Benteng Terakhir : Bab 2, Tanah Itu Masih Milikku. Sebuah Novel Pembangun Dan Pembebasan




Benteng Terakhir

Tragedi Cinta Harmoni

Diilhami oleh Tragedi Kemanusiaan

Talangsari Lampung

Sebuah Novel

Pembangun & Pembebasan

Oleh

TOMY IRFANI

Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari pemegang

hak cipta, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, seperti cetak,

ISBN : 978-602-97264-0-4

Editor :  Weni Rahayu

Desain cover :  Marna Sumarna

Penata Letak : Ach. Sakti W.

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit Gaung Media

Email: tomyirfani71@gmail.com

gaungmedia@yahoo.com

© 2010 oleh Tomy Irfani

fotokopi, microfilm, CD-Rom, dan rekaman suara.

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1.  Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan

pidana masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.

1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/

atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2.  Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual

kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak

Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


 

Bab 2

Tanah Itu Masih Milikku

Serombongan anak-anak berjalan beriringan. Menembus semak-semak, melewati rumpun-rumpun rotan dan bambu mengikuti sepanjang aliran sungai ke arah hulu. Mereka adalah Rumba dan saudara-saudaranya. Mereka tadinya memancing. Tidak mendapat ikan, karena ikan-ikan telah habis diracuni, mereka lalu pergi bermain melihat-lihat keadaan di hulu sungai. 

Di sepanjang jalan yang mereka lalui, ada semak-semak pohon pakis di bantaran sungai. Orang-orang Dusun Merabu kerap memetik daun pakis muda untuk dijadikan gulai. Mereka amat menjaga pakis-pakis itu.

Mereka tahu di mana dan kapan saat memetik serta di mana dan kapan saat membiarkan tumbuh. Tidak berlebihan atau melampaui batas, itulah prinsip hidup sebagai pengejawantahan dari ajaran nilai-nilai agama yang diyakini mereka.

Maka, segala pepohonan yang tumbuh di dekat Dusun Merabu akan selalu tampak hijau dan menyimpan tunas baru. Namun, hijaunya alam tak tampak di mata saat mereka telah berada jauh di hulu. Tak tampak pohon-pohon besar seperti yang ada di hutan dan sekitar Dusun Merabu. Hanya beberapa pepohonan yang tumbuh

31

Benteng Terakhir

di antara ilalang dan semak kecil berwarna kekuning-kuningan dan abu- abu tua. Bahkan daun-daun pohon itu pun mulai meranggas berguguran. Semakin jauh ke hulu, dari sebuah bukit, sejauh mata memandang hanya tampak rumput-rumput liar berwarna kuning dan cokelat keabu-abuan. Bekas tumpukan dahan dan ranting kering berserakan.

Banyak tunggul kayu yang mulai merapuh. Bahkan Tunggul-tunggul besar kayu merbau tampak mengepulkan asap. Seperti ada yang sengaja membakar tunggul itu. Karena kayunya teramat keras, api melahap kayu itu perlahan-lahan.

Terik matahari serasa membakar kulit kepala. Sesekali angin sejuk berhembus dari hilir, dari arah Dusun Merabu. Namun tajamnya panas membuat kesejukan itu terasa  hanya sepenggal waktu.

Suatu gambaran kekeringan pada sekelumit kulit bumi. Kekeringan karena tiadanya pepohonan yang merupakan lambang kesejukan. Kekeringan yang tentu akan menjalar. Ketika tangan-tangan jahil dan rakus menjalarkannya, sungguh mengerikan!

Banyak lagi yang mereka lihat dari atas bukit yang cukup tinggi itu. Kian ke selatan, di tempat yang lebih jauh ke hulu, telah dibangun jalan raya. Meskipun terlihat kecil, cukup jelas terlihat dari tempat itu.

Di sepanjang jalan itu, ada banyak rumah dengan atap berwarna putih dan kuning. Tampak pula gedung-gedung telah berdiri. Gedun-ggedung pabrik dengan cerobong-cerobong yang mengepulkan asap hitam keabu-abuan.

Namun, pada jarak yang tidak terlalu jauh dari bukit itu, Rumba melihat sesuatu yang membuat hatinya tergerak ingin tahu. Sebuah rumah panggung atau tepatnya sebuah pondok berdiri di antara petak-petak sawah kering. Lalu Rumba membawa saudara-saudaranya ke pondok itu.

Dari kejauhan mereka terlihat seperti musafir tengah berjalan di padang tandus yang berapi. Sebab udara memang panas tak terhingga. Bahkan, mereka seperti anak-anak manusia yang menjelajahi nasib di sebuah planet tua di luar angkasa sana. Kering, dalam sepi yang mencengkam. Karena ujung dari sepi dan kering seperti itu sesungguhnya bayang kematian.

Setelah dekat dengan pondok panggung itu, tiba-tiba mereka mendengar suara aneh dari dalamnya. Samar terdengar seperti suara

32

Benteng Terakhir

tangisan. Dengan berhati-hati, mereka segera mendekat. Semakin jelas suara tangis itu.

“Kak, suara tangisan siapa itu?” tanya salah seorang adik sepupu Rumba.

“Kita akan ke sana, masuk ke pondok itu,” jawab Rumba.

“Tapi, jangan-jangan hantu, Kak. Atau makhluk jahat bermata menyala yang diceritakan kakek itu, sedang berpura-pura.”

Sejenak Rumba menghentikan langkah dan diam mencoba mencermati suara tangisan. Dahi Rumba mengernyit. Saudara-saudaranya pun ikut-ikutan mengernyitkan dahi. “Ya, kita harus berhati-hati….” ujar Rumba seraya membungkukkan badan mendekati pondok itu.

“Kak, tidak usah ke sana….” usul salah seorang saudaranya lagi.

“Kalau itu suara orang yang sedang memerlukan pertolongan bagaimana?”

Mereka terdiam semua. Namun, akhirnya membenarkan ucapan Rumba. Mereka pun mengikuti apa yang dilakukan Rumba. Semakin dekat ke pondok panggung, semakin jelas suara tangis itu. Seperti suara tangis anak-anak. Namun, yang lebih jelas mereka tangkap ada kesedihan dalam irama tangis itu. Kesedihan yang tak terhingga.

Dari tangga rumah itu, mereka naik satu per satu, didahului oleh Rumba. Tangis pilu masih terdengar dari dalam. Malah kini nadanya terdengar semakin menyayat hati.

Kalau saja tangis itu bukan datang dari dalam sebuah rumah pondok terpencil seperti ini, mungkin mereka sudah sejak tadi masuk ke dalam rumah. Namun, di tempat seperti ini mereka harus berhati-hati. Apalagi jika teringat cerita Kakek Jiban tentang makhluk-makhluk jahat itu.

Sesampai di atas panggung, karena pintunya tertutup dan tampaknya terkunci, Rumba segera mencari lubang tempat untuk mengintip. Ternyata, “Ya, Tuhan….” Rumba hampir berteriak, namun tertahan

33

Benteng Terakhir

di tenggorokannya. Terpana ia melihat kenyataan yang tampak jelas dimatanya. Di dalam sana seorang gadis kecil tengah menangisi seorang perempuan tengah baya yang tergeletak di depannya.

Segera saja Rumba berinisiatif mendorong pintu. Namun sayang, pintu itu terkunci dari dalam. Oh Tuhan…. Rumba tidak sabar. Berkali-kali didobraknya pintu, brak,brak, brak!

“Ada apa, Kak di dalam?” tanya salah seorang saudara Rumba sambil ikut mendobrak pula.

Namun, Rumba tak menjawab. Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Mereka segera menyerbu masuk dan menyaksikan pemandangan yang sungguh menyedihkan. Gadis kecil itu menangis, menangisi perempuan tengah baya yang telah mati dan terbujur kaku. Pemandangan yang sungguh mengiris hati.

Rumba memegang bahu gadis kecil itu dan mencoba mengajaknya bangun. Namun, gadis kecil itu tersentak kaget. Ia baru tersadar bahwa di sekitarnya ada banyak orang.

“Emak, Emak, Emak….” suara tangis gadis kecil itu semakin jadi. Ia memeluk dan memanggil-manggil emaknya. “Tolong, tolooong, apakah kalian bisa menolong aku?” gadis kecil itu beralih menatapi orang-orang yang ada di situ. “Apakah kalian bisa membangunkan emakku?” ia terus mengharap dalam tangisnya.

Rumba mendekat dan duduk berjongkok di sisi gadis kecil itu. Sadar bahwa perempuan yang terbujur kaku itu telah mati, membuat Rumba ingin menyadarkan gadis kecil itu tentang kenyataan yang sebenarnya.

 Dibelainya rambut gadis kecil itu dengan segenap perasaan. Ditatapnya wajah gadis yang didera tangis tak berair mata lagi itu. Tampaknya airmatanya telah habis. Semakin lama ia menatap, semakin dalam ia larut dalam kesedihan sang gadis.

Air mata Rumba pun menitik. Air mata yang juga datang dari sudut terdalam mata hatinya. Air mata yang pertama tumpah dari seorang Rumba. Air mata yang datang dari sisi naluri dan sifat kemanusiaan seorang anak manusia. Dan naluri kemanusiaan itu mengalahkan segala sifat tabu dan lugu dari seorang anak Dusun Merabu. Tiba-tiba, tangan Rumba merengkuh gadis kecil itu, lalu dengan rasa sayang memeluknya.

“Emakmu sudah meninggal, tak mungkin

34

Benteng Terakhir

dibangunkan…” bisik Rumba.

“Tapi tenanglah, tenang… yang penting kamu selamat. Kami akan menyelamatkanmu.”

“Huhuhuhuhuhu….” si gadis masih menangis.

“Sudahlah, sudah…. Diamlah, diam…..tangismu nanti terdengar oleh orang jahat di luar sana. Nanti kamu dan kita-kita di sini diculiknya.” Entah dari mana Rumba mendapat ide kalimat seperti itu. Membuat tangis si gadis berhenti. Padahal Rumba tak tahu apakah di sekitar sini, benar-benar ada orang jahat itu.

“Iya, diam, nanti ada orang jahat mendengar kita,” ujar salah satu saudara Rumba.

Tiba-tiba si gadis kecil benar-benar menghentikan tangisnya. Dan diamnya si gadis, membuat Rumba menduga-duga, jangan-jangan benar ada orang jahat berkeliaran di sini. “Benar, kan, ada orang jahat di sini?” tanya Rumba tidak terlalu serius.

Tanpa Rumba duga, ternyata si gadis kecil mengangguk,

“Ya, ada,” katanya dalam nada serius di sela-sela isakannya. Wajahnya berubah takut. “Orang-orang jahat itu suka menebang dan menghabiskan pohon-pohon dan membunuh. Mereka sangat jahat sekali.”

“O….” Rumba dan saudara-saudaranya ternganga.

“Lantas, sudah berapa lama emakmu meninggal dan kau tunggui seperti ini?”

“Sudah dua hari ini…”

“Ya Tuhan….” Rumba dan saudara-saudaranya serentak kaget. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana gadis kecil ini mampu menjalani semua itu. Dua hari menunggui emaknya yang telah terbujur kaku.

“Lalu bagaimana ceritanya sampai emakmu jadi begini?” tanya Rumba segera.

“Emak kelelahan karena mengunjal air dari sungai yang jauh. Setiap aku berangkat sekolah, Emak selalu sendirian mengangkut air untuk menyirami tanaman sayur-mayur kami.”

35

Benteng Terakhir

“Apa kau sekolah, ke mana kau sekolah?”

“Ke ujung selatan Desa Sematang.”

“Jaraknya dari sini?”“Tujuh kilometer.”

“Kau sendirian setiap berangkat ke sekolah?”

“Kadang-kadang diantar Emak, lalu Emak kembali lagi ke sini. Nanti menjelang pulang Emak menyusulku.”

Ya Tuhan, Rumba tak bisa membayangkan betapa gadis kecil ini dengan emaknya telah menjalani hari-hari penuh derita selama hidup di sini.

“Lalu, ke mana bapakmu, atau saudaramu yang lain, apakah masih ada?” “Oh, bapak, kakek, dan nenekku juga mati di sini…” tiba-tiba gadis itu menghentikan ucapannya. Lalu ia menutupi wajahnya dengan jari-jari tangannya seraya terisak.

“Maafkan aku…. Maafkan kami….” ujar Rumba cepat, “kami tidak bermaksud mengingatkanmu pada kesedihan karena kematian orang-orangtuamu.” Rumba tahu dalam keadaan seperti ini tentu gadis kecil ini belum mampu mengenang duka-duka dalam kehidupannya.

Namun, hatinya yang dalam sungguh tak bisa membayangkan betapa dalam dan beratnya rasa duka itu. Ya, gadis sekecil ini sudah harus menerima kenyataan hidup pahit yang sungguh luar biasa.  

“Tapi kematian bapak, kakek, dan nenekmu, pasti karena orang jahat,” ungkap salah seorang saudara Rumba.

“Ya, siapa lagi kalau bukan orang-orang yang jahat dan kejam itu.”

Suasana sejenak hening karena tiba-tiba mereka terdiam mendengar ucapan terakhir gadis kecil itu. Sejenak pikiran mereka kembali teringat pada cerita kakek tentang orang-orang jahat bermata merah menyala. Mungkinkah orang-orang jahat itu telah sampai di sini?

Namun, keheningan tak berlangsung lama, sebab ternyata gadis kecil itu tak bisa bertahan lama dalam menahan kesedihannya.

36

Benteng Terakhir

“Ya,  itu pasti karena mereka…. orang-orang jahat yang kejam itu,” ujar si gadis lagi sambil mengusap air matanya yang kini tampak mulai meleleh lagi.

“Mereka sudah membunuh kakekku, nenekku, bapakku….mereka sudah tak ada. Dan kini, emak pun tiada. Aku sendirian sekarang. Tidak punya siapa-siapa.” Tampak kembali keluar air mata dari sudut mata gadis itu. Semakin deras air mata meleleh dari matanya. Air mata yang datang dari genangan duka dan kepedihan terdalam di dasar hatinya. Hilangnya orang-orang terdekat, orang-orang yang menjadi pelindung hidupnya. “Emak, Emak….bangun Mak, jangan tinggalkan aku sendiri. Dengan siapa aku nanti? Mak, Emaak….bangun Mak…” rintihnya sambil memeluki jasad emaknya yang telah terbujur kaku.

Terpana Rumba dan saudara-saudaranya. Selama hidup belum pernah mereka saksikan hal seperti itu. Perasaan mereka pun tak tahan merasakan kesedihan. Mereka sama-sama menitikkan air mata. Membayangkan si gadis kecil yang malang.

Hidup yang pernah ia jalani di sini, di bumi yang kering, sekering air matanya kini. Hidup yang kini harus pula tersapa takdir derita, lebih dari sekadar derita biasa—hidup sebatang kara. Sungguh, kemalangan dan derita yang tak terhingga.

“Tapi di sini ada kami….” tiba-tiba Rumba berucap pelan seperti bergumam—refleksi dari hatinya. “Untuk itu, tenanglah….sudah, sudahlah.” Ia mengangkat gadis kecil itu, “Sekarang kita harus mengurus jasad emakmu,” ujar Rumba sambil memandang gadis itu dan mengusap-usap bahunya. “Kita tak boleh berlama-lama membiarkan jasad emakmu begini. Nanti burung nazar dan binatang-binatang buas liar mencium baunya. Keadaan kita bisa lebih berbahaya.”

“Ya, tapi sekarang aku harus bagaimana, aku akan ke mana?” tanya gadis kecil dengan segala keluguannya.

“Kita akan pulang, kita akan pulang,” ucap Rumba menenangkan hati gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun menyusut air matanya.

     *

37

Benteng Terakhir

Salwa, nama gadis kecil itu. Duduk diam, sendirian di bawah pohon jambu. Matanya basah berkaca-kaca. Ia masih sedih, masih berbelasungkawa. Mengenang sang Emak yang baru dikubur seminggu lalu. Belum ada orang yang berani mengajaknya banyak bicara atau bertanya itu dan ini. Takut melukai hatinya. Semua orang maklum, karena ia masih bersedih.

Hanya emak Rumba yang sesekali berani mengajaknya bicara. Itu pun seperlunya saja. “Salwa, tak baik duduk sendirian begitu. Hari sudah siang, makanlah dulu,” Emak Rumba berkata dari atas panggung rumah. “Atau mau makan nanti bersama Rumba sepulang Rumba sekolah?”

“Iya,.. Em…Mak,” jawab Salwa sedikit terputus-putus. Seperti ragu ia menyebut panggilan itu. “Aku makan nanti saja bersama Kak Rumba.” Emak Rumba tersenyum dari atas panggung rumah, lalu kembali ke dalam.

Salwa menarik napas dan melepasnya pelan-pelan. Betapa baik keluarga ini….juga orang di dusun ini, pikirnya. Mereka mau menampungaku. Andai tidak ada mereka, di mana kini aku? Tetapi hatinya masih teramat sedih, belum mampu menimang segala kebaikan yang didapatnya. Pikirannya masih tertuju pada Emak, ya, wajah emaknya.

Ada banyak kembang di taman, bahkan di sepanjang pinggir jalan. Dari tempatnya duduk ia memandangi kembang-kembang itu. Beranekaragam jenis dan warnanya. Banyak pula buah-buahan. Beraneka ragam buah-buahan yang ada. Oh….sungguh menyenangkan berada di sini, suara hatinya.

Andai sedari dulu aku tahu dan bisa tinggal di sini, tentulah tak pernah ada kejadian-kejadian yang harus menimpa bapak,lalu emak. Tentulah aku tak akan kehilangan mereka.

Namun, keindahan dan kesenangan yang ada di sana, masih juga tak memupus bayangan duka kehilangan emak yang masih dirasakannya. Ya, yang dipikirkannya hanyalah emak dan wajah emak.

Semakin dipikirkan, semakin sedih hatinya merasakan kehilangan itu. Rasanya baru kemarin ia masih bersama emak, tetapi kini ia harus sendiri tanpa emak. Oh, emak…. Air matanya meleleh lagi. Dan itu terjadi hampir setiap hari. 

38

Benteng Terakhir

Sudah seminggu lebih. Gadis kecil itu masih dengan dukanya. Banyak anak di dusun itu yang berusaha mengajaknya bermain agar ia terhibur. Namun, itu tidak juga membuatnya terhibur.

Rumba yang telah membawa gadis itu ke sini merasa resah. Ia merasa paling bertanggungjawab untuk membuat gadis itu gembira. Namun, ia maklum dengan keadaan Salwa yang belum reda dari rasa duka.

Karena teramat dalam duka menindih hidup gadis kecil itu. Meski segala hal yang mungkin membuat gadis itu senang telah ia tawarkan. Dari mengajaknya bermain di sekitar dusun, sampai mengajaknya tamasya ke sebuah taman terdekat di situ. Taman Purbakala namanya. Tapi gadis kecil itu tak mau dan tetap dengan wajah sedihnya.   

“Memang, siapa pun akan sedih bila ditinggal pergi oleh orang yang sangat kita sayangi. Tapi, bukan berarti setelah itu kita harus sedih selamanya. Apalagi kalau sampai melupakan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk terus hidup baik dan mempertahankan hidup.” Nasihat emak Rumba saat tahu Salwapun tak berkeinginan sekolah.

“Untuk hidup baik dan mempertahankan hidup, kita harus berilmu. Maka itu, kamu harus sekolah. Kamu tidak boleh terus larut dalam kesedihan.Setiap orang pasti akan mati. Kamu juga, dan kita semua suatu hari nanti tentu akan mati. Lalu kita diganti dengan orang-orang berikutnya….

