Prakata
Jika seorang sastrawan bicara soal kiamat, memang jadi tampak aneh kedengarannya.
Masa ia menganjurkan kepada para penceramah mengaitkan kiamat dengan kondisi dan kebutuhan zaman? Lah, kok bisa?
Bagaimana mungkin kepastian kiamat di sesuaikan dengan zaman? Bagaimana mungkin kiamat menyesuaikan dengan kondisi zaman?
Pun apa relasinya kiamat dengan ideologi? Apa pula hubungannya dengan penyelamatan bumi? Ada-ada saja....
Namun begitulah Tomy Irfani dalam tulisannya kali ini.
Semoga ada sisi-sisi yang mencerahkan.
Selamat membaca.
Kiamat dalam teropong para ilmuwan
Kiamat kerap ditelaah oleh para ilmuwan yang meneropong kiamat melalui kondisi dan perilaku planet, meteor, komet, bintang, galaksi dan semua benda langit di alam raya.
Karena memang mainstream yang ada di kepala semua orang tentang kiamat adalah hancurnya alam semesta. Itu tidak salah dalam artian tidak berbeda dengan teks secara literluk yang ada di kitab suci dan pengajaran para pemuka agama.
Meski menurut penulis, pengertian dari kitab suci memilki beribu makna dan tafsir sesuai daya nalar kita yang memberi makna.
Bicara tentang kiamat, sesungguhnya juga bicara soal pengetahuan (tegnologi) dan masa depan umat manusia.
Kitab suci, buah karya tuhan yang mengalir dalam imaginasi manusia yang luar biasa cerdas dalam ruang kenabian. Dalam kecerdasan itulah tuhan menggoreskan segala firman.
Tanpa kecerdasan, sungguh manusia biasa hanya akan mengalami ketakutan atau bahkan kegilaan, seperti manusia mabuk yang berkicau, mengoceh mengumbar yang lalu tampak aneh di jalanan.
Cerdas, membuat nabi mengerti kediriannya dan seluruh imaginasi yang ada di kepalanya.
Cerdas dalam maksud segala maksud tuhan, membuat yang keluar dari mulutnya segala maksud tuhan itu kadang dengan simbol-simbol, bahkan ia sangat faham akan hal yang sebaiknya ia ungkapkan atau membiarkan hal itu sampai kelak manusia faham dan terjelaskan sendiri oleh kecerdasan yang mengikuti zaman.
Jadi Alquran yang turun melalui imaginasi kenabian, telah memperhitungkan keberadaan pengetahuan (tegnologi) dan kebudayaan manusia yang ada pada saat itu dan masa depan.
Di mana pengetahuan dalam ketegnologian atau sebaliknya ketegnologian dalam pengetahuan yang belum tepat waktu akan menghasilkan cara serta keyakinan(kebudayaan) yang abnormal dari kehendak atau rencana luhur budi dan daya (kenabian).
Manfaat, hanya akan lebih jika pengetahuan (tegnologi) dan budaya berjalan beriringan di mana pengetahuan ada, tercipta dan terguna sesuai zamannya.
Tentang kiamat, jika ia hendak menerangkan secara detail tafsir, mungkin manusia sudah mendapatkan hal itu dari nabi. Namun kejiwaan di zaman itu, jika sesuatu yang belum waktunya terungkap lalu tiba-tiba diungkap tentulah akan menjadi bahan pergumulan dahsyat di jiwa manusia.
Apapun itu, dengan kondisi masyarakat yang secara pengetahuan dan budaya belum sampai, akan terjadi penolakan dan bahkan penerimaan berlebihan yang bisa melencengkan maksud kenabian.
(salah satu yang dimaksud dengan penerimaan berlebihan yang melencengkan maksud kenabian, jika diulas di sini akan terlalu berpanjang lebar. Insyaallah kapan waktu akan penulis ungkap dalam suatu tulisan khusus yang akan merangsang kita untuk berpikir dalam usaha membuka tabir tentang saling menyempurnakan antara kristiani dan Islam).
Di zaman itu, dan nabi dengan kecerdasannya, telah cukup mahfum atas kondisi pengetahuan (tegnologi) dan budaya di ruang zaman itu. Yang pasti, persesuaian antara pengetahuan (tegnologi) dan budaya turut menjiwai kelahiran ayat-ayat tuhan melalui kerosulan.
Sebab kehadiran pengetahuan (tegnologi) yang melampaui budaya hanya akan membuat segala tujuan bias dan kacau.
Dengan keilmuwan dan juga dari sudut pandang keagamaan, sesungguhnya terlalu banyak tafsir tentang firman Tuhan serta maksud kenabian yang di dalamnya mengandung rahasia yang dari sisi nabi sendiri mungkin tidak tahu karena itu rahasia ilahi dan hanya akan terjelaskan oleh cara tuhan dengan perjalanan waktu.
Atau sesungguhnya rasul tahu namun mengikuti cara tuhan dengan membiarkan waktu yang akan menjelaskan
Alasan kedua, bila saat itu, baik oleh tuhan atau oleh rosul diungkap maksud sesungguhnya, akan membuat manusia tak mampu memahaminya. Dan jika kelak (oleh manusia kini) terungkap, akan membuat manusia ternganga.
Dan tuhan dengan caranya memang menjaga serta dengan caranya membuat yakin manusia atas kebenaran firmannya.
Logika dan pengetahuan manusia ketika zaman dengan pengetahuannya belum se modern kini, saat itu tak akan sanggup menerima. Namun di tengah zaman dengan kecerdasan, budaya serta teknologi kini, segala hal yang terpendam samar-samar bahkan makin pasti menuju keterbukaannya, keterjelasannya.
Secerdas apa manusia kini bisa memahaminya, maka secerdas itu pula kitab suci dapat ditafsirkan. Menafsirkan kitab suci dengan akal di bawah standar, kitab suci tetap menyimpan kecerdasannya.
Sebaliknya kecerdasan yang di bawah setandar itu akan bergumul dalam dealektika hingga kemudian di titik tertentu tersadar akan segala maksud tuhan.
Dan pemikiran Nabi dengan kitab suci serta sunnahnya sesungguhnya tidak untuk kembali ke masa lalu, melainkan hanya mengenang masa lalu dengan segala cara hidup (budaya), perilaku baik dan buruk untuk diambil hikmah serta pelajaran.
