Salwa yang saat ini benar-benar dicintainya…. Sesungguhnya 
sadar Rumba, cinta yang ada di hatinya itu terbelenggu oleh tradisi, 
di mana ia kini berdiri, dibesarkan di sini, dan oleh keadaan ini. 

Ada keinginan hatinya untuk memberontak, menyingkirkan belenggu itu. Membela  cintanya, yang baginya sama artinya membela kemanusiaan. Membela derita orang yang ia cinta dan membela cinta atas nama cintanya. Layaklah jika cinta itu  diperjuangkan.

Tetapi sisi lain hatinya tak ingin memporak-porandakan adat yang ada
sejak zaman leluhur dulu. Bahwa orang Merabu harus berjodoh dan kawin dengan sesama orang Merabu yang dijodohkan menyilang antara
keturunan saudara jauh. Ini untuk menghindari pengaruh buruk dari
luar dan menjaga keutuhan keluarga besar seketurunan. 

Meski demikian, sadar Rumba suatu saat pasti Merabu akan terimbas 
perkembangan zaman. Sebab adat atau aturan yang tak berpihak pada 
kemanusiaan pasti akan ditinggalkan. 

Tetapi entah kenapa, hari ini, semakin kuat ia hendak memberontak terhadap adat itu, semakin kuat pula belenggu adat itu mengurung dirinya. Ia tak mampu meneruskan langkah untuk membela cintanya. 

Ia sungguh tak ingin melihat perpecahan dalam kehidupan 
saudaranya. Meski untuk itu, batinnya menangis. Dan seorang raja
sekalipun pastilah akan berlinang air mata bila tersentuh derita karena
cinta. Rumba berusaha menenangkan perasaannya. Namun semakin
dekat hari perjodohan itu, semakin tersiksa batin Rumba oleh rasa cemas
dan takut kehilangan.

Sementara Salwa, tetap saja Salwa yang lugu, yang naif dengan harapan yang dimilikinya. Yang berharap Rumba tersentuh oleh cintanya.
Selalu ada senandung kecil dari bibirnya. Senandung dengan syair dan 
nada yang berganti-ganti, namun  ia ulang-ulang. Seolah dalam lagu itu 
ada rindunya, ada kenangannya…. Ada kehidupan antara dirinya dan
harapannya…..

100

Benteng Terakhir

….
Ja ujung danau ranau
Teliumit way kanan
Sampai pantai laut Jawo
Pesesekh khik pepadun
Jadi say di lom lambang
Lampung say kayo-rayo
Hikam haga bulakha
Hijauni pemandangan
Huma lada adat sikam
Apilagi cengkikhni, telabun beruntayan
Tandani kemakmuran
Lampung say sang bumi ruwa jurai
Lampung say sang bumi rua jurai
……………

Lagu itu sebenarnya tak bercerita tentang suasana hati yang sedang
mencinta. Lagu itu bercerita tentang bumi Lampung, sang bumi ruwa
jurai. Tanah yang satu bumi dua adat. 

Tanah ruwa jurai yang indah, hijau,
kaya raya, membentang dari ujung Danau Ranau melewati sungai Way
Kanan hingga ke ujung tepian samudera raya pantai Laut Jawa. Meski
penghuninya beragam-ragam, di antaranya dua masyarakat adat besar,
yakni pesisir dan pepadun, tetapi penuh tekad untuk menjunjung nilai-nilai adat. Penuh tekad pula untuk hidup bersatu dan bersama dalam
rumah Lampung yang kaya raya.
 
Namun, lagu itu memang sanggup membawa Rumba pada sebuah
kenangan. Kenangan saat lagu itu pernah dinyanyikan Salwa di waktu
kecil, di sebuah ladang, lahan tandus dan gersang. Saat mereka pergi pagi, pulang petang, menghijaukan lahan. 

Dalam kenangan, ia dan Salwa seperti meniti kembali jalan itu. Jalan yang terbentang, yang  ia harap menuju sebuah tepian yang tak berujung. Hingga mereka bisa terus bersama, tiada akhir yang akan mengakhiri kebersamaan ini. Walau pada kenyataannya, ketidakbersamaan itu menghantui. Oh, Salwa….

101

Benteng Terakhir

Usai menyanyikan lagu itu, entah kenapa suatu hari Salwa tiba-tiba
meminta Rumba untuk suatu saat mengantarkannya ke Danau Ranau.
Bahkan ia meminta Rumba suatu saat mengantarkannya ke tempat-tempat
wisata terjauh yang diketahuinya. Tampaknya Salwa sedang berkhayal.

Pada saat itu Rumba hanya bisa berjanji. Tak terpikir olehnya apa
kedalaman maksud permintaan Salwa itu. Kecuali yang ia tahu memang
Salwa mencintainya. Kadang tak sadar Rumba bahwa gadis seusia Salwa tengah dihinggapi obsesi-obsesi hidup, terutama obsesi cintanya.

Maka, sangat manusiawi jika ia berkhayal serta berusaha mewujudkan
mimpi merengkuh cintanya. Dan Salwa, dengan caranya memang tengah  berusaha merengkuh hati Rumba. Dalam keindahan alam tanah Lampung, di tempat-tempat yang ia khayalkan dan hendak ditujunya
bersama Rumba itulah ia menaruh harap. Kiranya Rumba tersentuh
dengan keindahan cinta. 

Tampaknya cukup tahu Salwa betapa indahnya hidup bila dihayati berdua dengan orang yang dicinta. Di sana pula ia berharap kiranya ada kenangan yang tercipta. Dengan kenangan itu,
maka abadilah cinta.
 
Rumba yang kian menyadari dalamnya perasaan cinta yang tertanam di hati Salwa, siang dan malam hanya dapat mengenang. Linang kepedihan kian merajami hatinya. 

Emak pun tahu kalau diam-diam Rumba telah jatuh cinta pada Salwa. Namun sayangnya, emak tak bisa berbuat apa-apa. Malah hati kecil
emak lebih dulu menyadari akan kedatangan takdir yang tak akan bisa
Rumba elakkan lagi. 

Kesadarannya akan cinta Rumba pada Salwa yang seperti air jatuh di pasir. Maafkan Emak, Rumba, maafkanlah. Bukannya Emak tak mau menolongmu... Hati emak juga merasakan duka. Ini karena keturunan Kakek Jiban, harus menjadi simbol pemersatu saudara
se-Merabu.

                                     

Suatu ketika, akhirnya Salwa mengetahui dengan nyata ihwal
perjodohan itu. Namun, keyakinannya akan kekuatan cinta membuat
 
102

Benteng Terakhir

Salwa cukup tenang menghadapinya. Ia yakin kekuatan cinta akan membuatnya memenangkan Rumba. Ia yakin Rumba pasti akan membelanya.
 
Saat ujian sekolah usai, orang-orang tua Merabu pun mengumpulkan anak-anak mereka yang akan dinikahkan untuk diberi nasihat oleh Kakek Jiban. Mereka dikumpulkan di surau. 

Dengan berhias selendang-selendang bersih yang tersampir di kepala, mereka tampak kian cantik dipandang mata. Bagi para perempuan Merabu, selendang adalah juga perhiasan. 

