Kepada seorang teman aktivisku...percayalah, ini bukan sekedar membuat novel
byTOMYIRFANI.COM-
Pernah kukatakan padamu, di salah satu pertemuan kita di kantor lamamu. Bahwa aku berniat membuat novel dari sejarah perjuangan yang kita jalani. Lalu engkau berkata, "jika hanya bertujuan membuat novel, orang lainpun sama akan membuat dengan versi ceritanya sediri-sendiri".
Benar teman. Tapi ada satu tujuan yang tak kuungkap padamu saat itu. Yang bila kuungkap, orang lain takut akan menertawakan aku yang sederhana ini.
Yang terbukti, karena kesederhanaan itu oleh orang yang ada dlingkaran mu yang kupercaya kala itu, dianggapnya aku sekedar penyuplai atau penyokong belaka dan lebih parah aku dikangkanginya. Pun aku tak ingin PHP pada siapapun yang kuajak bicara ketika ku berjumpalitan di jakarta kala itu.
Tidak sekedar novel teman. Sekali lagi tidak sekedar itu yang akan kubuat. Percayalah! Pun aku tak akan meninggalkanmu apalagi meninggalkan perjuangan ini.
Ingatkah engkau apa yang kita obrolkan dengan segala maksud kata-kata ku, sampai di titik "...revolusi itu, tak akan berhenti aku perjuangkan". Lalu engkau bertanya, " caranya?"..dan entah apalagi obrolan kita pada saat itu.
Yang kuingat, engkau menawarkan untuk datang jika aku adakan satu acara pertemuan. (Sengaja aku ceritakan ini secara terbuka, agar suatu rezim tahu bahwa keinginan revolusi itu akan selalu hidup jika penguasa tak pernah menunjukkan peduli pada rakyatnya)
Sayangnya pertemuan para aktivis saat itu tak jadi aku adakan karena banyak perhitungan. Kala itu waktu ku habis tersita oleh buku, menulis, mendanai penelitian dan menerrbitkannya secara sendiirian.
Saat itu aku tak sempat mengembangkan jaringan. Sementara ajaran tentang bagaimana mencari-cari sumbangan tak terinternalisaai oleh otakku. Tapi ada hal yang paling tak membuat pertemuan itu jadi.
Saat itu naluriku, khawatir terulangnya kegagalan reformasi 98., dan banyaknya pembonceng liar digerbong revolusi jika terjadi. Terbukti, kekuasaan rezim kini, satu rezim yang diuntungkan oleh sedikit banyak sepak terjang kita dari belakang kala itu., kini penuh dengan manusia yang lupa pembelaan pada rakyat, lupa pembenahan bangsa lalu sibuk membela dan mencari untung sediri.
Teman, hari ini aku ada di daerah di kampungku. .Aku bukan sedang menikmati kelelahan apalagi kekalahan. Tapi menuntaskan suatu penelitian. Tadinya buku yang hendak kubuat akan kembali dalam bentuk sebuah novel.
Tapi tidak. Aku tak akan mengulang sejarah novelku yang lalu, dimana novelku hanya jadi bahan untuk dikulik oleh para opurtunis. Aku sangat tahu kala itu lewat informan yang kuyakin berkatagori kwalitas A, bahwa buku ku yang mengambil basik cerita pedesaan itu, telah menginsfirasi atau mewarnai lahirnya UU Desa yang lalu di kleam rezim sebagai...tapi biarlah, buku itu dengan segala kesederhanaan dan pencerahan tentang ideologinya, memang telah kuikhlaskan untuk kemaslahatan bangsa.
Sekedar info, untuk sumber dana dalam menuntaskan penelitian yang kini kulakukan, aku buka restoran kecil-kecillan yang kondisinya buka tutup karena terbagi konsentrasinya dengan penelitan dan penulisan.
Celakanya, ketika corona datang menyerbu, hahaha..bangkrutlah resto ku. Aku cerita soal resto ini sebagai penjelasan dari mana sumber dana segala aktivitas ku , agar tak ada salah sangka soal sumber dana perjuangan.
Teman, kuceritakan ini semua agar engkau tahu bahwa segalanya masih berjalan, seglanya masih seprti tujuan yang dulu. Aku bertanggung jawab dengan segala rencanaku dan rencana kita yang meski tak terungkap, dalam tekad bersama namun ada sejak saat itu.
Disini aku lagi menyiapkan sesuatu yang bila kelak revolusi terjadi, ada hal yang entah terhitung kecil atau besar, insyaallah sesuatu itu akan mewarnai tujuan dan langkah-langkah kita.
Sementara engkau yang berbegron hukum, siapkanlah konsep-konsep hukum mu untuk bahan-bahan perbaikan hukum kita.
Teman, teruslah engkau jadi seperti itu. Tak perlu takut. Aku ada disisimu. Namun agar demokrasi ini terus hidup, kita tidak perlu berambisi. Kita belajar jadi negarawan. Jika memang diperlukan, mungkin barulah kita turun gelanggang. Demikian suratku. Aku rindu kembali ke jakarta.
Salam perjuangan dan semangat yang tak pernah padam