Dalam kurun waktu berdekatan, berturut-turut event keagamaan besar terjadi di negeri ini. Di dalam event itu ada harapan-harapan dari para ulama, para agamawan berbagai agama dan di luar dari event itu tentu ada pula harapan para sepuh abdi bangsa yang semuanya merupakan cermin atau symbol dari keseluruhan harapan rakyat Indonesia.
Pertama, Forum Relegion of Twenty (R20)
Forum R20 Nusa Dua Bali 2-3 November 2022, yang diinisiasi PB NU itu menghasilkan kesepakatan dengan 11 upaya untuk menjadikan agama sebagai solusi global. Bagi penulis, dua hal yang sangat berarti dari forum semacam ini. Yang pertama, makna dari forum itu sendiri.
Forum-forum semacam ini kelak sangat berguna jika Indonesia melalui pemimpinnya ada yang ingin menggulirkan pembaruan atau perubahan besar yang bukan saja sekedar skup Indonesia namun global atau dunia.
Dalam hemat penulis, di tahun-tahun mendatang akan tiba masa di mana Islam dan berbagai agama lainnya, sampai di titik membutuhkan peralihan paradigma berpikir. Peralihan itu dalam bentuk-bentuk keterusan dari suatu efolusi berpikir menyongsong peradaban baru.
Dia menguatkan keyakinan akan Tuhan bersama upaya mengangkat derajad umat manusia yang dalam pergaulan kekinian telah teralienasi, terpinggirkan atau termarginalkan. Meski kebebasan harus tetap diberi ruang. Dan manusia tidak harus kembali pada tafsir dan dogma-dogma seperti Eropa di zaman pertengahan atau zaman kegelapan.
Ini suatu tuntutan zaman, di mana Islam agar menjadi agama yang berhasil menopang peradaban, harus siap dan tidak bisa mengelak atas kehendak suatu pembaruan dalam kondisi umat manusia kekinian. Agama harus mengambil peranan, mewarnai, menjadi oase dan lentera di tengah lorong gelap ruang ke akuan (individualis) tanpa arah dan kepastian.
Dan itu membutuhkan pemimpin besar yang dengan pemikiran besarnya bisa mengkonsolidasiakan segala halnya. Itu juga membutuhkan kesepakatan para ulama atau seluruh pemuka agama yang mau atau tidak mau melihat ini sebagai tanggung jawab atas kondisi dunia. Ini membutuhkan pula kepanjangaan tangan para pemuka agama agar pembaruan mampu menembus setiap sudut telinga, mata, jiwa dan wajah anak manusia di seluruh dunia.
Makna berikutnya adalah gagasan yang berupa 11 upaya menjadikaan agama sebagai solusi global, termasuk di dalamnya upaya mewujudkan tatanan yang adil menyangkut keadilan ekonomi, sosial dan politik. 11 upaya menjadikaan agama sebagai solusi global dapat difahami sebagai realitas kondisi dunia dengan ketimpangannya kini yang harus disikapi dan dicarikan jalan keluar oleh para pemimpin dunia.
Walau gagasan yang ditelurkan dari forum semacam ini terkesan hanya sekedar himbauan dari para pemuka agama, namun jangan dikata itu bisa dianggap sebagai kesekedaran yang lalu diremehkan oleh para pemimpin di tingkat pemerintahan.
Bagi pemimpin di pemerintahan yang faham atau mengerti kejiwaan para pemuka agama yang secara moral tentu sangat memikirkan nasib dan masa depan umatnya, himbauan itu akan ditempatkan di pucuk tertinggi yang dengan pemikiran tinggi pula akan disegerakan implementasi keterwujudannya.
Namun sudah terpikirkankah oleh para pemimpin untuk bersegera membuat implementasi-implementasi kebijakan sehingga keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan politik itu benar-benar tercipta?
Pun bagi para calon pemimpin yang melek pikirannya, itu adalah pijak bagi pembuktian keseriusan Anda, ketika Anda berkoar hendak maju dengan mulut penuh janji hendak membangun negeri.
Bagi para calon yang pernah ada pada jabatan tertentu, apa yang sudah Anda lakukan selama ini demi keadilan sosial yang Anda koar-koarkan, sementara kini Anda sudah berjanji lagi untuk mewujudkan Keadilan Sosial?