Makanya mereka mengenakan selendang disaat mengikuti acara-acara tertentu agar terlihat lebih cantik. Dan hari itu mereka memang tampak seperti sedang berlomba untuk tampil lebih cantik.

Terutama para gadisnya yang hendak dinikahkan. Agar sang diri pantas
bersanding dengan sang pujaan. Melengkapi kecantikan itu, kebahagiaan tampak pula terpancar di wajah mereka.

Salwa pun tampak sangat bahagia berada dalam suasana seperti itu.
Ketika sudah berada di dalam surau ia membenarkan nasihat-nasihat
yang didengarnya dari Kakek Jiban tentang makna perkawinan. Bahkan,
sejak berangkat dari rumah, ia pun ingin selalu dekat dengan Rumba.

Sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa Rumbalah pasangan hidupnya.
Tawa selalu berderai dan menghiasi bibirnya—pertanda hatinya pun
bahagia. Di pelupuk matanya hanya ada Rumba. Ya, ia telah benar-benar
jatuh cinta pada Rumba. Ia amat bahagia bersama Rumba dan saudara-saudara yang lain di dalam surau. 

Dalam bayangannya, hanya dengan Rumbalah ia akan menikah. Hanya 
pada laki-laki itulah ia akan mengabdikan hidupnya. Tak ada yang lain!

Namun, emak Hasan yang tampak tak sabar hendak mengutarakan niatnya, usai Kakek Jiban berpetuah, segera  berkata, “Ya, Salwa, untuk itulah kau diajak bersama-sama di sini, untuk memberitahumu bahwa aku, emak Hasan, ingin meminangmu sebagai istri Hasan, anakku.”

Kaget bukan main Salwa. Dulu hal itu pernah didengarnya, namun ia tak hirau. Ternyata sekarang menjadi kenyataan. Sedih melanda hatinya saat menyadari bahwa pinangan itu bukan dari Kak Rumba atau emaknya. Dicobanya menenangkan hati. Ia pikir masih ada jalan, yaitu
 
103

Benteng Terakhir

dengan menolaknya. Ya, ia berhak menolak andai memang tak suka.
Siapa yang bisa memaksanya untuk menikah dengan Hasan? Ia tetap
merasa yakin bahwa hanya Rumbalah jodohnya.

“Maafkan aku, bukan aku menolak dijodohkan dengan Kak Hasan.
Bukan pula aku tak menghormati pinangan ini, tetapi bagaimana aku
bisa menjalani hidup dengan Kak Hasan kalau aku tak mencintainya?
Maka dengan sangat terpaksa aku memohon maaf, aku menolaknya.”

Jeddeerrr! petir serasa menyambar kepala emak Hasan serta suaminya. Malu dan masam seketika rona wajah mereka. “Kalau begitu, kau hendak kawin dengan siapa Salwa?!” tanya emak Hasan dengan nada
mencemooh.

Diam Salwa. Ia tak berani mengatakannya. Baginya, menyimpan
nama Rumba sama artinya meletakkan kehormatan Rumba bersama kesetiaan hatinya.

“Kecuali kau dan Hasan, semua gadis dan bujang yang ada di sini sudah dijodohkan,” lanjut emak Hasan.
 
Apa?! Kaget juga hati Salwa meski hal itu dulu pernah pula didengarnya. Pandangannya segera tertuju pada Rumba yang tertunduk saat diterpa pandangan matanya. Kemudian, dialihkannya pandangan pada Nilam. 

Nama itulah yang dulu pernah ia dengar akan menjadi jodoh Rumba. Nilam tersenyum. Senyum kemenangan. Oh….tiba-tiba Salwa merasa bumi berputar-putar. Gelap. Ia memejamkan mata. Mencoba menahan getir dan ketidakberdayaannya. Ia hampir jatuh. Namun, bersyukur ia mampu bertahan, menahan kegetiran hatinya yang lara. Meski demikian, ia masih tak percaya.
 
“Ya, Salwa. Semua bujang dan gadis yang telah dewasa di sini telah
mendapat jodohnya. Termasuk Rumba dengan Nilam. Hanya kau yang belum, juga Hasan. Kalian memang ditakdirkan berjodoh. Kau harus mau!” 

Kalimat itu bak sembilu mengiris hati ketika  terdengar di telinga Salwa. Walau ia sudah tak tahu lagi itu suara siapa.

Tidak!! Hati Salwa menjerit. Tetapi mulutnya tetap terkatup. Tak sepatah kata pun terucap. Hanya air matanya yang meleleh. Di ujung pandangan yang tersaput genangan air mata, dalam temaram lampu, ia 

104

Benteng Terakhir

melihat Rumba diam tertunduk. Entah apa yang ada di hatinya. Kenapa, kenapa kau tak membelaku, Kak Rumba? Salwa bertanya-tanya dalam hati. Hinakah gadis merana tak beremak dan tak berbapak ini bila mengharap cinta darimu? Pertanyaan itu terucap berulang-ulang di hatinya. 

Namun kemudian, pertanyaan itu menyadarkan pada  keberadaan dirinya. Bahwa ia dulu hanyalah gadis kecil merana yang pernah ditolong Rumba. Tak pantas rasanya menuntut laki-laki itu berkorban lebih jauh lagi untukmencintainya. Ya, ia memang tak pantas mendapatkannya.

Orang-orang di situ sebenarnya sedang menunggu jawaban Salwa. Melihat Salwa masih diam, Kakek Jiban pun berkata, “Salwa, tak apa-apa andai kau belum bisa memutuskan sekarang. Mungkin kau butuh waktu untuk berpikir. Pikirkan matang-matang tawaran emak Hasan…” agaknya Kakek Jiban cukup memahami perasaan Salwa.
 
“Ya, Kek, aku mau berpikir dulu.”
“Tapi kau harus mau, Salwa!” suara emak Hasan memburu. “Karena 
kau telah makan, minum, dan dibesarkan di Merabu dan oleh orang
Merabu…. Kau harus mau! Kau harus membalas budi orang Merabu!”

“Ya, Salwa….kami rasa ada baiknya kau mempertimbangkan ucapan emak Hasan itu….” menyusul suara emak Nilam, “agar upacara perkawinan nanti lancar. Agar semua mendapat jodohnya…. Jadi, malam ini kita tinggal mencari tanggal baiknya.”

“Aku rasa tak bisa begitu, Emak Hasan…” kata Wak Husen tiba-tiba.
Wak Husen sebenarnya tidak memiliki kepentingan apa-apa di sini. Karena dia tak punya anak yang hendak dikawinkan. Kebetulan tadi ia ikut shalat Isya berjamaah. Jadi, sekalian ikut mendengarkan.
“Tak baik menuntut Salwa membalas budi pada kita…. Kita serahkan
saja pada Salwa, seperti yang dikatakan Kakek Jiban.”
 
“Ah, kau Wak Husen, tak usahlah ikut campur!” sahut emak Hasan dengan suara agak tinggi. “Kenapa sepertinya Wak Husen menganggap keluargaku ini orang lain, orang jauh? Walaupun berbeda klen, bukankah kita semua adalah saudara? Sudah seharusnya kita semua memikirkan Hasan, anakku, anak Wak Husen, anak Kakek Jiban, anak almarhum kakek-kakek tetua terdahulu sampai pada akhirnya adalah anak dan
 
105

Benteng Terakhir

keturunan leluhur kita. Ya, Hasan adalah anak kita juga. Kenapa kita tidak memikirkan nasib serta perjodohannya? Harusnya kita satu suara meminta Salwa untuk menjadi istrinya….”

“Ya, ya…. Sudahlah, sudah! Kita semua telah meminta pada Salwa,”
kata Kakek Jiban akhirnya. “Biarkan dia berpikir dulu. Sekarang, agar
rencana yang lain tidak berantakan, mari kita bicarakan pernikahan
anak-anak kita yang lainnya! Kita tentukan urutan, siapa dulu yang
dinikahkan sesuai kesiapannya.”

Lalu semua sibuk membicarakan penentuan urutan pasangan yang akan menikah lebih dulu.

Hanya Salwa yang diam tak bergerak dalam duduknya. Ia merasa sendirian, tak memiliki siapa-siapa lagi. Hatinya lebur jadi debu. Hatinya hanyut dalam duka. Ia merasa dicampakkan dan terbuang dalam sebuahpadang sunyi tak bertuan. 

Hatinya kini tak ramai lagi. Ia merasa tak berguna. Seseorang yang membuat hidupnya berarti, Kak Rumba, sudah
tak bisa diharap lagi. Ya, kesendirian ini serasa bentangan waktu dan jarak dengan mereka. Ke manakah arah yang akan dituju si anak malang ini? 

Tiba-tiba terlintas di pikiran Salwa hendak pergi. Tak kuasa ia membayangkan hari pernikahan Kak Rumba. Hari kehilangan bagi dirinya. Tak lama kemudian, urutan pernikahan itu disebutkan. Ya Tuhan….hari pernikahan Kak Rumba jatuh di urutan pertama. Itu berarti tak akan lama lagi. Semakin sakit hati Salwa mengenangnya. Tak dapatkah ditunda? 

Tapi, ah, untuk apa? Untuk....setidaknya ia ingin merasakan lagi hidup bersama Kak Rumba sebelum diambil orang. Ah,
tapi pada siapa ia harus menyuarakan permintaan hatinya ini?
 
Seperti mendengar permintaan yang ada di batin Salwa, tiba-tiba Rumba berkata, “Kakek, dan semua yang ada di sini, dapatkah aku mengajukan satu permintaan?”
“Nyou Rumba?” balik tanya Kakek Jiban.

_______
7  nyou: apa
 
106

Benteng Terakhir

“Seperti yang sudah kita sepakati bahwa hari pernikahanku jatuh
di urutan pertama. Ini karena aku anak tertua. Tapi kata Kakek juga disesuaikan dengan kesiapannya. Apakah menyalahi adat andai aku
meminta pernikahanku dilaksanakan di urutan terakhir saja?”

“Tidak, tidak menyalahi adat jika kau punya alasan yang kuat,” jawab Kakek Jiban. “Tapi apakah kau ikhlas dilangkahi adik-adikmu?”
“Ikhlas, Kek.”
“Kau, Nilam?”
Diam sesaat Nilam, tetapi akhirnya, “Ya, ikhlas Kek, kalau memang begitu permintaan Kak Rumba.”
“Tapi apa alasanmu, Rumba?” tanya emak Nilam menyusul.

“Ah, aku hanya butuh persiapan. Sebelum menikah, aku ingin memanen buah ladaku yang kebetulan sudah tua. Lalu, mendapat uang. Aku ingin usai menikah selama sebulan aku tidak bekerja apa-apa.”

Semua yang ada di situ tertawa dan tersenyum-senyum ketika tahu
maksud Rumba itu adalah bulan madu.

“Ya, bagus itu,” ujar Kakek Jiban. “Ini contoh yang baik untukditiru oleh generasi-generasi berikutnya. Kalau mau menikah harus punya cukup bekal dulu. Agar tidak menyusahkan orang lain, dan yang terpenting agar tenang.”

Pembicaraan malam itu berakhir. Usai pertemuan itu, Salwa serasa menginjak kehidupan baru. Ia merasa terasing dari mereka. Terbuang dari keberadaan mereka. Salwa merasa bukan lagi bagian dari mereka. Cintanya kepada Rumba dan keinginannya untuk memiliki laki-laki itu yang tidak direstui mereka membuatnya merasa tiada lagi orang yang mau membelanya, bahkan Rumba sekalipun yang sesungguhnya amat diharapnya.
 
Sampai di rumah, ia langsung menyendiri di kamarnya. Menurutnya
sudah tak ada yang bisa dibahas lagi. Segalanya sudah jelas. Tetapi sebelum
ia benar-benar jatuh tertidur di pembaringannya, samar-samar dilihatnya
 
107

Benteng Terakhir

Rumba datang lalu berkata, “Salwa, maafkan aku….” Jemari Rumba mengelus rambut Salwa yang hitam dan ikal bergelombang. “Terpaksa….
semuanya terpaksa, Salwa. Maafkan aku….tapi bersabarlah….” kalimat itu
terdengar berat keluar dari bibir Rumba. Tak lama kemudian ia berlalu.

Tiga hal yang bisa ditangkap Salwa dari ucapan Rumba tadi, yaitu kata maafkanlah, terpaksa, dan bersabarlah. Oh, Kak Rumba, kau tahu aku kini sangat terluka. Kenapa kau hanya mampu mengucapkan kata-kata
maafkan? Kenapa kau katakana itu sebelum berusaha membela aku?
Kenapa kau tak mau membelaku? Membela cintaku? Tak tahukah kau kalau aku amat mencintaimu? Atau aku memang tak pantas mencintaimu, Kak Rumba? Berderai air mata mengalir di pipi Salwa.

Kenapa kau katakan itu terpaksa? Mana Kak Rumba yang dulu? Kak
Rumba yang berani menghadapi serigala, menantang maut demi aku?
Bukankah kau seharusnya berani menentukan pilihan untuk membela
aku? Kenapa cintaku tidak kau bela? Kenapa? Tak pantaskah aku untuk
kau bela? Malukah kau membelaku, Kak Rumba? Lagi berderai air mata
itu.
 
Bersabar, apa yang bisa kudapat dari kesabaran menjalani duka ini?
Kalau akhirnya kau akan bersanding dengan gadis lain? Oh, Kak Rumba,
aku tak kuasa membayangkannya. Apalagi nanti harus menyaksikan
kau bersanding dengan gadis lain. Butiran-butiran bening di matanya
mengalir semakin deras. Semakin dalam duka kehilangan yang mendera
batinnya.

Di luar malam kian merangkak pasti. Seperti kepastian datangnya bencana hati. Hari pernikahan Kak Rumba. Walau hatinya sangat berharap pernikahan itu tiba-tiba tak jadi,  namun apalah daya. Yang mampu ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Meratapi kasih tercinta yang akan meninggalkan dirinya. 

Esok hari, burung murai di dahan petai itu masih berkicau. Namun kini, Salwa sudah tak lagi memerhatikannya. Salwa sudah tidak bisa banyak berharap seorang Rumba bisa seperti murai itu. Ia sudah tak bisa pula berharap menjadi seperti betina murai yang menginginkan dicumbu
 
108

Benteng Terakhir

dan dirayu. Sungguh ia merasa sangat kehilangan.

Satu hal lagi yang membuat Salwa merasa tidak nyaman dan tidak 
betah. Keberanian Hasan kini semakin menjadi-jadi. Tampaknya tak ada
lagi yang bisa menghalanginya terang-terangan mendekati Salwa. Bujang
satu itu berprinsip tak dekat maka tak terbayang, tak dekat maka pula
tak sayang. Dengan pendekatan yang terus-menerus, mustahil Salwa tak selalu mengingatnya, itu pikirnya. Apalagi dengan rayuan dan pantun-pantun mautnya. Segala pantun cinta dari para pujangga terkenal Melayu ia 
sadur untuk diperdengarkan di telinga Salwa. Berjam-jam kadang Hasan mengikuti di mana pun dan ke mana pun Salwa berada. 

Dan tak ada satu pun orang yang mengusiknya. Bahkan Rumba, satu-satunyaorang yang Salwa harap dapat membelanya. Salwa jadi merasa seperti
rumput yang ditebas putus lalu disodorkan pada kerbau lapar. Kemudian dibiarkan untuk dilumat dan dikunyah oleh gigi-gigi kerbau yang busuk. Ia merasa tak berharga. Ia merasa seperti makhluk dungu dan hina. Keterhinaan yang datang dari hatinya yang tak pernah bisa mencintai
Hasan

Harga dirinya pun bangkit. Keputusannya telah bulat untuk pergi.
Ada tempat yang masih bisa ditujunya, yaitu rumah Umi. Bukankah di desa itu, seperti kata Umi, ia juga memiliki rumah? Salwa menguatkan hatinya.
 
Sore itu dilihatnya Rumba datang dari belakang rumah, memikul karung berisi buah lada. Oh, Kak Rumba ….hati Salwa mendesah. Ia baru tahu kalau sejak tadi Rumba sedang memetik biji lada. Sejenak ia berpikirdan menyalahkan diri. Tadi ketika Hasan mendekatinya, kenapa ia tidak menemui Kak Rumba saja ke kebun lada. Ah, Kak Rumba memang tak
pernah mengajaknya bekerja kalau bukan dirinya yang memaksa untuk
membantu.

Namun, bayangan lain segera menyergap hatinya. Bahwa Rumba 
kelak tak mungkin ia miliki. Bukankah Rumba telah memutuskan akan menikah dengan Nilam? Itu artinya Rumba sudah benar-benar tak bisa diharapkan membelanya lagi. Ya, di dusun ini sudah tak ada lagi tempat 

109

Benteng Terakhir

untuk mengharapkan pembelaan. Terbayang pula Hasan yang kian
menyebalkan di matanya. Maka, keputusan untuk pergi semakin bulat
di hatinya.
 
Malam itu, sehabis shalat Isya, balai adat yang terletak tidak jauh dari surau telah dipenuhi para pemuda pemudi yang hendak berlatih menabuh rebana dan merawis. Ada juga yang berlatih kesenian pepadun, yaitu memainkan gitar klasik tunggal atau gambus lunik bersama lantunan syair dan seni tari-tariannya. Semua itu dipersiapkan untuk memeriahkan upacara pernikahan nanti.

Salwa tak peduli dengan kemeriahan latihan itu. Tak ada lagi rasa suka di hatinya. Kini yang dipikirkannya adalah mengatur kepergiannya.
Tadinya ia memutuskan hendak pergi secara diam-diam. Tetapi tiba-tiba
terbayang emak yang sangat ia sayangi. Ia sudah menganggapnya sebagai
emak sendiri. Ia tak ingin mengungkit sikap emak yang menyetujui
perjodohan Rumba dengan Nilam. Ia pun tak ingin mengungkit ketidakberdayaan emak ketika orang tua Hasan ingin menjodohkannya
dengan Hasan. Dari raut wajahnya ia tahu kalau emak sebenarnya menolak. Walau itu belum cukup bagi Salwa. Ya, ia tak ingin membebani emak dengan protes atas kejadian yang membuat dirinya merasa tercampak dan terhina. Biarlah emak dianggapnya tidak bersalah atas nasibnya.

“Mak, aku akan pergi,” ujar Salwa ketika malam mulai merayap ke puncaknya. Ia  sudah mengemasi seluruh pakaiannya.
 
Emak kaget. “Akan pergi ke mana kau, Nak?” tanya emak kaget. Walau sebenarnya ia sudah menduga kemungkinan keinginan pergi Salwa ini.
 
“Aku akan kembali ke Desa Sematang, Mak, desa kelahiranku.”

Emak terisak dan langsung memeluk Salwa. “Tapi jangan sampai terlihat oleh siapa-siapa ya, Nak,” bisik emak seperti menyetujui. “Emak sudah mengira apa yang akan kau lakukan selanjutnya. Maafkan Emak,
Emak tidak bisa berbuat apa-apa. Emak sedih bila melihat kau berduka. Sebenarnya Emak tak ingin kau pergi. Tapi, semua keputusan ada di tanganmu, Salwa. Emak hanya bisa berdoa dan berharap kau bahagia.” 

110

Benteng Terakhir

Oh, Emak….hati Salwa merintih lara. Kenapa emak tak bisa membelaku,
Menjodohkan aku dengan Kak Rumba? Kenapa, Mak? Kenapa? Aku hanya bisa bahagia bersama Kak Rumba…. Tetapi kelaraan hati itu dipendamnya. Ia menyadari siapa dirinya yang telah ditolong dan dibesarkan di sini. Tak layak baginya menuntut lebih, apalagi meminta dijodohkan dengan Kak Rumba. Meskipun hatinya lara. Dicekam rasa terpaksa menerima kenyataan yang  tak bisa ia terima. Kenapa aku dijadikan wanita lemah dan tak berdaya? Aku tak mampu memiliki indahnya kehidupan yang kuinginkan. Oh, kejamnya kenyataan. Kak Rumba….! Hatinya memanggil-manggil. Air matanya pun semakin deras mengalir. Lara hati yang tak terkatakan lagi.

Emak membangunkan Rumba yang sudah tertidur pulas karena kelelahan. Sementara itu, Kakek sedang berada di surau. Bapak danSabil sedang ikut latihan seni pepadun di balai adat.

“Kau mau ke mana Salwa?” tanya Rumba setelah bangun dan diberitahu emak.
“Aku akan pulang ke Desa Sematang, Kak,” jawab Salwa menahan isak.
“Tidakkah kau bisa bersabar, menunggu datangnya keajaiban?”

Salwa tidak begitu paham dengan maksud kalimat Rumba tentang 
keajaiban. Keajaiban apa? Yang ia tahu Rumba sudah dijodohkan dengan 
gadis lain. Sementara dirinya harus tersiksa oleh kegilaan Hasan? “Tidak, 
Kak, aku sudah tidak bisa bersabar lagi,” ujar Salwa sambil menyusut
air matanya. “Kalau Kak Rumba tak mau mengantar, aku akan pergi sendiri.”

Tanpa banyak kata, Rumba pun segera berbenah diri. Diambilnya obor di belakang rumah, sebilah pedang, dan busur serta anak panahnya. Ini perjalanan malam, maka ia harus menjaga segala kemungkinan. 

“Sampaikan salamku pada Kakek, Bak, dan Sabil, ya Mak,” ucap Salwa sebelum berangkat. Lalu ia memeluk Emak. Keduanya pun menangis.
 
Kemudian berangkatlah Rumba dan Salwa lewat belakang rumah. Meninggalkan emak yang menatap dengan linang air mata.

111

Benteng Terakhir

Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam. Hanya suara kaki mereka yang terdengar berketiplak di tanah. Tubuh mereka beradu dengan daun, rumput, serta semak perdu. Sementara hati merekahanyut oleh pikiran masing-masing. Dingin malam yang menusuk membuat bibir serasa beku. Kalimat pun menjadi dalam di tenggorokan, kelu. 

Sepertinya mereka sedang menghayati hidup. Satu satu, kejadian demi kejadian terjamahi. Seperti  langkah mereka, hidup terus melaju. Derita memang tidak akan pernah henti, kecuali mati. Sebagaimana kalimat bijak mengatakan bahwa hakikat hidup memang menjalaniderita. Orang yang mampu menawarkan deritalah sang penikmat hidup sesungguhnya.

Namun, ketidakberdayaan manusia kadang merupakan batasan. Sesungguhnya manusia tiada berdaya.  Inilah yang membuat Salwa harus
pergi. Dirinya dan Rumba memang tidak berdaya. Kepergiannya saat ini
memang untuk menawarkan derita.

“Seharusnya kau bisa bersabar, Salwa. Bertahanlah barang beberapa
hari ke depan,” akhirnya Rumba berucap saat mereka beranjak dari
tepian sungai yang mereka seberangi.

“Ah, untuk apa bertahan? Bukankah Kak Rumba sudah tidak lagi membelaku?”

Terdiam Rumba diterpa ungkapan Salwa. Apa maksud kata-katamu itu, Salwa? Hatinya bertanya-tanya. Bukankah selama ini telah kutunjukkan pembelaanku?

“Jika kau pergi, bagaimana dengan ladang milikmu itu, Salwa?” Rumba mengalihkan tema obrolan. “Agar lahan itu tidak telantar dan
jatuh ke tangan-tangan para perusak, kau jangan pergi Salwa!”

“Kuserahkan lahan itu pada Kak Rumba yang sudah bersusah payah
menolong aku. Apa pun yang terjadi. Silahkan Kakak urus lahan itu.”

“Aku tidak mengharapkan hal itu, Salwa. Aku hanya ingin mengurus 
dan menjaganya bersama orang-orang Merabu. Biar daerah ini tetap hijau. 
Jika suatu saat kau ambil kembali, lahan itu tetap hijau dan utuh.”

112

Benteng Terakhir

“Terserah Kak Rumba mau diapakan lahan itu. Saat ini aku tidak mau memikirkannya. Saat ini aku hanya menginginkan Kak Rumba bisa menjadi seperti murai jantan itu…. mau membela betinanya.  Setelah itu….” Salwa mendadak terdiam. Ia tak dapat meneruskan kalimatnya. Terasa dalam dan kelu di tenggorokannya. Ia juga tak ingin terlihat menuntut kepedulian Rumba.
 
Rumba dapat menduga maksud kalimat Salwa selanjutnya. Apakah Kau berharap aku mencintaimu, Salwa? Oh, Salwa….itu sudah aku lakukan. Suara hati Rumba. Aku mencintaimu sejak dulu. Tidakkah kau tahu aku amat menyayangimu? “Dengan meminta kesabaranmu, sebenarnya aku sedang berusaha membelamu.” 

“Pembelaan seperti apa?”
“Di tengah ketidakberdayaan, aku sedang menanti keajaiban.”
“Keajaiban apa?”

“Sesungguhnya aku pun merasa teraniaya. Aku berharap per-
nikahanku dapat ditunda. Dan aku berdoa agar ada keajaiban.”

“Aku juga pernah berharap pernikahan Kak Rumba ditunda.”
“Nah, doa kita sama, Salwa. Bukankah pernikahanku akhirnya ditunda? Itu tandanya Tuhan mendengar doa kita. Ingatlah, doa yang tulus dari orang-orang teraniaya cepat dikabulkan Tuhan. Aku yakin, Tuhan sedang merencanakan sesuatu  untuk kita. Tapi sayang, kau malah seperti mengubah rencana yang sudah disiapkan Tuhan untuk kita.”

“Apa maksud Kak Rumba?”
“Saat teraniaya, doa kita langsung didengar Tuhan. Lalu Tuhan 
memberi jalan kepada kita dengan rencananya. Tapi itu butuh proses. Itulah yang harus kita lalui dengan sabar. Kau seharusnya sabar dulu
di Merabu. Jangan malah pergi seperti ini. Kalau seperti ini berarti kita
sendiri tak menghendaki kebaikan atas diri kita yang telah kita pinta sebelumnya. Maka, Tuhan akan menyusun rencana lain yang hanya Dia
sendiri yang tahu kesudahannya.”

Diam Salwa mendengar ucapan Rumba. Tampaknya ada yang ia pikirkan. Lalu hening. Hanya bunyi tonggeret malam dan jangkrik yang
 
113

Benteng Terakhir

bersahutan. Sesekali terdengar burung pungguk. Lalu kepak burung malam dan kelambit bergantian seperti menyambar cahaya obor yang
dibawa Rumba.

Dalam perjalanan itu Rumba sengaja menghindari jalan penghubung antar pondok hingga pondok terhulu yang biasa dilewati orang-orang Merabu. Maksud Rumba agar perjalanannya mengantar Salwa tidak diketahui orang Merabu. Untuk menghindari prasangka mereka bahwaRumba dan keluarganya tidak menghendaki Salwa disunting Hasan. Hal itu tidak boleh terjadi.

“Kau harus tahu, Salwa,” ujar Rumba saat Salwa terdiam. Saat itu perjalanan mereka sudah teramat jauh. Hampir mendekati perbatasanDesa Sematang. “Aku menerima perjodohan itu karena aku tak ingin ada perpecahan di antara orang Merabu,” lanjut Rumba.

Salwa masih juga diam. Ada yang sedang ia hayati.
“Asal kau tahu, Salwa, sebenarnya aku tidak ingin Nilam jadi 
istriku.”
“Lalu siapa, Kak?”
“Kau, Salwa.”
Salwa menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik menghadap Rumba.

“Ya, hanya kau, Salwa. Karena aku sangat mengasihi dan menyayangimu.”
“Apakah itu berarti juga cinta?”
“Ya.”
“Kenapa tidak Kak Rumba katakan cinta? Atau kasih sayang dan cinta?”
“Karena kasih sayang lebih mulia dari cinta. Lebih awal dan akan jadi akhir yang abadi dari keberadaan manusia. Tuhan menciptakan manusia lebih karena kasih sayangnya. Saat itu Adam dan Hawa pun hanya mengenal kasih sayang dari Tuhan. Baru setelah setan menggoda Adam dan Hawa dengan buah kuldinya, Adam dan Hawa mengenal rasa cinta, mengenal nafsu birahi. Artinya, cinta lebih dekat ke nafsu birahi.”