Namun, sebelum datang kematian pada kita, kita harus melakukan hal terbaik lebih dulu sebagai amal kita. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan ilmu…. Ilmu didapat dari belajar di sekolah…. maka tidak ada alasan kamu tidak mau lagi sekolah.” Emak Rumba menyudahi nasihatnya seraya tersenyum lembut.

Namun, gadis kecil itu tetap bergeming dengan setumpuk duka yang bergayut di wajahnya. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu saat membayangkan sekolah dan hari-harinya hidup di sini nanti, pikirnya.

Bila ia sekolah, siapa yang akan bertanggung jawab atas segala biayanya nanti? Ah tidak, ia tak hendak membebani keluarga yang telah teramat baik ini lagi, pikirnya. Sebab membayangkan dirinya yang akan tinggal di sini saja, ia sudah sangat berterima kasih.

Namun suatu saat, ketika Rumba mengajak Salwa ke tepian hutan dan menunjukkan sebatang pohon enau yang bermanggar muda, kaget

39

Benteng Terakhir

dan tak percaya gadis kecil itu. Sebab di depan pohon enau itu, Rumba berkata, “Dengan enau ini, dan manggarnya yang mengandung air, aku ingin kau tahu betapa bersungguh-sungguhnya aku mengharap kau sekolah.”

“Apa hubungannya dengan batang enau ini?”

“Aku akan belajar membuat gula sampai suatu saat nanti aku benar-benar bisa. Gula-gula yang aku buat itu kita jual. Kita bisa dapat uang untuk tambahan biaya sekolah kita—sekolahku dan sekolah kamu….” Diam sebentar Rumba untuk melihat reaksi Salwa. Kemudian ia melanjutkan, “Bukan Emak dan Bak tak bisa membiayai kita, Salwa, tapi aku memang ingin melakukan ini untukmu.”

Terpana Salwa. Semakin sadar ia betapa dalam dan sungguh-sungguhnya keinginan keluarga ini, terutama Rumba, untuk membela dirinya.

Namun di balik itu, kenapa Rumba sendiri begitu bersemangat? Sejak ketua dipegang oleh Kakek Jiban, anak-anak  Merabu memang diwajibkan untuk bersekolah. Tampaknya Kakek Jiban telah merancang masa depan orang-orang Merabu. Dan diam-diam, Rumba pun menyadari hal itu.

Sejak peristiwa di bawah batang enau itu, tak ada keraguan lagi pada diri Salwa untuk menerima kebaikan keluarga ini, Rumba, dan orang Merabu secara keseluruhan. Ia pun bersedia kembali bersekolah. Dan, Rumba menjadi orang terdekat baginya, tempatnya mengadukan segala keluh kesah hidupnya.

Sejak tidak merasa ragu lagi itu, suatu waktu, panjang lebar Salwa menceritakan tentang kematian orang-orang tuanya karena mempertahankan tanah milik mereka dari kekejaman para penjarah yang rakus. Orang-orang yang dengan alasan pembangunan, membangun lahan industri, tapi akhirnya hanya menjarah kayu-kayu di hutan dan tanah miliknya.

Cerita kematian mengenaskan itu kemudian membuat mereka berangan-angan dapat menemukan para pelaku pembunuh itu. Namun,angan-angan itu belum bisa segera mereka wujudkan. Selain karena mereka masih kecil, Salwa tampaknya juga masih trauma atas duka demi duka hidupnya. Ia belum cukup berani untuk memikirkannya. Namun, kematian keluarganya karena mempertahankan hutan dan

40

Benteng Terakhir

tanah itu, merupakan warisan kekuatan dari orang tuanya untuk tetap mempertahankan tanah itu. Agar tak dihaki orang lain. Dan agar tak sia-sia nyawa semua orang tuanya yang telah mati di sana. Lalu, mereka pun bertekad untuk menanami lahan itu kembali. Sebab menurut hemat mereka, hanya dengan menanaminya, orang-orang akan tahu tanah itu masih ada pemiliknya.

Selain itu jiwa anak Merabu yang resah bila melihat tanah kering dan hampa, juga mewarnai keinginan mereka. Tak terpikir oleh mereka akan adanya tantangan yang menghadang.

 *

Dusun itu seperti tak pernah berhenti beraktivitas. Sejak malam hari di mana anak-anak sibuk keluar masuk surau untuk mengaji, berlatih kesenian, sampai sibuk berlatih beladiri. Pagi harinya mereka saling menunggu untuk bersama-sama berangkat sekolah. Petang hari mereka sibuk membersihkan halaman dan merawat kembang-kembang.

Ada yang menyiram. Ada juga yang memetiki daun-daun yang mati di pekarangan. Sebuah rutinitas yang meski sederhana, namun sesuatu yang saban hari terlaksana dengan teratur dan terjaga.

Petang itu Salwa pun sedang menyiram. Selain kembang-kembang di pekarangan dan halaman, ia juga menyiram bibit-bibit pohon yang telah ia dan Rumba kumpulkan dari hutan Merabu. Besok mereka akan menanamnya.

Saat air terkucur dari tangannya membasahi bibit-bibit muda itu, tiba-tiba terkenang olehnya ungkapan Rumba ketika bersamanya mengumpulkan bibit-bibit itu dari dalam hutan. “Rawatlah bibit-bibit ini nanti dengan segenap perasaan. Karena hanya dari tangan dan hati yang berperasaan bibit-bibit akan tumbuh dengan baik. Niat merawat dan menanam untuk kehidupan. Agar yang kita tanam mendatangkan keberkahan. Itulah pengajaran leluhur Merabu.”

Bagi Salwa, ungkapan itu bukan sekadar ungkapan biasa. Namun petuah berharga dari seorang laki-laki yang meski belum dewasa, diam-diam ingin ia hargai sebagai orang yang lebih dewasa. Bayangan yang muncul

41

Benteng Terakhir

di matanya kini, merawat bibit-bibit itu, bukan saja karena niatnya tulus ingin merawat, tapi juga karena bayang seorang Kak Rumba. Ia sungguh tak ingin mengecewakannya.

Usai menyiram bibit-bibit di jambangan, Salwa beralih menuju depan rumah untuk menyiram kembang-kembang di halaman. Sejenak ia terpana memandangi indahnya kembang-kembang di halaman itu. Bahkan pandangannya menyapu kembang-kembang yang tumbuh di halaman rumah orang Merabu yang lain.

Lagi, hati Salwa terkagum-kagum dengan keindahan suasana dusun kecil ini. Di halaman dan pinggir jalanannya dipenuhi warna-warni kembang. Siapakah yang pertama kali mengajarkan keindahan di dusun dengan kembang-kembangnya seperti ini?

Hati Salwa bertanya-tanya, tetapi tidak berusaha mencari jawaban. Meski sedikit ia menerka. Andai leluhur mereka dulu, tentu leluhur orang-orang di sini tampan rupawan dengan istri yang cantik jelita. Ketampanan itu terlihat dari kerapian, kebersihan, dan keindahan suasana di sini. Kejelitaan itu terlihat dari kembang-kembang menawan yang tumbuh di halaman.

Tanpa sadar, tangan Salwa memegang tangkai sebuah kembang. Sorot matanya tajam dan dalam menerawang jauh pada kelopak dan warna kembang itu. Entah kenapa, tiba-tiba di matanya terbayang Rumba. Ya, Kak Rumba yang diam-diam sesungguhnya menyimpan ketampanan itu. Jika besar nanti, setampan apa ya, ia…?

Mata itu berkhayal jauh…. Mencoba membayangkan sesuatu yang tak pernah ia jamah dalam pengalaman hidup. Atau memang nanti, saat ia besar—walau ia tak tahu seperti apa sebenarnya kebersamaannya. Sebab hati kecilnya yang lain bertanya, pantaskah dirinya?

Tapi kenapa aku memikirkan hal seperti ini? Hati kecilnya ingin menghentikan khayalan itu. Namun, ia tak mampu. Khayal itu terus menggelinding di pikirannya….

Ya, selain Kak Rumba yang tampan, anak-anak Dusun Merabu ini menyimpan bibit-bibit ketampanan di masa depan. Seperti leluhur mereka dulu, tentu. Dengan istri yang jelita yang terlihat dari anak-anak perempuannya.

Lalu, pantaskah aku andai suatu hari nanti mengharap salah satu di antara anak laki-laki itu menjadi teman terdekatku, pendampingku? Yang terbayang di matanya adalah wajah Kak Rumba. Namun, tiba-tiba saja melintas

42

Benteng Terakhir

wajah-wajah anak laki-laki lainnya. Ah, kenapa pula orang seperti aku memilih? Hati kecilnya sedikit memarahi diri. Sebab, itu terasa seperti berkhianat. Namun, itulah cermin ketidakberdayaan diri. Untuk meraih sesuatu yang lebih, rasa-rasanya ia tak mampu.

Maka, khayalnya berharap ke mana-mana. Ketidakberdayaan itu karena merasa dirinya tak seindah bunga. Dia, Kak Rumba itu, tampan, dengan kulitnya yang putih bersih. Anak-anak perempuan di sini pun cantik-cantik dengan kulitnya yang bagus pula.

Sementara dirinya? Seorang anak perempuan yang telah kehilangan bapak dan emak, dengan warna kulit kehitam-hitaman karena kepanasan. Ah, pantaskah? Namun, di akhir khayalnya, masih juga hati kecilnya mempertanyakan, kenapa ia memikirkan hal-hal seperti itu?

Sadar ia, dirinya masih terbilang kecil. Tak tahu Salwa, bahwa pemikiran itu datang dari alam bawah sadarnya. Kesedihan, ketidakberdayaan, kesendirian hidup yang sunyi tanpa bapak dan emak—sang panutan—membawanya untuk memikirkan hal-hal yang belum saatnya terjamah oleh kesadarannya.

Ibarat dalam keadaan banjir, ia menggapai-gapai berharap menemukan tali atau pegangan. Dan itulah keadaan….menuntutnya untuk memikirkan. 