Keseluruhaan para pemuka agama dan kita rakyat, akan memantau dan mengkaji apakah para calon memiliki pemikiran sekaligus mampu memimpin suatu pembaruan demi menyongsong peradaban baru umat manusia?
Keseluruhan pemuka agama dan kita rakyat, akan memantau dan mengkaji adakah para calon memiliki pemikiran yang bisa diaplikasikan atau diimplementasikan sehingga mampu membawa umat atau rakyat dan bangsa menuju pada altar keadilan yang semestinya.
Event yang kedua, Muktamar Muhammadiyah
Yang ditelurkan dari Muktamar Muhammadiyah Solo, 18-20 November 2022, tentulah hal-hal yang juga berkaitan dengan kondisi keumatan dan kenegaraan. Secara keseluruhan ada 6 isyu keumatan yang dibahas dalam Muktamar.
Namun sebelum muktamar berlangsung telah terdengar ungkapan salah seorang tokohnya sebagai cermin kepedulian Muhammadiayah atas kondisi keumatan dan kenegaraan kita. Terbertiklah harapan tentang pemimpin bangsa ke depan. Bahwa pemimpin di masa depan harus yang mengerti konstitusi sehingga mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Nah, dari dua event organisasi keagamaan besar di atas, dapat kita fahami betapa sesungguhnya para ulama, para pemuka agama, sangat penuh sesak di dadanaya oleh tanggung jawab moral untuk mewujudkan cita-cita humanitarian atau cita-cita kemanusiaan menuju suatu tatanan yang adil beradab. Cita-cita untuk mengangkat derajad umat manusia yang dalam pergaulan kekinian kian teralienasi, terpinggirkan atau termarginalkan.
Harapan para pemuka agama di atas tentu bukan tanpa sebab. Keadilan yang kini kian tampak hilang di negeri ini, kemiskinan yang meruah, kesenjangan yang menganga, adalah sebab utama yang membuat para pemuka agama seakan ditarik jiwanya untuk bertanggungjawab secara moral lalu sumbang saran dan langkah guna mengatasinya.
Agama, meski secara sepesifik ada di ranah moral dan oleh karena itu secara moral sangat merasa terikat dengan kondisi umat manusia, namun secara sosial ekonomi sesungguhnyalah memiliki tanggung jawab yang besar pula.
Alasan lain yang membuat para pemuka agama begitu berharap sampai akhirnya menyorongkan diri ikut rembug demi terwujudnya keadilan sosial adalah berangkat dari kekhawatiran bahwa keadilan itu sendiri kian sulit terwujud di masa kini.
Kesulitan itu makin menampakkan kenyataannnya ketika para pemimpin pemerintahan yang diletakkan tanggung jawab sebagai pelaksana amanah rakyat kerap tak memiliki arah yang sama dengan harapan-harapan rakyatnya. Bahkan dapat dikatakan bukan hanya tidak memilki arah yang sama melainkan tidak memiliki konsep pemikiran ke arah itu yang kemudian berujung pada tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan harapan tersebut.
Dari sini, tampak terang benderanglah bahwa harapan dari para pemuka agama di atas adalah pagar, adalah arah yang diinginkan agar para pemimpin dan terutama calon pemimpin bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita itu.
Seorang pemimpin atau calon pemimpin yang siap dengan segala visi misi atau gagasannya, mendengar harapan-harapan di atas, mestinya sudah tergambar di kepalanya tentang hal apa yang akan di lakukan.
Agama, sebagai lembaga yang dengan moralnya merasa memiliki tanggung jawab sosial ekonomi untuk ikut mengentaskan kemiskinan, harus sudah dimengerti oleh sang calon pemimpin tentang program pengentasan kemiskinan atau hal-hal yang terkait dengan pemerataan keadilan sosial. Program yang bukan sekedar memanfaatkan besarnya dana umat seperti yang selama ini dilakukan oleh setiap rezim.
Ini memang tidak mudah. Namun dalam pikiran pemimpin atau seorang calon pemimpin yang tanpa dibuat-buat dalam hal kepembelaannya, lantaran telah terbiasa melihat keseharian kehidupan kalangan rakyat jelata, pasti akan menemukannya. Makanya, sangat penting pemimpin yang berangkat dari kedalaman kehidupan rakyat.