114

Benteng Terakhir

“Oh, Kak Rumba….” ujar Salwa seraya meletakkan buntalan bawaannya. Kemudian ia mengambil obor yang ada di tangan Rumba. Diletakkannya di tonggak sebatang pohon mati. Buntalan yang dibawa Rumba pun diambilnya. Kemudian diletakkannya di atas tanah. Lalu, ia berdiri tepat di hadapan Rumba. Tak lama kemudian, ia memeluk.

Cahaya obor menerangi mereka. Rumba tidak tahu apa yang ada di hati
Salwa. Yang ia tahu ia amat menyayangi gadis ini. Separuh dari itu kasih sayang sebagai saudara. Maka itulah, ia membalas pelukan Salwa.

Bagi Salwa, kasih sayang seperti yang diucapkan Rumba tadi malah membuatnya merasa kehilangan. Selama ini ia sudah merasakan kasih
sayang seperti itu. Rumba telah memberinya kasih sayang, tetapi akhirnya menjadi hubungan yang suci, hubungan seorang kakak pada adik yang hanya bisa memberi. 

Tidak, Salwa tak menginginkan hubungan seperti itu. Ia menginginkan kasih sayang yang sempurna, yang bisa memberi, namun juga bisa menerima. Hubungan yang diliputi rasa cinta yang
menggelora. Cinta yang dibumbui rasa rindu juga dilumuri asmara. Sehingga sempurnalah perasaan memiliki dalam sebuah tali kasih.

Dingin malam membuat Salwa mempererat pelukannya. “Kak, aku
juga mencintaimu,” bisik Salwa. Di matanya tergambar rasa tak  ingin
kehilangan. Ia tak ingin Rumba dimiliki siapa pun kecuali dirinya. Ia ingin merasakan kasih sayang yang ingin ia balas dengan gelora cinta. Maka, muncullah gelora itu menjadi gelora asmara dalam diri seorang 
gadis dewasa.

“Kak Rumba….aku rela….” ia berbisik di telinga Rumba.

Ya Tuhan, Rumba terpana. Ia benar-benar tak menyangka. Salwa 
telah jauh bertindak. Gelora cinta itu mendorong kerelaan dirinya atas
nama cinta yang ingin diperjuangkannya. Ia akan mempersembahkan kesuciannya. Lalu, tak ada yang ingin ia sembunyikan. Tak ada yang ingin ia tutup-tutupi di hadapan Rumba. 

Dan  pembalut tubuhnya pun luruh.
Terlepas dari renggutan tangannya sendiri. Tergerak karena kerelaan yang 
ia anggap dapat mempertahankan cinta ini. Kerelaan terdalam, bahkan  terlalu dalam. Hingga tak lagi tergapai jamah kesadaran. Yang ia tahu ia berharap. Atas nama cinta, agar cinta ini mencapai mahligai. 

115

Benteng Terakhir

Tubuh itu seperti berkilauan ketika sinar purnama menyentuh sisi heningnya. Hening malam yang tak mampu berkata selain jadi tempat
berlarinya pendaran cahaya.

Mata Rumba pun bagai dipanah bola api saat pendaran cahayamemancar dari tubuh itu.
 
Tak ada yang dapat Rumba perbuat kecuali terpana. Sebagai manusia
biasa yang telah beranjak dewasa, ia pun terpesona. Sungguh indah tubuh
Salwa. Kulitnya bersinar diterpa cahaya obor serta bulan yang memancar.
Seperti permata. 

Dulu, saat terbaring di sisinya tanpa sehelai kain pun, tubuh itu masih teramat belia. Saat itu yang muncul adalah bayangan seonggok derita si gadis kecil. Tak terpikir sedikit pun olehnya menjamah tubuh kecil itu dengan luapan gelora asmara. Tetapi kini, oh Salwa….hatiRumba bergetar. 

Sebab dia bagai puncak gunung yang menjulang. Belum pernah terjamah tangan. Menebarkan rasa penasaran bagi pendaki sejati. Untuk menaklukkan puncak yang tertinggi. Dia bagai hutan tropis yang hijau. Mengundang sang pengelana untuk singgah dan menetap di kehijauannya yang rindang. Itulah Salwa kini.
 
“Kak Rumba….” bisik Salwa. “Aku mencintaimu, Kak Rumba. Aku ikhlas dan rela seperti ini di hadapanmu.  Jika kau pun mencintai aku, milikilah kerelaan ini sebagaimana sang pencinta memperlakukan yang dicintainya.”
 
Lagi terpana Rumba oleh kalimat yang terlempar dari bibir Salwa. Kalimat itu seperti pusaran air. Ia pun terseret dalam pusaran itu. Berputar-putar ia dan terus berputar, memikirkan kerelaan Salwa dan cintanya.
 
“Aku tak ingin kau sayangi sebagai gadis kecil yang lugu di matamu.
Aku ingin kau sayangi dan kau cintai seperti murai betina yang rindu rayu dan cumbu. Maka, sayangi dan cintai aku dengan rayu dan cumbu itu….” Salwa lebih mendekat.
 
Namun, saat pusaran air itu hampir membawanya ke tengah, Rumba mundur selangkah. Sebenarnya saat itu Rumba mulai tergoda, tapi ia berpikir belum saatnya. “Cinta seperti yang kau inginkan ini akan mengeringkan harapan kita, Salwa,” ujar Rumba.

116

Benteng Terakhir

“Tapi ini karena cinta, Kak Rumba.”
Tiba-tiba terpejam mata Rumba. Mencoba menimbang apa yang akan dilakukannya. Sepertinya ia pun akan pasrah menuruti kemauan Salwa, juga kemauannya sendiri. Karena, ia  memang mencintai gadis ini.

Saat itu Salwa sudah dekat di hadapannya. Desah dan hangat napas
gadis itu terasa menyentuh wajahnya. Hangat aura yang ditebar gadisitu pun terasa seperti nyala api di kutub utara. Begitu didambakan oleh seorang manusia yang kedinginan. 

Tapi mendadak terlintas bayangan di
benak Rumba. Janjinya di masa lalu untuk mengantar Salwa lepas dari
derita. Sampai ia menemukan kebahagiaan. Tersadar ia oleh sentuhan
pertanyaan kepada dirinya sendiri. Apa jadinya andai takdir Tuhan ternyata tak menyatukan ia dan Salwa, sementara kehormatan Salwatelah ia renggut? Oh, tidak! Ia yang pernah berjanji ingin melepaskan gadis itu dari derita, justru akan menceburkannya ke dalam kubangan derita. 

Mata Rumba pun segera terbuka. Tanpa sadar, tangannya pun refleks mendorong tubuh Salwa. Tak ampun, tubuh Salwa terhuyung, lalu terjerembab ke tanah.

“Oh, Kak Rumba…” terdengar rintihan Salwa. Rintih yang datangdari kedalaman luka hatinya. Saat melihat Salwa terjatuh, “Maafkan aku, Salwa,” ujar Rumba sambil berusaha mengangkat tubuh Salwa. Rasa sesal tergayut dalam kata-katanya.
 