Esok harinya, seperti rencana dan tekad yang sudah mereka ucapkan, berangkatlah mereka untuk menanami lahan itu. Ada nyanyian di bibir Salwa.

Tak menyangka Rumba, ternyata Salwa senang dan pandai bernyanyi. Sejak menapakkan kaki di seberang sungai pada tanah luas yang sudah jarang pepohonan itu, ia sudah mulai bernyanyi. Dari situ tampaklah bahwa hati Salwa dalam keadaan gembira.

Ja ujung Danau Ranau

Teliumit way kanan

Sampai pantai Laut Jawo

Pesesekh khik pepadun

Jadi say di lomlambang

Lampung say kayo rayo

………………………..

43

Benteng Terakhir

Sampai habis Salwa menyanyikan lagu itu. Rumba mendengarkannya. Hatinya pun turut terhibur karena suara Salwa memang merdu. Lagi pula lagu itu sangat pas untuk menggambarkan bumi Lampung, tanah Sumatra, bahkan bumi Indonesia secara keseluruhan, sebagai bumi yang kaya-raya. Kekayaan yang menjadi mimpi anak-anak negeri untuk mendulang rizki dari tanah ini.

Perjalanan itu sesungguhnya amat melelahkan. Di samping jauh, panas terik juga tak tertahankan. Tapi karena kerap di selingi Salwa yang bernyanyi dan tekad yang besar untuk segera sampai, tak terasalah perjalanan yang melelahkan itu. Hingga akhirnya, dua jam sudah perjalanan mereka.

Sesampai dihalaman rumah pondok yang pernah ditinggalinya dulu, bagai memburu sesuatu yang sangat ia rindu, Salwa berlari. Ia segera menaiki anak tangga dan membuka pintu pondok itu. Lalu, di pintu yang menganga itu, ia sejenak terhenti. Menatapi seisi ruang dalam rumahnya yang telah cukup lama ditinggalkannya.

Masuk ia. Disentuhinya barang-barang yang tersisa di situ satu per satu. Ada bayangan melintas di matanya. Bayangan emak, bapak, kakek, dan neneknya. Mereka orang-orang yang sangat ia kasihi dan kini telah mati karena mempertahankan pondok dan tanah ini. Oh, Emak, Bak, Kakek, dan Nenek, hari ini Salwa kembali ke sini …. Aku kembali untuk meneruskan perjuangan kalian, mempertahankan pondok kita, tanah kita ini…. Menitik air mata Salwa.

Apalagi saat dikenangnya, betapa Emak baru kemarin rasanya ada bersamanya di tempat ini. Emak yang mengunjal air guna menyirami sayur-sayuran untuk penghidupan mereka. Emak yang setiap kali lelah, tidur di tikar di lantai pondok ini. Emak, yang akhirnya sampai di ujung lelahnya dan pergi untuk selamalamanya.

Oh Emak…. Semakin deras air mata mengalir di pipi Salwa. Derita dan kenangan perjuangan untuk hidup, terakumulasi di situ. Oh, emak…. Semakin dalam kenangan itu menoreh kepahitan terujung dan tersempurna di hidupnya. Pada kematian emak yang sesungguhnya belum bisa ia terima.

Ketika melihat air mata itu, tahulah Rumba, betapa gadis belia itu tengah ditelan duka kenangan bersama tikar lusuh di hadapannya. Ya,

44

Benteng Terakhir

bersama tikar itulah ia dengan sang emak pernah bersama. Bermimpi tentang hari depan yang akan terlepas dari belenggu nestapa. Namun,nestapa itu tak juga sirna. Di tikar itulah, tempat ia dan emak melepas lelah bersama sampai kelelahan sang emak benar-benar sempurna.

Dan ladang tandus ini adalah bukti kepongahan manusia atas kemanusiaan. Juga bukti kepongahan manusia atas alam.

“Tanahmu ini ternyata luas sekali, Salwa,” ujar Rumba setelah mereka turun ke ladang. Sejenak mereka menengok kubur Bapak, Kakek dan Nenek Salwa lalu memandang tanah yang tandus dan gersang itu. Dan Salwa kemudian menerangkan batas-batas tanah seperti yang ia tahu dari orang tuanya dulu.

 “Akan menghabiskan bibit sangat banyak untuk menanaminya. Tapi tak apa, tidak akan pernah lelah, kita akan menanaminya.”

“Ya, luas. Itulah makanya orang-orang jahat itu sangat ingin menguasainya. Karena kayu-kayu yang tertanam di lahan ini dulu sangat banyak. Sekarang di sini sudah tidak ada kayu yang bisa mereka ambil lagi. Jadi mereka tidak menghiraukan tempat ini lagi.”

“Bagaimana dengan rencana orang-orang yang akan menjadikan ini sebagai lahan industri?”

“Tak tahulah itu. Apa itu cerita sungguhan atau hanya bualan orang-orang yang sesungguhnya hanya menginginkan kayu-kayu di tempat ini. Buktinya sampai sekarang tidak ada tanda-tanda lahan ini akan segera dijadikan tempat industri.” Salwa melepas napas panjang. Rumba pundemikian. Pertanda mereka sangat geram dengan semua itu.

Tak lama kemudian Rumba pun mulai mencangkul, menggali tanah untuk tempat tumbuh bibit tanaman. Satu per satu bibit tanaman mereka tanam kemudian mereka siram. Mereka pun mengunjal air dari sungai yang agak menanjak dan cukup jauh. Tiada kenal lelah. Sampai matahari hendak meneduh ke rembang petang.

Hari-hari berikutnya, tanpa kenal lelah mereka kembali menanam dan terus menanami lahan itu. Namun, ketika bibit yang hendak mereka tanam habis, mereka harus berhenti menanam untuk mencari bibit tanaman baru. Dan ketika bibit tanaman sudah mereka dapatkan, mereka

45

Benteng Terakhir

akan kembali meneruskan menanam. Itu semua mereka  lakukan tanpa kenal lelah. Terpicu harapan dan pengharapan ingin melihat tanah itu kembali hijau. Di sisi lain, untuk membuktikan bahwa tanah itu masih ada pemiliknya.

Namun demikian, bukan berarti apa yang mereka kerjakan tak ada tantangan. Serigala-serigala liar adalah musuh pertama yang harus mereka hadapi. Setidaknya, satu kali Salwa hendak diterkam serigala. Kemudian, pondok itu dikepung serigala ketika mereka sedang berada di dalamnya. Namun, karena kecerdikan dan keberanian mereka, mereka mampu selamat dari serangan serigala-serigala itu.

Semua itu sungguh tantangan yang sangat luar biasa berat bagi anak-anak kecil seperti mereka. Kalau bukan karena kebulatan tekad yang datang dari tradisi menanam, ajaran leluhur dan pengajaran agama yang telah turun temurun orang-orang Merabu warisi, tentu semua itu tak akan mampu mereka jalani.

Musim kemarau yang telah berlangsung lama dan keringnya lahan itu menjadi alasan bagi mereka untuk mengharap segera datangnya hujan. Setelah kelelahan serasa telah pula sampai batas sempurna. Penantian akan datangnya hujan juga merupakan tantangan yang sangat berat.

Kalau bukan karena tekad dan kesabaran, tentu mereka tak akan mampu menanam di lahan seluas itu. Apalagi harus menyiram dari air sungai yang jauh.

Namun, kesabaran dan penantian itu akhirnya terjawabkan. Suatu hari, di minggu yang entah ke berapa mereka menanam serta menyiram, ketika kelelahan serasa telah amat menyiksa badan, mereka merasa seperti mimpi saat tiba-tiba turun hujan.

Hujan pertama yang mereka nanti-nantikan. Namun, Hujan pertama yang juga hampir jadi petaka. Meski di balik itu, juga adalah hujan yang menciptakan ukiran kesan di balik suratan titian hidup mereka di hari kemudian.

Saat itu  Salwa terlihat berjingkrak-jingkrak di antara rinai hujan yang awalnya rintik satu-satu, kemudian membesar, dan kian membesar.

“Kak Rumba, hujaaan....” teriak Salwa berkali-kali pada Rumba, padahal Rumba berada dekat di sisinya.

46

Benteng Terakhir

Melihat Salwa yang berjingkrak-jingkrak, Rumba hanya tertawa. Hatinya juga amat gembira.

“Terima kasih, Tuhan, terima kasih....” ujar Salwa berkali-kali yang juga mewakili ungkapan hati Rumba.

Gadis itu berjingkrak-jingkrak, berputar-putar, dan terus berputar-putar. Ia menari-nari dan bernyanyi. Nyanyian syukur, tarian riang. Nyanyian dan tarian yang ia persembahkan kepada apa saja yang bisa menikmati nyanyian dan tariannya.

“Kakak, lihatlah....ini rahmat turun ke bumi, tanah kita. Mengisi berbilang harap yang telah kita semai sejak kita memulai doa.”

“Ini rahmat yang akan memupus ketertundaan tanah kita menjadi berkah.... yang akan memupus ketertundaan segala tanaman yang kita semai untuk tumbuh bertunas dan berbunga.” Jawab Rumba dengan hati yang tak kalah girang pula.

“Kakak, lihatlah.... ini hujan seperti menyirami hati, meneteskan bahagia.”

“Ya di mana tunas dan bunga adalah harapan, ketika yang kita jambang, yang kita impikan bersemi. Inilah sesungguhnya kita. Di tanah yang terhujani ini, kita selalu berharap dengan penuh kesabaran.”

Hujan kian deras dan lama mengguyur bumi. Rumba dan Salwa kemudian kembali ke pondoknya. Tetapi Salwa belum mau menaiki tangga dan masuk ke panggung pondok. Ia ingin bersenang-senang mandi air hujan.

“Salwa, sudahlah....nanti kau sakit. Segeralah masuk ke pondok,”pinta Rumba dari jendela.

Salwa malah tertawa-tawa dan menari-nari lagi. Namun, tak lama kemudian ia menaiki tangga dan masuk ke pondok. 

“Kita lupa, kita kan tidak bawa baju ganti,” ujar Rumba, “jadi kita harus rela kedinginan sampai pakaian kita ini kering di badan.”

“Iya, ya, semua sisa pakaian yang ada di sini pun sudah diangkut ke Dusun Merabu,” ujar Salwa baru menyadarinya. “Tapi, biarlah....” Salwa tersenyum. Hanya gembira yang ada di wajahnya. Oleh karena itu, sepahit apapun yang dirasa badan, ia seakan tak merasa pahit menerimanya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang.

47

Benteng Terakhir

Rumba segera menutup rapat pintu dan seluruh jendela.

“Kak Rumba....aku kedinginan,” ujar Salwa tiba-tiba setengah merintih dengan bibirnya yang bergetar menahan dingin.

“Sini,” Rumba mendekap Salwa. Tampak sangat ingin ia melindungi Salwa dari hawa dingin yang kencang bertiup. Walau dari kencang angin yang bertiup itu, sebenarnya ia telah terlindungi.

Karena saat ini mereka berada dalam pondok yang tertutup rapat. Yang tak bisa Rumba lakukan adalah melindungi rasa dingin Salwa yang datang dari dalam tubuhnya sendiri.

Tiba-tiba tubuh Salwa menggigil kedinginan. Bibir Salwa membiru. “Kak Rumba, Kak Rumba...” bibir yang menggigil itu hanya mampu mengucap kata-kata itu.

Lelah karena telah banyak bekerja, dan dingin itu telah membuat kondisi Salwa lemah. Ia jatuh sakit.

Rumba kebingungan. Dengan apa ia harus melakukan pertolongan? Segera digelarnya tikar. “Tidurlah!” Rumba menganjurkan. Salwa pun mengikuti.

Tapi pikirannya bertanya, dengan apa ia harus menghilangkan rasa dingin yang dialami Salwa? Belum menemukan jalan keluarnya, tiba- tiba Rumba menyaksikan keadaan Salwa yang kian memburuk. Tiada kalimat apa-apa lagi yang keluar dari bibir Salwa yang biru membeku. Bahkan, tubuh Salwa pun tidak memperlihatkan tanda-tanda pergerakan. Oh, Tuhan.... Salwa pingsan.

“Salwa, Salwa...” Rumba memanggil seraya mengguncang tubuh Salwa. Namun, Salwa tidak menjawabnya. Rumba bertambah bingung. Bagaimana ia harus menolong gadis yang amat disayanginya ini?

Oh, Tuhan….kenapa cobaan selalu datang, suara hati Rumba. Takut ia, amat takut ketika melihat keadaan Salwa. Takut tak dapat menolongnya.

Tiba-tiba ia terpana. Terpana oleh sebuah pemikiran yang melintas di benaknya. Namun, haruskah itu aku lakukan, membuka semua pakaian yang dikenakan Salwa? Pikirannya masih bertanya dalam ragu. Keraguan yang datang dari sebuah ketabuan dan ketidaklaziman andai hal itu ia lakukan.

Ah, tapi harus bagaimana? Ia agak marah pada dirinya sendiri. Sebab, dalam keadaan seperti ini hatinya masih harus memikirkan segala ketabuan dan ketidaklaziman. Meski yang ia pikirkan itu juga benar.

48

Benteng Terakhir

Namun kemudian, tanpa disadarinya insting kemanusiaannya telah bergerak dan memerintah dirinya untuk segera menyelamatkan jiwa gadis itu. Ia pun membuka pakaian Salwa. Tak ada lagi cara, pikirnya. Sebab, pakaian basah di tubuh Salwa itulah yang kian membuatnya kedinginan.

Terpana Rumba. Betapa perjalanan hidup terasa telah teramat jauh  ia jalani hingga ia mengenal Salwa. Jauhnya jalan yang ia tempuh itu terasa saat ia menyadari bahwa dirinya semakin mengetahui banyak hal tentang Salwa. Bahkan, Salwa yang kini tak selembar pun disaputi benang.

Tubuh itu. Sebenarnya Salwa terhitung bukan lagi gadis kecil yang dengan kata kecilnya merangkak tumbuh. Tetapi sesungguhnya Salwa sudah menjadi gadis belia yang dengan takdir kewanitaannya mekar dan terus tumbuh.

Tubuh yang dalam kesehari-harian selalu terbungkus helai pakaian, dan oleh karenanya terlindung dari debu dan kepanasan itu, sungguh indah. Bersih, bagai bersih pualam yang belum tersentuh tangan.

Oh, Tuhan....Betapa sempurna Engkau mencipta....gema hati Rumba. Dan keterpanaan seorang Rumba sebenarnya keterpanaan yang wajar dialami seorang lelaki. Belum pernah Rumba tahu pemandangan seperti itu.

Kemudian erat dipeluknya tubuh Salwa yang dalam diam seperti tak bernyawa. Ada tikar satu lagi yang ia gunakan untuk selimut mereka berdua. Kehangatan perlahan menjalar dan ia rasakan. Ia berharap kehangatan itulah yang  akan menyadarkan Salwa. Kehangatan energy hidup yang dibutuhkan agar suatu makhluk dapat bertahan hidup.

Hening di dalam pondok itu. Suara gemuruh hujan di luar pondok membuat Rumba merasa hanya ia dan Salwa yang hidup di dunia.Tenggelam ia dalam lautan kasih dan keinginan untuk menyayangi. Namun, tak ada birahi. Sebab, dia sendiri pun sebenarnya belum tahu arti kata birahi itu.

Tak lama kemudian, kesadaran Salwa pelan-pelan pulih. Rumba pun sadar bahwa ia tengah memeluki Salwa dengan penuh rasa sayang seperti itu. Namun, entah kenapa, kesadarannya tentang makna seorang kakak, perlahan tiba-tiba memudar.... dan memang Salwa tiadalah

49

Benteng Terakhir

segaris seketurunan dengannya. Kehangatan yang ia rasakan saat itu perlahan-lahan menyentuh jiwa kelaki-lakiannya. Meski, tiba-tiba, hal lain pula mengisi relung hatinya. Ada bayangan Emak yang melintas di pikirannya. Bayangan seorang perempuan.

Bahkan perempuan tua—mungkin sang leluhur yang telah melahirkan anak-anaknya, lalu dirinya, seorang Rumba dan juga adik-adiknya. Adik-adik yang amat ia sayangi.

Ada bayangan Salwa pula yang samar menjelma dalam sosok seorang adik yang juga amat ia sayangi. Lalu bayangan itu beralih pada keadaan saat Salwa menangis di sisi jasad emaknya. Bayangan Salwa yang dengan air matanya berdiri memandangi kubur orang-orang tuanya yang sangat dikasihinya. Kemudian bayangan Salwa yang merangkak menjalani hari-hari sedih dan mencoba menggapai hari-hari depannya.

Sesungguhnya Salwa amat menderita. Penderitaan teramat berat yang harus dipikulnya sebagai seorang anak manusia dengan segala keberadaannya. Dan Rumba, sebagai sosok yang lepas dari derita, sejak semula telah bertekat membawa Salwa untuk bangkit dari derita itu.

Lantas andai tekat itu memang harus terangkum bersama rasa suka dan jiwa kelaki-lakiannya yang normal, akankah itu disalahkan? Pertanyaan yang tanpa sadar, yang tak tertata dalam bait-bait kata selayaknya kata dari orang dewasa yang telah banyak tahu arti rasa suka. Tapi pertanyaan yang melintas berdasarkan insting atau naluri belaka.

Namun, pertanyaan yang juga tak mampu ia jawab, baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan. Ia hanya diam memeluk. Hening di dalam pondok itu, jadi kian hening meski gemuruh hujan di luar menderu-deru.

Pada saat itu, terbayang di mata Rumba, betapa sulitnya ia dan Salwa menjalani hari-hari di sini. Mengharap tanah ini ditumbuhi tanaman kembali. Agar tanah ini kembali menjadi sah milik Salwa.

Pada saat itu bayangan yang ada di mata Rumba, bayangan yang tak bisa ia tata dalam bait kata-kata atau tindakan sebagai seorang laki-laki dewasa....betapa ia telah amat dekat dengan seorang Salwa. Bersama itu, betapa ia semakin menyayanginya.

 *

50

Benteng Terakhir

Agar lahan itu ditumbuhi banyak tanaman, Rumba rela melakukan apa saja untuk mendapatkan bibit-bibit tanaman. Selain tanaman dari hutan Merabu, ia pun kerap mencari bibit tanaman dari tempat lain yang jauh.

Suatu hari, entah mimpi apa malamnya, ketika mencari bibit tidak memperoleh hasil, di sebuah padang ilalang, ia bertemu seorang gadis kota dengan mobil jipnya yang sedang terperosok di lubang. Berkat pertolongan Rumba yang banyak akal, mobil gadis itu bisa terangkat dari lubang.

Saras nama gadis kota yang cantik itu. Sebagai rasa terima kasih, ia rela menemani dan mengantarkan Rumba ke mana saja untuk mencari bibit-bibit tanaman yang ia inginkan.  

Saras adalah mahasiswa dari Jakarta. Tujuannya datang ke desa ini adalah untuk mengisi hari liburnya dengan membuat buku tentang masyarakat pedesaan di wilayah  Lampung. Masyarakat Lampung yang multi etnik, yang kerap disebut sebagai Indonesia mini, telah menarik perhatiannya.

Untuk tujuan itu, Saras akan melakukan penelitian-penelitian. Saras juga seorang pelukis. Keadaan alam Lampung yang indah khususnya objek-objek wisata alaminya, membuatnya tertarik untuk datang ke sini. Ia ingin menumpahkannya lewat goresan-goresan di kanvas lukisan.

Dengan tujuan seperti itu, tentu Saras membutuhkan waktu yang agak lama untuk tinggal di desa itu. Oleh karena itu, ia  senang ketika menemukan teman seperti Rumba. Walau awalnya ia tak percaya kalau di desa seperti ini ada anak laki-laki serupawan dia.

Karena itulah ia pun merasa senang walau hari itu ia habiskan waktu untuk menemani teman barunya, Rumba. Dalam obrolan-obrolan yang mereka lakukan, Rumba tahu bahwa Saras juga amat mencintai dan amat peduli pada alam. Semangat Saras menemani Rumba mencari bibit-bibit tanaman merupakan suatu bukti.

Rumba pun tak ragu untuk banyak bercerita tentang alam. Karena ia

51

Benteng Terakhir

senang, ternyata ada juga orang kota yang peduli pada alam. Harapannya ia mendapat banyak cerita tentang kota dari gadis itu. Sebab ia memang belum pernah pergi ke kota, kecuali mendengar cerita dari kakeknya.

 “O iya, aku pernah dengar cerita dari Kakek. Katanya di kota banyak orang jahat, banyak orang telah melupakan Tuhan. Itu makanya mereka tidak peduli pada lingkungan. Di sana tanam-tanaman jarang didapati. Sungai-sungai sedikit dan bahkan kotor airnya.”

“Ya, benar. Apa yang kakekmu ceritakan itu benar adanya.”

“Terus kata Kakek, saat ini tanah kita hendak dikuasai oleh makhluk-makhluk jahat. Mereka berusaha membuat kita, pemilik sah tanah ini, menderita dan merana terlebih dahulu.”

“Ya, kakekmu sesungguhnya hendak menggambarkan adanya pertarungan antara orang-orang jahat yang hendak membawa kehancuran dan kekeringan, dengan orang-orang baik yang mencintai lingkungan, gemar menanam, menjaga kebersihan, dan merawat alam.”

“Apakah orang-orang jahat penebar kehancuran itu akan sampai ke desa, lalu memerangi orang-orang yang cinta lingkungan seperti kami di Dusun Merabu?”

“Suatu saat mungkin saja para pencinta lingkungan akan kalah dan kita benar-benar dilanda kekeringan, kemudian binasa.”

 “Mengerikan sekali….”

“Ya, mengerikan. Dan yang lebih mengerikan lagi, menurut para ahli, karena ulah manusia yang tidak peduli pada lingkungan, lapisan ozon yang melindungi bumi kita dari radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari, telah kian menipis dan menganga.

Sinar ultraviolet adalah sinar yang membawa kerusakan bagi benda yang dikenainya. Akibat lapisan ozon yang menipis dan menganga, sinar matahari langsung ke bumi. Lalu, terjadilah pemanasan global. Suhu bumi meningkat. Iklim tak seimbang.

Iklim yang tak seimbang mengakibatkan sungai-sungai mengering, es di kutub mencair, tekanan udara antar tempat tak berimbang, dan sebagainya. Akibat berikutnya, badai sering melanda, gelombang laut sering mengganas, tanah mudah longsor, kebanjiran banyak melanda, dan

52

Benteng Terakhir

segala bentuk bencana akan terjadi di mana-mana.”

“Benar-benar mengerikan…” Rumba seperti bergumam. “Lalu apakah menipisnya lapisan ozon itu bisa dipulihkan lagi?”

“Belum ditemukan caranya.”

“Dengan banyak-banyak menanam pohon atau penghijauan bumi, misalnya?”

“Ya, mungkin saja. Sebab logikanya tumbuh-tumbuhan itu menyerap panas atau sisa-sisa pembakaran, karbon monoksida dan karbondioksida. Lalu menghasilkan oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan atau bahan kesejukan bagi alam raya. Dan kemungkinan terbaik saat ini yang bisa dilakukan manusia agar bumi dan manusia tak punah, adalah penghijauan bumi.”

“Berarti tidak sia-sia apa yang telah kami lakukan dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya serta memelihara kelebatan dan kehijauan hutan di sekitar dusun kami. Setidaknya untuk keberlangsungan kehidupan kami.”

“Benar Rumba, tidak akan sia-sia orang yang berusaha menghijaukan muka bumi ini. Bahkan sesungguhnya mereka adalah pahlawan bagi kemanusiaan, pahlawan bagi kehidupan.”

“Ah, kami tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kami pikirkan selama ini hanyalah keinginan untuk menanam di setiap tanah hampa di sekitar kami. Seperti anjuran Nabi untuk banyak menanam dan juga perintah kitab suci agar kita memakmurkan bumi.”

“Ya,  itu berarti Alquran dan Nabi sudah memprediksi nasib bumi ini ke depan —andai manusia tidak berusaha memakmurkannya dengan banyak-banyak menanam pohon.”

“Ya, ya,” Rumba mengangguk-angguk.

Banyak hal lagi yang Rumba tanyakan pada Saras. Dari obrolan mereka, Rumba mampu menilai bahwa  Saras adalah gadis yang amat pintar. Karena ia mampu bicara tentang apa saja, berganti-ganti tema dari soal pertanian, sosial budaya, dan lingkungan. Bagi Saras, apa yang

53

Benteng Terakhir

dikatakannya tentulah hanya sekadar memberitahu. Namun bagi Rumba, sebagai anak dusun, apa yang dikatakan Saras itu amat menarik. Karena itu, ia amat senang dan menempatkan Saras sebagai teman yang sangat berharga.

Di sisi lain, sebenarnya Saras pun kagum pada laki-laki belia itu. Dari keinginannya mencari bibit tanaman dan tanggapan-tanggapannya atas apa yang ia ucapkan, terlihat bahwa laki-laki belia ini selain pintar, juga begitu peduli pada apa pun yang bernilai kebaikan. Kepedulian yang melampaui batas usianya. Hal yang belum pernah Saras temui dari laki-laki kecil seusianya.

Diam-diam Saras berpikir bahwa dirinya memiliki kepedulian yang sama dengan Rumba. Mungkin itulah yang membuat mereka jadi mudah akrab.

Suatu ketika Rumba berkeluh kesah tentang terjadinya peracunan ikan-ikan di sungai di desanya ini. Peracunan yang membuat ikan-ikan sebagai sumber makanan akhirnya hilang. Ia amat membencinya dan berusaha menghentikan peracunan itu.

“Ikan-ikan yang sudah terkena racun seperti itu, sangat berbahaya bila dikonsumsi manusia,” tanggap Saras. “Untuk meracun ikan-ikan itu bisa saja mereka menggunakan berbagai racun.  Dan racun apa pun yang mereka gunakan sangat berbahaya.

Racun-racun yang mengendap dalam tubuh manusia akan mengendap menahun dan di kemudian hari akan mengakibatkan berbagai penyakit, seperti kelumpuhan, kelainan, kebodohan, dan sebagainya.”

Rumba terbengong-bengong mendengar keterangan Saras. Bahaya racun itu begitu mengerikan baginya.

Dan Saras tahu kengerian yang dirasakan Rumba . Ia pun menjelaskan cukup panjang lagi tentang bahaya racun-racun itu terhadap manusia. Namun, ia tahu Rumba sedang mencari cara untuk menghentikan peracunan itu. Ia pun memikirkan jalan keluarnya.

Mereka lalu berembug mencari jalan untuk menghentikan peracunan itu. Rumba mengajak Saras untuk menegur langsung para pelaku peracunan ikan-ikan itu. Namun, Saras mengusulkan untuk menemui kepala desa. Rumba setuju.

54

Benteng Terakhir

Tak berapa lama, mereka langsung menuju balai desa tempat biasanya sang kepala desa ada. Sesampainya di balai desa, didampingi Saras, Rumba mengutarakan maksudnya, meminta kepala desa menegur orang-orang yang gemar meracuni ikan.

Saras menguatkan keterangan Rumba dengan alasan yang terinci dan ilmiah.

Walau tak terlihat banyak bicara, Pak Kades tampaknya paham. Kemudian ia terlihat lebih banyak merenung. Entah apa yang direnungkannya.

Namun, bagi Rumba dan Saras itu sudah cukup. Seorang pemimpin yang baik, ketika mengetahui bahaya yang akan mengancam warganya, tentu akan segera melakukan tindakan demi keselamatan warganya, pikir mereka.

Mereka pun pamit meninggalkan sang Kepala Desa. Sesampai di rumah kost Saras, Rumba tak ragu melakukan apa saja untuk Saras. Ia menimba air untuk mandi Saras. Memberesi apa saja yang ia lihat berantakan. Walau Saras melarangnya.

Tampaknya itu semua Rumba lakukan karena ia amat berterimakasih atas bantuan Saras yang telah menyampaikan perihal bahaya racun-racun ikan itu kepada Pak Kades. Sebab selama ini tak ada yang berani menyampaikan hal itu pada sang kepala desa.

Malam harinya bulan separuh muncul di ufuk timur. Desa itu ramai oleh anak-anak yang bermain di pelataran rumah. Ada yang bermain benteng-bentengan, petak umpet, gobak sodor, cublak-cublak suweng, dan sebagainya.

Sebelum bertemu Rumba, setiap jam seperti ini Saras selalu menyempatkan diri untuk melihat-lihat bahkan iseng ikut bermain dengan anak-anak desa itu. Karena Saras memang berusaha untuk dekat dengan semua warga.

Namun, sekarang ia lebih memilih menyendiri di kamarnya. Sebab, tadi siang ia sudah merasa puas mendapat teman baik, sebaik Rumba. Entah kenapa ia merasa amat senang berkenalan dengan pemuda belia satu itu.

Mungkin karena baru kali ini ia mengenal pemuda desa, yang meski belum begitu besar, tetapi memiliki pesona alami. Pemuda belia yang memiliki kepedulian seperti orang dewasa.

Masih jauh dan panjang malam itu Saras mengulur waktu. Mengenang pertemanan singkat yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Rumba.

55

Benteng Terakhir

Malam itu, bulan sabit kian melebarkan senyumnya. Cahaya bintang-bintang kemerlip seperti taburan mutiara. Saras perlahan terbadai dalam lelap, tergolek indah. Ia, gadis yang datang dari tempat nun jauh, terlihat sangat lugu dalam keadaan seperti itu.

Ia, bahkan hampir seperti bayi mungil yang tak tahu nasib dan takdir setelah pertemanannya dengan laki-laki belia, si anak Merabu.

Tiba-tiba di langit bagian hulu sana, seekor bintang melesat dari belahan langit lain yang sunyi. Bintang berekor itu seperti jatuh tepat menerpa puncak daun merbau di hutan Merabu. Pertanda apa?

Seorang kepala desa tengah malam itu berjalan tergopoh-gopoh ke sebuah rumah cukup besar di salah satu sudut di desanya.

“Hei, Sanip, dari mana saja kau? Sudah dua kali aku ke mari, kau baru tampak setelah jam segini!”

“Oh, Pak Kades. Aku  baru pulang dari Desa Sematang. Ada apa rupa nya, tampaknya penting sekali hingga harus dua kali aku dicari. Ayo masuk, dan silakan duduk!”

Pak Kades segera duduk. “Ini antara penting dan tidak penting,” Pak Kades berbicara tenang dari tempat duduknya. “Soal kebiasaanmu mencari ikan dengan racun itu, Nip.”

“Ha? Ada apa dengan hobiku itu?”

“Mulai saat ini, hentikan hobimu itu!”

“Ha, kenapa Pak Kades sekarang mulai berani melarang sesuatu yang menjadi kebiasaanku? Sekali ini melarang, nanti hal-hal lain dilarang pula. Bukankah dulu, janji Pak Kades sebelum jadi lurah akan membiarkan apapun yang aku kerjakan dan usahakan?

Nah, kalau begitu, menyesal aku dulu mendukung dan merekayasa warga agar mau memilihmu menjadi lurah. Kalau begitu, nanti aku bisa bocorkan rahasia itu agar warga tahu, kau naik jadi lurah dari usaha yang tidak benar.”

“Oi, tenang dulu, Sanip, tenang dulu. Aku tidak bermaksud melarang mu. Hanya saja kali ini.... ada sesuatu yang justru mengancam kedudukanku. Nah, kalau kedudukanku terancam, otomatis segala usaha dan kegiatanmu tentu terancam juga, kan?”

56

Benteng Terakhir

“Maksud Pak Kades?” Sanip mengerutkan dahi.

“Maksudku begini, Sanip. Desa kita kan sedang kedatangan tamu mahasiswi itu. Dia mendapat laporan dari seorang anak dari Dusun Merabu. Tadi siang mereka datang kepadaku. Mereka memintaku untuk mencegah peracunan ikan-ikan di sungai di desa kita ini. Bahkan mereka menjelaskan dampak buruk racun-racun itu bagi warga di sekitar sini bila memakan ikan-ikan yang terkena racun itu.”

“Ah, dampak buruk apa? Kalau mau kena dampak buruk, akulah yang pertama mati karenanya. Sebab sejak kecil aku ini sudah hobi memakan ikan hasil meracuni sungai-sungai dan rawa-rawa.”

“Ya, tapi ini anggapan mahasiswi itu, Nip. Ia tentu tidak akan diam andai peracunan ikan itu terus dilanjutkan. Dia dan anak Dusun Merabu itu tentu akan memberitahu warga tentang bahaya-bahayanya.

Nah, apa jadinya nanti kalau kau terus melakukannya? Nanti warga menyangka aku tidak melakukan tindakan apa-apa untuk melindungi mereka. Iniakan jadi isu politik bagi warga. Nanti bisa-bisa aku tidak terpilih lagi jadi Kades. Dan kau tentu akan terancam juga, kan?”

“Hmmm...sialan mahasiswi dan anak Merabu itu. Beraninya mereka mengusik kesukaanku. Hehe...tadinya aku meracuni ikan-ikan itu untuk mencari simpati warga biar bisa ramai-ramai mencari ikan. Lalu mereka akan simpati dan senang kepadaku karena aku yang telah menyediakan bahan-bahan racun dan peralatannya.”

“Ya, sudah. Kalau begitu, sekarang cari cara lain agar warga bersimpati.”

“Hmm...ya, ya...” Sanip si tukang pukul, alias jagoan, alias preman desa itu mengangguk-angguk dengan gigi gemerutuk. “Tapi awas! Awas, mereka yang telah mengusik kesenanganku! Itu sama artinya menyinggungku!”

“Sudah, sekarang ceritakan bagaimana hasil tagihanmu ke Desa Sematang? Apa sudah kau bilang kita minta jatah tambahan juga? Kan kalau ada apa-apa kita juga ikut melindungi. Bukan hanya pamong Desa Sematang saja....”

57

Benteng Terakhir

“Ya, sudah aku katakan semua. Tapi Pak Kades Sematang bilang penebangan sekarang untuk sementara dihentikan dulu. Pohon-pohon yang akan ditebang sudah habis. Tinggal kayu-kayu yang ada di hutan Merabu dan sedikit di sebelah selatan hutan Merabu itu.

Penebangan kali ini katanya agak sulit. Orang-orang Merabu tidak tinggal diam. Mereka sangat menjaga hutannya. Bahkan penjagaan mereka sampai ke hutan-hutan di luar batas milik mereka. Sudah satu orang penebang terkena panah orang-orang Merabu.”

“Hmmm....ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu,” Pak Kades mengangkat pantatnya dari bangku.

“O, iya, soal mahasiswi itu apa perlu aku tangani?”

“Ah, tak tahulah. Mesti ditangani seperti apa.”

“Hmm...” Sanip tersenyum dan mengangguk-angguk sambil mengantar Kepala Desa ke pintu.

Malam di Desa Raja Sembilang itu kian merayap ke puncaknya.                                                                   *                               

Hari-hari sejak berkenalan dengan Saras saat itu, sepulang dari mencari bibit-bibit pohon, Rumba sering datang menemui Saras di rumah kostnya. Rumba kerap membawakan buah-buahan untuk Saras.

Merasakan kemurahan hati Rumba yang telah dengan i hati menemaninya sampai membawakan buah-buahan seperti itu, tak ada hal terbaik yang ia punya yang bisa ia berikan kecuali makanan yang ia bawa dari kota.

Sepulang darinya, Saras kerap menyertakan oleh-oleh untuk Rumba berupa roti-roti kaleng. Rumba sebenarnya menolak pemberian itu untuk menjelaskan bahwa ketika dengan tulus ia memberi, bukan untuk suatu timbal balik menerima. Walau ia kerap tak berdaya menolak lantaran Saras memaksa.

Ketika membawa oleh-oleh seperti itu, pikiran Rumba pun langsung teringat pada Salwa. Karena ia juga tak pernah lupa pada gadis kecil itu. Bukan saja karena ia sadar ajaran yang ia terima hendaklah memuliakan anak yatim piatu, tapi suatu kehendak di benaknya memang selalu

58

Benteng Terakhir

mengingat gadis itu. Nanti makanan itu akan dimakannya bersama saat menanam bibit pohon di ladang seberang.

Sementara Saras yang memang membutuhkan teman, bila Rumba datang bertandang kerap mengajak Rumba pergi. Ke padang ilalang tempat pertama mereka bertemu dulu itu Saras kerap mengajak Rumba. Ia senang melihat dan mengejar-ngejar burung puyuh yang beterbangan pindah tempat bila mendengar ada manusia yang mendekati kediamannya. 

Dari kejauhan, di antara padang ilalang itu, yang tampak hanya pucuk-pucuk kepala mereka. Kadang menyembul bila mereka ada didataran cukup tinggi, tetapi kadang tenggelam pada dataran cukup dalam. Mereka tampak amat akrab. Keakraban yang lahir dari kekaguman. Kekaguman Rumba terhadap Saras,  seorang gadis kota yang peduli pada alam, terpelajar, dan pintar. Kekaguman Saras terhadap Rumba karena kepolosan, ketulusan, dan kejujuran serta kesetiaan pertemanan yang menyenangkan, yang telah jarang ia temukan pada manusia kota.

Maka, tidak aneh jika akrabnya pertemanan itu cepat dan kian terjalin di antara mereka.

                                                                      *

Bersama hujan yang kian sering turun, Rumba dan Salwa masih terus melakukan penanaman. Mencangkul, membuat lubang-lubang, meletakkan bibit-bibit ke lubang, lalu mengunjal air dari sungai untuk menyiram. Bila hujan turun, agak ringanlah pekerjaan mereka. Karena tugas menyiram yang harus mereka lakukan telah diambil alih oleh hujan.

Berhadapan dengan hujan dan terik matahari yang membakar, hati Rumba kerap merasa tak tega melihat Salwa yang tampak tak kenal lelah. Rumba sering kali meminta Salwa untuk tidak ikut menanam.  “Lihat, kulit jarimu nanti menebal karena terlalu banyak memegang dan menanamkan bibit. Kulitmu nanti juga kian gelap karena tersengat matahari. Aku ingin kau banyak tinggal di rumah.”

59

Benteng Terakhir

“Ah, tak apa kulitku menghitam.” Salwa hanya tersenyum kecil. Ia hendak menunjukkan kesungguhannya menyertai Rumba. “Kalau kulitku mulai menghitam, gampang saja, setiap pulang menanam, kita kan mandi di sungai. Aku akan berendam selama mungkin hingga yang hitam terkelupas,” Salwa melebarkan tawa.

Rumba tak tahu apakah Salwa tengah bercanda, atau benar-benar dengan kalimatnya. Rumba hanya mampu memandangi helai rambut Salwa yang menjuntai di depan wajahnya bergoyang-goyang ditiup angin. Sinar matahari senja menguning di wajah dan helai rambut itu. Hati Rumba semakin ingin melindungi dan membahagiakan gadis kecilnya.

Setiap pulang menanam, mereka memang berlama-lama main cebur-ceburan di sungai.

Begitulah berhari-hari mereka lakukan. Menanam dan terus menanami lahan itu tanpa kenal lelah. Kadang mereka berhenti menanam untuk mencari bibit tanaman di hutan Merabu. Pada saat-saat seperti itu, Rumba menyempatkan diri berkunjung ke rumah penginapan Saras.

