Capek, kala mengingat benturan demi benturan yang sering melanda negeriku...rasanya ingin geletakan tiduran.
Andai saja ada seseorang yang bisa kupeluki di sini...mungkin enak yaaaa..mmm...met malam duhai perempuan yang kelak kan jadi pendampingku, semoga Tuhan makin mendekatkan kita.
Met malam perempuan indonesiaku. Met malam indonesia, damailah damai duhai anak negeriku.
Terutaama doaku, doa kita semua, damailah duhai PAPUA KU, berbanggalah karena takdir keberadaanmu sungguh melengkapi kekurangan kami.
Tanpamu kami serasa manusia dalam ketiadaan kaki, tangan atau bahkan tiada organ jantung dan hati.
Kalian papuaku begitu berarti. Jangan berpikir kami di sini menjajahmu. Justru jajahlah kami dengan keberartian mu itu.
Sebab sudah menjadi kebiasan manusia, jika dianggap pintar, kaya, punya pangkat jabatan, dan sebagainya, yang itu mengarah pada symbol ber-arti, akan muncul sikap ingin menghegemoni manusia lain. Itu sikap menjajah namanya.
jujur penulis sampaikan di sini. Papua, sebagai yang memilki keberartian sangat lebih bagi saudara-saudaranya di belahan barat sini, mestinya memilki sikap sebagai orang-orang yang dianggap penting itu.
Meski hal itu tidak juga harus diekspresikan dengan cara hidup yang semau-maunya bertindak atas manusia di bagian lain tanah Indonesia.
Dan anak-anak Papua, tak terlihat untuk memanfaatkan kelebihan itu. Mereka masih tampak sebagai anak-anak yang dalam kaca mata penulis rendah hati.
Setidaknya ini bisa kita amati dari beberapa jejak pergaulan mereka saat bersama dengan saudaranya di bagian lain republic ini.
Hanya beberapa anak papua yang tampak angkuh dan itu menunjukkan kesan menghegemoni saudaranya yang lain. Dan itu, dalam pandangan penulis, tak mengapa, baik-baik saja.
Pada akhirnya, pergaulan akan membuat saling ketergantungan di antara mereka. Hegemoni kecil sesama anak bangsa, akan menjadi awal dari kesadaran saling menghargai di kemudian hari.
Berangkat dari hal itu, maka penulis bisa menyimpulkan sesungguhnya tak ada masalah bagi kejiwaan anak-anak papua dalam kebersamaanya dengan anak-anak lain dari pulau lain di negeri ini.
Pun demikian anak-anak dari pulau lain terhadap anak-anak papua. Mereka hanya butuh waktu untuk dekat sehingga timbul ke eratan pergaulan yang dekat.
Anak-anak papua, hanya butuh sentuhan dan ketulusan dan itu ada dalam nuansa pergaulan yang menyenangkan. Pun sebaliknya anak-anak lain dari pulau yang lain. Mereka saling menginginkan penghargaan. Sebagaimana manusia butuh dihargai.
Atas semua itu, dan atas munculnya kasus rasis yang menimpa segelintir anak-anak papua, penulis bisa bilang, semoga itu hanya insiden biasa.
Maka penulis berharap dan bisa bilang, pulanglah ke rumah duhai anak-anak papuaku, anak-anak negeri yang hitam manis, yang dengan warna indah itu menunjukkan keperkasaanmu yang kan sanggup menjaga nusantara kita.
Pulanglah ke rumah..berdamai dengan waktu, berdamai dengan hari, berdamai dengan nyala hati yang tak selamanya membara. Redup..reduplah hingga nyenyak tidur kita.
Dengar..kubisikan kata-kata..berdamai lebih indah tuk sanak saudara dan orang-orang yang kita cinta...
Salam sayang dan damai untuk segenap sodaraku di tanah cendrawasih, Dari sodaramu dibelahan barat tanah pertiwi. Penuh cinta selalu.