Namun, gadis itu telah berubah sikap. Tangan kanannya menampik uluran tangan Rumba yang hendak membantunya bangun. Harga diri
gadis itu telah terusik. Ia merasa usahanya sia-sia untuk memiliki Rumba.
“Pergilah Kak Rumba, pergi dari hadapanku!” bentak gadis itu  dalam
wajah murka. “Pergi dari sini!” teriaknya lagi sambil meraih sehelai
pakaiannya lalu mengenakannya.

Rumba mundur dua langkah.

“Kau!” ia menuding ke arah wajah Rumba. “Kau tak pernah mencintaiku!”

117

Benteng Terakhir

“Oh, kau salah, Salwa….”

“Kau menyayangiku, lalu memintaku sabar dan bertahan, hanya karena kau ingin membahagiakan saudara-saudaramu di Merabu! Kejam, kau kejam Kak Rumba!”
 
“Tidak, oh tidak, itu salah, Salwa!”

“Tidak! Aku yakin aku benar. Sekarang pergilah kau! Aku sudah tak ingin lagi melihat orang Merabu! Aku benci! Aku memang sudah kau tolong dulu, aku pun sudah kau beri kasih sayang meski kasih sayang palsu. Tapi aku punya tanah. Aku relakan tanah itu untuk orang Merabu, untukmu! Tanah itu sebagai tanda balas budiku terhadap kasih sayang yang pernah diberikan orang Merabu. Tanah itu untuk menebus segala kebaikan orang Merabu yang telah bersusah payah menolongku. Sekarang, pergilah, pergi! Sebelum aku menyulutmu dengan api obor ini!” Salwa mengambil obor di tunggul kayu mati itu. Ia menyodorkannya ke arah Rumba.

“Ya, aku akan pergi, Salwa,” ucap Rumba seraya mundur beberapa langkah.
“Pergi, pergi….jangan hanya di situ! Aku benci, aku tak sudi melihatmu!” Salwa mengambil kayu-kayu yang ada di sekitar situ. Dilemparkannya ke arah Rumba. Rumba pun mengambil jarak cukup jauh.

“Salwa, aku dan orang-orang Merabu tidak menginginkan tanahmu. Kami hanya ingin merawatnya, menjaganya, sampai suatu saat kaumengambilnya!” ucap Rumba dalam jarak jauh.

Namun, Salwa sudah tidak mau mendengarnya. Ia berbalik, mengambil
pakaiannya yang tersisa untuk dikenakannya. Air matanyameleleh di pipi. Dengan dua buah buntalan di punggungnya, iameninggalkan tempat itu. Menuju Desa Sematang yang sudah tak jauhlagi. Ia seperti orang yang baru pulang merantau nan jauh. Hidup seperti sebuah siklus. Berputar dan terus berputar mengikuti alur perputaran waktu. Sebelum akhirnya menjerembabkan manusia pada alur yang sama seperti ketika mulai dulu.
 
118

Benteng Terakhir

Ah, tapi kepulangan Salwa ke Desa Sematang mungkin bukanlah untuk menelan kekalahan. Setidaknya itulah tekad yang ada di hatinya. Ia ingin memperjuangkan nasibnya. Walau tak tahu harus ia mulai dari mana. Pada saat seperti itu tiba-tiba tak ada lagi air mata. Surut diserap onak dan derita.

Sementara itu, Rumba masih mengikuti Salwa dari kejauhan. Ia tak ingin mendekat. Khawatir gadis itu semakin terluka. Sampai jauh iamengikuti. Memastikan Salwa selamat sampai di perkampungan Desa Sematang.

Bayangan masa kecil gadis itu melintas di matanya. Oh, air matapun jatuh di sudut mata hatinya. Namun, ia juga merasa senang. Ia telah mengantarkan gadis itu tumbuh dewasa. Semoga kau bisa tegakberdiri di atas kakimu, Salwa…. Hatinya mendoa. Namun, mengingat
akhir kebersamaan mereka seperti ini adanya, sedih hatinya. Cintanya tak mencapai mahligai. 

Hidup jadi seperti ada di tengah-tengah lahan tandus kembali. Tubuh terjerang terik matahari. Penanaman dan
penyiraman harus ia mulai lagi. Agar harapan dan hijau kehidupan
kembali bersemi. Namun, semua harus dilaluinya sendiri. Ya, ia kini
harus sendiri menanam. Tanpa Salwa di sisinya, hidup serasa menanam
di lahan hampa….

Tiba-tiba ia merasa rapuh tanpa gadis itu di sisinya. Sementara, sisi
lain hatinya memuji ketegaran Salwa tadi. Semoga kau bisa mengarungi
hidupmu, Salwa....doa dalam hati Rumba.

Walau ia pun sadar. Waktu akan terus berjalan. Tiba-tiba tak ada
air mata di hatinya. Surut oleh terik di bayangan mata batinnya. Sadar
bahwa sesungguhnya hidup akan senantiasa menghadapi kenyataan,
menghadapi tantangan.

Saat itu, malam yang barlalu serasa kian menghempas kesendirian
dirinya. Saat kakinya berbalik arah. Saat benar-benar sadar bahwa Salwa
sudah tak ada di sisinya…. Ingin menangis ia, menitikkan air mata.
Namun, ditekannya agar air mata itu tak tumpah. Dikenangnya Salwa
saat melantunkan sebuah tembang. Bahwa hidup adalah perjuangan….

                                     *

119

Benteng Terakhir

Terdengar dawai gambus lunik berdenting perlahan dari dalam
rumah Wak Husen bersamaan dengan suara harmonium yang dimainkan
sang istri. Suami istri itu memang selalu kompak dalam memainkan alat
musik itu. 

Menyusul tak lama kemudian suara tembang Wak Husenyang merdu meski sedikit parau. Karena sunyi malam, denting gambus lunik serta suara harmonium dan suara tembang itu terdengar sampaijauh menjelajah ke tiap sudut Dusun Merabu. Biasanya, jam seperti itumemang ada suara yang terdengar dan menyusup ke setiap sudut dusun, yaitu suara Kakek Jiban yang tak lelah mengaji. Tetapi kali ini, mungkinsang Kakek memang sedang lelah, sehingga yang terdengar kini adalah dentingan suara gambus lunik dan nyanyian Wak Husen yang sedang
mendendangkan warahan. 

Mungkin pula Kakek Jiban memang sedang memberi kesempatan pada Wak Husen berlatih. Sebab, seluruh orang
Merabu di bulan ini memang sedang digalakkan berlatih seni untuk
pertunjukan  memeriahkan pesta pernikahan anak-anak Merabu nanti. 

Upacara adat dalam perkawinan itu sendiri nanti akan melalui tahapan-tahapan adat sebelum akhirnya sampai pada upacara pernikahan yang sesungguhnya. Seperti tahap pertama disebut nyubuk, yakni tahap perkenalan. Tahap kedua lazim disebut bekado, di mana pihak laki-laki
mengantar berbagai bahan makanan ke pihak perempuan. Andai diterima
oleh pihak perempuan, maka dapatlah diteruskan dengan melamar yang
biasa disebut pula nunang. 

Tahap berikutnya yaitu bertunangan, disebut juga nyeurik. Lalu tahap manjau atau ijab kabul. Tahap terakhir adalah pemotongan kerbau dilanjutkan dengan pesta.
 
