Ideologi Presiden Jokowi Perlu Dipertanyakan, Dikritik dan Dikoreksi Agar Rakyat Memiliki Pilihan Untuk Menentukan Kebenaran


Ungkapan Presiden Jokowi tentang ideologi, yang ditayangkan lewat video di salah satu akun facebook watch, King Kobra, berjudul: Soal Idologi, Pak Jokowi Sentil Semua Pejabat Sampai Pucat, layak untuk kita kritisi.

Ucap beliau bahwa...................kebijakan BBM satu harga itu ada ideologinya yaitu, keadilan sosial.  Lalu, soal pembangunan infrastruktur juga ada ideologinya yaitu, persatuan Indonesia. Demikian ungkap sang Presiden, dan seterusnya..

Tampaknya beliau mengartikan hal itu sebagai terjemahan dari Pancasila. Entah dari mana itu ia dapatkan. Mungkin dari para pemikir orang-orang dekatnya, bisa jadi pula dari hasil dirinya berpikir keras atau dari diskusi dengan para pejabat BPIP sebagai anak buahnya di pemerintahan ini.

Dan  oke lah,  itu pertanda bapak presiden kita sudah lebih maju ketimbang tak ada pemikiran seperti ini pada masa periode pertama kekuasaannya. Ini sesuai dengan harapan rakyat yang kerap kita suarakan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki pandangan tentang keideologian, agar rakyat dan bangsa ini menjadi jelas mau dibawa kemana.

Kita syukuri bahwa Bapak Presiden sudah mau memandang segala kebijakannya dengan kaca mata ideologi. Semoga segera diikuti oleh para pembantu-pembantunya. Terutama para pembantu yang sudah sangat bernafsu mencalon..

Apa yang dilakukan Pak Jokowi, hal-hal yang seperti ini, mestinya sedari awal dulu. Sebab dengan demikian kita rakyat jadi banyak masuk dalam ruang diskurs pemikiran baik sesama rakyat maupun melakukan diskurs pemikiran secara kejiwaan atau privat. 

Meski demikian, cara pandang presiden itu menurut penulis, maaf, terbilang cara pandang yang perlu mendapat support pemikiran lebih mendalam lagi. Ya, katakanlah kita seluruh anak bangsa dengan para pemimpinnya masih dalam belajar menghayati dan menterjemah ideologi kita sendiri. 

Kita tidak usah merasa kecil hati jika apa yang kita utarakan mendaapat kritikan yang artinya masih harus ditambah lagi dengan kemauan kita semua untuk belajar dan terus belajar. Sebab hakekatnya manusia adalah makhluk belajar.  

Sekali lagi maaf, bukan penulis ingin sok-sok an pintar.  Dalam masalah di atas, cara pandang dan cara pikir penulis berbeda dengan Bapak Presiden. Dan ketika penulis katakan berbeda, pun semata agar ada pilihan lain bagi rakyat dalam melihat kebenaran. Dengan begitu rakyat tercerahkan, merasa ada pembeda dan terbela atas ketidak tahuannya. 

Ya, cara pandang penulis tidak melihat ideologi dari sudut sesempit itu. 

Sudut pandang Bapak Presiden, kita maklumi karena pancasila merupakan sila demi sila atau poin perpoin. Akibatnya Presiden terjebak dalam suatu cara gampang menafsirkan karena hal yang ditafsirkan memang tampak terpampang di depan mata.

Padahal dalam hemat penulis, untuk tafsir pancasila dengan sila-sila terpisah seperti itu sebenarnya tidak semudah yang diucapkan sang Presiden. Di mana kita harus melalui kotak-kotak telaah terlebih dahulu, yang bak pusaran labirin, tak bisa membuat diri kita cepat keluar untuk mengambil keputusan sebagai suatu kesimpulan ideologi.

Bermacam-macam definisi ideologi meski hakekatnya memiliki sisi-sisi kesamaan. Ideologi adalah suatu gagasan, kesatuan pandang dan keyakinan sebagai cerminan cara berpikir seseorang atau masyarakat yang sekaligus membangun, membentuk, atau membimbing orang atau masyarakat itu menuju cita-cita yang diharapnya. 

Untuk pemikiran sang presiden, ok lah itu bisa dikatakan sebagai cara berpikir sang Presiden yang ketika telah di sosialisasikan kepada rakyatnya, kemudian menjadi landasan pikir dalam mencapai cita-citanya.

Namun untuk masuk dalam katagori ideologi, perlu kita telaah. Yang presiden ungkap tentang pembangunan infrastruktur itu ada ideologinya (implementasi dari sila persatuan Indonesia), bagi penulis  itu lebih kepada suatu makna dari suatu tindakan atau makna dari suatu pekerjaan saja. 

Ya, makna di balik suatu tindakan atau bahkan bisa sama dengan makna-makna yang terdapat di balik suatu benda atau suatu kata-kata. Misalnya, ada pembangunan sebuah jembatan yang dilakukan dan dibutuhkan oleh sekelompok pengusaha demi kelancaran usahanya dan maksud-maksud bisnis lainnya. 

Maka secara prinsip, pembangunan jembatan itu, dalam pandangan penulis, belum tentu memenuhi kriteria ideologi Pancasila. 

Untuk terkata sebagai  ideologi pancasila, dalam hemat penulis harus memenuhi syarat dan prinsif tertentu. Apa itu? Mari kita lanjutkan membaca literasi ini.

Pembangunan infrastruktur yang dimaksud oleh presiden, menurut penulis, tindakan itu malah bisa jadi memiliki berbagai makna, baik makna yang berkesesuaian dengan persatuan maupun makna yang tidak berkesesuaian dengan persatuan. 

Sebab, bila pembangunan infrastruktur itu meggunakan modal para kapitalis dimana rakyat harus membayar mahal saat menggunakannya, kemudian rakyat miskin sulit untuk bisa menggunakannya, dan akhirnya menimbulkan efek kecemburuan, apakah itu masih bisa berarti persatuan? 

Inilah yang penulis sebut harus masuk lebih jauh dalam kotak-kotak sebagai pusaran labirin. Kita harus melalui tahap-tahap telaah untuk yakin bahwa pembangunan infrastruktur itu apakah memenuhi katagori ideologi. 

Makna ideologi secara keseluruhan terhadap infrastruktur tersebut, harus ditelaah baik cara membangunnya, sumber dananya, kepentingannya, kepemilikkannya, pengelolaannya dan lain-lain, sampai terakhir barulah kita bisa menentukan kebenaran keideologiannya.

Dalam kasus infrastruktur Bapak Presiden, dengan mudah Presiden mendefinisikannya menjadi seakan bermakna ideologi sebagai sila persatuan Indonesia. 

Karena salah satu makna yang terlekat dari keberadaan insfrastruktur, yaitu menghubungkan atau searti dengan mempersatukan, yang dengan mudah bisa kita simpulakn hal itu semakna dengan pancasila khususnya sila ke tiga, persatuan Indonesia.

Namun benarkah ia memenuhi katagori sebagai ejawantah ideologi Pancasila khususnya sila Persatuan Indonesia?

Sangat berbeda jika soal infrastruktur kita tarik ke dalam pendekatan dan definisi ideologi liberalis kapitalis. Kapitalis liberalis menghendaki kebebasan, dana pembangunan  dari para kapitalis, individualis, penghisapan dengan prinsip mencari untung sebesar-besarnya,dlsb. 

Dan pada kenyataannya infrastruktur itu dikeloloa oleh swasta dengan kata lain hak kepemilikan kelola oleh swasta alias para pemodal dengan segala hak mengambil untung sebesar-besarnya dari cara apapun pengelolaannya. 

Lalu rakayat yang menggunakan pun harus membayar dengan mahal, artinya rakyat terhisap. 

Nah, dari sudut ini, masihkah infrastruktur tersebut dapat dikatakan memenuhi katagori sebagai ejawantah ideologi Pancasila?  Kita rasa tidak. Jelas terlihat bahwa pembangunan infrastruktur itu hakekatnya memenuhi unsur kepentingan kapitalis dan dengan demikian bermakna ideologi kapitalis. 

Sehingga dalam kasus ini dapat kita katakan bahwa ideologi yang di sebut oleh Jokowi sebagai implementasi dari sila persatuan Indonesia itu sudah di tunggangi oleh kepentingan ideologi kapitalis. 

Dan pembangunan itu bukan untuk dan oleh karena ideologi Pancasila melainkan oleh dan untuk kepentingan ideologi kapitalis.

