Sebelumnya, turut berduka se dalam-dalamnya atas meninggalnya Dua Sejoli, Handi dan Salsabila yang terbunuh oleh sebab perilaku biadab oknum tentara yang sangat jauh dari nilai-nilai perikemanusiaan.
Tulisan ini ditujukan juga untuk mqenghormati korban-korban lain yang bahkan ada yang jauh lebih parah, ketika manusia dengan kemanusiaaannya dinistakan lewat penghilangan nyawa secara paksa dan tidak mengenal batas rasa kasih sebagaimana layaknya manusia.
Dua sejoli itu, Handi dan Salsabila adalah cermin rakyat. Mereka sesungguhnya dibunuh. Dan sedihnya itu dilakukan dengan kejam tanpa perikemanusiaan.
Nurani manusia yang berakal sehat, melihat orang terluka atau terjatuh saja, sudah terbersit ingin menolong. Ini, melihat orang tak berdaya karena ditabrak mobil yang sangat butuh pertolongan, namun bukan diberi pertolongan malah ditenggelamkan di sungai.
Ini bukan perbuatan manusia. melainkan makhluk biadab dan super kejam, nauzubillahiminzalik. Kekejaman yang bisa diidentikkan sebagai cermin ketidakadaan rasa kasih bahkan bisa jadi cermin sebuah sikap benci.
Dan tentara yang membunuh itu meski atas nama dan kepentingan pribadi (tidak ada embel-embel dan sangkut paut kebijakan pimpinan atau negara), tetaplah tampak sebagai cerminan kondisi negara. Pertanyaan kita lalu, ada apa dengan tentara kita sekaligus kita bertanya ada apa dengan negara kita.
Pembunuhan dua insan tak berdosa itu jangan-jangan mencerminkan pula sikap kebanyakan tentara atau pihak keamanan secara keseluruhan dan sikap negara kepada rakyatnya.
Taroklah soal tertabrak itu adalah insiden, namun sekali lagi, pembunuhan yang sangat kejam yang sangat tidak berperikemanusiaan itu adalah cermin kebencian. Seorang tentara mestinya memiliki sikap kesatria yang rela depersalahkan jika memang salah.
Misalnya salah dalam hal sudah menabrak. Seorang tentara, dalam pikiran penulis, mestinya ada secuil rasa kasihan demi melihat korban itu adalah rakyat. Ya, rakyatnya yang dalam doktrin kesatuan pasti dijejalkan kedekatan dan harus dekat dengan rakyat.
Dalam pikiran penulis, jika pun ia mesti dipersalahkan telah menabrak, saat di persidangan, dengan seorang pembela hukum dan hakim yang baik, maka niatnya membawa ke rumah sakit sesungguhnya adalah nilai kelebihan yang akan meringankan hukumannya.
Apa lagi jika niatnya menyelamatkan nyawa orang yang ia tabrak juga di dasari kesaadran bahwa itu adalah manusia dengan kemanusiaan yang sama denga dirinya, yang juga adalah rakyat yang dengan doktrin kesatuannya harus ia bela. Ya, ketika melihat rakyat tergeletak tak berdaya, seorang tentara yang telah dijejali doktrin harus dekat pada rakyat, mestinya ia bela dengan apapun resikonya.
Jika melihat kejadian ini, rasanya sepakat kita jika kita katakan mungkin ada yang keliru dalam doktrin ke tentaraan kita. Bahasa lainnya, ada kelemahan. Pun mungkin ada yang keliru dengan system nilai kenegaraan kita. Maka hal ini tidak bisa dianggap remeh untuk sebuah bangunan negara bila hendak dibangun kukuh.
Kenapa penulis sampai sejauh itu berpikir? Penulis melihat ini dari sudut pandang teori gunung es. Ya, kekhawatiran kita ini tidak sesederhana seperti yang tampak di permukaan.
Sikap tentara, hati tentara, jiwa tentara dan secara keseluruhan sikap pihak keamanan negeri ini kepada rakyatnya bisa jadi banyak yang demikian adanya. Banyak yang tidak suka kepada rakyatnya.
Pun sikap negara kepada rakyat. Bisa jadi negara memandang rakyatnya hanyalah sebagai beban. Karena negara yang diwakili oleh para pejabat, telah hidup dalam ruangnya sendiri.
Negara yang diwakili oleh para petinggi negeri, sudah menjadi kelompok (oligharkis dan feodalis) yang terpisah dan memisahkan diri dari rakyatnya.
Dan ketika sikap rakyat tercermin dari tingkah demonstrasi, kritik dan segenap sikap marah atas perilaku petinggi negeri, maka petinggi negeri yang memilki kuasa, terutama yang terusik kepentingannya, memilki alasan yang meski tak terucap lalu mengambil sikap tidak suka pula kepada rakyat.
Itu tercermin dari pengabaian suara rakyat oleh para petinggi negeri saat hendak mengambil keputusan atas kebijakannnya. Tercermin pula dari sikap polisi yang kerap semena-mena, tercermin dari sikap tentara yang bila berpapasan dengan rakyat di jalan sunyi tak ada senyum apa lagi menyapa.
Semboyan atau dekat kepada rakyat itu hanya pepesan kosong belaka. Untuk sekedar abang-abang lambe saja.
Bahkan jika pun ada hal buruk yang menimpa seorang rakyat, mungkin sang tentara atau polisi kita tak akan mau memberi pertolongan bila itu bukan dalam ruang dan waktu tugasnya. Akan memberi pertolongan pun jika terabadikan dengan kamera.
Telah banyak bukti, ada anggota masyarakat melapor pada pihak keamanan tidak mendapat tanggapan. Laporan masyarakat akan ditanggapi jika kasusnya viral.
Bukti kedekatan tentara dan polisi dengan rakyat hanyalah ketika tentara atau polisi memiliki kepentingan dalam rangka suatu operasi yang diharuskan melibatkan rakyat. Misalnya. yang terjadi di papua atau kondisi aceh waktu dulu.
Bagi wilayah-wilayah yang telah terkatagori kuat terintegrasi dengan kesatuan republic, maka jarak tentara atau polisi dengan rakyat akan tampak. Tentara dan secara keseluruhan pihak keamanan, menempatkan diri sebagai warga kelas utama yang butuuh dihormati butuh disegani.
Tidak tampak cerminan sebagai manusia abdi rakyat. Yang ada abdi negara. Dan akhirnya terciptalah jarak. Jarak sosial, politik, ekonomi dan budaya, bahkan jarak kasih dan mengasihi.
Tentang pemimpin.
Terlalu banyak menghitung hal yang keliru dalam cara dan tingkah laku para pemimpin di negeri ini yang secara sadar atau tidak sadar berakibat langsung mapun tak langsung kepada bawahan dan secara keseluruhan terhadap rakyat.
Ya, segala ucapan dan kebijakan para pemimpin, jangan disangka tidak berkaitan dengan perilaku bawahan bahkan perilaku rakyat keseluruhan.
Dan jika membayangkan hal ini, rakyat sangat muak jadinya.
Ambil misal, tingkah dan cara pemimpin terhadap para pegawai misalnya, dalam kaca mata penulis sudah sangat keliru bahkan sangat, sangat super keliru. Ini cermin pemimpin bodoh, !!! Nah, penulis jadi emosi akhirnya.
Coba bayangkan, memberi tambahan gaji kepada pegawai yang notabene di situ dalam nilai-nilai kepegawaian itu, ada nilai dan tuntutan pengabdian. Gaji besar pun sudah di berikan.
Kenapa harus dijejali dengan iming-iming tambahan bonus jika pegawai mampu menyelesaikan target tugasnya.
Padahal itu lahan tugas pegawai yang bersangkutan. Ini secara kejiwaan akan melunturkan kepatriotan, jiwa pengabdian yang ada pada pegawai sesuai doktrin yang ditanamkan.
Jika pun hendak diberi bonus, mestinya yang alamiah diukur dengan prestasi kerja dengan tujuan terukur, terdenah dengan grafik atau indek prestasi yang hasil akhirnya menjadi pertimbangan kenaikan pangkat dlsb.
Bagi penulis, boleh-boleh saja memberi tambahan saku bagi pegawai terutama bagi pegawai kerja lapangan yang berat terkhusus jika ada kejadian-kejadian khusus misal bencana.
Dimana tenaga lapangan memmang membutuhkan tambahan energy dan kekuatan gerak langkah. Itupun tetaplah harus dalam ruang dan alasan pengabdian kepada negara dan rakyat. Mungkin undang-undangnya pun sudah ada untuk mengatur segalanya.
Pun boleh-boleh saja memberi uang tambahan. Namun sekali lagi. di sertai dan jangan tinggalkan bekal semangat bahwa pegawai itu menyandang atau memikul takdir pengabdi kepada rakyat bangsa dan negara.
Cara-cara konyol memberi bonus tanpa perhitungan yang diikuti menanam nilai pengabdi, akan menanamkaan sikap dan mental materialistis kepada pegawai. Menanamkan sikap dan cara pandang pegawai sebagai manusia yang terlepas dari ikatan pengabdian.
Jika hendak memisahkannya dari jiwa pengabdian, maka buat saja para status PNS itu sebagai tenaga kerja sewaan.
Penulis sudah sangat banyak menyelami perilaku pegawai kita. Karena penulis punya banyak pengalaman berhadapan dan berurusan serta melihat bahkan mengintip segala perilaku birokrasi di negeri ini.
Sangat banyak penulis temui para pegawai yang sudah mendapat gaji, namun masih kerap berusaha mencari seseran dengan memungut apapun dari masyarakat yang datang kekantornya. Ini perilaku sangat menjijikkan.
Padahal sudah sangat bagus rakyat datang sebagai kepatuhan warga negara yang mengurus administrasi kehidupannya. Eh, kok malah dipintai uang itu dan uang ini lagi. Jadi apa kegunaan negara bagi rakyat? Banyak peraturan, tapi menjadi alat memeras rakyat.
Jiwa negara dan bangsa ini ada pada pemimpin-pemimpinnya. Pemimpin tolol, akan mencipta rakyat masuk dalam pola-pola pikir ketololan itu.
Sampai hari ini pola perilaku masyarakat kita dan secara khusus pada para pegawai negara ini sudah sangat materialistis, Semata kebendaan atau kekayaan yang dikejar dan dicari. Semata kekayaan dalam rupa uang dan harta yang dijadikan patokan sukses dan bahagia.
Nilai pengabdian di jiwanya sudah tipis jika tidak hendak kita katakan telah hilang digerus dan terdegradasi oleh budaya hidup kekinian. Dan terlebih ladi tergerus oleh karena ketiadaan sikap penanaman mental abdi dari para pemimpin yang mestinya memang berkepentingan untuk itu.
Dalam kondisi terdegradasi itu, sisi lainnya lalu muncul ketakutan akan kehilangan hartanya, takut kehilangan jabatan, pertimbangan untung atau rugi.
Di sisi lain pula muncul sikap manusia penuh ambisi, hedonis, pragmatis dlsb. Dan itu semua adalah sifat dan sikap-sikap yang menyertai kematerialismean.
Berangkat dari para pemimpin yang berperilaku tolol dan dungu. Para pemimin yang dengan kedunguannya, yang dibesarkan pola pikirnya oleh kondisi kekinian, oleh ruang lingkup dirinya yang mamang telah terhegemoni atau terlingkupi oleh pikiraan-pikiran materialis.
Ia tidak memilki akal untuk bagaimana cara bangun dari ruang materialistis. Bahkan keinginan bangun pun sudah tidak ada sebab materialistis baginya adalah yang ia tahu. Apa lagi cara membangun ruang sekitar agar tidak terjebak materialistic, ia sangat tidak tahu.
Akhirnya memunculkan perilaku-perilaku aneh seperti halnya tentara yang tak memilki rasa kasih serta rasa kemanusiaan lagi, membantai, membunuh dan menyakiti rakyatnya. Coba kita tanya itu tentara, apa yang melandasi mereka berbuat demikian?
Pastilah dalam usaha mereka lari dari tanggung jawab. Tentu hal itu agar mereka tidak banyak merugi atas kejadian itu. Dan jika sudah sampai kepada pertimbangan untung dan rugi, apa lagi namanya itu kalau bukan persoalan materialic.
Ya, bagi penulis, materialistis adalah juga salah satu pintu gerbang dari terjadinya perilaku-perilaku manusia menyimpang. Penulis setuju dengan pendapat KARL MARX tentang materialism. Pergumulan pertama dan utama manusia hanyalah dalam usaha memenuhi kebutuhan materialnya.
Material, berupa benda baik harta, uang maupun benda, pangkat dan kedudukan, status sosial, politik atau apa saja yang menjadi angan untuk dimilikinyanya.
Dan ketakutannya akan kehilangan serta keinginannya untuk mendapatkan bahkan menempuh jalan yang tidak benar. Itulah penyimpangan. Akibat dari materialistis. Sikap berlebihan memandang materialik.
Sesungguhnya pemenuhan materialik kehidupan tidaklah salah bahkan benar. Ketika didekatkan dengan hukum tuhan pun tidak menyalahi kodrat manusia dan kemanusiaannya. Namun jika ia sudah menjadi mterialistis artinya berlebihan yang lalu dengan jalan tidak mengindahkan norma, inilah anomaly atau penyimpangan itu.
Dan pemimpin, sampai hari ini tak satupun ada yang memberi pencerahan tentang faham agar tidak terlalu berlebihan menyanjung matelialis. Memandang berlebihan tentang materialik itu bukan pula berartinorang tak boleh kaya raya.
Namun ketika semua berlomba-lomba mengejar materialik tanpa disertai pengajaran nilai hakekat materialis. Ini yang bahahaya. Sehingga manusia-manusia yang lemah mental, menempuh jalan yang keliru. Jauh dari rasa kasih ketika jiwa telah terlingkup oleh dan atas nama materialis.
Itu tentara yang membunuh dua sejoli yang dalam kondisi tak berdaya, yang membuatnya tega melakukan kejahatan itu adalah ketakutannya akan kerugian suatu materi bila harus mengurus dan membawa dua sejoli ke rumah sakit.
Dan membunuh manusia tak berdaya yang notabene adalah rakyatnya, sebagai anomaly terhadap yang sudah diajarkan atau didoktrinkan kesatuannya, di dalam dirinya menjadi tidak aneh untuk mengingkari doktrin sehingga melakukan kejahatan itu hanyalah hal biasa baginya.
Apa sebab? Doktrin sesungguhnya tidak hanya berupa kalimat-kalimat bernilai dari kesatuan keprajuritan. Para pemimpin pada dasarnya ikut pula menyumbang untuk tumbuh suburnya perilaku menyimpang yang sejenis demikian.
Kembali kita pada soal tentara dan persoalan ada yang salah dengan doktrin serta system nilai kenegaraan kita. Pertama jika kita bicara soal doktrin, itu tidaklah selalu mengacu pada hal-hal tertulis misalnya sumpah prajurit dan sebagainya. Perilaku, pengawasan dan ucapan pemimpin juga adalah doktrin.
Bagaimana mestinya seorang pemimpin harus mampu mentransfer jiwa kasih kepada rakyatnya. Bagaimana pemimpin mentransformasi nilai-nilai kasih kepada para prajurit sehingga prajurit mahir atau pandai berperilaku kasih, pandai mengambil hati rakyatnya.
Apa ucapan dan perilaku pemimpin itu akan ditiru dan dijalankan oleh tentara dan segenap pembantu dan pegawai-pegawainya. Jiwa kasih itu haruslah ajeg, tegak dan kukuh. Tidak mencla-mencle, tidak ambigu. Sementara sekarang?
Apa yang dilakukan oleh pemimpin dengan korupsi yang merajalela, apa yang dilakukan pemimpin yang setiap hendak mengeluarkan undang-undang melalui tipu-tipu dahulu terhadap rakyatnya?
Pun lihat di layar TV pada saat-saat terjadi ribut kontroversi masalah korupsi, betapa para maling sudah sangat bebas saling membela. Tanpa malu saling membela sesama maling. Maling teriak maling.
Negeri ini seakan sudah tak memilki nilai-nilai. Dan seabreg lagi perilaku yang dalam kaca mata tertentu dapat dimaknai sebagai hal yang menyimpang dari kehendak hati nurani rakyat.
Semua itu adalah hal yang kasat mata yang menjadi pelajaran bagi bawahan serta rakyat secara keseluruhan untuk berlaku yang aneh-aneh pula.
Ke dua, jika kita bicara soal system, maka hulu dari segala hulu perilaku dan system kenegaraan itu adalah ideologi. Maka artinya, ada yang keliru dalam ideologi kita.
Keliru bisa berarti ideologinya yang tak berkesesuaian karena sudah kalah dan tidak bisa membendung atau tidak diberdayakan oleh penguasa sebagai pembendung budaya manusia kini, sebagai kesalahan pada manusianya, para pemimpinnya, yang tak mampu mencerna atau mengartikan, atau menterjemahkan maksud dari suatu nilai ke dalam suatu perilaku dan ucapan-ucapannya.
Mengacu pada kenyataan kini, betapa sulit jika kita mulai merubah segalanya dengan diawali dari pemimpin oleh sebab pemimpin yang lambat faham tentang hal ini.
Namun di sisi lain pemimpin juga bukanlah dewa, pemimpin juga bukanlah satu persoalan saja yang harus diurusnya. Maka hukum adalah salah satu jalan penegas untuk menjawab persoalan .
Ya, tegakkan hukum setegak-tegaknya. Tegakkan hukum dengan segala efek jera dan edukasinya.
Terhadap pembunuhan dua sejoli, pemberian sanksi hukum yang berat adalah efek jera yang sangat diperlukan. Dan rakyat sangat mendukung api semangat Panglima beserta para petinggi TNI untuk menghukum seberat-beratnya pelaku pembunuhan kejam ini.
Sebab bila terhadap para pelaku pembunuhan kejam seperti ini ternyata hanya menerima hukuman yang ringan, tentu saja menjadi aneh di mata rakyat.
Semangat petinggi TNI ini semoga akan menjadi semangat serta panglima bagi cara pikir dan pandang yang mempengaruhi atau mendoktrinisasi para penegak hukum lainnya untuk juga tegak dan lurus dalam pembelaan yang nyata kepada rakyat.
Sementara di sisi lain, kita coba memulai, terutama para pemimpinnya untuk sadar bahwa segala kebijakan, ucapan dan perilakunya akan sangat berdampak pada perilaku rakyatnya.
Pemimpin itu nahkoda bertanggung jawab ke mana arahkan perahu besar ini hendak menuju dengan cita-cita besarnya. Buatlah rakyat dalam perahu besar ini saling mengasihi dalam kesadaran bahwa kita mesti memberi yang terbaik bagi sesama rakyat.
Membangun jiwa, menanamkan perilaku pengabdi yang setia kepada negara, kasih kepada rakyat dan sesama rakyat itu tercermin dari ucapan, segala kebijakan dan perilaku pemimpin.
Doktrinisasi nilai menjadi tak berguna dengan pemimpin yang ambigu terhadap harapan terejawantahkannya suatu nilai. Wallahua’lam bisawwab....
Salam