Demikianlah kelima pasangan pengantin akhirnya akan melalui
tahapan demi tahapan adat itu.
 
Namun, tiba-tiba saja Rumba berhenti meneruskan tahapan adat pernikahannya saat  sudah memasuki tahap pertengahan sebelum ia masuk ke tahap bertunangan. Alasannya, seperti awal-awal ia meminta, ia ingin dinikahkan di urutan yang terakhir. Padahal saat itu Rumba sedang berpikir apakah ia benar-benar akan menikahi Nilam.

120

Benteng Terakhir

Mendapati hal itu, awalnya Nilam menerima. Namun, ketikakemudian dirasanya Rumba kian jauh mengulur waktu, keresahannya pun menjelma.

Suatu hari pergilah Nilam menemui Rumba yang sedang berada di kebun ladanya. Ia berdandan secantik mungkin, dengan harapan Rumba
kian tertarik lalu segera memutuskan untuk cepat menikahinya.

Saat melihat Nilam dengan segala dandanannya, sempat terlintas
kekaguman Rumba. Ya, sebenarnyalah Nilam cantik. Tapi segera ia menepis kekaguman itu. Karena ada gadis lain yang lebih ia kagumi.Salwa. Baginya Salwa lebih dari sekadar cantik fisik. Hatinya, kemauannya, perjuangan hidupnya yang telah banyak diamuk  derita, adalah cermin dari wanita agung yang pantas dikasihi.
 
Saat itu, Rumba hanya mampu menatapi wajah Nilam dengan tatapan teduh. Tatapan seorang kakak kepada adik yang disayanginya. Tak tahu Nilam apa yang ada di hati Rumba saat ia menatapinya. 

Dalam tatapan itu sebenarnyalah Rumba sedang mencari tahu, apakah ia bisamencintai gadis yang ada di depannya ini. Cinta sebagaimana layaknya hubungan kasih yang berbalur asmara, mencumbu dengan birahi dan nafsu. Hubungan kasih sebagaimana layaknya setelah sah menjadi suami istri. 

Namun, setelah dicarinya dalam tatapan itu, ternyata ia tak menemukannya. Sungguh ia tak mampu untuk mencinta. Dalam diri 
Nilam, ia tak menemukan dirinya mampu melakukan hubungan kasih,
asmara, dan cinta. Sedang bila ia memaksa untuk bisa, sama artinya ia
memerkosa diri sendiri. Memenjarakan diri dalam kubangan derita, karena hidup tanpa cinta berarti menjalani kehampaan. 

Dan ketika hal itu Rumba ceritakan pada Nilam, terhenyaklah perasaan Nilam. Ia menangis. Tampaknya Nilam begitu takut tak mendapatkan jodoh
seperti saudara-saudaranya yang lain yang akan mendahuluinya kawin.
Namun, Rumba menenangkan Salwa dengan nasihatnya agar bersabar.

Di gubug itu akhirnya menjadi tempat paling menyenangkan bagi Rumba untuk merenda sepi setiap kali mengenang Salwa. Teringat ia 

121

Benteng Terakhir

betapa Salwa amat tekun merawat tanaman lada dan segala macam
tanaman sayuran. Teringat pagi, siang, dan kemudian senja yang mereka
lalui di sini dengan segala suka cita. Ah, hidup, ia rasakan seperti menebas padang ilalang. Menyiangi ladang, tetapi tumbuh lagi ilalang-ilalang
baru. Lalu menebas lagi, menyiangi lagi. Begitulah dalam hidup. Persoalan
akan datang silih berganti.

Angin ladang bertiup lembut, mengantarkan harum bunga perdu
ke setiap penjuru. Langit berawan meski sedikit ada mendung di belahan
selatan. Di gubug itu Rumba kerap terlelap sendirian. Karena emak, bapak, dan kakeknya juga kerap tidak ke ladang. Mereka sibuk membantu
menyiapkan peralatan dan segala sesuatu untuk dipakai upacara demi
upacara pernikahan putra-putri Merabu nanti.

Suatu ketika tiba-tiba muncul sosok gadis dari arah Dusun Merabu. Nilam. Ia berjalan setengah berlari menuju gubug di mana Rumba tertidur. Dari langkahnya yang agak cepat, sepertinya ada sesuatu yang hendak ia tuju. 

Tetapi sungguh, tadinya Nilam tak tahu kalau Rumba tertidur di gubug itu. Dan saat kemudian tahu Rumba sungguh-sungguh tertidur, ia mendekat pelan-pelan dan sangat berhati-hati. Setelah dekat ia berhenti.

Dipandanginya wajah Rumba yang lelah, namun menyimpan warna
keteduhan. Berdiri di situ, sepertinya ia sedang menimbang-nimbang sesuatu yang tiba-tiba ada di pikirannya. Sebuah pertanyaan muncul, dosakah andai ia melakukan ini pada Kak Rumba? Meski ia tahu, dan sangat tahu bahwa sesungguhnya yang hendak ia lakukan itu memang dosa. 

Namun, hati kecilnya menegaskan, ini harus dilakukannya. Ya, harus! Karena ia tak ingin tidak kawin dengan Kak Rumba. Maka iaingin membuktikan segala yang pernah didengarnya dari Kak Rumba. Benarkah Kak Rumba tak bisa mencintainya sebagaimana layaknya cinta seorang suami pada istri?
 
Perlahan Nilam menaiki dipan bambu tempat Rumba tertidur. Entah apa yang membuat gadis itu menjadi begitu berani. Keberanian  yang tabu yang tak pernah dilakukan oleh satu pun anak Merabu. Ia ingin mencumbu Rumba dalam keadaan Rumba tertidur. 

122

Benteng Terakhir

Rumba masih tampak tertidur pulas.
Tapi pada saat Nilam telah bertindak cukup jauh, tanpa nilam sadari, tiba-tiba mata Rumba terbuka. Rumba memang tidak memberontak, tidak marah atau menendang. Karena sesungguhnya ia sayang kepadaNilam. 

Namun pada akhirnya Nilam menemukan suatu kenyataan,
Rumba tak memiliki hasrat itu. Kasih sayang Rumba pada Nilam sungguh, ternyata murni sebagaimana kasih sayang seorang saudara tua kepada adiknya. Nilam pun kian sadar akan kesungguhan Rumba untuk menolak perjodohannya.
 
Nilam akhirnya menangis. “Maafkan aku, Kak Rumba,” ujar Nilam seraya membenahi keadaan dirinya. “Maafkan aku, Kak Rumba,” lagi Nilam berkata dalam tangis penyesalan seraya menutup wajahnya.
 
“Sudah, sudahlah, tak usah menangis. Aku tak akan marah.” ujar Rumba bijak. Lalu Rumba pun bercerita tentang alasannya yang lain kenapa ia belum ingin menikah. Karena ia masih ingin meneruskan kuliah.
 
Ada linang di mata Nilam ketika mendengar ungkapan Rumba. Tak tahu Rumba apa yang ada di hati Nilam, terharu dengan cita-cita yang ingin diperjuangkannya, ataukah sedih karena tak bisa  mengharap lebih
jauh disunting oleh dirinya.

                                     ***

123

Bersambung.....


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak