Guru besar UI bilang, kelemahan jokowi terletak pada persoalan komunikasi.
Menarik uraiannya yang menekankan pada kepandaian berkomunikasi atau dengan kata lain, kepandaian berbicara. Ada benarnya.
Tapi jangan salah duhai guru besar, kepandaian komunikasi atau berbicara cenderung membodohi, mengada-ada dan bahkan pembenaran, JIKA TANPA DASAR KERJA DENGAN VISI YANG BAGUS. Jika dilapangan carut marut, apakah lantas akan selesai dengan dikomunikasikan bahwa itu bagus.
Masyarakat dalam kondisi kini tidak lagi membutuhkan penjelasan yang cenderung mengarah pada pembenaran bahkan pemaksaan kebenaran.
Coba apa yang hendak dijelaskan dalam persoalan pelemahan KPK, omnibus law yang dipaksakan, masalah kartu prakerja, masalah penangan kovid 19 yang dirasa mengorbankan rakyat, dlsb. Sangat jelas dirasakan oleh rakyat segala kebijakan dari hal-hal di atas.
Lantas, dengan komunikasi yang baik, apakah bisa membuat semua itu jadi terasa baik dan enak bagi rakyat.
Bagi rakyat, kelemahan jokowi saat ini, disamping kelemahan-kelemahan lainnya adalah, sudah tidak dipercaya...!!!
Maka carilah jalan agar kembali bisa dipercaya. Bukan dengan pembodohan dan pembenaran oleh segenap kroni dan rezim yang artinya tipu-tipu demi tipu-tipu lagi dan tipu-tipu lagi.
Dalam hal lain, termasuk dalam kelemahan jokowi dalam komunikasi dan memahami rakyatnya sendiri adalah selalu menyalahkan rakyat.
Dan jawaban dari kebanyakan rakyat, ya salahkan saja rakyat yang tidak mau disiplin, tidak mau tinggal di rumah saja..ya, ga pa-pa salah rakyat. Terus apa lagi yang mau disalahkan kepada rakyat.? Salahkan saja semua kepada rakyat. ..ga apa-apa.
Ini negara dengan logika terbalik. Sebab dimana-mana, yang salah itu adalah pemimpin karena pemimpin yang ikhlas adalh pemimpin yang mau menjadi keranjang sampah...
Tapi tak mengapalah, kalau rakyat yang disalahkan Yo wiiislah....itu paling –paling yang keluar dari bibir rakyat. Sebaliknya rakyat yang waras, bela dan cari jalan selamat sendiri-sendiri. Karena negara ini lagi sakit, tak ada pemimpin yang mau disalahkan dan bertanggung jawab atas nasib rakyatnya.
Lalu, lihat apa lagi kata rakyat di akar rumput lapis terbawah saat merasakan penguasa yang selalu menyalahkan rakyat bersama dikeluarkaannya peraturan pemerintah yang muter-muter tak karuan arah.
Mau new normal, mau apapun karepmu lah pak...ngomong sa ember, anjuran sak gentong, aturanmu sak karep-karep mu, sak wudel-wudel mu...rakyat bingung cuma butuh makan, rakyat cari makan, cari aman sendiri-sendiri.
Kelemahan kurang sempurnanya rezim ini dalam hal komunikasi sehingga rakyat punya kesimpulan dan jawaban sendiri-sendiri, disempurnakan pula kelemahan itu oleh para buzzer yang kehadirannya bukan membantu melainkan menambah cela sang pemmpin.
Kita kerap melihat ulah para BUZZER JOKOWI ini lewat kalimat-kalimat mereka yang melakukan pembelaan kepada dewanya, asal bicara dan kerap menyerang pribadi lawan bicara. Tanpa mereka sadari itu dapat menjadi tanda bahwa memang rezim jokowi adalah rezim NOL, blo’on seperti perilaku para buzzernya.
Akhirnya rakyat yang kesal merembetkan kekesalannya dengan balik berani mengata-ngatai sang pemimpin sebagai plonga plongo tanpa visi. Kita sampai bilang begini karena saking kelewat jijik dan ingin muntah mlihat cara mereka.
Mestinya, jika ingin membela sang dewa jokowi nya, lakukanlah dengan intelek. Berdebat dengan otak, dengan argumen yang bagus. Sehingga kita masuk dalam ruang diskursus yang membangun. Perilaku buzzer yang demikian adalah cermin atau indikasi sang pemimpin pun nol besar. Tahu nggak? Otaknya NOL BESAR!!
Tak ada pemikirannya yang bisa menjadi landasan para pengikutnya berargumentasi. Jadi ya, ngawur dan asal serang begitu. Bagi kalangan intelek, itu menjijikkan. Jangan disalahkan jika akhirnya, rakyat melihat pemimpinnya pun sebagai hal yang juga menjijikkan...dibalik itu hati kecil kita menertawakan.
Demikian, semoga dengan tulisan ini para buzzer nyadar, pemimpin berbenah dalam hal komunikasi lalu terhindar dari kecipratan hal buruk akibat perilaku buzzer yang buruk.
Salam.