Sesungguhnya, segala visi dan misinya tetaplah menuju hidup dan kehidupan umat manusia di masa depan.
Frase diatas, kiranya bisa kita gunakan untuk menyinggung sedikit saja tentang kaum fanatic radikal, semoga membuat kita lebih memilih nilai-nilai suci dan hikmah di balik kenabian lalu mengurangi keinginan kita untuk kembali kepada budaya atau cara hidup di zaman itu dan di tempat itu.
Fanatic, adalah pilihan hidup. Fanatic dalam keyakinan tidaklah apa bahkan dari sudut tertentu baik. Namun radikal, adalah pemaksaan yang melanggar hak serta kehidupan makhluk lain.
Mari melihat ajaran kenabian juga adalah nilai-nilai dan pembudayaan atau pembiasaan atas nilai-nilai itu. Bukan hanya semata cara yang dengan kefanaan dunia akan mengalami perubahan sesuai tempat, waktu, keadaan dan sosialisasi diri atas nilai-nilai.
Jangan berpikir hendak menjadikan tanah subur Indonesia menjadi padang arab lalu ditumbuhi pohon-pohon kurma. Itu mencipta kekeringan bagi budaya dan kebiasaan kehidupan kita yang terbiasa dengan rindang pohon mangga atau rambutannya.
Kenapa penulis mengungkp hal di atas untuk tulisan dengan tema kiamat ini? Karena ada hubungannya antara perilaku, kekeringan dan kiamat yang akan terjelaskan berikutnya
Janganlah pula berpikir zaman kenabian dulu itu lebih enak untuk ukuran manusia masa kini. Kembali kepada kehidupan dan budaya masa lampau itu tidak mudah dan itu kedongokan yang nyata.
Nabi sendiri dengan segenap cintanya kepada umat, sangat memikirkan nasib dan masa depan umatnya saat ia menghadapi sakaratul maut sebagai cermin bahwa masa itu sesungguhnya sulit dengan segala centang perenang politik dan ragam kebedaan walau pada saat itu belum begitu banyak kebedaan di banding dengan kondisi sekarang.
Di saat ini, sesungguhnya manusia sudah berlipat-lipat permasalahan kehidupannya ketimbang masa dulu.
Namun segala centang perenang itu coba manusia eliminir dengan system dan bentuk-bentuk demokrasi kekinian yang lebih relefan sehingga manusia diharapkan, dimaksudkan dan diarahkan untuk bisa lebih banyak berbuat bagi kelangsungan kehidupannya terutama berkaitan dengan amaliah sesama makhluk temasuk kepada alam raya.
Bila kita kupas sedikit soal kata diharapkan, dimaksudkan dan diarahkan di atas, siapa yang dimaksud mengharapkan, memaksudkan dan yang mengarahkan? Tuhan memilki tujuan atau maksud dalam penciptaan alam raya beserta makhluk-makhluknya termasuk maksud diciptakannya manusia.
Untuk mengarungi hidupnya, manusia diberikan alat-alat. Termasuk agama adalah alat. Di balik kehendak secara individu manusia, ada fakta sosial sebagai kehendak bersama dengan segala kemanusiaannya. Tuhan memang kerap hadir dalam ruang dan waktu yang tidak mudah di tafsir
Tapi tuhan ada di situ. Atau sebaliknya, manusia ada bersama tuhan. Dan jika kita percaya akan maksud baik tuhan, sesungguhnya dengan kehendak bersama manusia ada maksud tuhan. di situlah tuhan meng arahkan.
Tuhan selalu memberi alat untuk manusia atas segala tujuannya. Dan segala apa yang ada di sekitar manusia sesungguhnya adalah alat bagi manusia.
Agama adalah alat agar manusia selamat dalam mengarungi hidupnya. Bagi keberlangsungan kehidupan manusia, dalam kehendak bersama manusia di mana ada maksud tuhan, maka demokrasi adalah juga alat atas segala maksud Tuhan terhadap manusia dengan segala masa depannya.
Islam, dalam pikiran penulis, tak pantas mengingkari keberadaan demokrasi. Apapun bentuk demokrasi itu bila membuat nyaman bagi manusia tak selayaknya islam menolak.
Islam harus melihat dunia sebagai masa depan, bukan kembali kepada masa lalu yang berarti kita menjauh dari problem manusiaa kekinian.
Kembali kepada soal kiamat, terlepas dari mainstream yang kini difahami, menarik ketika kiamat memasuki teropong telaah para ilmuwan. Terbukti, bahwa kiamat yang dikaitkan dengan usia bumi, matahari dan alam raya ini, itu nyata.
Pasti, akan datang waktunya. Walau bukti ini pun hanya sekelumit dari banyaknya rahasia dari tabir tentang kiamat dan tentang maksud tuhan yang sesungguhnya.
Salah satu rahasia dari tabir maksud Tuhan adalah juga tentang masa depan manusia. Akan kemana, akan jadi seperti apa?
Namun yang juga tak kalah menarik, ketika manusia yang dalam pikirannya bercampur antara keyakinan agama dan keilmuwan, muncul maksud ingin selamat dari kiamat dengan membuat bahtera besar dan kukuh. Mampukah ini menyelamatkan umat manuisa?
Kiamat dalam pandangan para agamawan
Sebagaimana khabar kitab suci khususnya umat islam bahwa kiamat terbagai menjadi dua katagori yaitu kiamat kecil (sugro) dan kiamat besar (kubro). Kita yakini itu sebagai hal yang akan terjadi pada penghujung perjalanan makhluk dan alam raya.
Pengertian kiamat kecil telah kita fahami semua sebagai kematian manusia. Sementara kiamat besar adalah hancurnya alam semesta. Setidaknya inilah pengertian yang ada sebagai mainstream yang kini difahami secara luas oleh umat manusia.
Kiamat, atau hari akhir juga sudah menjadi sesuatu yang tidak asing disampaikan oleh para penceramah agama. Agama apapun. Bermacam-macam cara dan bahasa dalam menyampaikannya.
Berbagai literasi banyak pula mengungkap hal itu baik yang bernuansa atau bertujuan dakwah agama, maupun keilmuan belaka. Walau akhir-akhir ini di kaca mata penulis mulai muncul kiamat disampaikan dengan maksud politis.
Dari tujuan ke agamaan, niat dan tujuan ceramah keagamaan tentu baik agar manusia segera sadar akan hari akhir dan tentu dengan itu segera meluruskan jalan hidupny
Namun ketika kita membaca kondisi zaman serta apa yang menjadi kebutuhan suatu zaman, dalam pikir penulis alangkah lebih bagus jika materi ceramah yang disampaikan oleh para penceramah itu terkait dengan kondisi zaman. Sehingga apa yang disampaikan semakin nyambung dengan kontek kebutuhan zaman.
Bukankah akan menjadi lebih bermakna bila segala dalil literluk tentang apapun lalu disampaikan dengan cara yang lebih mendatangkan manfaat penuh hikmah ketimbang minim faedah?
Apa yang penulis maksud adalah terkait tentang kiamat. Ya, andai para penyampai ceramah mengaitkan kiamat dengan kondisi dan kebutuhan zaman, alangkah lebih bagus jadinya. Kok bisa
Bagaimana mungkin kepastian kiamat di sesuaikan dengan zaman? Bagaimana mungkin kiamat menyesuaikan dengan kondisi zaman? Mari ikuti terus literasi ini...
Para penceramah menandai kiamat sebagai bentuk akan segera datangnya hukuman tuhan dan hari itu adalah suatu batas dimana pertobatan sudah tak guna sebab sudah ada pada batas keterlambatannya.
Ini tidaklah salah dalam rangka menggiring manusia untuk segera runduk dalam altar pertobatan yang nyata. Karena kiamat itu memang pasti datangnya.
Walau kepastian itu, dalam sudut pandang penulis memilki makna yang mungkin beda dengan pandangan mainstrem yang selama ini ada.
Yang disampaikan para penceramah yang kerap penulis dengar, cenderung pula menjadikan kiamat sebagai bahasa ancaman yang pada sudut tertentu dapat kita maknai kurangnya bahasa yang dipakai untuk membuka tabir tentang kiamat agar kita menemukan hikmah dan makna-makna, maksud tuhan; apa yang ada di balik kiamat sesungguhnya.
Bagi penulis, mungkin sudah waktu dan zamananya agama melandasi moralitasnya mulai mengurangi bahasa ancaman.
Lebih jauh, maaf termasuk kelompok tertentu, cobalah mengurangi atau malah lebih bagus membuang bahasa yang bernada menakuti padahal di balik itu memilki motif politik dalam usaha merekrut pengikut.
Bagi penulis sesungguhnya ini mengandung unsur dusta. Ya, kebenaran yang mendustai. Karena kurangnya bahan yang mesti disajikan.
Kiamat yang dapat diartikan sebagai ancaman misalnya, atau sebagai hari perhitungan, hari pembalasan memang sangat mengerikan.
Dan memang demikianlah sebagaimana gambaran “ kebenaran” literluk kitab suci tentang kejadian yang akan dialami umat manusia setelah peristiwa akhir kehidupan ini.
Sebab, tanpa ada hari di mana manusia menemukan keadilan hakiki, kembali kepada segala kesalahan dan kebenaran yang sudah sang manusia jalani selama hidupnya, alangkah tidak adilnya dunia.
Padahal segala letak, segala posisi, segala yang tertera baik nyata tampak maupun yang tidak nyata tampak selalu ada dalam posisi awal yang adil. Jadi segala hal akan kembali kepada keadilan awal yang semestinya.
Namun hukum dan ketentuan itu, seiring perjalanan waktu yang telah ditempuh umat manusia, di mana kecenderungan manusia melupakan, membuang kesadaran awal oleh karena kefanaan atau ketidakabadian dunia, maka segala hukum cenderung pula terlupakan atau bahasa kasarnya dihiananti oleh diri manusia. Lantas apakah ini semua kesalahan manusia? Bagi penulis tidak. Tuhan mencipta manusia dengan keadaannya yang demikian sebagai kodrat di mana ada kecenderungannya melupakan dan lalai.
Dan lihatlah, apakah segala cerita tentang penghukuman hari akhir itu mampu banyak merubah moralitas manusia kini menjadi lebih baik? Semoga dalam akhir tulisan ini nanti kita menemukan jawaban banyak hal.
Kembali pada soal kiamat dan penceramah, kecenderungan bahan dan bahasa yang di sampaiakan pun kerap itu-itu saja. Bukan hendak mencela atau kita sok pintar dan mengajari.
Namun sebagai konsumen, penikmat suatu wejangan, wajar rasanya jika telinga kita menginginkan yang agak beda, beda pandangan dan beda pemikiran .
Lalu yang diberi wejangan pun mendapat pengalaman baru, hikmah baru. Dan tentu, keyakinan yang baik, yang juga baru.
Melihat hal-hal seperti itu, imajinasi ini kerap tak terbendung, terutama ketika melihat sesuatu yang sepertinya memang perlu diri ini menukilkan hasil renungan sebagai sumbangsih saran pemikiran.
Para penceramah kerap pula menempatkan kata-kata kiamat sebagai sesuatu yang terjadi dalam kehendak Tuhan tanpa manusia bisa berbuat apa-apa
Benarkah bahwa itu kehendak Tuhan tanpa bisa manusia berbuat apa-apa7Mari kita telaah semuanya dengan hati yang bersih tanpa punya maksud menghakimi melainkan sumbang saran agar semakin banyaklah perbendaharaan pengetahuan kita. Semoga makin benarlah langkah kita, tujuan kita serta pikiran kita, aamiinn...
Pendapat yang mengatakan bahwa kiamat adalah kehendak tuhan dan manusia tidak bisa berbuata apa-apa, dalam pandangan penulis, ini fikiran fatalis yang tuhan sendiri mungkin tidak menyukainya.
Suatu kepasrahan manusia, bukanlah maksut dan tujuan tuhan dalam penciptaan makhluk bernama manusia.
Tuhan mencipta manusia dengan maha kasihnya untuk manusia menjadi khalifah, mewakili tuhan di muka bumi serta menjadi pemakmur penyelamat bumi.
Bagi penulis, itu artinya Tuhan tidak menginginkan terjadinya kiamat. Tapi walau entah kapan itu tidak bisa tidak terjadi.
