Benteng Terakhir
Tragedi Cinta Harmoni
Diilhami oleh Tragedi Kemanusiaan
Talangsari Lampung
Sebuah Novel
Pembangun & Pembebasan
Oleh
TOMY IRFANI
Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari pemegang
hak cipta, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, seperti cetak,
ISBN : 978-602-97264-0-4
Bab 3
Mempertahankan Tanah
Ada bayang kenangan yang melintas di mata Rumba tentang waktu-waktu yang telah ia lewati. Tentang sungai yang telah diperjuang-kannya agar tak diracuni.
Melintas juga Kak Saras, gadis kota yang cantik dan baik itu. Tidak. Ia tidak hendak mengenang segala pertolongan yang telah ia berikan pada gadis itu dulu. Tapi ada hal yang Rumba ingat, betapa gadis itu begitu mengkhawatirkannya sebelum ia kembali ke kota. Takut ia, orang yang pernah hendak mencelakainya akan berbelok mencelakai Rumba.
Di mata Rumba kekhawatiran itu lebih disebabkan oleh perasaan Saras sebagai seorang perempuan. Satu hal lagi yang Rumba ingat, betapa terpesona gadis itu ketika untuk yang
pertama dan terakhir datang lalu mengenal orang-orang Merabu dan keindahan dusunnya.
Masih terngiang ucapan terakhirnya saat ia harus pulang ke Jakarta secara mendadak, “Teruslah bercita-cita untuk sekolah tinggi. Kelak saat aku datang, aku akan membawamu.” Rumba tak tahu kedalaman makna kalimat itu. Namun, kata-kata itu selalu diingat Rumba
dan membuatnya semakin terkenang dengan keakraban itu. Pernah ia bertanya, mungkinkah seorang Saras kembali ke sini lagi?
65
Benteng Terakhir
Lalu bayangan yang muncul pula adalah tentang lahan-lahan yang dulu kering dan tandus yang tanpa kenal lelah telah ia tanami bersama Salwa. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa ada dua wanita yang menghiasi hidupnya. Dan semua yang telah ia lewati, serasa baru kemarin ia jalani. Ya, waktu serasa begitu cepat berlalu.
“Hei, Kak Rumba, melamun, ya?” tegur Salwa tiba-tiba.
“Hehehe…” Rumba mengurai tawa.
Saat itu mereka sedang beristirahat di gubug di tengah sawah. Mereka baru saja membersihkan rumput di sawah. Kakek dan bapak sudah pulang duluan karena hari akan hujan. Belum lama kakek dan bapak pulang, hujan akhirnya mengguyur.
Hijau padi muda ditiup angin seperti tengah menari. Hujan yang mengguyur seperti membentuk badai berkabut. Sejauh mata memandang hamparan daun padi dan rimbun dedaunan nan hijau bercampur dengan titik-titik hujan yang terlihat sebagai pendaran warna perak berkilauan. Warna khas sebuah dusun hijau yang ditimpa hujan.
Hujan saat itu entah hujan yang keberapa semenjak turun hujan pertama. Ketika Salwa sakit dan berada di pelukannya. Kenangan itu selalu diingat oleh Rumba. Dan semenjak itu, hujan telah turun berkalikali bahkan sudah tak terhitung lagi. Sebab musim juga telah silih
berganti dalam kelipatan bulan bahkan tahun. Seiring hujan yang mengguyur, seiring tunas-tunas dan bibit-bibit tanaman yang mereka tanam kian membesar, Rumba dan Salwa pun tumbuh besar pula.
Salwa kini tumbuh menjadi gadis belia yang waway atau jelita. Kulitnya yang dulu agak gelap karena banyak diterpa panas matahari, karena berada dalam naungan teduh dan rindangnya Dusun Merabu, kini menjadi kuning langsat, mulus, dan bersih. Bahkan Salwa kini terbilang
sebagai gadis tercantik di antara gadis-gadis lain di Dusun Merabu.
Tak terasa, kini ia telah duduk di bangku SMA. Dan sebagaimana jiwa seorang gadis yang merambah dewasa, ia tak bisa lepas dari keinginan dekat dengan laki-laki. Tentu saja laki-laki yang menjadikan hatinya damai
66
Benteng Terakhir
bila di dekatnya. Laki-laki itu adalah Rumba. Ya, kini ia semakin banyak berharap selalu dekat dan dilindungi oleh Rumba. Namun, sebagai seorang perempuan yang sadar dengan perasaannya sendiri, terkadang ia merasa malu bila dekat dengan laki-laki itu. Jiwa seorang gadis ketika
mulai sadar akan sebentuk arti kata suka. Atau mungkin itu yang disebut dengan perasaan cinta.
Sementara Rumba, kini telah berubah menjadi pemuda hallau atau tampan. Di atas bibirnya tumbuh kumis tipis yang menawan. Tubuhnya yang telah terbiasa dengan kerja keras semakin terlihat sebagai tubuh laki-laki perkasa.
Namun, satu yang tak berubah darinya, sikap dan rasa sayangnya pada Salwa dan adik-adiknya. Ya, kasih sayangnya pada Salwa masih seperti dulu.
Sebenarnya ia mengetahui perubahan pada diri Salwa yang kadang mengharap perhatian lebih. Demi mengenang segala yang telah dilaluinya bersama Salwa, terkadang ia pun ingin memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih itu.
Namun entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tak mampu. Mungkin ia berpikir belum saatnya. Tak tahulah....Sebenarnya sedari tadi di dangau itu mereka sedang menunggu
hujan reda. Mereka akan mengambil air enau.
Di balik itu, berdua-duaan di dangau dengan suasana hujan seperti itu, adalah kedekatan yang selalu diinginkan Salwa. Ia memang sering mencari-cari kesempatan untuk bisa selalu berduaan dengan Rumba. Sebab ia kerap menelan rasa kecewa ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak ia harapkan.
Hidup di antara banyak saudara sebenarnya amat menyenangkan, asalkan tumbuh pula sikap dan rasa saling pengertian. Bukan berarti di dalam kehidupan orang-orang Merabu tidak ada saling pengertian. Tidak. Salwa hanya tidak suka pada tingkah salah seorang bujang Merabu. Hasan.
Di mata Salwa, bujang Merabu satu itu menjadi sosok yang menyebalkan. Bagaimana tidak, dia sering mengganggu setiap kali Salwa mendapat kesempatan untuk berduaan dengan Rumba. Di sisi lain Salwa juga tahu Hasan diam-diam menginginkan dirinya. Maka itulah, Salwa merasa
67
Benteng Terakhir
amat terganggu dengan tingkah bujang satu itu. Celakanya, Rumba yang memang sayang pada saudara-saudaranya, tak pernah merasa terganggu oleh tingkah saudara sepupu jauhnya itu.
Hasan selalu menggunakan pantun-pantun pujangga Melayu setiap kali menggoda Salwa. Pantun-pantun yang entah disadurnya dari mana. Suatu hari Hasan kembali merayu Salwa dengan pantun-pantun cinta ala pujangga Melayunya. Salwa tak menghiraukannya.
Merasa tak dihiraukan, tampaknya Hasan telah nekad untuk melakukan segala cara demi mendapat hati Salwa. Ia pun membuka sebuah rahasia yang mengejutkan hati Salwa.
Bagaimana tidak, dengan amat terbuka laki-laki muda itu berkata, “Kami semua di Dusun Merabu ini saudara, Salwa. Tapi ada saatnya nanti anak-anak Merabu yang sudah dewasa harus
mengikuti tradisi. Kami harus bersedia dijodohkan dengan pasangan yang sudah ditetapkan.”
“Ditetapkan bagaimana maksud Kak Hasan?”
