Jika paradigma melawan radikalisme dengan okol, artinya lebih mengandalkan kekuatan bedil, maka radikalisme akan terus hidup. Sebab peluru tak akan membunuh ideologi.
Peluru itu lekat dengan makna politik dan kekuasaan. Maka sebuah ideologi akan cenderung melawan, membesar dan bertahan atau tertatanam.
Jika dihadapi dengan hal-hal yang berbau kekusaan, ia menemukan lahan perjuangan dan lalu di situlah ia tumbuh subur.
Yang mampu membunuh ideologi adalah ideologi. Ini berkali-kali penulis sampaikan dalam posting-posting terdahulu dan dalam berbagai kesempatan.
Lalu ideologi apa yang bisa membunuh ideologi radklisme?
Jika panjang lebar ini kita ungkap, akan nganggur itu badan penyuluh ideologi pancasla dan badan-badan lain yang selama ini sudah makan gaji buta tanpa signifikansi hasil kerja.
Radiklisme itu sudah tertanam di salah satu sisi kedalaman agama lalu menjalar pada kehidupan-kehidupan lainnya.
Jika dalam suatu moment dengan pemimpin yang tepat, mungkin bisa lebih singkat kita menghapus faham seperti itu. Tapi jika tidak, mungkin butuh waktu untuk menghapusnya. Bisa 10 sampai 50 tahun.
Lama dan itu pun harus dilakukan secara terprogram dalam rencana program yang benar serta berkesinambungan.
Itu lebih baik dari pada yang selama ini terjadi, hanya tindakan-tindakan sporadis dan tanpa hasil nyata kecuali radikalismenya yang makin meruah.
Hari ini kementrian agama telah berubah menjadi kementrian anti radikalisme, terus dan terus puter-puter terus, benahi badan serta bentuk badan baru.
Hasilnya ya cuma segitu. Kementrian agama hanya kelinci percobaan agar seolah rezim ini ada hal baru.
Dan sedihnya, ketika kementrian agama yang menjadi kelinci percobaan, maka ini menggambarkan kepada kita bagaiamana cara pandang sang rezim yang menganggap agama tertentulah yang menjadi satu-satunya sumber radikalisme. Padahal radikalisme itu banyak penyebabnya. Salah satunya dari rezim sendiri.
Sebuah rezim yang memilki bakat untuk menjadi lahan bagi semakin tumbuh suburnya suatu aliran radikal adalah rezim yang lari dan menjauh dari keadilan.
Rezim tidak bersungguh mencipta kesejahteraan. Negara menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk bisa mengeruk dan mendapat untung sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya.
Ini yang disebut negara dikuasai oleh segelintir manusia namun memilki kekayaan berlimpah yang dengan kekayaaannya itu menguasai dan mengatur negara.
Kelompok tertentu bisa memandang hal ini sebagai lahan perjuangan suci untuk menegakkan keadilan menurut versi mereka.
Terlalu banyak lagi jika hendaak kita sebutkan lahan-lahan yang mengakibatkan muncul serta suburnya suatu faham radikalisme.
Maka para pemimpin hendaknya tidak memandang kedudukannya sebagai prestise, melainkan tantangan dan ujian bagaimana ia bisa memenuhi kewajibannya sebagai abdi bagi penciptaan sebesar-besarnya rasa keadilan, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
Salam