Karena segala sesuatu (makhluk) memilki usia dan kodratnya untuk mati. Bahkan, benda tak bernyawa pun, misanyal batu, meteor, planet, bintang dlsb, oleh sebab ia terbilang makhluk, dengan segala system yang hidup yang melingkupi benda itu, bisa dan akan mati.
Akhir-akhir ini cerita tentang kiamat tampak kian menjadi-jadi di media sosial, kadang membuat penulis berpikir apakah ada maksud tertentu di balik ini?
Segala hal yang penulis yakini kerap benar adanya. Seperti yang sudah penulis ungkap di atas, viralisasi kiamat yang memilki maksud politik itu.UNemun siapapun di sana terlepas dari maksud politisnya, atau maksud dakwah yang sebenarnya, kita bertanya, dengan membesar-besarkan datangnya kiamat, apakah agar manusia makin yakin? Atau hendak mengancam menakut-nakuti agar manusia segera bertobat?
Menurut penulis bersandar kepada tujuan ke dua hal di atas, terutama soal tujuan dakwahnya, adalah baik maksudnya.
Namun di balik semuanya, adalah pula cermin betapa kita kehabisan bahasa, minim akal dalam hal penyampaian, minim imaginasi tafsir yang mestinya cerdas dan luas dalam mengupas demi mendapat hikmah dan makna.
Lalu, jika kita sedikit mengurangi kiblat kepada hal-hal seperti di atas, apa sandarannya? Jawabnya, bersandar kepada harapan dan pengharapan.
Mulai saat ini, terutama dalam kurun waktu abad modern kini, bisakah kita memulai untuk memandang dan mengidentifikasi agama bukan lagi sebagai moralitas yang melulu bersandar pada ancaman?
Hal ini mungkin bisa menjadi jabaran dari maksud jawaban di atas. Tuhan mencipta manusia dengan keadaannya yang demikian sebagai kodrat dimana ada kecenderungannya melupakan dan lalai.
Dan lihatlah, apakah segala cerita tentang penghukuman (ancaman) hari akhir itu, mampu banyak merubah moralitas manusia menjadi lebih baik? Maka jawabannya, mari kita memulai dengan bersandar pada harapan. Maksudnya? Harapan artinya manusia mengejar kebajikan hidup karena sadar itu mendatangkan kebaikan untuk hidupnya di dunia.
Lihat bagaimana dampak dari seseorang yang menanam pohon? Apakah ia merugi? Lihat dampak bagi seseorang yang memunguti sampah di jalanan? Apakah ia merugi? Bahkan itu mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan makhluk lain di sekitar diri.
Ya, kebajikan yang dilakukan bukan karena suatu ketakutaan akan ancaman tuhan jika itu tidak ia lakukan. Melainkan berharap apa yang ia lakukan itu mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Makna di balik ketakutan bukanlah cinta. Makna ketakutan tidak dekat dengan keindahan syurga. Mari kita simak lebih lanjut....
Nah, tentang kiamat, hal yang lebih penting disampaikan soal kiamat mestinya adalah membuat akal manusia semakin cerdas memahami kiamat.
Namun jika belum sampai akal dan kecerdasan kita untuk ke sana, ya kita harus memakluminya. Artinya kita butuh pencerahan lebih lanjut. Pencerahan itu bisa melalui mengamati alam sebagai ayat-ayat tuhan, bisa melalui mengkaji literasi-literasi termasuk literasi kenabian.
Melihat kiamat sebagai sesuatu yang difahami dengan kepasrahan adalah pengajaran fatalis yang akan berdampak memperburuk kejiwaan manusia dalam keharusan penuh semangat berjuang demi masa depan hidupnya sekaligus masa depan dunia
Jauh lebih bermakna jika kiamat diartikan sebagai sebuah kepastian namun juga sebuah proses yang dalam proses itu amaliah manusia mendapat tempat persemaiannya ketika manusia menempatkan dirinya sebagai yang terlibat karena nilai kekhalifahannya.
Dua pilihan bagi manusia, antara yang mempercepat proses kiamat, atau yang menjaga agar proses kiamat itu semakin lama terjadi meski itu pasti.
Kepastian, hanyalah ketika manusia sudah pasrah kehabisan akal untuk merekafree dunia.
Artinya ketika manusia pasrah lalu bersandar pada ideom bahwa ini kehendak Tuhan, maka kepastian itu akhirnya menjadi kian pasti dan kian dekat datangnya.
Kiamat adalah suatu proses
Ingat penjelasan kiamat pada kitab suci, tahap-tahap ditiupnya sangkakala. Tahap-tahap ini, menandakan betapa alquran dan alsunnah (ruang kenabian), sangat cerdas telah memprediksi akan adanya fase demi fase kehidupan sampai batas akhir, yang entah kapan berakhir meski itu pasti berakhir.
Bagi penulis tiupan sangkakala adalah symbol tau perumpamaan yang melambangkan bahwa itu adalah fase-fase. Ya, kiamat tidak datang mendadak atau tiba-tiba.
Kiamat, yang dalam pikiran mainstream kekinian tampaknya dikonotasikan sebagai hal yang akan datang dengan tiba-tiba, yang difahami ber urut dari bunyi sangkakala pertama hinggga pada kehancuran yang sesungguhnya.
Ini terjadi karena manusia telah terkooptasi oleh pikiran fatalis sehingga tak lagi menyisakan ruang di pikirannya untuk coba pergi ke ruang lain lalu melihat, menilai dan coba menghakimi pikiran keliru yang selama ini ia alami dan fahami.
Orang yang menganggap kiamat datang dengan tiba-tiba hanyalah orang yang tidak cermat membaca indikasi atau tanda-tanda.
Menurut penulis, sekali lagi kiamat tidak datang dengan tiba-tiba. Karena kiamat sudah menggejala sejak mula. Seperti halnya banjir bandang yang dikarenakan gundul hutan di hulu sungai. Ia datang tiba-tiba di mata para manusia yang tak berpikir.
Celakanya, setelah manusia mengkonotasikan hal-hal yang dianggapnya sebagai tanda akan datang kiamat, karena manusia sudah ada di bawah ruang dan pengaruh pikiran fatalis, kemudian pasrah menerima itu sebagai kehendak dan takdir tuhan, lalu manusia tidak berbuat apa-apa.
Memang kemudian ada yang manusia perbuat bahkan karena rasa ketakutan sibuklah beberapa manusia membuat perahu besar yang kuat yang diharap bisa membawa selamat para penumpangnya.
Bagi penulis ini keliru. Mestinya bukan cara demikian jika ingin selamat dari kiamat. Zaman nabi nuh, telah digambarkan tentang suatu kiamat dengan alat keselematan adalah perahu besarnya.
Kini, saat pengetahuan manusia kian mengenal jagad raya, perahu besar itu sudah harus difahami sebagai hal yang berbeda. Haal seperti apa itu? ikuti terus literasi ini...Terhadap yang dilihat oleh manusia sebagai tanda kiamat, manusia pun memang berbuat, namun sibuk melakukan pertobatan mengingat tuhannya. Pertobatan yang karena di bawah ancaman akan adanya hari pembalasan.
Itu semua benar. Namun lebih jauh, kebenaran itu bagi penulis masihlah sangat berjarak deri kebenaran yang sesungguhnya.
Maksud di balik pertobatan, maksud di balik mengingat tuhan, di situlah letak manusia yang mesti lebih jauh mengejar kebenaran.
Maksudnya? Dan kebenaran seperti apakah itu?
Kembali ke soal sangkakala. Bagi penulis, yang dimaksud tiupan sangkakala dalam kiamat hanyalah sebuah proses dari satu fase ke fase berikutnya menuju ke suatu kondisi di mana terjadinya kehancuran dan atau tidak terjadinya kehancuran yang itu membutuhkan atau melibatkan manusia.
Sebab manusia adalah obyek sekaligus subyek di situ. Kiamat dengan proses sangkakalanya, yang dalam proses itu tidak lah dalam sekejap melainkan lama melewati usaha demi usaha manusia dalam mempertahankan kehidupannya.
Kematian manusia sebagai pribadi dan kematian manusia sebagai ras adalah kiamat kecil
Sebagai makhluk, manusia mengalami penuaan umur dan batas hidup yaitu mati. Kematian itu terjadi satu demi satu. Kematian itu menyangkut ketahanan manusia untuk hidup
Mati, karena berbagai sebab yang berarti manusia sudah tak mampu bertahan hidup. Ini dalam pengertian yang selama ini difahami oleh mainstream sebagai kiamat kecil, bukan?
Lalu kematian satu demi satu itu akan menjadi kematian yang meruah (banyak), apalagi jika misalnya terjadi wabah
Dan apalagi jika manusia suatu saat nanti tak mampu lagi bertahan dari keadaan dunia dimana atmosfir misalnya sudah dipenuhi racun; atau bisa jadi akibat perang dengan senjata-senjata pemusnah massal dimana dampaknya berkelanjutan.
juga mungkin karena kesibukan manusia berperang tiba-tiba tanpa tercegah datang meteor besar menabrak bumi dengan dampak yang berlanjut, dan banyak lagi kemungkinan-kemngkinan lainnya.
Kematian itu akan menjadi kematian yang massal dan pada titik manusia sungguh-sungguh tak mampu lagi bertahan akhirnya manusia mengalami kepunahan rasnya.Sebagai suatu ras, manusia menghuni bumi ini memilki batas waktu atau umur rasnya. Pengertian batas waktu adalah kemampuan untuk bertahan. Punah, itu terjadi pada saat manusia secara keseluruhan sudah sampai tahap di luar batas kemampuan manusia untuk bertahan.Dan batas umur atau batas kemampuan untuk bertahan atau matinya manusia baik secara pribadi maupun secara ras ini, dalam hemat penulis tetaplah masuk dalam katagori kiamat sugro atau kiamat kecil.
Meski demikian, secara alamiah, manusia akan terus berusaha mempertahankan umur rasnya dengan segala cara.
Sesuai hukum alam dimana benda yang tertekan atau ditekan akan melawan, usaha manusia untuk hidup lebih panjang adalah bentuk perlawanan manusia atas kehendak kematian atau kemusnahan.
Seperti halnya manusia secara pribadi berusaha dengan segala cara agar sehat serta panjang umurnya.
Baik secara pribadi maupun secara ras, manusia akan banyak dihadapkan pada tantangan yang coba menggerogoti kemampuan daya tahan hidupnya.
Tidak jauh-jauh contohnya, betapa manusia berusaha dengan segala cara untuk lepas dari ancaman kematian secara individu dan kepunahan massal oleh sebab virus korona.
Ras manusia memilki batas kemampuannya. Dalam masa-masa awal ras manusia ada, kemampuan fisik manusia untuk bertahan hidup sangat kuat.
Ingatkah kita akan cerita tentang manusia terdahulu, cerita tentang nabi adam, misalnya? Dalam suatu riwayat, berapa umur nabi adam, nabi Nuh atau nabi hidir.
Katanya, mencapai ribuan tahun. Ini masuk akal. Karena bumi pada saat itu masih relatip bersih alami. Oksigen melimpah ruah. Ini membuat manusia bertubuh besar-besar dengan umur yang juga panjang-panjang.
Namun sebagai sebuah hukum alam, apa yang manusia buat akan berakibat pada manusia itu sendiri. Ini terjadi pada perilaku manusia yang sifatnya melampaui batas.
Nah celakanya, persaingan dan kebebasan manusia tak menyediakan alat kendali yang pasti agar manusia-manusia tidak melampaui batas.
Agama, sebagai alat yang mungkin dimaksud tuhan sebagai alat pengendali sifat manusia yang berkecenderungan bebas, pelalai dan rakus, ternyata kini sudah terbilang tak mampu mengendalikan manusia.
Kebebasan manusia seakan menjadi hak tak terbatas bagi manusia. Kebebasan makin menjadi model karena manusia-manusia bebas justru tampak berhasil memegang kendali dunia.
Kembali kepada hukum alam, apa yang manusia buat akan kembali pada manusia itu sendfiri. Akhirnya, kebebasan manusia berbuat membuat akibat yang justru memperlemah kemampuan daya tahan manusia sendiri.
Manusia menggali kuburnya sendiri. Segala penyakit menggejala di mana-mana yang siap melenyapkan kumpulan manusia.
Senjata diciptakan yang dengan maksud membuat kuat di sisi lain dengan maksud sebagai alat berebut pengaruh, berebut kuasa dan sumber daya, namun pada hakikatnya memperlemah kekuatan manusia.
Kebebasan juga mencipta budaya persaingan atas nama persaingan itu sendiri. Manusia berlomba mengejar kekayaan, kejayaan dan kekuasaan.
Atas nama mengejar kekayaan, kejayaan dan kekuasaan industry dibuat. Manusia makin maju. Namun dampaknya, lapisan ozon yang menipis, membuat bumi mengalami pemanasan global, lapisan atmosfir dan oksigen pun makin menipis.
Banyak lagi hal-hal yang dibuat manusia yang malah memperlemah kekuatan manusia untuk bisa panjang umurnya.
Namun sekali lagi, dalam pelemahan oleh manusia sendiri, manusia secara pribadi dan secara ras akan berusaha untuk hidup lebih panjang. Berusaha untuk lebih bisa lama hidup mendiami bumi dan dunia ini.
Dalam usaha manusia untuk hidup lebih panjang itulah yang kita sebut memperpanjang kehidupan dari kemungkinan datangnya kematian baik mati secara pribadi maupun secara ras yang kita sebut sebagai kiamat kecil atau punah.
Itu artinya juga sebagai usaha manusia untuk memperpanjang proses kedatangan dan bahkan menjauhkan, sejauh-jauhnya kedatangan waktu kiamat.
Ya, kiamat kecil. Sebab sesuai batas kemampuan dan keberadaannya, manusia memang hanya akan mengalami kiamat kecil. Sebuah kiamat yang bisa disebut juga proses kepunahan ras manusia.
Sementara kiamat besar, hancurnya semua alam raya, itu rahasia Tuhan.
Kita manusia mungkin tidak akan mengalaminya karena pada saat itu mungkin manusia secara keseluruhan atau secara ras sudah mati atau sudah punah. Punah oleh berbagai sebab.
Punah, baik oleh kemungkinan kodrat penuaan, atau akibat dari ulah manusia yang kita sebut di atas sebagai manusia telah menggali kuburnya sendiri.
Dan yang pasti punah atau kiamat yang akan dialami manusia itu bukan karena murka atau pembalasan atau kehendak tuhan. Sebab tuhan tak memilki kehendak seperti itu.
Manusialah yang berkekendak, ingin cepat mati—cepat musnah, atau ingin panjang umur serta lama untuk sampai pada batas kepunahannya.
Jadi kiamat bagi ukuran manusia hanyalah ketika manusia mati satu persatu di mana ini adalah proses menuju kepunahan ras nya, sampai kemudian manusia benar-benar habis karena kodrat kelelahan, kelemahan atau kodrat pelemahan oleh hasil cipta tangannya sendiri.
Dan ujung dari itu semua, yang tertinggal hanyalah bumi dengan ketiadaan manusia yang menghuni dan ketiadaan manusia untuk mengurusnya. Bumi kehilangan khalifah sang penjaganya.
Namun seklai lagi itu bukan kehendak tuhan. Manusia sendiri yang menginginkannya. Tuhan tetap maha kasih dengan tetap menyediakan tempat hunian yaitu bumi dengan memberi peluang kehidupan bagi manusia bertahan.
Nah sekarang, bagaimana cara dan usaha manusia agar tidak cepat mati dan keseluruhan rasnya bisa lebih lama menghuni bumi?
Jawabnya ada pada timbal balik atau mutualisme antara bumi dan manusia itu sendiri.
Mengurus bumi sebagai tempat hidup manusia itulah sebagai satu-satunya cara memperpanjang waktu akan datangnya kiamat sugro atau kiamat kecil sebagai kepunahan manusia.
Akhir-akhir ini, seiring pengetahuan manusia akan alam raya, terpikir oleh manusia untuk mencari planet lain yang bisa dihuni. Pencarian makin gencar demi terpikir kiamat, bumi yang makin tak layak huni.
Padahal, jauh lebih baik jika manusia merawat bumi ketimbang berpikir mencari hunian apa lagi memaksakan untuk hidup di planet lain dan kemudian terbentuk pikiran untuk masa bodoh atas keadaan bumi dan menterlantarkan bumi ini.
Mencari planet lain itu adalah pengetahuan dan keharusan. Namun mestinya dengan juga menjaga bumi, merawat bumi, merekafree bumi dengan semaksimal-maksimalnya.
Sedikit kita elaborasi tentang orang-orang yang memilki kecendrungan menelantarkan bumi. Mereka adalah orang-orang yang sampai hari ini memilki pikiran bebas yang menganggap dengan ukuran dunia yang tak terbatas, bahwa eksploitasipun tak terbatas.
Bumi yang habis sumber dayanya, membuat mereka berpikir ingin mencari sumber daya dari planet-planet lain di tata surya.
Dengan ketidakterbatasan itu, seolah ingin menegaskan bahwa persaingan dengan segala cara itu juga tak mengenal batas.
Padahal keterbatasan dan ketidakterbatasan itu bukan hanya menyanngkut sumber daya dunia.
Melainkan keterbatasan dan daya tahan makhluk bernama manusia dari akibat ulah manuisa sendiri yang melampaui batas yang sama dengan menggali kuburnya sendiri.
Kembali kepada soal kiamat, ketakutan manusia soal kehancuran bumi secara fisik, seperti yang sudah kita ulas di atas membuat manusia berusaha selamat dengan usaha mencari planet lain bahkan ada yang membuat manusia berpikir ingin membuat kapal seperti zaman nabi nuh.
Utuk selamat dari kiamat, dalam zaman nuh dahulu memang adalah dengan logika zaman itu, yaitu mencipta perahu besar.
Kini, sebagai sesuatu yang realis dan loghis adalah menyelamatkan dunia kita, menyelamatkan bumi ini sebagai perahu besar hunian atau tempat tinggal umat manusia yang mengarungi jagad raya agar terjaga dan bisa terbarui sepanjang masa
Ya sepanjanag massa. Sepanjang ukuran kemampuan manusia dari kiamat sugro yang menggerogoti kemampuan dan daya tahan hidup secara individu maupun secara rasnya.
Sementara tentang kiamat kubro, adalah hancurnya alam raya termasuk semua makhluk ciptaan Tuhan, yang terbilang makhluk-makhluk besar termasuk planet-planet dan segala system tata surya dan galaxy yang ada, bukan ukuran makhluk seperti manusia.
Manusia mungkin tidak pernah akan tahu kapan dan entah seperti apa kejadian kiamat besar atau kiamat kubro itu nantinya. (Ilmu pengetahuan mungkin bisa menjadi teman untuk mengira-ngira).
Kenapa manusia tak akan pernah mengalami kiamat besar itu? Uraian tentang batas kemampuan ras manusia mungkin sedikit bisa menjawab pertanyaan itu.
Sementara secara keyakinan keagamaan, itu termasuk dalam rahasia tuhan dan mari kita berprasangka baik kepada Tuhan. Dan itu karena maha kasih tuhan kepada manusia.
Jadi, manusia sebaiknya berpikir tentang kiamat kecil saja yang ada di depan mata sebagai kematian dan kepunahan ras manusia. Berpikir kita bagaimana agar secara individu dan secara ras tidak cepat mati dan punah.
Kembali kepada soal cara dan bahasa penceramah. Sekedar anjuran, segala dalil secara literluk tentang apapun tidakkah jauh lebih baik disampaikan dengan cara pengembangan bahasa yang lebih mendatangkan manfaat penuh hikmah ketimbang minim faedah?
Ya, seluruh umat manusia, khusunya umat islam dengan para ulamanya, mari sedikit lebih maju ke masa depan dengan terobosdan-terobosan pemikiran bagi reka free kondisi bumi yang sampai di titik hari ini dalam kondisi merana.
Ayat-ayat tuhan begitu banyak yang berbicara tentang masa depan. Redefenisi atas tafsir ayat-ayat mungkin perlu oleh para ahli. Marilah kita gerakkan umat manusia untuk tujuan masa depan.
Bukan ke masa lampau. Bumi memerlukan tangan kita sebagai khalifah untuk menyelamatkannya.
Kecerdasan umat manusia lewat tafsir-tafsir yang membawa misi dan visi perbaikan kondisi dunia harus di suguhkan agar umat manusia tercerdaskan dan dengan cara cerdas pula memahami bahwa langkah kebajikan atau amaliah itu bukan hanya bertujuan mengharap nilai ilahiah tapi itu juga mendatangkan kebaikan bagi diri kita sendiri dan dunia sekitar kita.
Itulah prinsip menyemai harapan bukan atas dasar ketakutan akan hukuman tuhan.
Bahasa-bahasa dengan makna fatalis marilah kita rubah dengan membaliknya lalu memberi gambaran tentang kiamat yang ketika hari akhir itu belum sampai, sesungguhnya itu adalah hikmah dan ladang amal bagi manusia.
Sekali lagi, hendaknya jangan ada yang berpikir fatalis, bahwa kiamat (kubro) akan segera tiba lalu berpsrah dan sekan menyerah kalah.
Bukan kita tidak percaya dengan akan datangnya hari akhir. Kiamat itu kepastian. Pasti tiba. Pasti, karena manusia tak mungkin bisa melawan kodrat penuaan. Sebagaimana kodrat bagi makhluk tua adalah kematian.
Namun andai kiamat hendak di sampaikan sebagai kepastian, alangkah lebih baik jika diikuti pencerhan dan hikmah tentang upaya manusia selamat dari kiamat itu, upaya manusia menghindar, sebagai upaya manusia memperpanjang umurnya, memperpanjang waktu agar bumi kian lebih lama bisa kita huni.
Sebab kiamat kepunahan itu masih mungkin kita elakkan dengan cara-cara akal manusia yang tertakdir sebagai khalifah
Kesekian kali penulis pertegas, secara ras (bersama) dan secara individu yang satu persatu umat manusia mengalami kematian, adalah sebagai kiamat kecil yang bernama kematian.
Sehingga banyak berdoalah kita seakan mati datang esok. Namun bekerjalah kita untuk dunia kita seakan kita akan hidup selamanya.
Menatap dunia selamanya, harus dijabarkan sebagai tugas umat manusia sebagai khalifah untuk menyelamatkan dunia dengan segala isi dan keindahannya, menyelamatkan manusia dengan segala kemanusiaannya, bukan menyerah.
Sebab, sekali lagi, menyerah atau pasrah, hanya akan mempercepat kepastian dan waktu datangya kiamat atau kepunahan itu tiba.
Masih ada suatu fase yang harus dilewati agar umat manusia bisa sampai pada maksud penciptaan tuhan bersamaan dengan upaya manusia untuk memperpanjang waktu, memperlama kedatangan kiamat yang dimaksud, kematian dan kepunahannya.
Dan lihatlah sejarah kehidupan, dimulai dari ras makhluk hidup bersel satu hingga masa ras dinosaourus sampaai kemudian kepada ras manusia kini. Masing-masing seakan diberi kesempatan untuk menghuni planet bumi.
Sesungguhnya ras manusia sejak ditakdirkan hidup menghuni bumi, sejarahnya hanyalah sejarah pelalaian, sejarah pengingkaran atas hukum-hukum atau norma-norma yang dibuat oleh manusia sendiri.
Manusia, setelah ditimpa suatu bencana, atau dalam bahasa agama sebagai peringatan Tuhan, kecenderrungannya akan lupa dan melalaikan segala pantangan yang pernah dibuat agar bencana tak berulang.
Inilah kelemahan manusia yang sesungguhnya. Dan inilah sesungguhnya menjadi alasan fase demi fase dengan turunnya para Nabi di antara para pelalai itu sendiri.
Dan manusia, adalah makhluk yang berbeda dengan akal budi dan fikirannya. Manusia disebut pula sebagai makhluk belajar. Maka atas segala hal yang berakibat kehancuran, jangan menyerah atas kenyataan kecenderungan manusia sebagai sang pelalai itu.
Mari belajar untuk tidak lagi sekecil apapun mencipta kerusakan dan kehancuran.
Di balik berita qur'ani dan isyu yang tak pernah surut tentang akan datang kiamat, mari kita balik dengan mulai mencipta pola pandang moralitas agama yang tanpa ketakutan.
Melainkan dengan harapan dan semangat pengharapan, sadar perbuatan baik atau mengharap syurga itu mendatangkan kebaikan bagi diri dan sekitar.
Ini sama dengan menyemai amaliah ketika manusia menempatkan dirinya sebagai yang terlibat karena nilai kekhalifahannya, melalui menyelamatkan dunia dan mengasihi sesama makhluk dan sesama umat manusia.
Tuhaan itu penuh kasih sayang bukan penuh kebencian. Pada titik inilah Nabi dan kenabian memancar sifat dan sikap kasih sayang penuh cinta kepada apapun bernama makhluk di muka bumi.
Ya, manusia harus menebar harapan dengan semangat pengharapan, menyemai amaliah ketika manusia menempatkan dirinya sebagai yang terlibat karena nilai kekhalifahannya, melalui menyelamatkan dunia dan mengasihi sesama makhluk dan sesama umat manusia.
Manusia dan ideologi
Kenapa persoalan kiamat ini sampai harus menyasar kepada soal pembahasan ideologi?
Bagi penulis, ketika menuliskan banyak hal di atas, itu hanyalah baru berupa anjuran. Itu sama dengan para penceramah; sama dengan hotbah para agamawan di masjid-masjid ; sama dengan para pengkhotbah para pendeta di gereja-gereja.
Sama dengan bicara para pejabat di forum-forum serimonial, pun sama dengan bicara para pemerasaran pada seminar atau diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa dan kaum pergerakan. Ya, semuanya masih sebatas anjuran yang tidak mengikat tindakan manusia.
Maka hal-hal yang masih bersifat anjuran itu perlu kita tarik ke dalam suatu tataran yang membuatnya menjadi gerak, langkah atau tindakan manusia sehingga menjadi budaya.
Jika demikian, artinya kita harus membawa hal itu pada altar keideologian. Sebab, jika sudah ada dalam tataran ideologi, itu artinya system. Ya, ideologi akan berpengaruh pada system.
Untuk misi ini, mungkin manusia mesti meninjau ulang segala tingkah lakunya selama ini dengan segala pikiran bebasnya, perilaku bebas yang direstui oleh isme-isme kebebasan melampaui batas.
Di sinilah keyakinan manusia atas panduan hidup yang dianutnya selama ini mesti dipertanyakan. Bahkan mestinya didestruksi.
Mempertanyakan itu artinya manusia mesti menyiapkan alat lain demi tujuan penyelamatan manusia dan bumi yang didiami.
Alat itu dapat kita sebut seperti, atau sama misalnya dengan agama dalam kontek yang bisa memandu atau menuntun langkah manusia.
Agama, memang sebuah lembaga yang dengan system nilainya telah memilki dasar-dasar pengajaran dan tuntunan. Namun sedihnya agama dengan mainstream yang ada kini, terkotak-kotak dalam garis dan ruang keyakinan sendiri, membuat agama tidak universal sifatnya.
Terlebih, agama dengan sifat primordialisme yang menyertainya membuat jarak kemanusiaan antara manausia kian jauh. Kita memang akan sampai namun kini belum sampi memiliki alat untuk merekatkannnya agar manusia ada dalam satu isme yang universal.
Dan sesuatu yang universal itu mungkin bisa kita sebut suatu keyakianan, atau isme yang membuat cara pandang manusia berubah dari yang selama ini ada.
Sebab manusia ,menjalani hidup dengan segala perilakunya tergantung isme atau keyakinan yang di anutnya, isme atau panduan hidupnya.
Maksud dari kalimat “keyakinan yang dianutnya, isme atau panduan hidupnya” itu seperti yang sudah penulis sebut sebgai ideologi.
Ya, ideologi yang benar mungkin bisa menyelamatkan umat manusia dari kiamat, atau kepunahannya.
Ideologi yang kini melingkupi kehidupan umat manusia, baik ideologi bebas tanpa batas (liberal kapitalis), ideologi agama, ideologi sosialis serta ideologi-ideologi lain yang semuanya hanya kelompok-kelompok yang memilki sifat primordialis dan ujungnya hanya pertentangan dan akhirnya penghancuran manusia terhadap manusia serta pelalaian dan penghancuran bumi yang seharusnya terjaga.
Harus ada suatu pandangan yang membuat semuanya tidak menjadi pertentangan melainkan bersinergi demi suatu masa depan.
Jika isme atau ideologi manusia benar maka benarlah langkah manusia. Benar dalam artian tidak membuat dampak keburukan pada dirinya pun pada hal lain di sekitar hidupnya.
Langkah yang sekaligus meninggalkan jejak yang benar dan baik pula untuk kehidupan sekitar kini serta kehidupan sekitar nanti.
Mengulang persamaan yang sudah penulis ungkapan di atas, sampai hari ini, semua kata telah teramat banyak diungkap oleh para ahli agama dengan para pencermahnya, oleh para cendikia dengan berbagai buku dan karya-karyanya.
Anjuran moralitas dari berbagai literasi dan buku-buku tuntunan moral sudah banyak pula. Namun semua hanya dalam tataran anjuran, deskripsi moral, paparan yang hanya menyentuh ruang perenungan manusia.
Setelahnya manusia tidak bertindak, tidak berbuat. Belum ada suatu system yang membuat anjuran itu ada dalam tataran gerak sehingga manusia benar-benar menjadi tergerak, benar-benar bertindak dan menyatu dalam moralitas itu. Menyatu, tidak sekadar terpisah dan berjarak dengan moralitas dan nilainya.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak hendak terjebak pada ungkkapan-ungkapan yang lebih berpanjang lagi dengan mengungkap ideologi itu apa, yang seperti apa dan lain sebagainya.
Penegasan penulis hanyalah pada titik bahwa ideologi yang menyelamatkan itu harus ada. Ya, harus ada. Maka kepada siapapun, pikirkanlah, pikirkanlah....
Kembali kepada soal kiamat, sebagai penutup.
Para penceramah atau para pencerah, hal yang lebih bermakna disampaikan soal kiamat sekli lagi adalah membuat akal manusia semakin cerdas memahami kiamat.
Jika kita belum menemukan isme yang pantas disampaikan, maka hemat penulis, akan menjadi suatu pencerahan dan faedah serta berhikmah bila melihat kiamat sebagai sesuatu yang tidak difahami dengan kepasrahan.
Kepasrahan hanyalah pengajaran fatalis yang akan berdampak memperburuk kejiwaan manusia dalam keharusan penuh semangat berjuang demi masa depan hidup manusia sekaligus masa depan bumi atau dunia.
Wallahu’alam bisassawab....
Salam penuh sayang dan cinta