“Sejak leluhur kami dulu, anak-anak Dusun Merabu dijodohkan di antara anak-anak Dusun Merabu sendiri. Ditetapkan dengan cara menyilang di antara keturunan saudara jauh. Jauhnya saudara seketurunan dapat dilihat dari asal klen masing-masing. Contohnya, aku yang berasal
dari klen kakek dan nenekku, dijodohkan dengan anak dari keturunan anak Kakek Jiban yang berlainan klen denganku. Lalu si Fatimah dengan Sarip. Sebab Sarip adalah keturunan dari kakaknya kakekku. Sementara Fatimah berasal dari klen berbeda di mana ia satu klen dengan Jamal. Fatimah dan Sarip terbilang saudara jauh. Ya, begitulah seharusnya. Kami dikawinkan dengan saudara jauh. Asal jangan saudara dekat atau sedarah. Nah, semua anak-anak di sini sudah ada jodohnya, termasuk Kak Rumba.”
Terkejut Salwa mendengar ucapan Hasan tentang Kak Rumba. Ia mencoba tenang walau pikirannya kacau. “Nah, kalau semua sudah ada jodohnya, termasuk Kak Hasan, kenapa Kak Hasan mau denganku?” tanya Salwa mencoba menghindar.
“Di antara saudara-saudaraku di sini, hanya akulah yang tidak
mendapat jodoh itu, Salwa. Kau tahu, seharusnya aku dijodohkan
68
Benteng Terakhir
dengan keturunan anak dari anaknya Kakek Jiban. Sayang, anak dari
anaknya Kakek Jiban itu laki-laki, yaitu Adin. Makanya aku memilih
kamu, Salwa.”
Diam Salwa setelah mendengar keterangan Hasan. Pikirannya bergumul. Keterangan Hasan tentang jodoh yang sudah dimiliki Rumba tadi, benarkah? Pertanyaan itu berulang-ulang menggaung di kepalanya. Dan itu sangat menghantui pikirannya. Walau ia tak begitu peduli
dengan Hasan yang menginginkan dirinya. Sebab, itu bisa ia hindari bila ia tak menginginkannya.
Tapi tentang Kak Rumba, siapa gadis yang akan menjadi jodohnya? Resah, galau, mengiringi setiap kali muncul pertanyaan itu. Tak rela ia jika Rumba dimiliki gadis lain. Sayangnya, untuk menanyakannya langsung kepada Rumba, ia pun takut. Akhirnya semua ia pendam sendiri. Walau segala yang bergumul di pikirannya hampir membuat ia gila bila memikirkannya.
Pernah suatu hari Rumba mengajak Salwa dan saudara-saudaranya pergi tamasya ke taman purbakala. Saat itu, Salwa segera mencipratkan air sumur situs megalith dan sedikit meminumnya, ketika terdengar cerita dari pemandu wisata bahwa air sumur pemandian para bidadari keraton itu konon dapat membuat orang bisa menggapai keinginannya. Terutama keinginan tentang cinta.
Salwa pun mendoa agar Kak Rumba menjadi miliknya. Sayangnya, ramainya orang dan banyaknya saudara di sana, membuat Salwa tak dapat berbuat banyak untuk memenuhi hasrat hatinya yang ingin selalu berada dekat dengan Rumba.
Namun suatu hari Rumba mengajak Salwa pergi ke lahan tanaman mereka yang sudah cukup lama tak mereka lihat. Betapa senang hati Salwa. Hari itu Salwa seperti mendapatkan haknya kembali. Hak dirinya atas seorang Rumba. Hari itu, hati Salwa seperti burung murai betina.
Berlompatan menari dan menyanyi di dahan saat sang jantan ada di sisinya. Lahan yang dulu gersang, tetapi kini sudah ditumbuhi semaksemak kecil dan tunas ilalang karena hujan telah mengguyurinya, menjadi latar bagi perlintasan hati yang bahagia itu. Ada nyanyian kecil di bibir Salwa selama dalam perjalanan.
69
Benteng Terakhir
Pak ketipak tipung
Suara gendang bertalu-talu
Pura-pura bingung
Hati senang siapa yang tahu
Rindulah mana, tidak berharap
cinta diangan, aduhai sayang
Hidup di mana, cita pun didekap
Amanat badan tujulah juang
.....................................
Tertawa-tawa Rumba saat menyaksikan Salwa yang ceria bernyanyi sambil sesekali menari mengitarinya. Seperti burung murai, murai betina yang manja. Tak ada yang ganjil di mata Rumba. Hanya saja, ia semakin sadar bahwa Salwa kini telah tumbuh semakin dewasa.
Rumba membenarkan dendang pantun yang Salwa nyanyikan.“Kau benar, Salwa. Angan, rindu, cinta dan cita-cita perlu diperjuangkan. Dan hakikat perjuangan adalah menjalani penderitaan. Aku senang hari ini kau terlihat begitu bahagia. Karena berarti kau telah berhasil melalui satu babak perjuangan hari-hari deritamu. Tapi mungkin esok derita akan kembali menjemput kita. Sebagai ujian. Karena Tuhan selalu menguji kita. Hanya kesabaranlah yang membuat kita mampu melalui derita. Semoga kau mampu bersabar dalam derita berikutnya. Karena perjuangan hidup belumlah tuntas sebelum kau menemukan apa yang sebenarnya kau inginkan dalam hidupmu.”
“Kenapa Kak Rumba berkata begitu? Kenapa Kak Rumba bersikap pesimis dalam menjalani hidup ini? Aku hanya ingin berbahagia karena hari ini bisa berdua dengan Kak Rumba.”
“Tidak, aku tidak pesimis....tapi aku bermaksud mengingatkanmu agar berhati-hati. Dan berhati-hati dalam hidup itu kata Kakek adalah dengan bersabar dalam sebuah ujian dan derita. Aku ingin kau mampu bersabar seperti yang telah kau jalani selama ini....”
Salwa tersenyum mendengar ucapan terakhir Rumba. Entah apa maksudnya. Namun, ia seperti tak peduli dengan kalimat Rumba itu.
70
Benteng Terakhir
Sebab memang ia memiliki khayal dan mimpi sendiri, tentang dunianya, tentang orang yang hendak dikasihinya. Kemudian ia berputar-putar lagi mengitari Rumba. Di bibirnya kembali terdengar syair yang ia lantunkan dengan suara merdunya. Namun, kali ini bukan dengan nada ala melayu.
.............................
Tiada pernah mekar kuntum setangkai
Tanpa kumbang atau angin yang membelai.
Dan betapa ingin bunga jadi permata
Yang diharap kumbang dengan berbilang kata indah.
Maka belailah aku sebagai bunga dan permatamu.
Hiasan di kala lara.
Buah rindu yang menepis rasa gundah.
Aku ini bukan siapa-siapa
Kecuali dara yang mengharap
Aku tak ingin jadi siapa-siapa.
Kecuali ingin memberi bahagia.”
Dengan tawa kecil indah, Salwa mengakhiri nyanyiannya. Namun
kemudian, “Kak, aku ingin menggendong Kakak,” ujar Salwa tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Tidak kenapa kenapa, aku hanya ingin membahagiakan Kak
Rumba.”
Rumba kontan tertawa.
“Aku tidak mempunyai cara untuk membahagiakan Kak Rumba.”
Kali ini terpana Rumba dibuatnya. Ah, Salwa....aku tidak menuntut
apa-apa darimu.... hati kecil Rumba berkata. Melihat kau bahagia saja, aku sudah merasa senang....
“Kak,” panggil Salwa membuyarkan lamunan Rumba.
“Ayo, naiklah ke punggungku,” Salwa membungkuk. “Akan kutun-
juk kan aku mampu menggendong Kak Rumba sampai pondok kita di sana....” Salwa menunjuk pondok yang sudah tampak di depan mereka.
71
Benteng Terakhir
“Ah, tidak Salwa, tidak....” Rumba malah berlari menuju pondok. Salwa mengejarnya.
Namun, tiba-tiba mereka kaget. Sesampainya di pondok, pintu pondok ternyata tidak terkunci. Padahal saat terakhir mereka pulang dari sini tempo hari, pintu itu mereka kunci. Pintu itu berderit-derit ditiup angin. Salwa naik ke atas panggung dan menengok ke dalam. Tapi belum
sempat mereka memeriksai keadaan dalam pondok, mendadak dari arah kejauhan terdengar suara orang terbahak-bahak. Rumba segera mengajak Salwa keluar dan sembunyi di luar pondok.
Di pondok itu telah datang enam orang laki-laki.
“Hahaha....kita telah mendapat pekerjaan baru, Rodi. Mengawasi
tanah dengan tanam-tanaman berharga ini.”
“Hahaha....iya, Lud. Bos pasti senang jika tanahnya ini kita jaga dengan baik, hahaha....”
“Hahaha.....” sahut tawa yang lain.
Sementara itu Rumba dan Salwa masih mengintai mereka. Namun, karena Salwa ketakutan, mereka segera mencari jalan ke luar dari situ. Mereka menuju sungai. Sialnya, belum sampai mereka ke sungai, orangorang
jahat itu sempat melihat mereka. Orang-orang jahat itu pun mengejar sambil mengacung-acungkan senjata. Andai mereka mampu menjangkau Rumba dan Salwa, senjata itu tentu akan mereka tebaskan di tubuh kedua anak itu. Untungnya jarak mereka cukup jauh. Kemudian
melalui sungai mereka pulang ke Merabu.
Dengan terengah-engah Rumba dan Salwa menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami. Tentang orang-orang yang hendak mengambil hak atas lahan Salwa. Orang-orang Dusun Merabu, tua muda, perempuan, laki-laki, segera berkumpul. Mereka yang sudah lama waspada karena firasat datangnya bala’ dari Kakek Jiban, kini bersiap-siap. Darah kepejuangan mereka, sebagai keturunan pejuang yang gagah berani memerangi penjajah, saat ini terusik. Berita dari Rumba dan Salwa
72
Benteng Terakhir
itu membuat mereka terpanggil untuk membela hak mereka. Hak atas tanah dan hidupnya tanam-tanaman, yang sangat dijunjung tinggi untuk dibela oleh orang-orang Merabu. Dan kali ini dengan penuh semangat akan mereka bela pula.
Segala senjata mulai tombak, pedang, panah, dan berbagai macam alat perang seperti tameng, serta baju perang segera dikeluarkan. Itulah peralatan perang warisan leluhur mereka dulu. Tak menunggu lebih lama mereka pun berangkat menyerbu orang-orang jahat itu.
“Hei, orang jahat!” suara Salwa lantang setelah tiba di dekat pondoknya. Salwa memang sudah diajari agar berani mengusir mereka.
“Aku yang punya tanah ini, aku minta kalian pergi dan tinggalkan pondokku ini!” lanjut suara Salwa masih dengan lantangnya.
Selanjutnya hampir berbusa mulut Salwa mengusir orang-orang jahat itu agar segera
pergi dari pondok dan tanahnya. Orang-orang Merabu pun sudah pula
meminta mereka secara baik-baik agar pergi dari tanah itu. Tapi orang-orang jahat itu tampak tak peduli. Malah mereka terbahak-bahak dan mengucapkan kata-kata melecehkan Salwa.
Tak tahan karena perlakuan dan ucapan orang-orang jahat di sana, Salwa memungut sebuah batu lalu melemparkannya. Lemparan itu diikuti dengan serbuan orang-orang Merabu. Tapi orang-orang jahat itu memang bukan orang-orang sembarang. Mereka berani manantang karena mereka punya ilmu kepandaian. Mereka menggunakan senjata berupa pisau-pisau kecil yang dengan lihai bisa mereka lemparkan.
Namun kepandaian perang orang-orang Merabu juga tidak bisa diremehkan. Setiap celah di pondok itu mereka hujani dengan anak panah. Hingga akhirnya, para penjahat itu mereka lumpuhkan. Satu orang penjahat berkumis dengan rambut gondrong tak beraturan berhasil mereka bawa keluar hidup-hidup dari pondok.
“Ampuun.... ampun.... biarkan aku hidup, biarkan aku pergi....” rintih penjahat itu berkali-kali. “Ampun, ampun, lepaskan aku. Aku sebenarnya tidak bisa apa-apa. Aku hanya ikut-ikutan saja.”
“Lepaskan.” Pada akhirnya Kakek Jiban memutuskan. “Biarkan
dia pergi. Tapi kau,” Kakek Jiban berkata ke arah orang itu, “segeralah
bertobat, ya!” ujar Kakek Jiban lagi pada penjahat itu.
73
Benteng Terakhir
Dengan merunduk-runduk dan terseok-seok, namun sesekali menoleh ke belakang, penjahat itu pun pergi. Di pikirannya mungkin takut di saat ia melangkah pergi, tiba-tiba akan dibidik panah dari belakang. Lagi ia menoleh sambil perlahan mempercerpat langkahnya. Sampai akhirnya ia benar-benar berlari. Namun, tak lama kemudian, ia tampak agak terhuyung-huyung karena tersandung sesuatu. Tiba-tiba rambut gondrongnya terlepas. Ternyata ia mengenakan rambut palsu.
“Kek, orang itu menipu kita, siapa dia sebenarnya?” seseorang
bertanya pada Kakek sambil mengarahkan panah ke sana. “Kita panah
saja dia.”
“Stop, jangan!” Kakek mencegah. “Biarkan saja dia pergi, semoga dia bertobat setelah kita beri kesempatan bertobat. Orang itu hanya suruhan.”
“Tapi, Kek, melihat gelagat orang itu tadi, apakah dia tidak berbahaya bagi kita di kemudian hari?” tanya Rumba.
“Maksudmu?” tanya Kakek Jiban balik.
“Ya, orang itu sudah kita biarkan hidup. Tapi teman-temannya yang lima orang itu sudah mati. Mati oleh panah kita. Bagaimana kalau orang itu nanti melapor pada aparat kepolisian, apa yang akan kita lakukan?”
Kakek Jiban diam. Tampaknya ia sedang berpikir dan membayangkan segala yang akan terjadi. Namun kemudian, “Biarlah segala kemungkinan berikutnya kita hadapi nanti. Semoga kebenaran masih mampu menjadi pemenang di negeri ini,” ungkap Kakek seperti bergumam. Walaupun
sebenarnya lebih sekadar untuk menenangkan anak cucunya. Sebab hati kecilnya yang lain diam-diam menduga, mungkin saja hal ini akan jadi masalah berikutnya bagi Merabu.
Dan tak lama kemudian, Rumba dan Salwa ditugasi Kakek Jiban untuk mencoba mencari dan menghubungi orang-orang yang menjadi pemilik tanah-tanah di sekitar tanah milik Salwa. Rumba dan Salwa akan mengajak mereka menanami tanah-tanah milik mereka. Namun kemudian, Rumba dan Salwa mendapati suatu keanehan. Pemilik tanah-tanah itu tak ingin lagi menanami tanah-tanah mereka.
74
Benteng Terakhir
Bahkan mereka seakan menyerahkan tanah itu kepada siapa pun yang akan menanaminya dan terserah mau ditanami apa. Anehnya pula, mereka seperti tak ingin dikatakan sebagai pemilik yang telah memberi izin tanah itu ditanami. Dari wajah mereka pun terlihat sebentuk warna takut. Ini sesungguhnya jadi pertanyaan besar, kenapa dan ada apa? Tapi dengan niat baik orang-orang Merabu tetap terus menanami lahan itu.
***
Bersambung....