Pemimpin dan cinta. Jangan paksa ia menyinta karena itu bukan hakekah sejatinya cinta

 Sudah gede, apa lagi presiden pula. Sudah pasti tahu siapa yang akan ia cinta. Sebagai laki-laki yang nongkrongin istana, tentu banyak bidadari yang ingin mendapatkan cinta dari pangeran jokowi. Baik dari kelmpok oligharki hingga kalangan partai pendukung setianya. 

Namun ada pula kelompok rakyat susah yang mungkin di mata seorang presiden hanya menyusahkan langkahnya. Lalu siapa yang akan dipilihnya untuk dicintai dengan tulus dan sepenuh hati? 

Ini perumpamaan dan ketika nyata kita rasakan, misal pada saat ada pergumulan kepentingan antara rakyat yang membela KPK dan DPR yang lebih memilih menghancurkan kpk, Presiden sebagai pangeran yang mesti memilih dan menentukan keberpihakannya atas nama cinta, dan jika kalangan lain memaksa, maka sebaiknya rakyat tak perlu lagi memaksa untuk dicintainya. 

Karena memaksanya percumah. Jika pun akhirnya ia mau menyinta, cinta terpaksa, semu dan kelak akhirnya akan kembali tiada cinta sebagai manifestasi dari kehendak hatinya yang murni. Dulu kita pernah memaksa dengan turun ke jalan. 

Namun lihat kini? Ia berpaling lagi. Biarlah..cinta kan menjadi saksi, kelak ketika ia terjerembab, rakyat tak dapat disalahkan karena sejarah telah ditorehnya sendiri.

Pun begitu soal cinta asmara. Jika ada dua manusia hendak memulai kasih, aku misalnya, maka aku tak ingin memaksanya (juga aku tak ingin ada para pembisik) yang memaksa calon kekasihku untuk mencintai diriku. Sebab aku, dengan kesejatian yang kuharap, tidak mengharap yang semestinya tidak pantas kuharap..... sejati, itulah harapanku.

Pikiran manusia, dibesarkan oleh sosialisasi dan budaya yang terbentuk sejak manusia dilahirkan. Rasa cintanya dan bagaimna ia memandang serta menginginkan sosok pasangan, dibimbing oleh budaya yang ada di pikirannya dan bagaimana ia mengenal serta bersentuhan dengan luasnya warna kehidupan. 

Jika ia menentukan si A atau si C sebagai kekasih, itulah diri dan budaya dipikiran dan hidupnya. Seorang presiden, atas dasar cinta dan tidak cinta, apakah ia akan membela rakyatnya,  ikut ditentukan pula oleh budaya yang ada di pikirannya yang terkonstruksi di pikirannya sejak ia lahir hingga dewasa sampai bangkot alias tua. 

Pun begitu cintanya seorang kekasih. Dan manusia kecenderungannya atau biasanya mengelompok kepada hal-hal yang seidentik dengan dirinya. Nah, seorang presiden yang notabene elit dan hidup di puncak menara, apakah berani mengidentikan dirinya juga sebagai kaum jelata, kaum papa, rakyat biasa? 

Di sinilah tempat cinta itu memendar atau terpendar. Dan ketika pendaran itu ada, rakyat jelata merasakan cinta itu sebagai bening yang masuk, memendar ke bola mata mereka. Sebagai keberpihakan yang tulus. Itulah kesejatian cinta. Cinta pemimpin kepada rakyatnya. Pun begitu cinta seorang kekasih kepada yang dicintainya

Apakah budaya dapat beralih/membelok dan atau terbentuk secara instan? Mungkin, sejauh mana ia pernah mengenal dan bersentuhan dengan banyak warna kehidupan dan itu butuh sangt besar pengorbanan. 

Jika tak mampu melampaui, rentan. Jika dipaksa untuk yang lain yang tak sesuai dengan budaya kediriannya, sia-sia. Kelak bisa berakhir dengan air mata.

Cinta bukan tuk membuat tidak bahagia...

Wallahu a'lam...

Salam cinta indonesia kita.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak