Telah banyak kritik dari berbagai kalangan tentang nama Nusantara yang dipilih oleh jokowi menjadi nama ibu kota negara yang baru. Ada yang menganggap itu menyempitkan makna. Makna Nusantara sebagai suatu wilayah yang luas, menjadi hanya berujung pada suatu arti sebuah Ibu Kota negara.
Ahli sejarah, mengatakan nama nusantara sebagai cermin jawa sentries. Sementara dari kalangan ilmiah kampus ada yang mengatakan itu akan menghilangkan aspek hestoris dan konstruksi sosial budaya dari masyarakat sebelumnya.
Sementara dari para pejabat dan kaki tangan rezim, penulis belum menemukan alasan keilmuwan melainkan pendekatan kekuasaan, praksis, pragmatis, politis dan mercusuaris.
Lucunya, biila membaca obrolan buzzer istana, wah ungkapannya penuh caci maki. Sangat jauh dari obrolan bermutu yang mengangkat isyu ini menjadi sebuah diskursus dengan obrolan dan ungkapan yang penuh mutu.
Tidak jauh-jauh, dari ungkapan para buzzer istana dan berbagai alasan serta perilaku para pejabat yang terkait, secara fsikologi politik dapat kita tandai bahwa rezim ini minim kajian alasan dan landasan, kecuali punya maksud politk terselubung dan cara yang identik tipu-tipu.
Bagaimana rakyat tidak menduga adanya tipu-tipu, bila, satu hal, dari sabang sampai merauke tak ada satu pun rakyat yang dipIntai pendapat. Hal kedua, khabarnya pembahasan di DPR sangat singkat 42 hari dengan sidang penetapan yang menolak interupsi.
Apa sebab penulis mengatakan bahwa rezim minim yang berpikir keilmuwan. Selain hal di atas, bahwa aspek kesejarahan kata-kata nusantara saja tidak sama sekali mereka pikirkan. Bukti dari ini akhirnya muncul pendapat para ahli sejarah yang membawa kontroversialnya nama Nusantara.
Nama Nusantara seakan mereka paksakan. Indikasinya, berbagaoi ahli sudah mengkritisi namun mereka mbudeg. Sebab di pikiran mereka penuh diliputi tentang tujuan politik, kemonumentalan dan tentulah di mata orang-orang seperti ini yang lebih terpikir pula adalah proyek mercusuar.
Sang pemimpin ketika mengambil nama Nusantara pun lebih kepada pertimbangan nama itu paling popular di masyarakat.
Coba, hayook kita buka-bukaan, ketika nama-nama calon ibu kota baru diajukan ke presiden, adakan disertai penjelasan yang rinci keilmuwan baik dari sisi sejarah hingga politik.
Jika ada disertai penjelasan rinci keilmuwan, hebat. Namun tentu saja hebat dalam artian lengkap secara formal. Sementara secara kuwalitas, penjelasan itu tercermin dari ungkapan para petinggi negeri sendiri dan para buzzer istana yang, maaf, tak lavel untuk menanggapi dan ditanggapi oleh kalangan aktivis dan para tokoh kritis.
Saat penyodoran nama-nama calon ibu kota kepada presiden yang kurang lengkap secara kuwalias, itu cermin pula kuwalitas para pembantu presiden. Namun saat presiden akhirnya memutuskan Nusantara sebagai nama ibu kota, bisa pula kekurangmampuan presdiden sendiri dalam hal pengetahuan apa di balik nama Nusantara.
Dari mudahnya sang presiden memilih nama itu, akhirnya kita bisa menyimpulkan kemampuan dan kejauhan pikir serta kejauhan pandang presiden yang ahli bangunan itu, ia tidak memilki cukup kemampuan pandang yang dilandasi sejarah politik, apa lagi sampai harus memikirkan kemungkinan hal-hal yang jika ada bersifat sosiologis.
Karena hal-hal yang tersodor di mejanya, keyaakinannya pastilah sudah melalui kajian yang dalam. Ya itu mungkin pikirnya. Padahal nyataanya, nama Nusantara apa di mata sejarahwan?
Atas hal tersebut di atas bukan hendak kelewat mengecilkan isi kepala sang presiden, sebab banyk hal yang perlu dipikirkannya sehingga tak sempat berpikir atau menggali dan bertanya-tanya lebih lanjut tentang hal-hal di balik nama Nusantara yang diputuskannya.
Ia, tampaknya hanya berpikir bahwa nama Nusantara itu popular, monumental dan nama itu seolah mewakili pandangan yang dapat menggiring manusia Indonesia kepada hal-hal yang bersifat kebangsaan.
Pandangan diri penulis
Bagi penulis sendiri, kata-kata Nusantara sangat pas untuk menandai wilayah keseluruhan kepulauwan Indonesia yang bahkan dulu lebih luas dari yang sekarang diwadahi oleh sebutan Indonesia.
Dengan Nusantara, dibenak kita jadi tersimpan memori yang masuk ke dalam alam bawah sadar, bahwa kita ini besar. Dan sampai kapanpun tidak harus menjadi lebih kecil lagi. Sebab pengecilan dari besar yang pertama itu pernah terjadi. Dari nusantara menjadi Indonesia.
Jadi Nusantara perlu kita ingat sebagai kebesaran yang pertama dan bahkan bisa menjadi acuan politik atau pandangan atau garis damarkasi jalinan keluarga besar bangsa sebagai yang pernah ada dalam ruang Nusantara. Untuk itulah dalam sebuah buku berjudul BENTENG TERAKHIR, penulis tak ragu menyebut kata Nusantara.
Sisi lain penulis berpikir, dengan Indonesia memilki padanan kata Nusantara, penulis jadi ingat dengan China yang kini lebih senang di sebut Tiongkok. Entahlah, kita tidak tahu sejarah nama-nama itu di China sana. Mungkin nama Tiongkok jika dihubungkan dengan sikap China yang kini sangat agresip meluaskan pengakuan wilayah, adakah kesamaan dengan sejarah dan keberadaan nama Nusantara sebagai padanan nama Indonesia?
Tak tahulah kita. Yang pasti, dengan memilki padanan nama yang sejarahanya nama itu dulu ternyata lebih besar dan luas, jiwa kita jadi seakan ditarik kepada hayal mencapai kebesaran itu lagi. Atau jiwa kebesaran itu ada, untuk sekuat tenaga mempertahaankan sisa kebesaran itu jangan sampai sejengkalpun mengecil apalagi punah.
Nah, mengecilnya makna nusantara menjadi hanya sebuah ibu kota negara, artinya kita telah nengecilkan makna kebesaran dori kita sendiri.
Sisi lain dari itu, hal yang paling penulis khawatirkan, kebijakan kontrovwrsial rezim ini, kelak akan digugat anak cucu.
Sebab proyek ini bukan sekadar membangun sebuah bangunan melainkan membangun benteng politik kekuasaan rezim.
Jadi ganti rezim akan berganti pula kebijakan politik tentang ibu kota negara. Penghapusan jejak rezim terdahulu akan terjadi demi eksistensi rezim berikutnya.
Apalagi rezim ini dengan segala mulut besarnya selalu bicara membangun ideologi. Ideologi yang dapat dimaknai oleh rakyat sebagai bangunan yang menyengsarakan rakyat.
Bangunan yang mereka bangun identik dengan ideologi yang mereka miliki. Jadi layak dimusnahkan.
Akan kesanalah arah kebedaan dan benturan yang akan terjadi nanti jika rezim membangun tanpa memperhitungkan segala kesiapan ekonomi, mental, politik, sosial dan budaya pada jiwa anak bangsa ini. Ini paradoksial yang sangat mengerikan sekali bagi sebuh bangsa yang katanya ingin membagun persatuan.
Ia bisa runtuh oleh suatu kebodohan yang dipaksa menjadi seolah cemerlang dan gemilang.
Lihat sejarah titik akhir hancurnya kebesaran romawi yang berangkat dan berlandas pada sikap emosional politik yang akhirnya tercipta dua kutub. Lalu majapahit. Adakah di sana berawal dari kebedaan dua kutub?
Ini semua sudah lazim terjadi dalam politik. Dan kita akan selalu ada dalam ruang perbenturan. Sebelum sampai pada benturan terakhir yang dikhawatirkan berbagai kalangan, dan yang tidak kita harapkan "kebubaran".
Ini karena rezim telah menciptakan ruang perbenturan itu. Rezim tidak menyelesaikan problem bangsa. Rezim menambah dan bahkan menjadi problem itu sendiri bagi rakyat dan bangsa ini.
Ingat, dua kekuatan akhirnya tercipta, yaitu jakarta dengan kekuatan ekonominya. Dan kalimantan yang ditunggangi oleh kepentingan dan segala ambisi politik rezim yang bodoh serta tidak memakai perhitungan matangnya.
Dua kekuatan ini akan beradu. Dua kekuatan yang sudah memilki basis wilayah, kecenderungannya menuju pengerasan primordial yang mengarah kepada suatu titik retak dan pecah bangsa.
O ia, maaf kenapa di atas sampai penulis bilang bodoh? Sebab di partai berkuasa, banyak orang bodoh/preman jalanan yang naik jadi orang penting dan mengendalikan arah kekuasaan. Meski sudah jadi pejabat jadi tetap bodoh.
Meski banyak pula orang pintarnya. Namun yang pegang kendali banyak dari yang tidak kita harapkan itu...
Akibatnya, rezim tidak menyelesaikan persoalan bangsa.
Kepantasan seseorang memberi nama
Jika ibu kota baru dengan namanya yang controversial itu dipaksakan, ke sekian kali kita katakan kita khawatir, kelak itu akan digugat oleh generasi berikutnya. Karena bibit atau bahan gugatan itu sudah benderang tampak di mata.
Menurut penulis, presiden dengan segala latar belakang langkah politiknya yang tercermin dari tingkah laku kekiniannya, akan menjadi ingatan dan sorotan oleh generasi di masa depan.
Generasi mendatang akan melihat pantaskah seorang Jokowi memberi nama itu, sementara latar belakang langkah politik dan moralitasnya penuh dengan warna serta corak kecautmarutan bangsa saat dipimpinnya.
Di mana letak kecautmarutan itu? KKN serta pemberantasan korupsi yang kelam pada saat kekuasaannya. Hancurnya KPK, segenap undang-undang yang dihasilkan melaui tipu-tipu, bahkan pengesahan undang-undang ibu kota baru yang singkat dan tanpa banyak mendengar pendapat rakyat, lalu indikasi penindasan kaum buruh dengan Undang-undang Cilaka, ketiadaan kemauan yang kuat untuk penuntasan serta pemberantasan pelanggaran HAM dlsb.
Jika seorang jokowi penuh prestasi yang gemilang, maka generasi berikut akan dengan sangat senang menerima apapun yang dicetuskan atau dilegesikannya.
Keterburu-buruan pindah ibu kota dengan nama Nusantara beserta tetek bengeknya yang controversial, sudah dapat dicerna oleh rakyat bodoh sekalipun sebagai rencana politik ekonomi dan politik kekuasaan rezim.
Jika ada pula sementara kalangan yang beranggapan, takut “kata Nusantara” akan membawa kebubaran Indonesia itu bisa saja ada benarnya. Di mana kebenaran itu? bermula dari kontroversi. Lalu perdebatan yang tidak kunjung usai. Perdebatan yang mengundang kebedan-kebedaan lain mengemuka. Seibarat kotak Pandora yang terbuka, itulah jika sesuatu telah diawali dengan salah langkah.
Mestinnya bangsa ini jangan coba-coba memulai langkah sejarah kenegaraan yang salah. Sebab dampaknya terhadap masa depan generasi dan kebersatuannya sangat besar di suatu hari nanti.
Sudah terlalu banyak kebedaan pandangan di negeri ini, dari mulai kebedaan ideologi sampai pada kebedaan cara pandang dan pemberantasan korupsi.
Jangan ditambahi lagi dengan beban perbedaan yang makin memberatkan lagi.
Setiap rezim harusnya memecah masalah dan bukan menambah maslah bagi bangsa dan rakyat yang kini sudah makin payah.
Jalan keluarnya
Seorang presiden yang notabene sadar siapa dirinya sebagai seseorang yang HARUS MEMILKI JIWA KENEGARWANAN, penengah dalam segala hal di negeri ini, pantasnya berpikir dan menimbang bahwa dalam hal-hal tertentu yang bersifat penciptaan atau membentuk jiwa kebersatuan, hendaknya tidak mengambil sikap mencari manfaat politik lewat mencipta proyek-proyek mecusuar, mencari kesempatan monumental agar terkesan dirinya sebagai yang....
Padahal sejarah keindonesiaan akan terus berlanjut di mana secara politis sepak terjang dirinya akan diingat dan dijadikan tolak ukur oleh generasi nanti. Kecuali, seorang presiden telah membuat sesuatu yang luar biasa bagi republic yang keluarbiasaan itu pun datang dari pendapat rakyat, maka mungkin pantaslah ia membuat atau memberi nama sesuatu yang sifatnya akan menyejarah.
Jika kekuasaan menjadikan bangunan gedung dan jalan terkhusus membangun IKN sebagai cara politik mempertahankan kekuasaan, tampak sangat jelas kesan bahwa rezim penuh menyimpan kebodohan, rezim sebagai nol besar.
Ya, di zaman kekinian, mendompleng maksut politik di balik penciptaan proyek mercusuar semisal IKN dan misal pula mencipta arena moto GP yang dianggap mendunia, itu hanyalah perilaku dari pemimpin yang minim gagasan, sebagai pemimpin yang NOL BESAR.
Kenapa?
Sebab membangun gedung dan jalan itu sebagai suatu pekerjaan yang sangat mudah. Cukup pegang banyak uang atau dana. Nah, jika rezim mampu membangun ekonomi atau kesejahteraan serta pemerataan dengan segala sistemnya, lalu berhasil memabangun tanpa mengorbankan kehidupan rakyat, itu pantas kita acungi jempol dan angkat topi setingi-tingginya.
Sementara kini, lihat apakah secara ekonomi kesejahteraan dan pemerataan rakyat di negeri ini kian membaik?
Membangun atau pindah IKN secara kesusu alias terburu-buru dalam kondisi kita yang lagi tak bai-baik,, menandakan ada maksud di balik itu. Maksud yang tentunya tak baik untuk rakyat.
Dan jika kelak baik secara ekonomi, politik dan budaya bangsa ini sudah siap memindahkan ibu kota, maka yang terbaik, nama itu di tetapkan melalui suatu komite dengan menghilangkan kesan bahwa nama itu seolah dicetuskan oleh seseorang atau oleh suatu kelompok tertentetu.
Kecuali, sekali lagi jika orang atau kelompok tertentu itu sudah melakukan hal yang luar biasa bagi negeri, rakyat dan bangsa ini. Tanpa itu, seorang pemimpin bahkan sekelas presiden pantasnya hanya menetapkan atau mengesahkan.
Segala sesuatu yang berdetak di tanah negeri ini sedapat mungkin hendaknya kita jadikan alat untuk menguatkan persatuan bangsa. Segala sesuatu yang berjalan, jika ada bahan untuk kita jadikan sebagai momen penguat persatuan, haruslah kita manfaatkan.
Penamaan sebuah ibu kota negara, dalam pola pikir manusia(pemimpin) yang memang konsen pada ideologi persatuan, akan menjadi hal yang dapat dimanfaatkan untuk penguat persatuan. Maka ada baiknya nama ibu kota negara itu di buat oleh suatu komite yang mewakili setiap unsure dan wilayah negeri ini.
Atau entah dengan cara apapun yang mencerminkan hasil bersama seluruh komponen bangsa.
Di sisi lain, jika memang salah satu alasan rezim dalam kengototannya atas IKN adalah pemerataan dan pengangkatan ekonomi serta kesejahteraan , maka sesuai dengan filosofinya segala nama dan apapun yang ada di IKN itu hendaknya mengangkat kerifan local, tidak menggerus kearifan local.
Bangsa besar ini harus dijaga dan dipagari oleh kita yang ngerti yang cukup pengetahuan dengan memanfaatkan pengetahuan, bukan dipagari oleh manusia-manusia yang berperilaku semaunya tanpa pertimbangan melainkan hanya karena nafsyu kuasa dan memonumentalkan kuasa yang nihil tujuan serta kosong makna.
Salam