Bukan pemimpin yang hidupnya selalu diuntungkan serta penuh keberuntungan karena selalu duduk enak dalam suatu jabatan dan hanya terbiasa dengan segala fasilitas ketika ia menduduki jabatan-jabatan itu. Di mana jabatan itu pun hanya digunakan untuk batu loncatan meraih jabatan yang lebih tinggi berikutnya.
Kecenderungan pemimpin seperti ini, ketika musim pemilu barulah membuat tayangan-tayangan yang seolah sang pemimpin berangkat dari rakyat, ada di tengah rakyat dan seolah sangat memikirkan rakyat.
Celakanya dan yang mengkhawatirkan, terutama bagi bangsa Indonesia yang sebentar lagi akan melangsungkan helat akbar demokrasinya, jika para calon pemimpin masih sibuk dengan ranah ke akuannya yang tercermin dari pencitraan dirinya.
Sebab dalam suatu teori fsikologi, manusia aku kurang lebih pertanda manusia yang belum meningkat pada tahap kebijakan kemanusiaan berikutnya. Pencitraan diri, adalah manusia yang belum selesai dengan pergumulan kediriannya, terutama belum selesai dengan konsep penting yang akan diimplementasikan untuk manusia lain di sekitarnya.
Ya, manusia aku, dapat dimaknai sebagai manusia yang tak bisa hidup tanpa ditolong dan dihidupi oleh orang lain. Dan bukan manusia berdikari yang dengan konsep serta keilmuannya membuat dirinya percaya diri untuk mampu menghidupi, membela atau memberi arah orang di sekitarnya. Manusia citra adalah manusia yang dibangun dengan konsep indahnya kepalsuan.
Nah atas kekhawatiran dengan kondisi para calon yang mungkin saja dapat terjadi seperti yang kita paparkan di atas, cukup beralasan kiranya dalam kondisi bangsa yang dekat memilih pemimpin begini, para pemuka agama lalu memberi pagar kriteria-kriteria pemimpin yang diharap mampu mewujudkan cita-cita rakyat, cita-cita bangsa dan negara.
Untuk memenuhi harapan para pemuka agama sebagai cermin harapan rakyat semesta, maka kepada para calon pemimpin, marilah membenahi pola-pola pendekatan dan pengenalan kepada rakyat dengan berusaha mengetengahkan pemikiran-pemikiran cemerlangnya.
Mungkin dengan aktip berliterasi, wawancara eksklusif dlsb, yang semuanya dilakukan dengan penuh tanggung jawab sebagai manusia, sang calon, yang harus berpribadi unggul yang dengan itu ingin menyuguhkan hal yang jujur. Dan bukan dengan membodohi alias pencitraan yang penuh tipu-tipu.
Maka bukalah isi otak mu, sedikit atau banyak tentang pemikiran dan apa yang sedang engkau pikirkan tentang suatu masa depan. Lakukan itu dari jauh-jauh hari, sekali lagi dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran, sehingga rakyat bisa melihat dan merasa yakin bahwa sang pemimpin memiliki suatu pemikiran yang akhirnya membuat rakyat merasa di masa depan ada harapan bersama pemimpin yang dipandang bisa membawa kebahagiaan.
Harapan di mana sang pemimpin ternyata memang memiliki kemampuan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak bagi pemenuhan rasa keadilan baik adil secara ekonomi, adil secara sosial, adil secara politik, hukum, pun adil secara budaya.
Pemilu bagi bangsa besar ini bukan sekedar untuk gagah-gagahan, sekedar pembuktian aku bisa menjadi orang nomor satu di repubik ini. Jika hanya untuk tujuan menjadi orang nomor satu, banyak orang mau, banyak orang akan merasa mampu. Banyak orang sanggup menempuh segala cara termasuk dengan memanfaatkan jabatan yang diembannya hanya sekedar batu loncatan agar terkenal serta mendapat elektabilitas yang tinggi di mata pemilihnya.
Yang harus dipikirkan, apakah bangsa ini kelak akan semakin menuju perbaikan jika Anda yang jadi orang nomor satunya? Hilangkan pikiran yang menganggap bahwa setelah Anda terpilih menjadi pemimpin maka segala rencana pembangunan akan ada yang memikirkan.
Sebab pemimpin yang rakyat harapkan adalah yang memiliki pemikiran sendiri dengan jangkauan jauh ke depan. Pemimpin yang dengan pandangan dan pemikirannya penuh diliputi perasaan ingin membela serta memikirkan nasib rakyatnya.
Maka sebelum berpikir mencalonkan diri, pemikiran besar apa yang hendak Anda gulirkan? Itu yang terlebih dahulu harus dipersiapkan. Jika kita menjadi orang nomor satu di republik ini, namun ternyata tidak memiliki bahan untuk diterapkan yang sekiranya bakal membuat perubahan besar bagi kemajuan bangsa, maka apa artinya ke nomor satuan Anda.
Pemilihan kali ini bangsa ini sudah tidak boleh lagi bermain-main dengan berpikiran sekedaran mendapat pemimpin yang terbaik dari yang terburuk. Pemimpin harus memiliki konsep awal yang kemudian dikembangkan oleh para ahli. Bukan sebaliknya seperti yang sudah-sudah yang membuat semakin tercipta dan menguatnya kalangan oligarki.
Ya, oligarki yang salah satunya diawali oleh sang pemimpin yang berusaha melibatkan pihak lain. Pihak lain yang kemudian berubah menjadi kaki tangan yang menopang kekuatan para oligarkian. Maka pemimpin harus benar-benar faham dengan tujuan sehingga bisa mengarahkan bangsa ini ke masa depan. Pemilihan kali ini, rakyat sudah tidak mau lagi terkena tipu-tipu atau dibohongi.
Pengalaman pemilihan yang pernah ada, dengan pemimpin yang tidak memiliki arah, juga akan berakibat bangsa ini mengambil jalan serampangan dalam membangun negeri. Bagaimana tidak, jika seorang pemimpin tidak memiliki konsep arah yang hendak dibangun dan dikembangkan, ujungnya akan bertanya-yanya apa yang akan dikerjakan dan dikembangkan.
Akhirnya, pembangunan jadi cenderung asal ada dan berdiri. Pembangunan asal ada dan berdiri memang tidak harus sulit memutar otak untuk melaksanakannaya. Lihat, karena kekurangan visi dan misi pembangunan jalan dan gedung megah akhirnya menjadi prioritas sehingga dana besar habis tumplek untuk itu. Bahkan sampai sarana yang belum terlalu dibutuhkan sudah didirikan.
Dan lihat apa dampak dan akibatnya. Hutang negara menjadi ribuan trilyun jumlahnya. Dana besar negara yang seharusnya untuk membangun dan mempertahankan kenyamanan ekonomi rakyat jadi terkuras dan teralihkan. Lihat rakyat kita akhirnya banyak keleleran karena makin jatuh dalam jurang kemiskinan.
Penulis bisa berkata begini karena mengalami sendiri, di mana ketika usaha sedang enak-enaknya tiba-tiba merosot jatuh tajam akibat kebijakan negara. Daya masyarakat anjlok. Akhirnya puluhan tahun waktu bangsa ini hilang yang sebenarnya berguna untuk membangun memperbaiki, menggenjot ekonomi rakyat negeri. Yang bila ekonomi berhasil tentu pembangunan gedung dan jalan akan mengikuti.
Puluhan tahun, telah banyak membuat orang-orang tua kita mati tanpa mengenyam nikmat bahagia. Puluhan tahun membuat usia kita makin bertambah tua. Tapi orang tua kita dan kita rakyat kebanyakan, hilang kesempatan untuk menikmati hidup dalam ekonomi yang mestinya telah membaik sejak dekade-dekade awal.
Nah, sampai sejauh itukah para pemimpin dalam memikirkan kehidupan rakyatnya ketika memutuskan kebijakan? Janganlah memutuskan kebijakan hanya melihat diri Anda yang berasal dari kalangan berpunya.
Bayangkan jutaan manusia yang di dalamnya ada orang tua kita, saudara kita yang tidak punya lalu mati dalam kondisi belum sempurna menikmati hidup di negeri yang katanya sudah merdeka. hal seperti ini, harusnya pikirkanlah dan jangan mengambil keputusan asal tujuan Anda tercapai.
Itu semua karena kesalahan kita dalam memilih pemimpin yang tidak menyiapkan konsep sejak awal pencalonan sehingga setelah jadi, tidak ada pilihan yang harus dibangun kecuali jor-joran membangun bidang-bidang yang banyak memakan uang. Lebih celaka lagi jika dalam mebangun lalu tanpa perhitungan. Seakan rakyat dibiarkan hidup sendiri, mengais sendiri, dan disumpah oleh para pemimpinnya "matilaah dengan caramu sendiri".
Lihatlah kenaikkan BBM sejak awal dulu. Kenaikan BBM yang difungsikan untuk dana pembangunan insfrastruktur. Lihat dampak dari kebijakan negara yang lebih memprioritaskan pembangunan jalan dan gedung-gedung, yang dengan biaya besar menyedot prioritas pembangunan ekonomi serta kenyamanan kehidupan rakyat di kala itu.
Maka, para calon siapapun itu baik laki ataupun perempuan, walau misal tidak pandai bicara sekalipun, jika ia memiliki bobot pemikiran, memiliki konsep yang akan membuat perubahan kemajuan besar, ia haruslah diberi jalan.
Sebaliknya jika ada calon yang pandai bicara namun minim bobot dan arah yang mengesankan tidak akan ada perubahan besar dan Indonesia akan biasa-biasa saja jika dipimpinnya, maka sang calon mestilah berjiwa besar ikhlas dan tidak memaksakan keinginanya untuk jadi orang nomor satu dengan melakukan hal-hal yang bersifat destruktip terhadap stabilitas bangsa.
Terhadap hal ini para Punggawa Negeri haruslah berhati-hati pun jangan bermaian-main atas kehidupan rakyat. Kita belum berada di tahap demokrasi yang substansial. Maka kita harus berhitung tentang masalah masa depan bangsa. Jangan biarkan masalah seperti ini menjadi liar seolah semua jadi tak berdaya karena ditentukan oleh pasar.
Pasar yang kemudian dapat membuat barang jadi seolah berharga dan mahal dengan mendahulukan pencitraan dan segala cara untuk meraih elektabilitas tinggi dan mahal. Pasar, yang dengan pencitraan misalnya dibuat pernik drama mengangkat citra seolah sang actor ada di sekitaran kehidupan anak muda, padahal hampa makna, tidak solutip dan sekedar ingin meraih elektabilitas dan dianggap dekat dengan cara didekat-dekatkan atas kehidupan orang muda.
Jika semuanya diukur dengan elektabilitas tinggi seperti pemilu di tahun yang lalu, sekedar mencari elektabilitas tinggi sebenarnya gampang saja. Ketika sang calon menjabat pada kedudukan tertentu, cukuplah buat tayangaan-tayangan santun atau tayangan segala hal yang hebat-hebat tentang sang calon di berita-berita.
Atau perbanyak bagikan uang negara pada rakyat jelata. Pasti sang calon akan meraih kesukaan yang tinggi di mata rakyat awam yang tak mengerti apa-apa. Yang di balik itu rakyat tidak tahu jika ternyata uang yang diterimanya dari hasil korupsi atau bahkan dari ngutang yang di kemudian hari akan mencekik rakyat sendiri. Hal seperti ini tentu sangat bahaya bagi rakyat dan bangsa.
Dalam pikiran penulis, membayangkan pemimpin masa depan itu adalah bayangan seorang pemimpin yang dengan kediriannya mampu membawa Indonesia menjadi sejahtera dan ikut mewarnai, menjadi corong serta menyelesaikan problem bangsa dan bahkan problem dunia. Hingga kita tidak menjadi bangsa yang sekedaran ada.
Lihat, betapa indahnya harapan para pemuka agama yang diinisiasi PB NU dalam Forum R20 dengan 11 butir telurnya yang dari situ sudah tampak harapan dan arah betapa pemuka agama berharap bangsa ini mendunia dengan segala visi misi atau gagasan-gagasan cemerlangnya.
