Demokrasilah yang kita sepakati, membuat kita tidak bisa menģelak perbedaan dan perdebatan itu terjadi.
Ideologi kita yang terbuka pun tidak bisa kita elak membuka ruang perdebatan dan kleam kebenaran itu terjadi.
Berbagai partai, pun Islam, jangan dikira mereka tidak memiliki hak kleam kebenaran atas ideologi versinya sendiri.
Kristiani pun punya hak. Hindu, buda, bahkan yahudi, jika ada pemeluknya yang ikut berjuang dalam usaha pemerdekaan dan kemerdekaan bangsa ini dulu, pun punya hak atas versinya.
Masyarakat sumatera barat, jika di sudutkan sebagai yang tidak pancasilais oleh kalimat Puan Maharani, bisa saja dan mereka punya hak jika kemudian memiliki ideologi pancasila ala pola pandang mereka sendiri.
Faham liberalis, bahkan bisa menanamkan kukunya di negeri ini dengang pikiran bahwa inilah liberal ala pancasila indonesia.
Atas hal di atas, kita mau apa dan bisa apa? Karena demokrasi dan wadah yang terbuka itu memang memberi ruang untuk hal itu.
Apakah negara akan memaksa seperti di masa lalu yang akhirnya kita berdarah-darah? Negara bangsa ini memang sangat punya bahan untuk terpecah-pecah. Mengerikan!! Lantas jalan keluarnya bagamana?
Dalam pikiran penulis, untuk sementara ini, biarkanlah adanya perdebatan, itu diskursus sehat dan memang harus sehat.
Bukan diskursus ala buzzer yang tidak memenuhi unsure intelektual dan terpelajar.
Setelah kita berdebat dengan masing-masing kita punya versi, lalu kita akan sampai pada suatu titik.
Titik ini, selagi belum ada yang rasional untuk disepakati bersama, maka titik itu kita namai saja titik persatuan yang jatuh di sila ke tiga dari Pancasila. Selesai.
Artinya perdebatan itu tak perlu diperpanjang. Termasuk BPIP tak perlu ada.
Nah, suatu hari nanti, entah kapan itu datangnya, jika ada anak bangsa yang tiba-tiba membawa gagasan baru tentang terjemah Pancasila mari munculkan lagi diskursus seperti ini.
Jika gagasan baru itu rasional untuk keindonesiaan serta meruangi suatu cita-cita kebangkitan, meruangi harapan seluruh anak bangsa bahkan dunia, barulah mungkin kita akomodir terjemah itu.
Kita, walau bagaimanapu, adalah bangsa yang belum selesai terbentuk. Maka masing-masing kita harus bijak untuk melihat ini sebagai sebuah proses menuju cita-cita terbentuk.
Maka kita tak bijak jadinya jika memaksakan kehendak agar versi kitalah, yang harus diutamakan.
Atas dasar hal-hal di atas, kaum aktivis harus semakin terpanggil dan memiliki alasan untuk membenahi bangsa ini.
Artinya ada sesuatu yang masih perlu digali dan dicari dari keideologian kita dalam upaya merawat bangsa ini.
Pencarian yang konsekwensinya adalah perdebatan, tidak harus membuat kita lupa bahwa kita harus bersatu dalam perbedaan yang ada.
Maka saranku, kepada kaum aktivis, tetaplah dengan hati pikiran yang suci dan tulus...semua terarah hanya untuk rakyat dan bangsa!!!
Yakinlah bahwa ujung jalan ini kelak adalah kemenangan bagi rakyat semesta.
Yang luka, yang sakit hari ini bersabar dalam sakitnya dalam jiwa dan raga yang tetap terarah pada perubahan, persembahan yang terbaik kepada rakyat semesta.
Yang bisa berkata dan bergerak hari ini, tetap lakukan lah apa yang bisa.
Hanya saja, saling membahu adalah cara yang mempernudah kaum aktivis untuk sampai ketujuan itu.
Maka saling membahulah. Terlalu sulit bahkan mustahil jika perjuangan ini hanya oleh satu atau dua orang saja...maka sekali lagi, saling membahu dan harus saling membahulah di antaramu, diantara kita semua sesama aktivis kaum pembela.
Salam semangat cinta dan sayang dalam api perjuangan yang tak pernah padam