Sayangnya kemudian, setiap kali Rumba datang, kebetulan Saras tak ada di tempat. Rumba tahu Saras banyak pekerjaan. Pasti ia sedang pergi ke daerah lain untuk mencari bahan tulisan dan ide lukisan, pikir Rumba.

Ia pun tahu gadis itu seorang pekerja keras. Beberapa kali Rumba menyelipkan kertas di kaca nako. Sekadar mengabarkan bahwa ia telah berkunjung. Entah sudah berapa kali Rumba menyelipkan kertas di balik kaca nako itu.

Suatu hari, saat senggang, tampak Rumba sedang membuat papan-papan yang ia tulisi peringatan bahayanya meracun ikan dan memakan ikan hasil peracunan. Dengan mengerahkan adik-adiknya, papan-papan itu mereka tancapkan di sepanjang bantaran sungai.

Bahkan papan yang berukuran cukup besar mereka pasang di pinggir-pinggir jalan memasuki Desa Raja Sembilang. Dengan cara seperti itu ia berharap masyarakat desa tahu akan bahayanya racun ikan.

Namun, Rumba  tidak tahu, ada orang yang tidak suka dengan apa yang dilakukannya.

60

Benteng Terakhir

Sanip, si preman desa, salah satu kaki tangan kepala Desa Raja Sembilang, beserta orang-orangnya mencibir dan marah atas ulah anak- anak Merabu itu. Mereka merasa dikalahkan oleh orang-orang Dusun Merabu. Dusun terpencil yang jauh dari keramaian itu.

Dan Rumba yang tidak mengetahui adanya orang-orang yang tidak senang atas usahanya, tanpa pernah merasa melakukan kesalahan terus memasang pengumuman dan pemberitahuan lewat papan-papan itu. Akhirnya orang-orang yang gemar meracuni ikan di sungai merasa dilecehkan.

Bersama itu mereka pun tahu, keberanian untuk menentang peracunan ikan itu tidak lepas dari peran mahasiswi bernama Saras. Maka, selain ditujukan kepada anak-anak Merabu, ketidaksukaan itu ditujukan pula kepada Saras.

Saat anak-anak Merabu melakukan kampanye anti meracuni ikan hari itu, kebetulan Saras sedang berada di luar desa. Sehingga ia tidak tahu.

Tetapi keesokan hari Saras melakukan kegiatannya di Desa Raja Sembilang. Agak siang ia berangkat dari rumah dengan mobil jipnya. Sebelum pergi ia sempat menitipkan surat pada Mak Nipah, pemilik penginapan. Surat itu ditujukan untuk Rumba.

Mungkin karena hari ini kegiatannya tidak jauh, ia memberitahu Rumba. Ia tahu kalau Rumba sering datang karena selalu membaca pesan-pesan yang diselipkan Rumba di kaca nako itu.

Dengan mobil jeepnya Saras menuju padang ilalang tempat ia dan Rumba pernah ke sana. Di sebelah utara padang ilalang itu banyak ladang kering yang hanya bisa ditumbuhi tanaman tertentu, seperti singkong.

Ada yang hendak Saras ungkap dari para petani di lahan kering itu. Mengapa hanya singkong yang tumbuh di sana? Tak adakah alternatif tanaman lain yang bisa ditanam? Atau karena kemalasan?

Padahal jika mau, di tanah itu dapat tumbuh tanaman tahunan, seperti cengkeh. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggelitik hati Saras untuk mengungkapnya, baik lewat tulisan maupun dengan lukisan.

61

Benteng Terakhir

Di suatu tempat di bawah payung cukup besar, Saras pun menggoreskan kuas di kanvasnya. Melukiskan seorang petani di kebun singkong, di tanah keringnya. Begitu konsentrasi ia. Tak ada hal lain yang ia pikirkan, kecuali objek-objek yang hendak digoresnya dalam lukisan. Cukup lama ia melukis. Hingga matahari agak condong ke barat.

Saras tak tahu, pada saat itu seorang laki-laki bertopeng dengan mengendap-endap di antara ilalang, tengah mengawasinya.

Baru saja Saras sampai ke mobil dan meletakkan seluruh peralatan dan lukisannya, tiba-tiba laki-laki bertopeng itu menyerbu hendak membekapnya. Kaget Saras lalu mengelak.

Laki-laki itu pun kembali memburunya. Saras berlari. Tapi sial, ia terjatuh. Kaki Saras tampaknya terkilir. Dan, “Aaauuuu….!” Saras terpekik. Ia jatuh berguling-guling kesebuah jurang kecil.

Tak ampun, dalam keadaan kaki terkilir dan tergeletak tak berdaya, laki-laki bertopeng itu turun mendekati Saras. Tubuh Saras dibaliknya kemudian didudukinya.

Saras melawan. Gadis itu paham bagaimana nasibnya jika diam.

Laki-laki bertopeng itu mencoba menghentikan perlawanan Saras dengan mencekik lehernya. Tapi Saras terus melawan. Sampai akhirnya laki-laki itu mengeluarkan sebilah belati mengkilat dari pinggangnya. Belati itu pun terangkat dan siap dihunjamkan ke tubuh Saras.

Namun, tiba-tiba sesosok tubuh muncul dari balik ilalang. Menyerang dengan sebuah sekop berdesing ke tubuh laki-laki bertopeng itu. Laki-laki bertopeng itu berguling ke samping.

Tapi tangannya tak mampu terhindar dari kibasan sekop. Pisau di tangannya pun terpental jauh. Sekop berdesing lagi dengan cepat. Plak! Kepala orang bertopeng itu kena. Ia tergeletak pingsan.

“Kak Saras, cepat lari! Sebelum orang jahat itu bangun!”

“Ya, Tuhan, Rumba, terima kasih. Untung kau datang,” ujar Saras sambil berusaha bangkit dan berlari menuju mobil. Tapi karena kakinya terkilir, Saras kesulitan berjalan, apalagi harus menanjak. Rumba segera memapahnya.

62

Benteng Terakhir

Tapi celaka, belum sampai Saras ke mobilnya, benar kata Rumba, laki-laki bertopeng itu bangun dari pingsannya. Melihat Saras berjalan tertatih-tatih dipapah oleh Rumba, laki-laki itu segera memburu.

“Kak Saras, berusahalah berjalan ke mobil dengan sekuat tenaga! Lalu cepatlah pergi dengan mobil. Aku akan menghadapi orang itu. Ini,bawalah sekop ini untuk senjata, kalau-kalau aku tak mampu menghadang orang itu!”

“Dengan senjata apa kau menghadapi orang itu, Rumba?” tanya Saras sambil berjalan tertatih-tatih ke mobilnya.

Rumba tak menjawab. Sebab, orang bertopeng itu telah sampai di dekatnya. Rumba menghalang-halangi orang itu agar jangan sampai mendekati Saras.

Karena merasa dihalang-halangi, orang itu melayangkan tinjunya ke wajah Rumba. Tak ampun, Rumba terpental. Orang itu segera menuju ke arah Saras yang sudah mendekati mobilnya.

Tapi Rumba segera memegang kaki orang itu. Akibatnya ia pun terjatuh. Namun, ia segera bangkit dan mendaratkan pukulan lagi ke wajah Rumba. Rumba terpental, tapi bangkit lagi untuk menggantungi tubuh orang itu agar tak sampai menggapai Saras. Begitu berulang-ulang.

Beruntung kemudian Saras sampai ke mobilnya. Walaupun dengan susah payah, ia segera naik kemudian menyalakan mesin. Tetapi mobil itu tak segera berjalan. Sebab, Saras terpana, tak tega melihat Rumba dipukuli. Ingin rasanya ia keluar lagi dari mobil dan membantu Rumba.

Namun, dalam keadaan payah Rumba memerintah, “Kak Saras cepat pergi cari bantuan! Tinggalkan aku! Biar kutahan orang ini!”

Lalu, Saras pun segera menekan gas. Mobil melaju.

Setelah mobil Saras berada cukup jauh, barulah Rumba membiarkan laki-laki bertopeng itu berlari mengejar mobil Saras. Tampak ia masih berharap mampu mengejar mobil dan menangkap Saras. Tetapi Saras dengan mobilnya yang ngebut tak terkejar lagi.

Sementara Rumba, demi merasa orang itu cukup jauh darinya, dengan sisa-sisa tenaganya berlari ke arah jalan lain di antara rumpun-

63

Benteng Terakhir

rumpun ilalang di sana. Ia cukup tahu  jalan pintas agar bisa bertemu rute jalan menuju desa. Maka, ia pun berlari dan terus berlari sekencang-kencangnya.

Ketika melihat kedatangan Rumba di rumah kosnya dalam keadaan payah, Saras langsung memeluk laki-laki belia itu. Ungkapan syukur, bahagia, dan terima kasih bergumul di benaknya.

Namun, sekaligus ia bersedih saat melihat kondisi Rumba. Ia tak bisa menyembunyikan rasa sedih di hati. Ia pun menitikkan air mata. Terkenang betapa laki-laki belia ini sudah teramat berkorban untuk dirinya.

Kalau tak ada Rumba, mungkin laki-laki jahat itu sudah memperkosanya, atau bahkan mungkin saat ini ia sudah tiada. Segala bayangan buruk itu membayang di pelupuk matanya. Oh Rumba... Tanpa banyak kata ia pun segera merawat bengkak-bengkak di wajah Rumba.

Ia tahu betapa Rumba merasakan sakit karena pukulan demi pukulan orang jahat itu. Tak banyak yang ia ucap, selain terus merawatnya. Ia mengompres bengkak-benagkak di wajah Rumba sambil terus berlinang air mata. Kian terbayang betapa Rumba telah teramat jauh berkorban untuk dirinya, kian tak mampu ia menahan kesedihannya.                                                   

                                 ***                                 

      Bersambung....  

 

 

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak