Kalau lagi merasa pengen punya anak, ya begini membahas tentang anak. Hahaha...mungkin tidak ya, tapi semata soal generasi itu penting. Dan indahnya punya anak itu memang pada saat ia masih baby yang imut dan lucu. Kalau sudah gede, salah asuh bisa jadi musuh.
Orang bijak bilang, untuk mempersiapkan kehadiran generasi baru itu seratus tahun sebelum ia lahir.
Sekarang bagaimana dengan generasi masa depan di negeri ini? Sudahkah para pemimpin bersungguh menyiapkan segala hal demi kehadiran dan kebahagiaan generasi berikutnya?
Mari kita mulai memilah-milah dan memilih apa persoalan genarasi, lalu mendorong para pemimpin agar bersungguh dalam menyiapkan kehadiran generasi masa depan untuk bangsa dan negeri ini.
Demi generasi masa depan, tolong jangan banyak menumpuk hutang. Demi generasi mendatang, jaga lestari lingkungan. Demi generasi mendatang hapuskan korupsi. Demi generasi mendatang, bersungguh benahilah bangsa ini. Jika tak sanggup, dan hanya omong doang, mundur teratur saja...!!!
Itu permintaan paling ringan dan sederhana dari rakyat. Sementara permintaan beratnya, jika negeri ini kian kacau dan susah, tolong pemimpin dengan kesadarannya sebaiknya bunuh diri saja!!! Ini serius!!!
Indonesia jangan mau ambil resiko dengan berlama memberi makan/ menghidupi pemimpin yang jelas-jelas tidak membawa harapan untuk generasi masa depan. Camkanlah duhai siapapun pemimpin dan calon pemimpin di sana!!
Sebuah contoh, jika negara dan pemimpin abai pada persiapan penciptaan generasi, apa yang akan terjadi? Maka akan hilanglah kesempatan di masa depan atas generasi itu. Lebih jauh kita kaji, siapa para generasi itu?
Generasi yang bakal kehilangan kesempatan masa depan itu tidak jauh-jauh, mereka yang ada di pelosok-pelosok desa atau pelosok dan belantara-belantara kota.
Di musim pandemic ini, entah itu alasan mengikuti anjuran agar di rumah saja, atau alasan belajar on line, banyak kita dapati anak-anak usia sekolah nongkrong atau berkumpul di sudut-sudut emperan rumah atau entah dimana saja yang sekiranya nyaman untuk ditongkrongi.
Mereka memang tidak pergi jauh alias masih di lingkungan rumah. Tapi apa yang mereka kerjakan? Mungkin belajar kelompok alasannya jika ditanya orang tua. Kenyataannya, mereka main game
Kadang terdengar kata-kata kotor dari mulut mereka. Bukan soal game yang membuat mata kita tak tentram melihatnya. Karena, game, taroklah permaianan anak kini yang tidak mungkin bisa dielak. Namun jika itu terjadi saban malam, hingga larut malam bahkan kadang hingga mendekati azan subuh?
Ini memang dunia mereka, zaman ini memang itu budayanya, itu permainan mereka. Beda jauh dengan masa kecil ku dulu dengan permaianan, bola kasti, patil lele, benteng-bentengan, gobag sodor, main kelereng, dlsb.
Dalam pikiranku yang penuh protes atas apa yang kulihat, kesadaranku untuk memaklumi mereka kadang muncul. Sekali lagi, bahwa ini zaman mereka. Ini hanya karena perbedaan budaya, antara sebuah masa lalu yang mengkonstruksi budaya dan cara pandang ku, dengan budaya kekinian mereka yang mengkonstruksi pola pikir anak-anak masa kini.
Saat sadar bahwa konflik itu salah satunya karena kebedaan budaya, aku mulai berpikir tidak terlalu jauh untuk masuk ke dalam niatan infiltrasi budaya kepada mereka.
Pikirku, tidak di situ jalan bagi terwadahinya kekhawatiranku atas mereka. Namun menyampaikan hal-hal seperti ini lewat saluran internet, jejaring sosial atau media massa. Ini adalah salah satu jalannya.
Mereka, anak-anak itu adalah seibarat mata air yang dengan airnya akan mengalir ke mana saja sesuai kehendak alam yang mewadahinya. Ketika lembaga terkecil, keluarga dengan para orang tuanya tak mampu lagi mengawasi karena keterbatasan mereka, maka lembaga lain yang terhubung dan menjadi control sosial terlekat adalah jalan terbaik dalam upaya pengawasan dan mengarahkan mereka. Sekolah, adalah lembaga itu.
Dalam musim pandemic ini, telah terbentuk system pendelegasian pengawasan dan pendidikan yang lebih luas dari lembaga sekolah kepada keluarga. Hemat penulis itu ada dampak baiknya juga banyak dampak buruknya.
Namun dalam pikiran penulis, itu lebih banyak dampak buruknya. Maka sebaiknya itu segera ditinjau. Budaya dengan system pendelegasian yang lebih luas kepada keluarga itu, dampak buruknya akan menghilangkan kesempatan maju dan berkompetensi bagi generasi masa depan kita nanti.
Mereka, anak-anak kita itu seibarat air yang akan mengalir dan berwarna sesuai kondisi alam yang mewadahinya. Mereka seibarat kertas putih dimana generasi yang lebih tualah yang akan mewarnai atau menuliskan arah kemana tujuan terbaik bagi mereka.
Maka sekolah, dalam hal ini kementrian pendidikan harus berpikir cemerlang dalam rangka menjaga generasi. Segera ambil kebijakan revolusioner untuk membentengi generasi, anak-anak didik kita dari budaya kehidupan yang akan menghilangkan kesempatan kompetensi masa depan mereka.
Kenapa penulis katakan kebijakan revolusioner? Itu kebijakan yang harus cepat dan mendasar, suatu peralihan segera dari budaya di masa pandemic kepada budaya normal setelah masa pandemic.
Seperti apa bentuk kebijakan itu nantinya? Penulis tidak hendak mengajari lebih jauh seekor ikan berenang atau seekor katak agar bisa melompat lebih jauh. Dengan penulis katakan tentang kebijakan pun seharusnya para penyelenggara pendidikan kita sudah tahu apa yang mesti dibuat.
Dengan tulisan ini penulis, hanya memaparkan, menceritakan atau menyampaikan keadaan dan kenyataan di kehidupan garis bawah tentang anak-anak kita, tanpa hendak mencampuri kebijakan apa yang hendak diterapkan nanti.
Kita percaya pemimpin dan kementrian terkait dengan segala kebijakannya, akan mampu menjaga generasi Indonesia agar tak lebih jauh terjebak pada pola-pola liberalisasi dan kapitalisasi di mana mereka anak-anak kita menjadi pasar yang kehilangan kesempatan mencipta barang berdaya guna untuk kegunaan dirinya di hari depan nanti.
Demikian, bravo generasiku!!!