Benteng Terakhir
Tragedi Cinta Harmoni
Diilhami oleh Tragedi Kemanusiaan
Talangsari Lampung
Sebuah Novel
Pembangun & Pembebasan
Oleh
TOMY IRFANI
Bab 5
Harga Kehidupan
Malam itu, ketika kakinya menginjak kembali pelataran tanah Desa Sematang, tiba-tiba Salwa teringat kubur emaknya di Dusun Merabu. Dasar hatinya yang tadi telah tak berair, mendadak terperas. Kristal bening pun meleleh kembali di pipinya. Mak, maafkan aku….Kutinggalkan engkau di dusun itu. Kuburmu pun tak sempat kujenguk di saat aku hendak berlalu. Lama Mak aku pergi, lama…. Selama aku yang tak akan pernah kembali ke Dusun Merabu. Selama aku akan melupakan dan tak ingin tahu serta mendengar apa-apa lagi tentang Merabu. Selama aku memendam kebencian, selama aku mengutuk dusun itu. Mak, restuilah kutukku…. karena mereka tak merestui cintaku.
Tapi, Mak, maafkan aku, maafkan aku…. Deras air matanya mengalir. Sederas mata air dari dalam perut bumi yang berongga-rongga karena torehan luka yang menganga. Dalam pula luka itu menghujam. Sedalam kebencian hatinya yang rawan. Perasaan tercampak, terkhianati, terhina karena merasa menerima tidak setimpal dengan apa yang telah ia beri, bergumul menjadi satu. Ya, ia merasa telah memberikan seluruh cintanya. Namun, orang-orang dusun itu tak memberikan apa yang ia minta.
124
Benteng Terakhir
Kebencian memang merupakan manifestasi dari sebuah kekecewaan. Meski kebencian sebenarnya juga merupakan anugerah. Agar manusia mampu mengukur langkahnya. Agar manusia mampu menjaga jarak dengan masa lalu yang menghantui hidupnya.
Namun, kebencian yang membabi buta akan membuat manusia melupakan segalanya. Melupakan asal-usul. Melupakan takdirnya. Salwa pun tahu hal itu. Bahwa masa lalunya telah dipungut dan dibesarkan oleh Merabu. Bahwa takdir kubur emaknya pun ada di sana. Tetapi, dari mana ia mesti mengetuk gerbang kesadaran agar hatinya mampu membuka pintu maaf? Ia terlanjur terluka.
Kebencian itu datang dari luka yang menganga. Ah, Emak…. Kenapa kuburmu tak berada di Desa Sematang ini saja? Agar aku tak terlampau sakit mengenang engkau di sana. Mengenang tempat yang telah membuat luka demi luka…. Hati Salwa masih belum bisa menerima. Sampai kubur emaknya yang telah ditakdirkan harus berada di tanah Merabu pun tidak ia terima.
Sampai di rumah Umi malam itu, segera ia mengetuk pintu. Saat membuka pintu, emak Umi berusaha mengingat-ingat. Ia serasa pernah mengenal wajah gadis ini.
“Aku Salwa, Mak,” ucap Salwa cepat.
“Ya, Allah, kenapa kau Salwa, ada apa, apa yang terjadi denganmu?” tanya emak Umi berturut-turut sambil memeluk Salwa saat melihat wajahnya yang bermandikan air mata. Dua buntalan bergayut di punggung dan tangannya. “Masuk, masuklah….” Emak Umi menarik lengan Salwa.
Pintu segera ditutupnya. “Ada apa, kenapa, apa yang terjadi denganmu?” tanya emak Umi lagi sambil menuntun Salwa ke arah kamar. “Kata Umi kau senang di dusun seberang. Kenapa jadi begini? Umi, bangunlah! Lihatlah saudaramu Salwa sedang payah seperti ini?”
“Apa, Mak, Salwa?!” kaget Umi. Ia bergegas lalu muncul dari balik pintu kamar yang hanya ditutup selembar kain gorden lusuh. “Ya, Allah…. Salwa, apa yang terjadi denganmu, ada apa, kenapa?” berturut-turut juga pertanyaan Umi.
Namun Salwa diam membisu. Mulutnya terkatup. Tak ada yang bisa ia katakan. Tak ada yang dapat ia jelaskan. Hanya air matanya yang meleleh. Menandakan hatinya sedang dilanda kegetiran.
125
Benteng Terakhir
“Sudah, sudahlah. Tak usah berkata apa-apa dulu,” ucap emak Umi akhirnya. “Sekarang tidurlah,” tambahnya sambil membimbing Salwa memasuki kamar tempat Umi tidur tadi.
Salwa menurut saja. Diletakkannya dua buntalan yang ia bawa di atas dipan. Lalu, ia pun tergeletak di atas dipan yang hanya beralaskan tikar selembar. Sejenak ia merasa sudah mencapai puncak ketidakmampuannya untuk menerima derita. Ia tak ingin lebih menderita lagi. Dari derita kehilangan, perpisahan, tercampakkan, terhinakan, dan kebencian yang sudah ia rasakan.
Hari ini telah teramat sarat beban derita untuknya. Ia ingin beristirahat. Ia tahu esok masih ada hari untuk menghitung derita berikutnya yang masih akan ia rasa. Hari ini sang pemanggul derita telah roboh dan tergolek layu. Ya, derita hari ini dan kelelahan itu menidurkannya dalam ringkuk seperti makhluk kecil tak berdaya.
Samar, sebelum lelap benar-benar menyapa, sempat didengarnya suara Umi dan emaknya perlahan-lahan membicarakan nasibnya dari ruang sebelah depan. Tak lama kemudian, sehelai kain tipis menyaputi tubuhnya. Sinar lampu minyak tanah yang terbuat dari bekas kaleng susu yang terletak di atas tanah, perlahan-lahan samar lalu hilang di pandangan matanya. Gadis malang itu tertidur membawa deritanya. Terlebur dalam mimpi dan igauan. Bayang warna hijau dedaunan. Juga ladang tandus yang telah hijau. Ada pula gemercik air sungai yang sejuk. Terciprat dibelah kaki-kaki menyeberang.
Pemandangan tebing-tebing di pinggir sungai. Nyanyian murai mengalun merdu. Basah embun di ranting, dahan, dan daun semak perdu. Semua seakan memanggil dengan derai dan gema rindu. Tak rela sang gadis menderita. Namun, sang bidadari tetap tergolek layu ditumpuk duka.
Keesokan hari ketika terjaga, hening terasa. Tak tahu Salwa saat itu sudah jam berapa. Tak ada suara Umi dan emaknya. Ke mana mereka? Salwa bertanya-tanya. Terdengar suara induk ayam yang sedang mengasuh anaknya di sisi rumah. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu hampir lapuk itu, membuat suara sekecil apa pun di luar sana jelas terdengar. Anak-anak ayam itu bercicit-cicit mengikuti langkah induknya, berjalan ke arah belakang rumah.
126
Benteng Terakhir
Saat suara induk dan anak-anak ayam itu berlalu, hening lagi. Tak terdengar apa-apa. Di rumah itu Salwa sendiri. Walau tubuhnya agak segar karena tidurnya pulas, namun enggan ia menurunkan kakinya dari dipan. Hanya matanya yang berputar ke sana ke mari, memandangi atap, dinding, dan kadang dua buntalan kain yang dibawanya.
Tiba-tiba matanya menyapu sehelai kertas kecil yang seperti sengaja diselipkan di dinding bilik yang terbuat dari bambu itu. Salwa sejenak mengusir malas dan memungutnya. Di sana tertulis, “Salwa, jika kau sudah bangun dan merasa lapar, sarapanlah. Di dapur, di bakul yang digantung ada ubi kayu rebus. Untuk makan siang, di bawah ubi kayu rebus itu ada nasi dengan sambal garam pedas, ikan asin, beserta ulamnya. Makanlah segera. Aku dan emak pergi ke ladang. Mungkin kami pulang saat hari telah petang.”
Salwa kembali ke dipan. Duduk di tepian dipan. Ia berpikir apa yang hendak ia lakukan. Tetapi kemudian ia tergolek lagi. Dan entah kenapa, bayangan yang muncul di matanya kemudian adalah kebencian-kebencian dengan segala kenangan pahit yang telah ia rasakan.
Air matanya pun meleleh lagi. Dalam, ya sangat dalam duka dan luka itu ia rasakan. Duka merasa terbuang. Luka merasa terkhianati dan tercampakkan. Sampai petang. Sampai kemudian Umi dan emaknya pulang lagi dari ladang.
“Ya Allah, Salwa, apa yang sesungguhnya kau alami?” tanya emak Umi saat menyaksikan Salwa masih tergolek di pembaringan. “Kau belum mandi, kau belum makan, nanti rusak tubuhmu,” suara emak Umi terdengar pelan.
“Salwa, apa yang sesungguhnya terjadi denganmu?” tanya Umi sambil duduk dan mengelus rambut Salwa yang kusut. “Apa kau diusir oleh orang-orang Merabu?” lanjut Umi. “Maaf, aku mengira begitu.”
Salwa masih diam.
“Kalau benar begitu, apa salahmu? Sungguh keterlaluan orang-orang Merabu itu!” suara Umi memperlihatkan kejengkelan.
Ya, ya, kau benar Umi! Suara hati Salwa menimpali. Tiba-tiba ia merasa semakin mendapatkan kekuatan untuk membenci.
127
Benteng Terakhir
“Sudah, mandilah ke sumur di belakang. Setelah itu makanlah! Nanti malam kita cerita-cerita,” kata emak Umi lembut.
Kali ini, Salwa pun bangkit. Ia menuju belakang rumah. Menimba. Namun, air sumur yang dalam, membuat Umi merasa perlu membantu. Karena Umi tahu, dengan perut Salwa yang kosong, tentulah ia masih lemah menimba.
Malam hari, mereka duduk-duduk di dipan ruang depan. Emak Umi kembali menanyai Salwa tentang kejadian yang dialaminya. Namun, Salwa tetap tak menjawab.
“Aku mau cari kerja,” Salwa justru mengubah tema pembicaraan.
“Mau cari kerja di mana, Salwa…. di pabrik?” tanya Umi yang baru muncul dari balik bilik. “Aku sudah mendatangi setiap pabrik di sebelah selatan desa kita. Pabrik-pabrik itu belum menerima pekerja baru lagi. Katanya nanti di tahun baru,” ujar Umi seraya duduk di sisi Salwa.
Salwa terdiam.
“Sudahlah, untuk sementara tinggallah di rumah dulu. Bersabarlah, jangan pikirkan pekerjaan. Tenangkan hatimu dulu,” Emak Umi berujar pelan.
“Tapi aku kan belum berusaha mencari kerja. Itu kemarin usahamu, Umi. Siapa tahu nasibku lebih baik, tidak seburuk nasibmu,” Salwa mengerling ke arah Umi.
“Ya, mudah-mudahan. Tapi, sebenarnya kau tak perlu terlalu pusing, Salwa. Usulan pamong desa sini tempo hari itu belum dicabut. Rumah besar itu masih berdiri dan belum ada yang mengisi. Karena rumah itu memang untukmu. Terimalah! Dan para pamong desa itu akan memberikan uang untuk biaya hidupmu.”
Salwa tak begitu menanggapi keterangan Umi. Karena ia meragukan niat para pamong desa yang dikatakan Umi. Tampaknya Umi pun tahu keraguan Salwa.
“Besok, antar aku! Kita cari pabrik yang menerima pekerja lagi, ya,” pinta Salwa pada Umi.
128
Benteng Terakhir
“Ya, baiklah,” ujar Umi akhirnya.
“Tidak, tidak!” sergah emak Umi. “Besok jangan pergi dulu, Salwa. Istirahatlah dulu. Tenangkan pikiranmu. Emak tahu kau masih terguncang. Lagipula, tak baik bepergian dalam suasana hati tak tenang. Pokoknya bersabarlah dulu. Bila perlu sampai pergantian tahun. Biar pasti ada pabrik yang menerima pekerja,”
Terdiam sesaat Salwa. Namun, “Ya, baiklah,” ujarnya kemudian. “Dua hari lagi ya, Umi,” pintanya sambil menatap wajah Umi.
“Ya,” jawab Umi mengangguk.
Emak tak bisa berbuat apa-apa atas keputusan Salwa itu.
Malam itu mereka lalui dengan mengenang masa lalu mereka. Ketika Salwa dan Umi kecil hidup bersama di desa ini. Masa-masa di mana keluarga mereka sangat dekat. Kini mereka kembali berkumpul. Meski keadaan saat ini tidak lebih baik daripada dulu. Tetapi kebersamaan ini seperti menambah kekuatan baru.
Malam menjelang larut. Ada gelak tawa Umi. Salwa pun berusaha menekan perasaannya agar tidak terlalu larut dalam kenangan bersama emaknya saat hidup di desa ini dulu. Ia takut hal itu akan melemahkan tekadnya dalam berjuang hidup. Mereka tersenyum ketika mengingat mereka sering berebut buah asam di samping rumah Salwa. Ah, masa kecil yang menyenangkan. Tak pernah membayangkan masa dewasa yang penuh onak dan duka. Masa kecil, masa sebelum orang-orang kota datang, sebelum kayu-kayu ditebang, dan sebelum orang-orang terkasih mati.
Kelarutan malam itu pelan namun pasti merangkak meraih ujungnya. Inilah awal cerita sang gadis setelah merasa tercampak. Kini ia ingin meraih harga serta kepercayaan dirinya kembali. Dua hari kemudian, Salwa mencari kerja diantar Umi. Namun tak ada satu pun pabrik yang membuka lowongan. Alasannya karena masih pertengahan tahun. Keesokan harinya, karena Umi harus membantu emaknya, terpaksa Salwa mencari kerja sendirian. Karena ketidaktahuannya, ia hampir
129
Benteng Terakhir
diperkosa laki-laki hidung belang di sebuah hotel di Tanjung Karang. Beruntung ia selamat.
Berhari-hari ia meneruskan mencari pekerjaan lagi. Bahkan minggu demi minggu pun terlalui. Tampaknya ia harus terus berusaha, menunggu dengan sabar. Sampai suatu hari sebuah pabrik menerimanya. Ia pun mulai bekerja dalam masa percobaan. Setelah melalui masa percobaan, ia akan menandatangani kontrak kerja selama dua tahun, begitu ungkapan dari staf personalia pabrik kepadanya.
Berat hati sebenarnya ia membayangkan kenyataan bahwa statusnya hanyalah sebagai pekerja kontrak, bukan pekerja tetap seperti yang ia harap. Sebab dengan pekerjaannya ini, ia ingin menyusun masa depan.. Namun dengan status kontrak, ia pun ragu, apakah kelak masa kerjanya akan diperpanjang?
Hal itu membuatnya gamang menghadapi segala kemungkinan masa depan. Belum lagi membayangkan segudang peraturan yang lebih berpihak kepada pemilik atau mandor pabrik yang harus ditaatinya. Padahal, belum tentu mereka memperlakukan para pekerjanya secara baik.
Namun, jika ingin masa kontrak kerjanya diperpanjang, ia harus rajin bekerja dan berlaku baik terhadap majikan. Sesuatu yang justru membuatnya tak merdeka dan teraniaya. Hal itu bertentangan dengan keinginannya, yaitu bekerja karena ingin terlepas dari rasa teraniaya.
Ya, hatinya diliputi bayang ketidakpastian masa depan. Pernah ia berpikir untuk mencari tempat kerja lain yang bisa memberikan kepastian masa depan. Tapi sulitnya mencari pekerjaan, membuatnya menerima kenyataan sebagai pekerja kontrak di pabrik itu.
Hari-hari pun ia lalui sebagai pekerja di pabrik itu. Pekerjaan yang sebenarnya ingin ia banggakan. Karena dengan bekerja, ia bisa menjadi dirinya, terlepas dari orang-orang yang pernah menyakitinya.
Namun, pergumulan batin akibat kekecewaannya sebagai pekerja kontrak yang awalnya kecil, kini kian membesar dalam dirinya. Kekecewaan itu akhirnya mencari celah dan mewujud dalam bentuk ketidaksukaannya. Belum sebulan ia bekerja, terjadi sebuah demonstrasi yang dilakukan oleh para perkerja terhadap kebijakan pemilik pabrik. Para pekerja
130
Benteng Terakhir
menuntut dibentuk Serikat Buruh. Hati yang telah diliputi perasaan tak suka menggiring Salwa untuk terlibat. Tak ampun, Salwa pun dikeluarkan dari pabrik itu.
Separuh hatinya menyesal karena keluar dari tempat kerja itu sebelum mendapat apa-apa. Terlebih mengingat sulitnya mencari pekerjaan. Tapi separuh lebih hatinya, yang sedari awal membayangkan ketidakpastian masa depan, menguatkan tekadnya untuk meninggalkan pabrik itu dengan melepas rasa sesal.
Besarnya tekad tak menyurutkan semangatnya untuk mencari pekerjaan lagi. Beberapa hari kemudian, ia mencari lagi dan terus mencari. Walau pekerjaan tak juga ia dapati. Dalam keadaan seperti itu, teringat ia akan emak, juga teringat Merabu.
Namun, Merabu yang ada di ingatannya adalah Merabu yang telah membuatnya lara. Merabu yang telah membuat dirinya begitu tak berharga. Mentang-mentang ia hanya anak pungut yang dibesarkan oleh mereka, setelah besar hanya untuk diberikan pada laki-laki yang tidak disukainya, si Hasan.
Padahal, ia rela memberikan tanahnya untuk orang Merabu. Namun, semua itu ternyata tak cukup membuatnya mendapat penghargaan di sana. Ia merasa begitu tercampak. Laki-laki tercinta yang sangat diharapnya, ternyata lebih memilih gadis lain. Oh, hidup…. Kenapa hanya seperti kumpulan derita. Dulu dan kini, hanyalah perjalanan sebuah sengsara. Teringat pekerjaan yang belum kunjung didapatnya, mulai ciut hati Salwa.
Membayangkan hari depan, teringat lagi ia dengan Merabu. Terbersit bayangan andai ia kembali ke Merabu. Tetapi, tidak! Tiba-tiba muncul kembali tekadnya. Apa pun yang terjadi, tidak! Ia tidak akan pernah kembali dan mengingat Merabu. Tekadnya semakin bulat. Ia ingin benar-benar melupakan Merabu. Tak ingin mendengarkan apa pun tentang Merabu. Cukup sekali saja rasa tak berharga itu dikecapnya di sana. Sekarang, ia ingin mencari harga dirinya lewat bekerja. Walau sisi lain hatinya tetap bertanya-tanya, di mana?
“Salwa,” Umi memanggil dari balik kain penutup pintu. “Ada tamu yang ingin bertemu kau. Bangunlah, temuilah!”
131
Benteng Terakhir
“Siapa?” Salwa bangkit.
“Orang dari pamong desa,” jawab Umi.
Salwa segera membenahi kain yang mengebat pinggangnya. Diikatnya rambut ke belakang. Dengan rambut diikat seperti itu, tampak kian cantik Salwa dipandang mata. Walau ia sendiri seperti tak hirau dengan dirinya. Karena ia memang tidak memikirkan apa-apa. Lalu, ia pun keluar.
Saat melihat tamunya, Salwa agak kaget. Dahinya mengernyit. Matanya lebih dalam memerhatikan. Rasanya ia pernah mengenal wajah dan bentuk tubuh seperti itu. Di mana, ya? Ia berusaha keras mengingat-ingat.
Setelah beberapa saat, ia pun bisa mengingatnya. Ya, laki-laki ini mirip dengan orang jahat yang dibiarkan selamat ketika terjadi pertempuran di pondok ladang tandus dulu. Tapi, laki-laki itu dulu berkumis, sedangkan sekarang tidak.
“Ada apa Salwa, apakah kau pernah mengenalnya?” tanya Umi saat melihat Salwa bengong dan memerhatikan tamunya.
“Tidak…tidak,” ujar Salwa sambil duduk di sisi dipan.
“Dialah orang yang diberi kepercayaan memegang kunci rumah yang dijanjikan untukmu itu,” Umi menjelaskan
“Iya, saya kepercayaan Pak Kepala Desa. Saya Pak Sadeli,” Sadeli menyodorkan tangannya.
Salwa menempelkan sedikit ujung tangannya lalu menariknya lagi.
“Mungkin Umi sudah menceritakannya. Saya datang ke mari hanya untuk menyerahkan kunci rumah, dan mengantarkan Dik Salwa mendiami rumah itu.” Sadeli merogoh kantong lalu mengeluarkan anak kunci. “Mari, sekarang kita beres-beres dan mengunjal barang yang perlu dibawa ke sana,” ajak Sadeli sambil memandangi wajah Salwa, Umi, dan emaknya.
Salwa masih terdiam di tempat duduknya. Diamnya Salwa membuat Sadeli berinisiatif dengan caranya. “Ayo, mana barang-barang yang perlu dibawa?” katanya seraya masuk ke dalam bilik yang tadi didiami Salwa. Keluar dari bilik itu ia sudah menenteng
132
Benteng Terakhir
dua buntalan kain milik Salwa. “Ini barang-barangmu, Dik Salwa? Biar saya bawa. Kita pindah malam ini juga,” Sadeli membawa dua buntalan itu menuju arah pintu. “Ayo, kalian bersiap-siaplah,” Sadeli meminta Umi dan emaknya.
Salwa hanya mendiamkan saja apa yang dilakukan orang pamong desa itu karena ia sedang tak ingin banyak bicara.
”Kita tidak akan pindah kalau kau tak mau, Salwa,” ujar Umi ke arah Salwa yang diam saja sedari tadi. “Pak, maaf, kami tidak bisa kalau Salwa tidak ikut serta,” ujar Umi kepada Sadeli.
“Ah, nanti juga Salwa akan ikut kalau kalian sudah pindah dulu ke rumah itu. Ayo!” ajak Sadeli.
“Salwa, bagaimana?” Umi kembali bertanya pada Salwa.
“Ya, sudah, pergilah dulu,” ujar Salwa akhirnya setengah malas. “Aku masih ingin di sini barang sepenggal waktu.”
“Kau?”
“Biarlah aku menyusul nanti.”
Ucapan Salwa itu, akhirnya membuat Umi dan emak pergi juga. Mereka merasa tidak enak pada Pak Sadeli yang sudah sangat berharap. Pikir mereka, andai nanti Salwa tidak menyusul, gampang, toh mereka bisa kembali.
Akhirnya, malam itu mereka pindah ke rumah baru itu. Namun Salwa masih tinggal di rumah reot Umi. Entah kenapa. Lagi-lagi muncul keraguan di hatinya untuk menempati rumah baru itu. Nalurinya seperti membisikinya sesuatu. Muncul pula bayangan emak. Bahkan ada sedikit bayangan Rumba. Mereka semua seperti meminta Salwa untuk berhati-hati.
Mendadak kenangannya teringat pada Merabu. Tapi, ah! Luka, duka, dan harga diri yang terkoyak itu pun kembali bergumul di hatinya.
Lalu, semua ia rangkum dalam satu wadah bernama kebencian yang utuh. Ya, bukankah ia telah bertekad melupakan Merabu, menutup kuping rapat-rapat dari apa pun berita dan cerita tentang Merabu?
Dan ketika malam telah sampai di titik puncaknya, kaki Salwa pun melangkah menuju rumah besar dan bagus itu.
133
Benteng Terakhir
Ada senyum di bibir Umi dan emaknya saat menyambut kedatangan Salwa. Bagi mereka, Salwa adalah anugerah. Karena Salwalah mereka bisa tinggal di rumah besar dan bagus seperti ini.
*
Tinggal di rumah besar dan bagus dengan segala perabotan yang serba lengkap, seharusnya membuat Salwa senang. Tempat tidur bagus, TV, radio sebagai sarana hiburan pun ada.
Penghargaan Umi dan emaknya kepada Salwa pun semakin bertambah. Bukan saja status mereka yang kini ikut Salwa, tetapi karena segala kebutuhan hidup mereka kini sudah dipenuhi Salwa. Uang, beras, dan beberapa jenis kebutuhan rumah tangga untuk sebulan telah disediakan oleh pamong desa.
Bulan berikutnya akan dikirim lagi. Begitu seterusnya tiap bulan, menurut janji pamong desa. Itu semua untuk Salwa. Namun, Salwa ingin itu semua dinikmati bersama-sama. Bahkan, kepada orang-orang di sekitar situ, Salwa pun membiarkan apa yang di rumah itu ada dinikmati mereka.
Dengan senang hati, siang dan malam, Salwa membiarkan siapa saja menonton TV di rumahnya. TV memang masih cukup langka di desa-desa. Bahkan, bila ada tetangga yang kehabisan nasi atau lauk untuk makan, Salwa akan membiarkan tetangga itu makan di rumahnya. Kebaikan itu tentu membuat Salwa kian dihargai di sana.
Namun, orang-orang itu tentu saja tidak tahu apa yang ada di hati Salwa ketika ia berlaku begitu. Ya, tak ada yang tahu kalau Salwa tidak begitu senang dengan keadaannya yang banyak mendapat fasilitas dari pamong desa. Walau menurut cerita, apa yang diberikan kepala desa itu memang miliknya, haknya. Dulu hasil penjualan kayu-kayu di tanah milik orang tua Salwa, ada bagian yang belum sempat diberikan. Karena orang tua Salwa keburu meninggal. Maka, kini diberikan pada Salwa.
Namun, Salwa merasa tidak memiliki semuanya. Karena ia tidak mudah percaya begitu saja pada cerita tentang masa lalu itu. Segala yang berasal dari pamong desa, justru ia anggap hanyalah pemberian. Bukan hasil jerih payahnya. Apalagi andai tiap bulan nanti ia harus menerima jatah pemberian kepala desa. Sempurnalah bayangan bahwa dirinya hanya
134
Benteng Terakhir
bisa bergantung dan menerima. Bertolak belakang dengan keinginannya untuk berdiri sendiri, meraih harga diri hidupnya dengan perjuangan. Masa lalunya di Merabu yang hanya bergantung dan merepotkan orang, merupakan sejarah yang tak ingin diulanginya lagi. Ya, ia tak ingin hidupnya bergantung lagi. Kepada siapa pun.
Maka, suatu waktu ia mengungkapkan niatnya pada Umi dan emaknya, “Aku masih tetap ingin mencari kerja.”
“Ya, tapi apakah tidak sebaiknya nanti saja di awal tahun, Salwa. Sebab, mencari kerja sekarang lagi susah.” Umi mencoba memberi masukan.
Salwa tidak berkomentar. Ia malas menanggapi karena tekad di hatinya tak akan tergoyah lagi. Ia akan kembali mencari kerja.
Keesokan malamnya, Umi mengatakan bahwa sang kepala desa, Datuk Mursal, akan bertandang. Sempat terbersit di benak Salwa tentang masa lalu seorang kepala desa ketika Umi mengatakan itu. Tapi itu hanya sesaat. Selebihnya ia sedang memikirkan beratnya perjuangan hidup menggapai harga diri.
Namun, ketika malam itu Datuk Mursal benar-benar bertandang ke rumahnya, tiba-tiba naluri Salwa merasakan sesuatu. Ia merasa ditarik oleh suatu kehendak untuk memeras daya pikir dan daya ingatnya. Terbayanglah kenangan masa lalu di pelupuk matanya. Di mana emak dan bapaknya pernah sekali waktu terdengar menyebut nama Datuk Mursal dalam obrolan mereka.
Ya, waktu itu Datuk Mursal sudah menjadi kepala desa. Semakin jauh ia ingin menyusuri ingatan masa lalunya. Teringat kematian orang-orang tua yang dikasihinya, rasa marah dan dendam pun muncul di hatinya.
Dulu, sepintas ia dengar dari emak dan bapaknya bahwa perseteruan itu terjadi antara keluarganya dengan warga di sini dan orang kota yang ingin mendirikan industri. Tapi, apa peran Datuk Mursal ini pada saat itu? Sampai pada pertanyaan itu, pikirannya berhenti menggelinding.
Sebab, kini Datuk Mursal telah berada di hadapannya.
Tak tahu Salwa apa niat kedatangan Datuk malam itu. Ia menghadapinya biasa saja. Pengalaman dan tempaan hidup, telah membuat Salwa berani menghadapi segala sesuatu.
135
Benteng Terakhir
“Aku datang hendak menengok dan mengucapkan penghargaan yang dalam atas kembalinya kau ke desa kita ini, Salwa,” ucap kepala desa berbasa-basi setelah memperkenalkan diri. Mata kepala desa itu seperti tak berkedip memandang wajah Salwa yang memang alami ayu. Apalagi kebiasaan Salwa yang suka mengikat rambutnya. Membuat tengkuk Salwa yang bagus dengan rambut-rambut halusnya, jadi santapan mata kepala desa itu.
“Ah, Pak Kepala Desa, Datuk bisa saja, berlebihan. Bukankah aku orang biasa, sama seperti warga lainnya. Tak usah diberi penghargaan yang berlebihan,” Salwa sedikit mengurai senyum.
Datuk juga tersenyum. “Tidak apa-apa, kedatanganku juga hendak menyampaikan, emm….” terdiam sejenak Datuk, sepertinya sedang berpikir, “emm, katanya kau ingin mencari kerja?”
“O iya, Datuk. Tahu dari siapa Datuk?”
“Emm dari Sadeli.”
“Pak Sadeli tahu dariku, Salwa,” timpal Umi dari dalam.
“Ya, ya….mungkin begitu. Untuk itulah aku datang ke mari. Maksudku, mau menawari kau pekerjaan…”
Tiba-tiba Salwa merasa sangat diistimewakan. Dan ia tak mau. “Ah, biarlah saya mencari sendiri, Datuk. Berikan saja pekerjaan itu pada Umi. Umi juga butuh pekerjaan, kok.”
“Tidak, tidak…. pekerjaan ini tidak cocok untuk sembarang orang, selain orang yang berbakat.”
“Ah, apa sih pekerjaannya, masa tidak cocok untuk Umi?”
“Kau bisa bernyanyi?” tanya Datuk kemudian diam sambil memerhatikan wajah Salwa. “Bukan apa-apa, kata Sadeli, kau bisa bernyanyi.”
“Ya, Pak Sadeli itu kataku,” sahut Umi lagi dari dalam.
“Dari mana kau tahu aku bisa bernyanyi, Umi?”
Umi keluar. “Dulu, sewaktu kita kecil, bukankah kau senang ber-nyanyi, saat menunggu Bak pulang dari ladang? Atau saat kita bermain tanam padi di sawah-sawahan. Serumpun padi tumbuh di sawah, hijau menguning daunnya...” Umi mengulang selarik lagu masa kecil itu. “Aku
136
Benteng Terakhir
tahu suaramu bagus. Karena itulah aku yakin sekarang pun kau pandai bernyanyi. Nah, ketika Pak Sadeli menanyakan keahlianmu, aku katakana saja kau pandai bernyanyi.”
Sejenak, saat mendengar nyanyian masa kecil itu, kenangan Salwa melayang pada sawah dan ladangnya yang kini telah hijau berkat tangannya dan tangan Kak Rumba. Teringat pula dengan Merabu dengan sawah-sawahnya. Sebuah puak yang dihidupi orang-orang serumpun, seketurunan. Termasuk aku, pernah jadi bagian rumpun itu...tapi, ah! Segera kenangan itu ditepisnya. “Ah, kau Umi, bagaimana kalau aku tidak mampu? Tentu akan membuat malu,” ungkap Salwa seraya mengerling ke arah Umi.
“Tidak, kenapa harus malu?” potong Datuk. “Kalaupun kau tak pandai bernyanyi, akan aku berikan pekerjaan lain yang cocok dengan bakatmu. Tapi, kalau kau memang bisa bernyanyi, aku akan membentuk grup musik organ tunggal. Nah, barangkali kau mau jadi penyanyinya? Nanti kau akan dikenal di mana-mana. Jika kau tak bisa bernyanyi, ya, boleh jadi MC saja. Pokoknya aku ingin kau ada kegiatan.” Datuk tersenyum. Tampaknya, ia merasa senang karena bisa menawarkan sesuatu yang mungkin diminati Salwa.
“Tapi rasa-rasanya aku lebih baik kerja di pabrik saja. Ya, aku ingin kerja di pabrik,” ucap Salwa mantap.
“Ah, untuk apa kerja di pabrik? Bekerja di pabrik itu hina dan gajinya kecil. Tidak pantas untuk gadis cantik sepertimu. Kerja denganku saja. Nanti kuberi modal berapa pun kau mau. Bukalah usaha sesukamu. Sekarang ini yang penting modal, uang. Aku punya. Jangan mau kau jadi orang bawahan yang kerja berat. Bekerjalah denganku, bermitra denganku, nanti kau jadi terpandang.” Cukup menggebu-gebu Datuk mengucap kalimat-kalimatnya. Kalimat yang datang dari orang berpunya, pemilik kapital, dan berkuasa. Sungguh suatu hal mulia bila tawaran itu berasal dari seorang pemilik kapital berhati baik. Tapi sebaliknya, akan membawa petaka bagi dunia bila pemilik kapital seorang durjana. Apalagi para kapitalis yang tidak berangkat dari hasil jerih payah usaha. Tak
137
Benteng Terakhir
pernah merasakan hidup susah dari bawah sehingga cenderung memeras dan meremehkan hidup orang. Tak bisa merasakan bahwa seseorang akan bernilai atau berharga ketika mau bekerja. Sehingga kerja bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga sebagai harga hidup serta kepuasan dalam menjalani hidup.
Bahkan kerja sebagai sebuah karya adalah nilai atau mutu diri yang tercermin dari karya atau kerja itu. Manusia berkerja, meningkatkan mutu hidup mutu karyanya, mutu karya mutu hidupnya. Kerja atau karya sesungguhnya menambah karya hidup.
Demikian tinggi nilai kerja. Kesadaran itu yang Salwa rasakan selama ia hidup dalam ketiadaan pekerjaan. Makanya ia sangat menghargai arti sebuah kerja dan sesungguhnya sedikit tersinggung dengan segala kalimat Datuk yang meremehkan apa pun kerja yang akan dijalaninya. Tapi saat itu tampaknya Salwa belum ingin berpikir terlalu jauh tentang Datuk dengan segala perkataannya dan masa lalunya. Walau sedikit ada keraguan di hatinya, tapi ia pun sadar bahwa dirinya sedang sangat membutuhkan pekerjaan.
“Mungkin aku bisa sedikit bernyanyi. Meski aku tak tahu harus bernyanyi apa,” ujar Salwa kemudian.
“Kau nanti akan bernyanyi bermacam-macam jenis lagu kalau mampu, dari pop, rock hingga dangdut dan melayu, Salwa.”
“Oh, tapi aku tak pandai bernyanyi dangdut.”
“Ya, nanti pelan-pelan kau berlatih. Nanti dengan berlatih, pasti bisa semua lagu. Walau menyanyi dengan lagu pop saja pun tak maslah. Yang penting bisa menghibur. Dan aku yakin kau pasti bisa.”
Diam sejenak Salwa. Namun kemudian, “Baiklah,” ungkapnya pelan.
Girang bukan main hati Datuk mendengar jawaban Salwa. Senyum lebarnya tak ragu mengembang. “Nanti akan kukirim organ dengan alat-alat lainnya ke mari berikut orang yang memainkannya. Agar kau bisa berlatih.” Lagi-lagi senyum mengembang di wajah Datuk. Sungguh senang hatinya. Membayangkan berjalannya semua rencana yang telah ia susun. Rencana untuk Salwa, rencana untuk dirinya. Tiba-tiba terbayang
138
Benteng Terakhir
sesuatu yang indah di matanya. Seindah wajah Salwa, wajah bidadari yang selalu ada di pelupuk matanya.
Malam itu Datuk pulang dengan bayangan alunan musik organ tunggal yang berkumandang di hatinya. Ia berharap gadis itu akan menggoyang panggung hiburan di pelosok-pelosok kampung. Di matanya, Salwa yang cantik, pasti akan menjadi biduan yang banyak mendatangkan uang.
Grup organ tunggalnya pasti akan dipanggil ke mana-mana. Dan Salwa harus bisa bernyanyi seperti biduan di TV-TV itu. Dengan goyangannya yang mengguncang nafsu. Dan yang terpenting, semua rencana yang ada di kepalanya berjalan dengan lancar.
Tanpa menunggu lama, beberapa hari kemudian datanglah organ dengan peralatan yang telah dijanjikan Datuk bersama pemainnya. Bang Toyib, nama panggilan pemain organnya. Perawakannya agak pendek, tetapi sudah cukup umur. Ia jago memainkan organ. Hari itu mereka langsung berlatih. Bang Toyib pula yang melatih Salwa bernyanyi.
Sejak saat itu hari-hari Salwa mulai diisi dengan latihan tanpa kenal lelah. Ia sangat bersemangat. Tampaknya ia benar-benar ingin bisa bernyanyi dengan baik. Suaranya yang ternyata memang bagus, sangat menunjang untuk bisa menguasai beberapa jenis lagu.
Lagu pop dan rock, dangdut, hingga reggae serta lagu melayu dapat dikuasainya. Seperti ada kekuatan yang mendorong gadis itu untuk menjadi serba bisa. Mungkin karena ia memang sedang berjuang agar bisa hidup mandiri. Salwa memerhatikan acara-acara musik di televisi. Mempelajari cara bernyanyi, menari, dan menghadapi banyak penonton.Berkali-kali Datuk Mursal datang untuk menyaksikan latihan Salwa. Ia sangat puas atas kemajuan Salwa yang sangat pesat.
Suatu ketika, tibalah waktunya Salwa ditampilkan. Ada pertunjukan hiburan di lapangan balai desa. Pak Kades memperkenalkan grup organ tunggal dengan penyanyi barunya. Di sanalah Salwa bernyanyi. Cukup banyak biduan yang bernyanyi dalam pertunjukan hiburan saat itu. Satu per satu mereka menunjukkan kebolehan. Saat Salwa
139
Benteng Terakhir
tampil, bukan main apresiasi penonton kepadanya. Bukan saja karena ia penyanyi baru, tetapi karena suaranya juga sangat bagus disbanding biduan lainnya.
“Luar biasa, luar biasa...” ujar Datuk diikuti kalimat-kalimat pujiannya sesaat setelah usai Salwa bernyanyi lagu pertamanya. “Satu lagi yang perlu kautambahi dalam penampilanmu, Salwa,” ujar Datuk lebih lanjut saat Salwa beristirahat sejenak di belakang panggung.
“Apa Datuk?” tanya Salwa sambil tersenyum penuh percaya diri.
“Saat tampil jangan dengan gayamu yang masih tampak lugu. Jangan ragu untuk bergoyang. Bergoyanglah agar penggemarmu terpuaskan.”
Terpicu oleh sanjungan dan semangat, karena saat ini ia merasa seperti menemukan harga diri, bahkan lahan hidup dan masa depan, “Ya, Datuk, aku akan bernyanyi sambil bergoyang,” ujar Salwa riang.
Maka pada saat ia tampil bernyanyi berikutnya, bukan main, ia sungguh membuat terpukau para penonton. Suaranya, lincah geraknya, sudah mirip dengan biduan yang biasa tampil di televisi. Ditambah Salwa yang suka bernyanyi dengan berbagai aliran lagu, dari pop, rock hingga dangdut serta melayu, membuat ia benar-benar beda dan menjadi idola.
Sejak saat itu, semakin sempurnalah tekad Salwa untuk menekuni dunia menyanyi. Aksi-aksi panggungnya yang memukau, semakin membuatnya laris dipanggil bernyanyi di mana-mana. Grup organ tunggal itu pun berubah menjadi orkes. Seiring dengan itu, Salwa pun kerap mendapat predikat baru sebagai Ratu Goyang Panggung. Sorak-sorai penonton selalu mengiringi tiap kali ia tampil. Mereka menatapi sang biduan dengan penuh kekaguman. Itu semakin membangkitkan rasa percaya diri dan harga dirinya.
Ya, kini ia merasa telah benar-benar memiliki harga diri. Salwa telah berubah. Bukan lagi sebagai gadis yang selalu meratapi diri atas nasibnya yang penuh derita. Kini ia telah menemukan dirinya. Sebagai manusia utuh yang memiliki pekerjaan. Sebagai seorang gadis utuh yang mempunyai penggemar. Ia kini sempurna menyandang predikat sebagai penyanyi, biduan. Namun, begitulah kehidupan seorang biduan. Hidupnya kini seperti menjadi milik banyak orang. Para penggemarnya. Ia selalu mendapat
140
Benteng Terakhir
undangan untuk menyanyi. Dari waktu ke waktu, dari satu desa ke desa lain, bahkan sampai ke kota. Dan itu ia sadari sebagai konsekwensi, tugas seorang biduan untuk menyenangkan banyak orang. Sampai-sampai ia tak punya waktu untuk dirinya. Jadwal pentasnya pun sudah begitu padat, ia harus selalu berlatih pula.
Suatu siang, di Desa Sematang, di salah satu ruang rumah Datuk yang tertutup. “Kau kuminta ke mari, aku mau tanya, bagaimana kesiapan anak-anak muda yang telah dilatih silat itu? Apakah mereka sudah siap bila harus mulai bekerja?”
“Ya, siap, Datuk. Tapi apa pekerjaannya?”
“Ah, kau, Sadeli, goblokmu kian bertambah. Kau lupa ya dengan rencana kita. Tugas mereka adalah menyerbu orang-orang Merabu.”
“Ya, siap Datuk, siap! Aku yakin mereka sudah siap.”
“Aku minta, buatlah rancangan bersama pelatih silat itu untuk mengusir orang-orang Merabu dari tanah milik orang-orang desa kita di sebelah barat sana. Katakan bahwa si Salwa sudah kembali ke Sematang. Ia dan pemilik tanah yang lain ingin mengambil kembali tanah yang digarap orang-orang Merabu itu.”
“Kalau pemilik tanah di sana lebih memihak orang-orang Merabu, bagaimana Datuk?”
“Ya, sogok saja dengan uang. Katakan tanah itu sudah akan dipakai oleh pemerintah. Dulu, ketika kayu-kayu di tanah mereka hendak kita tebang, kan kita pernah berkata bahwa tanah itu akan dibeli dan dipakai oleh pemerintah untuk lahan industri. Nah, sekarang katakan pada mereka bahwa pemerintah sudah mau memakai tanah itu.”
“Tapi kalau di antara mereka masih tidak mau, bagaimana Datuk?”
“Ah, kau masih goblok juga! Pakai cara yang dulu, takut-takuti keluarganya, atau kalau perlu hajar mereka!”
“Bukan apa-apa Datuk, anak-anak muda yang kita latih itu kan tidak sama dengan anak buah Datuk dulu yang galak-galak. Jadi, aku sanksi apakah mereka dapat bertindak untuk menghajar orang-orang yang coba membangkang.”
141
Benteng Terakhir
“Bukankah kita latih dan kita gaji mereka itu untuk dapat melakukan apa saja! Kau harus ingat Sadeli, aku telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Kubiayai anak-anak muda itu untuk berlatih agar tanah itu bisa kita kuasai kembali. Kau lihat bukan, tanah itu sekarang sudah ditumbuhi pohon-pohon berharga? Lihat, ada pula ladanya, cengkehnya, kayu merbau, meranti, dan lain-lain.
Beberapa tahun lagi pohon-pohon itu akan besar. Pohon-pohon itu sama berharganya dengan pohon-pohon yang dulu sudah kita tebang. Maka, dengan segala cara kita harus merebut dan menguasai kembali tanah itu. Apalagi tanah itu memang masih masuk wilayah kita. Tak ada hak orang Merabu di sana.”
“Ya, ya, Datuk,” Sadeli mengangguk-angguk.
“Sudah, sekarang aturlah sendiri semuanya. Berilah semangat anak- anak muda itu. Katakan bahwa mereka berjuang untuk membela hak mereka, membela tanah milik saudara mereka orang Sematang yang diambil oleh orang Merabu! Tapi, satu hal, jangan sampai mereka tahu kalau aku yang memerintahkan. Sebab, aku menjaga agar rencana ini tidak sampai bocor ke telinga gadis kesayanganku itu,” Datuk tertawa-tawa kecil di ujung kalimatnya.
“Satu hal lagi Datuk, bagaimana kalau gadis kesayangan Datuk itu, tanpa kita duga-duga, tahu tentang rencana penyerbuan kita? Aku khawatir dia masih memihak Merabu. Kalau sudah begitu, kita tidak punya hak untuk mengusir orang Merabu dari lahan itu. Gadis itu kan tinggal di sini, ia pasti tahu berita penyerbuan itu dari orang-orang di sekitarnya.”
“Ah, itu soal gampang. Kau tenang sajalah. Aku rasa dia tidak akan tahu. Gadis itu akan aku buat sibuk. Dia akan menyanyi di desa-desa yang jauh. Lagipula, aku sudah menyewa rumah di tempat yang jauh dari sini, di dekat kota. Rumah itu untuk tempat latihan. Jadi, gadis itu akan tinggal di sana.”
Sadeli mengangguk-angguk.
“Nah, sudah. Sekarang lakukan tugasmu! Tapi ingat, usahakan serapi mungkin. Buatlah orang-orang Merabu itu tidak betah! Habisi
142
Benteng Terakhir
mereka bila ada yang masih nekad di lahan itu. Dengan begitu mereka akan kapok dan meninggalkan lahan itu.”
“Baik, baik, Datuk.”
“Mulailah bekerja! Ini uang untuk biaya operasi kerjamu!” Datuk memberikan beberapa tumpukan uang. “Ingat Sadeli, kau sekarang akan melakukan pekerjaan seperti ketika kau bersama anak buahku dulu. Bedanya, dulu kau gampang menemui aku, di rumah atau di balai desa, tapi sekarang kau akan banyak bekerja sendiri. Kau akan jarang bertemu aku. Sebab aku punya kerja baru, membuat sibuk dan mendampingi gadisku di tempat jauh. Sesekali aku pulang ke sini, menengok anak istriku dan pergi ke kantor balai desa. Urusan desa, sudah kusuruh carik yang urus.”
“Ya, ya, siap Datuk. Aku siap bekerja.” Sadeli tersenyum penuh kesanggupan melaksanakan tugasnya. Tak lama kemudia ia pun berlalu.
Tawa kecil segera tersungging di bibir Datuk. Ia membayangkan rencana-rencananya berjalan lancar.
Menjelang petang, Datuk memberi perintah istrinya untuk mengurusi penjualan kayu-kayu di gudang belakang rumah bila ia sedang tak ada di rumah. Kemudian, ia pun pergi ke rumah sewaannya di pinggiran kota tempat untuk latihan orkes yang dipimpinnya. Di matanya kini dipenuhi bayangan tentang Salwa. Gadis yang sejak lama diidam-idamkannya dan kini ada di genggamannya. Betapa senang ia bisa setiap saat berada di dekatnya. Ia berkhayal tak lama lagi akan segera utuh memilikinya.
Sudah beberapa hari ini Salwa berada di sana. Saat hendak menemui gadis itu, betapa hidupnya serasa terkayuh penuh semangat. Betapa ia kini tiba-tiba seperti menjadi muda kembali. Dan betapa begitu mudah ia menggapai setiap keinginannya. Di sana nanti, tentu dia dapat leluasa untuk dekat dan menjamah yang diinginkannya. Oh, bayangan Salwa pun meronta-ronta bermain ke sana ke mari di matanya.
*
Bersambung....
143