Walaupun seribu kali ganti menteri tak akan pernah bisa mencipta sejahtera makmur adil merata, jika cara kita memandang dan menerapkan ideologi tidak dibenahi.
Kita memang akan terus membangun selama negeri ini masih berdiri. Tapi yang kita bangun bukan kehidupan ekonomi rakyat semesta melainkan tetaplah segelintir kaum kaya yang selama ini telah mencengkram ekonomi bangsa dan kehidupan rakyat semesta kita.
Sesungguhnya, dari kaum kapitalis ada yang cukup sadar atas ketidak adilan ini dan kelak akhir dari keidakadilan ini adalah benturan dahsyat bernama revolusi. Tapi mau bagaimana? Sementara mereka pun ada di dalam lubang dan tak tahu jalan keluar yang adil dari lingkar eksploitasi kapitalis ini.
Sementara lihat kehidupan di desa-desa. Ada banyak harta petani mulai habis dihisap oleh sistem kapitalis yang mncengkram. Dari mulai sebiji padi sampai hendphon telah terkoneksi dengan sistem kapitalis. Sementara tanah-tanah mereka pun mulai habis berganti menjadi milik tuan--tuan tanah yang pemiliknya berdiam di kota.
Kelak anak-anak para petani miskin ini akan menggantikan posisi kemiskinan dari para orang-orang tua mereka dahulu. Dengan begitu berulang mereka jatuh di dalam jurang kemiskinan yang sama dengan para orang tua mereka dahulu.
Itu gambaran cengkraman kapitalis sampai pada kehidupan yang terkecil.
Semntara yang terbesar dann mudah dipandang mata adalah bagaimana negara dikuasi oleh oligarki dan atau segelintir manusia yang bermodal raksasa.
Lantas dengan kenyataan itu apakah kita akan melawan kapitalis? Tentu tidak. Sebab melawn, apalagi dengan cara revolusi ala pikiran karl mark, stalin atau lenin misalnya, sama artinya kita melawan kodrat hak keindividuan dan tanggung jawb kiindividuan manusia.
Andaipun memang harus revolusi, mungkin revolusi yang lebih shoop.
Pun jika kita memilih revolusi,... alasannya munggkin akan terjelaskan nanti.
Jujur saja, dibalik usaha kita menguatkan ideologi, sesungguhnya ideologi kita ini rapuh. Kerapuhan itu tampak dari kian payahnya kita untuk membumikannya. Kuatnya penolakan terhadap pembumian ideologi negara ini tidak saja dengan bahasa verbal.
Namun dalam perilaku yang ditunjukkan oleh berbagai invidu dan kelompok kemasyarakatan.
Namun demkian, dalm otak pemipmin cerdas dan juga membumi dalm hal perasaan kasihnya, penolakan itu tidak perlu disikapi dengan prilaku represif pula. Pemimpin harus nyadar itu lahan kerja anda, membimbing mereka.
Kemunculan kaum yang berseberangan adalah buah dari kita yang keliru memahami ideologi kita sendiri. Kesepkatan founding pather dulu, kita negara yang tidak sepenuhnya sekuler. Kaum agamawan adalah tempat tersisanya nilai-nilai.
Wajar jika mereka ingin merealisasikan nilai-nilai. Kita keliru tapi tidak sepenuhnya salah. Keliru, artinya jika benar maka tak akan ada lagi benturan. Sebagai manusia waras dan nuo, sadari itu adalah kegagalan kita menemukan jaLan keluarnya.
Kembali pada soal ideologi yang rapuh, bagi penulis, ideologi yang selama ini kita fahami, dengan pemahaman yang selama ini terjadi, kita hanya semakin menjadikan ideologi itu sekedar memuat poin-poin buah pikiran yang kurang menjurus ke satu kesatuan pandang maksud dan tujuan.
Kita membuatnya tercerai, dari awal yang memang tercerai. Coba lihat contoh ini. Seibarat konstruksi bangunan, ia masih merupakan bahan seperti batu, pasir, bata, semen dan kayu. Dia yang memang tercerai itu, tidak pernah kita satukan untuk menjadi sebuah bangunan ideologi yang sempurna.
Namun tetaplah ia menjadi ideologi selama kita meyakininya. Apa lagi kita memilki alasan untuk bersatu di bawah panjinya.
Ya, yang masih bisa kita syukuri dari ideologi kita adalah bangsa ini punya alasan menyatu walau menyatu lebih karena alasan kita memang cinta akan negeri ini dan bukan karena kalimat yang tertera itu.
Sementara untuk menjadi mesin penggerak ekonomi, keadilan dan kemanusian, ini yang dalam pandangan penulis sabagai salah satu yang rapuh. Kerapuhan yang akan membuat sendi persatuan akhirnya kelak akan mengalami kerapuhan pula.
Lalu apakah kita akan menihilkan makna sang ideologi? Penulis tidak ingin berpikir kelewat jauh. Bahkan tak terlintas pikiran itu. Yang penulis pikirkan adalah meluruskan atau coba berpikir mencari mesin penggerak itu. Atau dalam bahasa gamblangnya katakanlah mencari ideologi dalam sebuah ruang ideologi.
Pancasila adalah ruang ideologi itu sesuai dengan keberadaannya sebagai ideologi yang terbuka. Sementara mesin inti sebagai jantung penggeraknya kita belum memilikinya dan harus kita cari. Ini sesungguhnya tugas kita seluruh anak bangsa.
Bagi penulis, dalam alam sadar dan tidak sadar, dengan segenap naluri, insting dan imaginasi, hal yang penulis maksud di atas itu ada. Sekali lagi, yakin ada. Hanya saja ia belum terperangkap dalam sebuah symbol yang utuh dan dengan ke utuhannya itu bisa menjadi makna.
Ia masih terbang dan entaah akan hinggap pada manusia apa dan siapa di bumi Indonesia. Meski penulis pun yakin, ia pastilah akan hinggap pada manusia yang melalui proses yang berkesesuaian dengan dirinya dan zamannya.
Dan yang lebih penulis pikirkan pula adalah, jika kelak kita telah sampai pada pengetahuan tentang mesin penggerak ideologi itu, apakah mungkin itu bisa diaplikasikan dalm kondisi kita bebas berpecah saling menghujat seperti sekarang ini.
Bagi penulis, sebuah pemikiran besar haruslah disertai kondisi urgen dan besar agar kesadaran akan kebutuhan atas pemikiran itu benar-benar mendalam dirasakan. Sisi lainnya, sudah pantas rasanya jika bangsa ini kembali mengalami redevinisi soal komit cinta sekaligus rekonstruksi atas kebangsaan di setiap dada anak bangsanya.
Bicara soal kondisi besar, maka mungkin itu artinya revolusi yang dimaksud. Wallahua'lam bisawab..
Salam sayang dan cinta untuk segenap anak bangsa dalam semangat perjuangan untuk indonesia kita.