Lihat, betapa indahnya harapan para pemuka agama pada Muktamar Muhammadiyah yang mengharap pemimpin ke depan mengerti konstitusi dalam upaya mewujudkan cita-cita Pancasila khususnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan konstitusi kita, telah sangat terang benderang menyediakan dirinya untuk dipijaki sebagai landasan demi terwujudnya cita-cita mulia itu. Cita-cita yang tampaknya sangat mudah diwujudkan meski kemudian dari waktu ke waktu, dari rezim ke rezim, cita-cita berperan di dunia, cita-cita keadilan sosial, keadilan politik dan keadilan ekonomi itu ternyata tetap jauh panggang dari api.
Itulah makanya dari jauh-jauh hari para agamawan sudah mewanti-wanti, mempersyaratkan atau membuat kriteria untuk calon pemimpin yang akan berkontestasi nanti. Lalu, sudahkah para calon memilki konsep itu? Lebih jauh, sanggupkah para calon mewujudkan cita-cita atau harapan itu?
Tulisan ini mungkin jadi seolah mengajari atau seolah bertanya apakah ikan bisa berenang? Ini bagian dari kita untuk berani saling mengoreksi. Namun inilah juga harapan. Harapan kita sebagai rakyat yang mengharap pemimpinnya memiliki arah pemikiran cemerlang yang bisa menunjukkan arah dan tentunya mebanggakan serta membahagiakan.
Sekali lagi, pemilu ini bukan untuk jadi sekedar ajang gagah-gagahan. Pemikiran seorang pemimpin itu sangat penting. Sebab ketika terjadi pergumulan kepentingan saat memimpin nanti, atas dasar pemikiran cemerlang dan jiwa pembelaan, sang pemimpin mampu berusaha memberi arah serta membela kepentingan kehidupan rakyat semesta. Dan bukan malah hanyut, larut dan akhirnya kelelep dibawa arus deras manusia berkepntingan di sekitar kekuasaannya.
Akhirnya kepada para calon pemimpin, semua pastilah memiliki kesempatan yang sama untuk berekspresi dan mari dengan maksimal memanfaatkaan hal ini. Sebaliknya, siappun itu harus bisa legowo hati jika atas nama kebaikan rakyat para punggawa negeri, segenap rakyat beserta simpul-simpul rakyat, berpikiran lain terhadap diri kita yang meski sudah siap namun ternyata tidak bisa terus melaju.
Ada begitu banyak yang ingin mencalon karena merasa mampu. Namun tidak semua bisa mencalon karena bukan hanya masalah takdir dan merasa seolaah mampu. Yang terpenting ada banyak pula yang mengkaji dan mempertimbangkan kedirian kita, apakah dalam kondisi kekinian bangsa serta kekinian dunia sedang membutuhkan figur-figur orang seperti kita?
Dan terpenting pula dalam kondisi kekinian bangsa, apakah kita bisa menjadi symbol pemersatu, atau malah sebaliknya diri kita akan menjadi penyebab kian terjadinya keretakan dari kondisi masyarakat kita yang kini sudah mengalami keterbelahan.
Namun dari semua itu, tidak ada pemimpin dan calon pemimpin yang buruk ketika diri kita, demi rakyat dan atas nama rakyat yang hendak kita bela mau belajar untuk terus mencipta pemikiran cemerlang sesuai kebutuhan zamannya.
Marilah kita jadikan ajang pemilu nanti bukan ajang membodohi tapi sebagai ranah pencerdasan, arena diskursus demi makin meningkatnya kwalitas kehidupan rakyat yang didahului oleh para calon yang dengan pemikirannya dicerna oleh rakyat sebagai yang membawa pencerahan dan perubahan serta jalan keluar dari suatu kesulitan.
Penulis sendiri, dalam sibuk orang saling memasang wajah untuk tujuan kontestasi pada moment-moment pemilu, semoga termasuk dalam golongan orang yang insyaallah tidak berpikir lain kecuali ingin berbuat yang terbaik untuk negeri.
Sebagai panggilan jiwa yang terekspresikan lewat usaha literasi, yang memang penulis tujukan untuk pengabdian yang agung bagi rakyat dan negeri, penulis sudah melakukan suatu misi penelitian secara diam-diam atas ideologi negeri ini. Misi yang bisa disebut sebagai penyelamatan Ideologi Pancasila.
Dengan visi dan misi ini penulis ingin memastikan kebenaraan arah implementasi Pancasila kita. Penulis ingin memastikan kian kukuhnya persatuan dalam ke NKRI an kita dengan berkurangnya benturan ideologi antara sesama anak bangsa. Dengan pemikiran ini penulis ingin bangsa ini bahkan dunia, ada perubahan besar. Dengan segala kekuatan pemikiran ini, penulis ingin memastikan terhapusnya model-model pembangunan dengan praktek-praktek penghisapan serta penyiksaan. Penulis ingin memastikan terhapusnya kemiskinan dan kesenjangan.
Tak mengapa sementara orang memiliki sarana atau jalan mengabdi lewat jabatan lalu bisa mudah berkontestasi, sedang penulis melakukan hal ini, mengais-ngais mencari jalan pengabdian agar diri ini berarti. Ingin berarti bagi rakyat, ingin berarti bagi negeri.
Ya, tak mengapa. Sebab dengan cara ini pun sudah sangat membuat diri ini bahagia. Karena rasanya diri ini sudah lebih dari mereka dalam hal berbuat dalam rangka mengabdi pada negeri yang sangat kita cintai ini.
Hasil penelitian itu sejak mula dulu yang bisa disebut misi pertama menyelamatkan Ideologi Pancasila, hingga pada misi berikutnya berupa pencarian nilai-nilai yang insyaallah bisa disebut sebagai nilai-nilai terjemah Pancasila. Suatu nilai-nilai terjemah yang karena pertimbangan tertentu tentu saja tak akan kita urai di sini.
Ini pemikiran Pancasila terbarukan yang insyaallah pula bisa menjadi dasar perubahan besar yang bermanfaat bagi rakyat dan bangsa, yang jika diimplementasikan insyaallah bisa menjawab harapan para pemuka agama, harapan rakyat dan para sepuh pengabdi bangsa yang dengan ketinggian moralitasnya semua berharap terciptanya keadilan di negeri tercinta kita.
Jika ada seorang tokoh berbicara yang nadanya mengerdilkan arti suatu visi dan misi, bahwa level sebuah visi dan misi itu ada di bawah rekam jejak yang telah dikerjakannya, biarlah tak mengapa. Kita tidak harus melihat pendapat itu sebagai ancaman melainkan adalah sebuah tantangan.
Walau ini membuat penulis jadi ingin sedikit bicara untuk menanggapinya sekedar sebuah perbandingan pemikiran. Bahwa sebuah kerja dari suatu jabatan pasti akan selesai sesuai tenggat waktu jabatan tersebut. Di mana kemampuan menyelesaikan rutinitas kerja, menjadi tampak berhasil ketika telah selesai masa jabatannya. Banyak orang yang mampu menyelesaikan tugas suatu jabatan karena semata diselesaikan oleh waktu. Sementara hasil kerjanya, apakah berhasil dengan nilai gemilang?
Jadi keberhasilan yang menjadi catatan besar dari seseorang yang telah menyelesaikan tugas di jabatan tertentu, bukanlah dilihat dari kemampuannya menyelesaikan waktu, bukan pula oleh sekedar rekam jejak yang dibandingkan ditempat lain orang lain juga akan mampu.
Satu pertanyaan, apakah seiring selesainya jabatan lalu terjadi perubahan besar dan didapat hasil yang besar? Pada titik inilah catatan besar yang bisa dianggap seseorang mampu, seseorang berhasil dan dapat dibilang memiliki rekam jejak yang pantas dibanggakan, yaitu mampu membuat suatu perubahan atau terobosan besar selama dirinya mengemban jabatan.
Nah, untuk menjadi seseorang yang memiliki rekam jejak dengan keberhasilan yang besar, maka dalam hemat penulis, tidak bisa tidak haruslah kerja yang berdasarkan konsep atau arah yang biasa kita sebut pula sebagai visi dan misi. Jika bisa, visi dan misi itu haruslah visi dan misi yang juga besar. Sehingga akan menunjang keberhasilan yang juga berbilang-bilang besar.
Namun bila seorang tokoh sudah terlanjur berpikiran bahwa rekam jejak lebih tinggi dari kata visi dan misi, biarlah itu menjadi kebenaran yang akan dibuktikan oleh keutamaan makna visi dan misi dalam suatu kerja seiring perjalanan waktu nantinya.
Meski tak bisa dihindari bahwa pemikiran sang tokoh yang menyebut rekam jejak lebih berarti dari visi dan misi itu bisa pula diartikan menjadi pembenaran yang sesungguhnya menafikkan kebenaran ungkapannya sendiri di waktu yang lain yang telah membenarkan pentingnya sebuah visi dan misi.
Bahkan menjadi pembenaran yang menafikkan suatu kebenaran di mana awal dari suatu keberadaan sesungguhnya adalah angan atau imaginasi, ide, gagasan atau yang kita sebut sebagai visi dan misi.
Ingat, bangsa ini adalah sebuah bangsa besar. Walau demikian ia akan menjadi sebuah bangsa besar jika dipimpin oleh seorang pemimpin besar. Pemimpin itu adalah yang memiliki pemikiran besar.
Maka jangan biarkan kita dipimpin oleh orang yang tak memiliki pemikiran besar. Kebanggaan atas suatu rekam jejak yang sesungguhnya tidak memiliki sandaran untuk disebut berhasil besar, sebab ia hanya bercerita tentang suatu perjalanan yang sedihnya jika tak memiliki jejak besar, tidak membuat rakyat yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.
Oleh karena itu rakyat akan senang bila para calon berani merubah dari hal-hal yang malah membuat kerdil itu beralih kepada sesuatu yang megah dan besar. Sesuatu itu, tunjukkanlah visi dan misi yang besar.
Demikianlah perbedaan pandang, perbandingan pemikiran penulis dengan segala niat baik yang akhirnya penulis akhiri dengan saran agar segala potensi para calon sungguh-sungguh tereksflor dan menemukan lahan juang yang tidak tandus.
Dari sedikit pergumulan di atas, yang terbaik, tetaplah kita bersyukur dengan perbedaan pandang itu. Dan rakyat tetap menjadi juri serta hakim untuk hal tersebut. Siapa yang berkata penuh sikap elus, welas dan asih? Siapa yang penuh sikap kesatria, saling menghargai dan tidak sekedar mengkerdilkan apalagi menjelek-jelekkan tanpa dasar pemikiran yang pasti? Rakyat cerdas menilai meski kita terus berharap rakyat kian tercerdaskan tepat ketika kebenaran itu harus dipilih dan diputuskan oleh rakyat sendiri.
Nah terhadap visi dan misi atau pemikiran yang sudah penulis buat, makanya penulis berani menjadi corong koreksi, berani berharap, berani menjadi penyambung lidah yang mempertegas harapan-harapan rakyat yang tercermin dari suara para pemuka agama dan para sepuh pengabdi bangsa.
Dan lebih jauh, berani menjamin dengan pemikiran tentang ideologi Pancasila yang terbarukan tersebut insyaallah Indonesia kita akan mencapai tatanan yang lebih baik, yang sungguh berkeadilan di masa depan.
Tak ada hal terpenting lain bagi penulis kecuali agar pemikiran-pemikiran itu nantinya bisa terimplementasi. Pun tak ada niat menyorong-nyorongkan diri penuh nafsu ingin meraih sesuatu tertentu. Lihatlah ini semata dari nilai guna. Karena ini niat tulus pengabdian untuk bangsa dan negara.
Sementara bila ada sosok pemimpin yang dengan kediriannya dianggap mampu menyelesaikan persoalan bangsa, maka atas nama rakyat, penulis dan kita semua dengan senang hati akan menyambut itu sebagai solusi dari segala persoalan bangsa.
Namun bila para pemuka agama, para tokoh, para aktivis pergerakan dengan kaca mata tertentu tidak melihat persoalan bangsa ini akan terselesaikan dan itu artinya cara menyelesaikan persoalan bangsa ini memang dibutuhkan pemikiran alternatif, dibutuhkan pemikiran dengan aroma pembaharuan, maka tak ada pilihan pemikiran lain, insyaallah inilah sandaran terakhir bagi bangsa kita tercinta, dalam usaha kita selamat sampai tujuan, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Wallahu'alambissawab
Salam Perubahan