Sebenarnya, segala apapun yang berasal dari sisi kapitalis, tidak melulu itu menjadi bagian dari ideologi kapitalis. Jika saja, dari situ bisa ditarik satu saja kesimpulan mendasar yang memang sungguh memenuhi unsure kepentingan yang terlekat dengan kata persatuan dan yang terpenting terpenuhinya kepentingan rakyat sebagai yang memiliki ideologi serta yang seharusnya dibela oleh sang ideologi. 

Di sinilah letak terjadinya pertarungan ideologi. Jika sang pemimpin atau pengendali tertinggi lebih kuat pembelaan kepada rakyatnya, maka ia baru dapat dibilang sebagai penegak dan pembela ideologi bangsanya sendiri dengan indikasi rakyat diuntungkan dan terbela atas segala kebijkannya.

Terhadap kasus di atas, apakah infrastruktur itu tidak mengandung unsure penghisapan, apakah bisa diakses dengan mudah oleh rakyat banyak sehingga memenuhi rasa dan perasaan dimiliki oleh sebagaian besar rakyat yang dengan demikian membuat rakyat merasa ingin bersatu oleh karena dibahagiakan oleh infrastruktur itu. 

Jika ada kedapatan hal demikian, maka dapat dipastikan infrastruktur itu sudah memenuhi kriteria sebagai bermakna ideologi yang membangun rakyat dan menguatkan persatuan rakyat. 

Untuk menarik kesimpulan apakah infrastruktur itu dapat dikatakan sebagai ideologi Pancasila khususnya sila persatuan Indonesia, kita harus melibatkan kata kunci yaitu Rakyat. Karena pemilik dan yang dibangun oleh ideologi itu adalah rakyat. 

Ya, akhirnya kita kembalikan kepada sejauh mana rakyat mendapat manfaat dan  terbela sehingga rakyat sendiri mampu mendifinisikan bahwa infrastruktur itu menguatkan rasa persatuan terhadap sesama rakyat.

Jadi kesimpulan untuk ditarik garis sebagai yang bermakna ideologi persatuan bukan hanya secara tampak kasat mata, secara fisik ia memiliki makna fisik menyambungkan berbagai pulau atau berbagai daerah seperti yang mungkin dimaksud oleh sang Presiden, melainkan makna lebih  dalam. Dan silahkan simpulkanlah makna lebih dalam itu apa, dan seperti apa....

Mengambil defenisi dan melekat-lekatkan segala hal dengan dan seolah sebagai sudah mengejawantahkan pancasila dengan cara ini, cara poin perpoin sila seperti yang diungkap Presiden tersebut di atas, sesungguhnya bagus-bagus saja. 

Hal seperti ini sudah pernah penulis coba terapkan pada kehidupan penulis sendiri ketika dulu masih terbilang anak-anak yang sekolah dan aktip dengan Dasa Dharma Pramuka. 

Pada saat itu penulis mengartikan, salah satunya, jika kita menerapkan butir Dasa Dharma, patuh dan suka bermusyawarah berarti sejalan atau telah menerapkan sila ke empat dari Pancasila. 

Namanya masih terbilang anak-anak waktu itu, ya begitulah pikiraan sederhana seorang anak. Namun kemudian pikiran berkembang lagi, jika berteman dengan teman yang rumahnya di lain dusun dan jauh terpencil, berarti sudah menerapkan sila persatuan Indonesia dsbg, dsbg. 

Nah, sama tidak pikiran seperti ini dengan yang diucapkan Bapak Presiden itu? Dan sekali lagi, itu  semua bagus.

Namun dalam kekinian, hal-hal seperti itu tidak cukup lagi. Bangsa ini dengan ideologinya sudah menghadapi tantangan baru yang sangat besar di mana kepentingan ideologi luar sangat ingin menyusup, menunggangi serta mencengkram segala aspek kehidupan bangsa ini dengan segala cara baik cara terbuka maupun cara tersembunyi. 

Dan dengan literasi ini kita harus makin faham. Itu, para pejabat yang diceramahi Jokowi saat itu, saya tidak mau lebih lemah untuk berani mengatakan, sekarang coba hadapkan juga wajah Anda-anda ke sini. 

Baca baik-baik literasi ini. Para pemimpin harus juga menjadi lebih faham.  Harus bisa mengkalkulasi apakah kebijakannya sudah terkatagori sebagai ejawantah ideologi. Apakah ideologi kita disusupi, ditunggangi, dlsb, dlsb. 

Kalian semua, agar tidak sekedar jadi pemimpin hanya untuk membusungkan perut serta mengeruk keuntungan dengan ikut-ikutan melegalkaan pemerasan serta penghisapan terhadap rakyat. Agar tidak jadi pemimpin yang malah tidak sadar menerapkan ideologi lain dan menyengsarakan rakyat.

Kembali ke soal di atas, bagi penulis yang coba membawa kita semua agar faham lalu menganjurkan kepada semua yang merasa peduli akan keideologian untuk mencari jalan keluar. 

Bahwa menterjemahkan pancasila dengan cara poin perpoin seperti hal di atas, sesungguhnya pula mengecilkan arti ideologi, dan malah kadang membuat kerumitan yang mengundang perdebatan tersendiri di kalangan rakyat. 

Yang membuat kian rumit lagi jika dari berbagai sila ternyata ada makna yang saling kontradiktip. Salah-salah malah membuat anomaly atau anomi karena secara kejiwaan terjadi benturan. Indikasinya terlihat dari terjadinya perilaku sosial yang menyimpang. 

Menarik kesimpulan terjemah pancasila sebagai satu tarikan nafas, misalnya memerasnya menjadi satu sila, itu menurut penulis jauh mendekati ketepatan makna ketimbang pecah pandang menjadi berbagai makna atau berbagai sudut pandang. 

Dalam kasus di mana rezim ingin menyimpulkan atau memeras pancasila menjadi gotong royong,  menurut penulis itu relatip lebih baik. Di sinilah yang penulis maksud bahwa cara pandang penulis tidak sesempit cara pandang Jokowi. 

Jika hendak kita samakan dengan teori grafitasi bumi atau entah apalah namnaya, di mana benda-benda ditarik ke pusat bumi. Ini sama artinya bahwa benda-benda besar berkecenderungan menarik benda-benda kecil di sekelilingnya. 

Sama artinya pula ketika dibuat suatu kesimpulan pemikiran yang besar maka kecenderungannya akan membuat pemikiran lain menyelaraskan atau mengikuti. 

Jadi ditetapkanlah satu pondasi pemikiran besar, misalnya  gotong royong. Dan kemudian, yakinlah dengan pendalaman nilai-nilai, pembudayaan dan pengajaran, maka nilai-nilai yang lain akan berkecenderungan menyelaraskan, menyesuaikan, mengadaptasi  atau mengikuti.

Walau dalam hemat penulis, jika hendak menjadikan gotong royong sebagai pondasi besar itu, diperlukan cangkul lebih tajam dan tenaga lebih ekstra demi didapat pemikiran yang lebih dalam tentang latar belakang, makna, maksud dll, dari gotong royong itu sendiri. 

Intinya, anggaplah misal sila-sila Pancasila itu rumit. Lalu menyederhanakan sesuatu yang rumit adalah lebih baik. Bukankah kebijaksanaan tertinggi salah satunya ketika kita mampu menyederhanakan sesuatu yang pantas disederhanakan demi kian sempurnanya ketercapaian suatu tujuan?

Namun sebelum kita memiliki kemampuan menyederhanakan, menterjemahkan dan mendifinisikan dengan benar pancasila kita tersebut, mungkin tak apalah kita mempedomani hal-hal yang kini ada dan terjadi dalam dunia ke ideologian kita. 

Tak apalah kita menterjemahkan pancasila dengan cara poin perpoin sila seperti yang sudah coba dilakukan oleh Presiden kita terhadap pengartian minyak satu harga serta pembangunan infrastrukturnya. 

Meski hal demikian harus lebih kita perdalam lagi. Dan mungkin cara pandang penulis seperti yang tertulis di sini bisa menjadi tambahan wawasan guna pendalaman serta pemahaman penerapan keideologian kita.  

Untuk kasus Pak Jokowi dengan terjemahan pancasilanya, silahkan diteruskan duhai Pak Presidenku. Jangan luntur semangat. Jangan lantas dengan kritikan ini lalu membuat Pak Presiden berhenti mendalami ideologi.  

Bagi rakyat, demi kebesaran bangsa ini kita semua harus rela dan berani untuk belajar dan saling menasehati. Semoga ini langkah awal Bapak Presiden memperlihatkan suatu potensi diri tentang ideologi.

Wallauhua’lambisawab.....

Salam Penuh Hormat. 

Dan Bravo Untuk Perubahan Indonesia Semesta Kita!!!!


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak