Pancasila diperas menjadi trisila. Trisila lalu menjadi ekasila. Ini menjabarkan pikiran soekarno dengan gagasan gotong royongnya. Ya, syah syah saja pancasila hendak di peras menjadi ekasila, atau bahkan diganti sekalipun.
Karena menurut hemat penulis para pendiri bangsa pun tidak mengharamkan hal itu. Yang diharamkan oleh para pendiri bangsa adalah jika indonesia bubar. Dan itu jangan sampai.
Namun RUU haluan ideologi pancasila yang cenderung klaem kebenaran dengan materi atau arah terapan konsepnya adalah trisila, ekasila dan gotong royong itu apakah cukup bobot kwalitasnya untuk menjadi haluan ideologi?
Hemat penulis, jika haluan ideiloginya cuma itu sih mungkin tidak usah pakai disebut haluan segala bapak, hahaha..... karena trisila, ekasila dan gotong royong itu sendiri dalam kaca mata penulis masih debat teble.
Kemudian petinggi partai berkuasa bilang, RUU HIP bertujuan sangat mulia.. Siiiip. Tapi tak cukup itu saudaraku. Kaum islam radikal, dalam pandangan mereka tentulah punya tujuan mulia. Tapi apakah tujuan itu tepat untuk kondisi yang tepat, benar dalam ukuran manusia lain yang ter usiki, dan seribu sanggahan lain lagi.
Menyangkut RUU HIP, dalam pandangan penulis, selain hal di atas, utamanya benahi dulu pemikirannya secara kuwalitas. Jika ia masih dengan kwalitas yang demikian, maka rakyat dan penulis akan tetap menolak.
Penolakan ini karena insyaallah naluri penulis tahu, bahwa di dalam kepala sekian ratus juta jiwa rakyat indoneaia ini ada pemikiran yang lebih baik daripada itu.
Jadi jangan paksakan hal yang tak berkwalitas untuk bangsa yang kita impikan di masa depan menjadi bangsa yang ikut menyanggah budaya dan peradaban agung dunia dengan kehidupan manusianya yang berkwalitas.
Nah, kepada DPR MPR lihatlah bagaimana akhirnya semua elemen pergerakan menolak RUU HIP. Kenapa? Semua punya alasan cerdas masing-masing.
Namun bagi penulis, patokannya tetap kepada soal kwalitas. Dan atas nama seluruh rakyat Indonesia, kita patut mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kemauan yang keras dari semua elemen bangsa dari mulai kaum aktivis pergerakan, para tokoh, organisasi massa, media dan rakyat semesta, untuk kesediannya melakukan penolakan terhadap RUU HIP.
Ketika penulis menolak dengan sudut pandang kwalitas, coba sedikit kita ulas. Pancasila diperas menjadi trisila. Lalu trisila terkristalisasi ke dalam ekasila yaitu gotong royong. Ini yang menurut penulis jadi masalah.
Terjemah atau tafsir seperti yang dimaksud sebagai haluan itu bagi penulis terlalu sederhana pemikirannya. Walau kita memang perlu menyederhanakan sesuatu yang mungkin rumit diterjemahkan. Namun tafsir atau terjemahan yang membuat menjadi sederhana yang bukan saja membuat sederhana secara teks namun juga membuat sederhana pemikirannya yang berarti mengurangi mutu itu, akan menjadikan bangsa ini juga kurang mutu.
Salah satu ketidakmutuan itu kelak dan kini akan tampak dimana sisi politik sosial budaya dan persatuan kita goyah karena mengundang perdebatan. Perdebatan, bisa dimaknai sebagai belum secara utuh disepakati.
Sesuatu yang berkwalitas, cenderung mereduksi perbedaan dan perdebatan. Belum lagi soal implementasi yang tak membumi yang kecenderungannya nanti muncul debat yang bisa dimaknai ekstrim oleh pihak yang tak suka sebagai penolakan yang akhirnya terjadi benturan, pemaksaan serta keterpaksaan.
Jika pun pancasila masih bisa atau tidak bisa lagi dianggap sebagai ideologi yang memenuhi kebutuhan kekinian sehingga butuh tafsir, atau kita akan terapkan hal yang benar-benar fresh dan baru, itu tidak bisa serampangan dan dilakukan oleh pemimpin yang pendek akal dan secara terburu-buru tanpa melihat urgent, pendapat dan keinginan umum.
Bukan hendak mengecilkan pemimpin kini. Yang penulis maksud adalah bahwa pemimpin harus tahu kemana arah dan maksud dari perombakan atau kebahruan yang hendak kita capai itu. Apa konsep pemimpin, ini perlu kita tahu.
Sebab jangan sampai ini hanya menjadi keinginan kelompok atau patron tertentu yang pada dasarnya tidak mengerti kemana arah serta cara implementasinya nanti. Sebuah ideologi di negeri yang belum mapan secara demokrasi atau yang memilki demokrasi dengan cirri khas sendiri, biasanya atau cenderungnya lekat dengan sosok pemimpin. Misal era soekarno, era soeharto, ideologi korea utara dlsb.
Maka sosok itu menjadi sentral pikir bagaimana ideologi itu terejawantahkan. Jika ideologi tidak memilki sentral pikir, kecenderungannya akan mengundang perdebatan dan akhirnya, tidak jauh contohnya Indonesia dalam kekinian yang akhirnya bisa kita lihat bagaimana dan apa yang kita rasakan.
Mengenai niat perombakan atau tafsir ulang atau entah apa istilahnya, penulis hanya mengingatkan, bahwa bangsa ini harus menyongsong dunia, bukan kembali ke belakang. Menerapkan kembali pemikiran soekarno yang berasal dari sekian puluh tahun lalu yang pemikiran itu tidak mendapat siraman kebaruan pemikiran sama sekali dari generasi kini, itu bagi penulis adalah langkah set back.
Coba cari atau baca postingan penulis yang lain tentang sedikit latar pemikiran soekarno menyangkut sosialis dan kegotongroyongan. Di sana akan kita dapati pemikiran soekarno yang dalam pandangan penulis sebagai pemikiran yang sudah usang.
Jika kita hendak mencipta haluan sekaligus tafsir yang tidak membuat bangsa ini set back, yang artinya itu adalaah hal baru, maka tafsir baru itu harus memenuhi syarat mampu menjadi kiblat dunia. Kalau hanya ecek-ecek seperti RUU yang menafsirkan pemikiran soekarno yang itu, sudahlah...tidak usah neko-neko.
Dampak negatip politik sosial budaya dan persatuan akan sangat besar nantinya. Karena nanti akan menjadi rawan perdebatan. Cukuplah bawa bangsa ini menjadi adil, sejahtera jauh dari korupsi, rakyat sudah bahagia.
Dan percaya serta yakinlah bahwa penolakan kita atas RUU HIP itu adalah langkah benar. Namun andai apa yang ada itu memang ingin ditetapkaan juga menjadi undang-undang, ya monggo saja. Saran penulis, dengan tidak lupa membuka kemungkinan pemikiran baru dengan menempatkan pasal dan kalaimat-kalimat bagi nanti terjadinya jalan kebaruan atau perombaakan itu.
Walau ini akan jadi konvens yang membuat segala ketepan seakan mudah dipasang dihapus yang pada akhirnya kembali mencipta gaduh debat dan rasa tidak nyaman jiwa anak bangsa. Tapi andai itu satu-saatunya jalan pilihan, ya silahkan, hitung-hitung sambil menunggu kemungkinan ditemukan pemikiran besar yang baru dari segenap anak bangsa yang besar ini.
Atas nama rakyat, Salam hormat seraya sujud merunduk untuk yang telah melakukan penolakan. Terlepas penolakan kita itu diakomodir atau tidak. Sekali lagi, terimakasih tak terhingga. Karena ini cermin keantusiasan dan kepedulian kita pada negara.
Nikmat dan bahagia suatu bangsa hanya jika manusianya secara keseluruhan kaum mau menyadari yang dirasakan kaum jelatanya. Sementara di dalam suatu kaum, ada pemimpin yang mestinya tahu benar bagaimana agar kaum jelatanya bahagia.
Akhirnya kepada MPR dan DPR sebagai suatu kaum yang mestinya memikirkan rakyat jelata, saran penulis, tidak usah memikirkan dan mengerjakan hal-hal yang sesungguhnya tidak terlalu guna dan tidak bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat. Yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat misal bagaimana membuat kebijakan agar pangan mudah dan murah dlsb.
Sadari sesadar sadarnya bahwa dirimu kini, dalam kecurigaan dan ketakutan diri penulis, mungkin saja tengah dibawa oleh suatu maksud untuk melanggengkan kekuasaan dengan pemikiran-pemikiran tertentu oleh oknum-oknum yang punya agenda tertentu terhadap republic kita, yang maksud dan arahnya dalam insting penulis patut kita curiga.
Sebab di sana penuh dengan oknum-oknum berlatar sejarah politik yang tersamar. Memaksakan kehendak untuk sebuah undang-undang yang malah membuat masalah dikemudian hari, sama dengan menjalani kebeloonan.
Orang-orang cerdas dan terhormat di DPR MPR jika terus berkutat menimang-nimang masalah ini lantaran pertimbangan ikut patron tertentu, akan membuatmu ikut menjadi beloon karena engkau masuk dalam ruang kebeloonan itu.
Sekali lagi, DPR MPR itu penuh dengan orang-orang pintar dan terhormat. Jika kalian yang berada di tempat terhormat malah ngurusi hal yang di mata rakyat tidak penting untuk diurusi, jangan salahkan rakyat jika rakyat mengatakan dan menyematkan label bloon itu kepada kalian.
Membicarakan tentang undang-undang apa lagi itu tentang ideologi memang tampaknya luar biasa. Dan dengan itu kalian jadi tampak kian terhormat serta luar biasa. Namun itu dari sudut pandang kalian.
Sementara dari sudut pandang rakyat, terutama rakyat yang ngerti, kalian menjadi tak kwalitas. Karena barang yang hendak di undang-undangkan tidak kwalitas. Lebih parah lagi tidak guna, tidak menggugah orang yang membaca dan mendengarnya.
Ia hanya akan memenuhi berkas dan pelengkap serta bahan kerjaan bagi yang tak ada kerja. Ia akan jadi seperti ungkapaan-ungkapan pelengkap di papan pengumuman atau dinding tembok seperti tembok kecamatan atau tembok balai desa sebagai slogan belaka.
Akhirnya, semua kembali kepada MPR dan DPR. Kami rakyat, sudah menunjukkan rasa peduli.
Salam