Ideologi Rusak Karena Implementasi Yang Keliru, Mencipta Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Radikalisme.

 Selamatkan negeri, jalan terbaik revolusi!??

Kemiskinan Indonesia terlihat dari peristiwa anak menganiaya orang tua karena tak punya uang 10 ribu atau sesorang mati digigit ular karena tak mampu berobat ke puskesmas. Fenomena gunung es ini nyata. 

Sebab aku lakukan sendiri pengamatan dan melihat sendiri meruahnya kemiskin orang-orang desa di pedalaman Sumatra. 

Karena kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja, puluhan pemuda desa terpaksa jadi maling, pun para buruh tani atau para kuli lepas yang dalam sejarahnya karena kian dihimpit kebutuhan hidup yang makin tinggi, anak-anak mereka akhirnya menjadi kuli lagi. Potret kaum marginal yang tak pernah bisa lepas dari kemiskinan.

Dulu, dalam sejarahnya, kakek buyut orang-orang seperti mereka ini sama dengan kakek buyut orang-orang malaysia yang bersamaan waktunya membuka lahan menebas hutan. Tapi anak cucu orang-orang malaysia kini banyak yang sudah jadi bos-bos pemilik modal dan perkebunan yang makmur di negerinya. 

Sementara anak cucu orang-orang indonesia masih jadi kuli lalu menguli di negeri sendiri maupun di Malaysia. Menyedihkan. Suatu keadaan yang bila dibandingkan dengan kaum elit, sangat kontras. 

Pembangunan di negeri ini hanya membuncitkan kaum elit. Program pengentasan kemiskinan di negeri ini hanya permainan, politik pengkotak-kotakan orang-orang miskin dan lumbung suara pemilu bagi para pejabat yang berebut jabatan puncak.

Program bantuan langsung tunai itu misalnya, hanya untuk tujuan simpati dan suara pada saat pemilu. Tidak ada program terencana dalam jangka waktu tertentu hingga benar-benar terangkatnya derajad kaum miskin papa. 

Program terencana negara lebih berat kepada mengangkat/ mencipta konglomerat, alasannya agar bisa meneteskan kue pembangunan ke bawah yang ternyata akhirnya mencipta kekuasaan oligarki. Kini, ketimpangan itu sangat menganga. 

Kekayaan negara dengan segala kebijakannya, hanya dipegang dan dikendalikan oleh segelintir kaum elit nan kaya raya. Sedihnya lagi, di tengah utang negara yang telah mencapai ribuan trilyun, uang negara kini jadi bancakan. 

Sementara rakyat dikenai berbagai harga, pajak dan tarif yang naik mencekik. Banyak lagi contoh potret kemiskinan yang bila diceritakan bikin hati terenyuh. Ketidakadilan yang nyata.

Suatu ketika aku juga mengamati kehidupan kampus tertentu di sumatra. Meski hasil pengamatan ini bukan untuk ku ceritakan saat ini. Saat ini aku lagi ingin membuktikan dan memperkuat sinyalemen mentri pertahanan (periode Riya mizard) tentang anggota TNI yang katanya 3% telah terpapar radikalisme.  

Lalu aku pun melakukan pengamatan diam-diam. Ada apa? Kenapa mereka berpaling ideologi? Dan akhirnya penulis menemukan beberapa alasan dari kemungkinan banyaknya alasan kenapa mereka berpaling.

Agar pengamatan ini obyektif, penulias berusaha untuk tidak berpihak, artinya penulis tidak menilai atau menempatkan orang-orang yang hendak diamati dalam katagori buruk atau baik. 

Sebgai mana labeling atau cap radikalisme pada mereka. Penulis menempatkan mereka  sebagai manusia dengan fitrah sebagai makhluk yang baik.

Dari hasil obrolan dengan mereka yang terpapar, penulis bisa menyimpulkan bahwa mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang memang baik, terlepas dari faham radikalisme yang teridentikan pada mereka. 

Mereka banyak yang cukup faham agama dan umumnya taat, cinta kepada negara bangsa pun cinta akan tuhan (meski di sini ada catatan tersendiri yang sadar atau pun tidak yang menguatkan faham itu menjadi suatu masalah bagi republic ini). umumnya di masyarakat mereka kerap bersentuhan dengan kelompok atau orang-orang yang agamis namun memiliki kecenderungan beraliran dimaksud. 

Hal yang cukup mencolok, mereka juga cenderung berjiwa membela dan berpihak pada orang-orang lemah, tertindas atau dalam bahasa mereka,  terzalimi. Mereka sangat berpihak pada penegakkan keadilan. Meski cara yang mereka lakukan terkadang dilakukan oleh sebagaian mereka dengan cara keras.

Masalah bermula saat orang-orang seperti ini menemukan kondisi masyarakat dan bangsa dimana banyak terjadinya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, penegakan hukum dan moraliitas petinggi negara yang lemah, meruahnya kemiskinan di tengah budaya korupsi yang merajalela. 

Ketika tak banyak harapan semua ini terbenahi,  akhirnya mereka bersandar pada suatu faham yang kita tahu yang disebut khilafah. Ini bisa diartikan pula sebagai bentuk protes mereka atas suatu kondisi masyarakat dan bangsa.

Namun ini menjadi masalah ketika system ini tidak berkesusuaian dengan system kenegaraan yang telah kita sepakati sejak berdirinya republic ini. Lalu terjadilah stigma atau labeling pada mereka sebagai radikalisme.

Nah seperti yang pernah penulis ungkap dalam suatu tulisan sebelum ini,  untuk mengikis ideologi radikalisme ini adalah dengan sebuah ideologi pula. Namun sayangnya, negara sepertinya tak mampu menemukannya. 

Mungkin rezim ini tidak mau mikir yang berat-berat. Cukup mikir soal bangunan infrastruktur. Walau segala infrastruktur termasuk kota dengan segala fasilitasnya mungkin sudah pula dirancang oleh pemerintahan sebelum-sebelumnya. 

Tapi pantas juga jika rezim jokowi kita sebut sebagai pelaksana atau kontraktor. Mungkin biar bisa disebut bapak infrastruktur. Ideologinya bangun dan bangun. Termasuk membangun dan ingin cepet pindah ke ibu kota baru. 

Jika masih di jakarata takut kena demonstrasi besar barangkali? Kalau sudah di tengah Kalimantan dengan kekuasaan diteruskan para kolega yang dirancang berlanjut sepanjang zaman, dalam fasilitas mewah tercukupi, akan aman dari jamahan demonstrasi rakyat jelata dan mahasiswa. 

Makanya kebelet, maksa dengan segala cara agar ibu kota segera pindah. Segala dugaan kita sebagai rakyat tentang kepindahan ibu kota ini tidak bisa tidak akhirnya bermunculan. Maaf, karena kita yang goblog aja nyadar bahwa pindah ibu kota itu makan waktu lama. 

Sedihnya, ketika negara mengalami kekurangan dana termasuk untuk membayar gaji para pejabatnya, rakyatlah yang diperas lewat berbagai kenaikan pajak dan tarif. Dan aku hanya menyampaikan kekesalan rakyat bawah, “dasar otak kardus, ga mikir rakyat di bawah yang payah!” kata mereka.

Kembali ke soal radikalisme, lalu orang-orang yang tergabung dalam badan pengarah ideologi itu, apa pula kerja mereka, jika mencari jalan untuk menghadapi radikalisme tidak ketemu? Secara keseluruhan yang rezim ini agung-agungkan adalah ideologi Pancasila. 

Tapi Pancasila seperti apa? Seprti yang dulu pernah penulis ungkap dalam suatu kesempatan, Pancasila ala Soekarno, kan? Yang karena tiada penggalian oleh para pengikutnya yang sesungguhnya naïf, kalau tidak hendak kita sebut maaf, meminjam istilah tokoh tertentu, dungu, menjadikan ideologi soekarno itu kalah oleh system kapitalis kekinian. 

Lihat konsep ekonomi ala gotong royong kerakyatan yang rezim ini banggakan. Kerakyatan seperti apa? Meminjamkan dana pada pedagang-pedagang kelas bawah serta kaum miskin papa kah? Tidakkah dana yang dipinjam itu harus dikembalikan dengan bunganya? 

Dan jika tak mampu mengembalikan kaum miskin papa itu akan dikejar-kejar lalu diancam dipenjarakan? Tidakkah ini cara dan rencana negara serta kepanjangan tangan kaum kapitalis dalam rangka mengakumulasi modal mereka agar membumbung berlipat gaanda? 

Lalu mana semangat Soekarno yang katanya anti kapitalis itu? Tidakkah artinya itu ia telah kalah oleh kapitalis? Jika demikian, lalu kenapa dalam setiap kesempatan, terutama saat pemilu, rezim ini dengan corong daan moncong besar menjual konsep gotong royong kerakyatan Soekarno dengan sesumbar bela rakyat alias wong ciliknya? 

Maksud penulis, jika itu adalah konsep kapitalis, ungkap saja sejujurnya. Ga usah pake gotong royonglah, kerakyatan lah, seolah rakyat akan sungguh tertolong, padahl sungguh bohong! Rakyat diterlenakan dengan nostalgia dan nama besar Soekarno. 

Kasihan Soekarno. Terbayang betapa ia berurai air mata. Sebab sampai saat ini, apa yang dirasakan rakyatnya??!! 

Semangt soekarno pada saat dulu itu sesungguhnya adalah sosialis. Namun karena kurang enak bila dikata menjiplak sosialis internasional, maka lahirlah apa yang disebut gotong royong. Ya, gotong royong dengan semangat sosialis. 

Dan faham sosialis yang implementasinya di negara Sovyet dan China kala itu identik dengan sistem  dan cara komunis dan dalam kekinian system itu sudah mati. 

Faham sosialis komunis memang hanya bisa berhasil terimplementasi dengan baik jika berangkat dari awal dari masyarakat komunal tradisional bahkan dari masyarakat pra tradisional sebelum manusia mengenal capital dan hak kepemilikan serta  terdiferensiasi di era modern.

Apapun keberadaan soekrno pada waktu itu, melihat semangatnya dalam sejarah di masa itu, ia sangatlah kita cintai. 

Namun, sekali lagi, mungkin ia akan menangis jika masih hidup dan tahu kenyataan rakyat Indonesia yang merana di masa kini dimana ketimpangan menganga, kaum miskin meruah, moralitas rusak, kondisi HAM, ketidakadilan serta kesemena-menaan rusak parah. 

Padahal jika sedikit cerdas, ideologi yang identik dengan diri Soekrno itu, setelah dicabik-cabik, rusak dan ter-usang-kan  di zaman orde baru, mestinya bisa di redefinisi, digali dan dikembangkan menjadi ideologi sepanjang zaman. 

Dan mereka, para pemimpin, para elit yang berdiri di mimbar mercusuar kini, akhirnya di mata penulis menjadi identik sebagai para pemimpin dengan faham Pancasila yang rusak dan usang karena mereka pada hakekatnya lebih parah merusak dari pada orde baru. Kenapa? 

Seseorang yang tahu cara yang rusak tapi cara itu kembali ia lakukan, artinya ia lebih merusak dari orang yang merusak sebelumnya. Ya, rezim  dan elit kini, tak berbuat kecuali makin merusak dan meng-usangkan. Dan sesungguhnya karena cabikan tangan merekalah Pancasila kini dalam kondisi sekarat, mendekati katagori gagal atau kematian.

Menilik pendapat tertentu yang mengatakan bahwa pancasila itu bukan ideologi, dilihat dari sudut sejarah, memang ada benarnya. Ini sesungguhnya masalah besar bagi bangsa ini. Dalam pandangan penulis, ini lalu penulis sebut identifikasi masalah bagian kulit. 

Dalm sejarahnya memang para pounding father bangsa ini belum ditemukan ada yang mengungkap secara eksplisit kata ideologi terhadap pancasila. Namun sejarah pula menuntun kita untuk memberi sebutan ideologi pada Pancasila. 

Ketika dua faham (ideologi) besar dunia pernah berseteru dan kita yang tidak mau masuk dalam salah satu kekuatan ideologi itu akhirnya menggaungkan bahwa kita memiliki faham atau ideologi sendiri, maka jadilah pancasila itu kita sebut sebagai ideologi. 

Artinya, bisa saja pendapat umum yang telah tertanam merubah arti yang sesungguhnya dari suatu makna. Semntara secara keseluruhan sila-sila pancasila itu memang adalah hasil dari kesepakatan yang mengandung gagasan, pemikiran, cita-cita yang diharapkan melandasi langkah-langkah bangsa ini dalam mencapai cita-citanya. 

Dan itu memenuhi katagori ideologi. Selama kita yakini dan menyebut itu sebagai ideologi, maka ia akan menjadi ideologi. Bagi manusia, sesungguhnya apa pun bisa menjadi ideologi. Apa lagi itu suatu gagasan. 

Sebuah benda saja, besi tua atau batu, bisa melandasi suatu keyakinan dan itu identik dengan ideologi. Lihat makna keris dan patung di masa-masa dinamisme kala dahulu. 

Pun begitu sebaliknya, apapun itu, ketika kita yakin bukan ideologi maka ia akan jadi hal biasa, bukan ideologi. Sebab ideologi itu pada dasarnya lebih dekat pada keyakianan.

Sementara secara substansi, meskipun sila-sila pancasila itu merupkan kesepakatan yang mengandung idea atau gagasan, apakah sila-sila di dalam pancasila itu secara ilmiah dan obyektif masih bisa disebut ideologi? 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa untuk menjadi sebuah kebenaran, harus memenuhi unsur obyektifitas serta kenalaran ilmiah. Terhadap Pancasila kita,  ini pula yang pertama menjadi masalah bangsa ini. Sebab salah dalam mengidentifikasi, maka kemungkinan besar kita akan sulit mencapai tujuan. 

Untuk hal ini penulis punya pemikiran tersendiri yang bila diungkap saat ini akan terlalu berpanjang lebar. Karena mungkin butuh 2 sks lebih untuk menjabarkannya, haha..sok pintar dikit tidak apa yaa...?

Yang ke dua, yang menjadi masalah bangsa ini adalah, jika kita yakin bahwa sila-sila pancasila itu masih kita anggap sebagai ideologi, adalah ketika akhirnya pancasila itu kini dalam kondisi mendekati ideologi yang gagal atau sekarat mendekati kematian.

Nah dalam pandangan penulis, ada beberpa hal kenapa pancasila dapat menjadi ideologi gagal atau sekarat mendekati kematian. Pertama karena pancasila memang sudah tak sesuai zaman dan tak diperlukan. 

Dalam era setelah perang dua ideologi besar selesai, era ini disebut sebagai era dunia tanpa ideologi. Setelah faham kapitalis menang dan menguasai dunia, lalu apa yang bisa dibuat oleh negara dunia ke tiga kecuali mengikuti faham itu. 

Sebab pancasila yang terbuka, semua system dan perilaku bangsa ini tanpa bisa dibendung oleh negara telah diligkupi faham ini. Akhirnya, faham yang digadang-gadang sejak zaman soekarno dulu sebagai faham tersendiri yang berbeda dengan faham lain di dunia ini terkesan tak lagi diperlukan.

ke dua, Karena anak-anak biologis dan pengikut ideologis Soekarno tak ada yang mampu mengembangkan pikiran dan gagasan-gagasan soekarno menjadi hal yang benar-benar semakin diyakini sebagai ideologi dan terpakai sepanjang zaman. Ini membuat Pancalia seakan kehilangan makna dan kerelefansiannya.

Ke tiga,  Karena ulah atau perilaku para penganut dari ideologi itu sendiri.

Karena kemenangan faham kapitalis, boleh saja ada anggapan bahwa era ideologi telah mati. Dunia tak memerlukan ideologi lagi kecuali kapitalis itu sendiri. Ini mungkin benar bagi suatu negara dengan heterogenitasnya rendah. 

Tapi bagi negara kita yang sangat heterogen, tentu sangat membutuhkan suatu nilai, suatu kesepakatan,  formula yang membuat kita bisa ada dalam kebersatuan. Entah itu disebut ideologi atau apapun namanya. 

Dan kita, dengan keyakinan kita terhadap pancasila sebagai formula pemersatu, sesungguhnya sudah relative ada di jalan yang benar. Namun menjadi masalah ketika disadari bahwa pancasila yang kita anggap ideologi ternyata terlalu terbuka yang membuka kesempatan untuk ideologi lain mengisi kehidupan bangsa kita. 

Salah satu ideologi itu adalah kapitalis neoliberalis. Bukan kita anti kapitalis.  Tapi kehadirannya bersama kebebasan dan pasar yang dikuasai kaum kaya pemilik modal dalam strata sosial serta moral masyarakat dengan karakter dan kondisi kita, menghasilkan efek ketimpangan berbagai sendi kehidupan yang parah. 

Belum lagi soal dampak dari kerusakan ekologi akibat kebebasan eksploitasi kapitalis. Sementara bangsa ini lewat para pemimpinnya di kasur empuk kekuasaan, sepertinya memang tidak mikir, hingga menyerah tak ada pilihan untuk tidak bisa tidak dalam praktek akhirnya memeluk dan dipeluk oleh system ini. 

Penulis bukanlah ahli ekonom. Namun sedikit dihantui bayangan yang membuat diri ini gelisah atas suatu masa depan bangsa dan dunia. Coba jika kita mau mikir dalam-dalam, apakah  yakin kelak kapitalis akan sungguh dapat  berhasil membangun ekonomi dan perdamaian dunia? 

Artinya, apakah kapitalis akan fungsional bagi sepanjang sejarah peradaban dunia? Akibat dari praktek kapitalis di segala bidang, ada adagium di bidang pertahanan bahwa jika hendak berdamai maka harus siap pula berperang. Jika ingin damai maka harus seimbang. 

Tapi keseimbangan dalam militer sangat identik dengan lomba senjata yang muara akhirnya tentu adalah perang. Padahal ingat, dunia dengan segala kehidupannya ini bukan sebuah permainan dan bukan pula sebuh film yang bisa dirancang dengan ending bahagia. 

Dunia dengan umat manusianya ini sesungguhnya menghadapi suatu masa depan yang tak pasti. Dan lihat keadaan dunia kini. Di tengah ekonomi meningkat tapi ketimpangan ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya menganga hebat. Eksploitasi bumi dengan Pelanggaran Hak Azazi Alam yang menggila dan membuat bumi merana, pelanggaran HAM dengan perang yang tak berkesudahan, bahkan lebih ngeri lagi ancaman perang dengan senjata nuklir pemusnah massal yang mengerikan. 

Lalu akan ke mana dan dimana masa depan umat manusia dengan kemanusiaannya kelak? Semua itu adalah akibat dari perilaku kapitalis. Saat ini atas nama kapitalistik, belum sepenuhnya negara dunia melakukan agresivitas, eksplorasi serta eksploitasi. 

Paling mungkin sekarang Amerika, Eropa, lalu Rusia dan kemudian kini muncul China. Bayangkan jika  kelak negara-negara berkembang seperti Indonesia dan bahkan seluruh negara di dunia mengalami kemajuan dan membutuhkan sumber daya yang besar untuk menopang eksistensinya. Betapa benturan akibat agresivitas dan eksplorasi serta eksploytasi antar negara akan terjadi.  

Tidakkah itu artinya manusia berebut dalam lahan bumi yang terbatas ini? beruntunglah manusia jika segera ditemukan planet baru yang mudah dijangkau dan ramah untuk ditempati. Artinya ada lahan baru untuk eksplorasi. Ini akan sedikit mengurangi perang berebut sumber daya di bumi. 

Namun jika tidak, dengan sumber daya bumi yang terbatas, tidakkah itu artinya bisa perang antar umat manusia, antar negara dengan senjata yang sudah sedemikian maha dahsyatnya? Lalu, sekali lagi, akan ke mana dan di mana manusia dan kemanusiaannya kelak?

Terhadap kenyataan tersebut di atas lalu menengok ke dalam keadaan bangsa kita sendiri, ideologi kapitaliskah yang hendak kita anut mengingat dalam kenyataannya kita memang lagi diselubungi atau dikerangkeng oleh ideologi itu tanpa bisa berkutik. 

Atau kita punya pilihan lain, yang bisa kita tawarkan demi kebaikan dunia? Minimal demi kebaikan bangsa kita sendiri. Yang dalam keyakinan penulis, memang kita punya pilihan itu jika bersungguh digali. 

Meski untuk saat ini, pilihan kita masih dengan Pancasila. Dan yakini itu. Sebab jika coba dengan pilihan lain, tanpa terbimbing, tanpa kesiapan lahir batin politik hukum dan budaya masyarakat serta bangsa kita, khawatir kita berpecah seperti sejarah kehancuran negara-negara besar di dunia.  Meski untuk tetap dengan ideologi ini, berbagai keresahan kita rasakan ketika sejarah kita sendiri penuh onak dan duri.

Dalam pandangan penulis, saat ini, ketika kita dengan rezim yang ada kini, dengan pancasila sebagai versi yang telah dirusak, seibarat dalam sebuah film yang berjudul lord of the rings, pancasila adalah sebuah cincin atau mustika yang diperebutkan. 

Ngerinya, siapa  yang berkuasa dan menguasai cincin itu akan menjadi penguasa yang kejam dan semena-mena, rakus, kehilangan integritas dan moralitas, karena merasa teramat kedigjaya. Anehnya segala perilaku buruk itu seperti dengan sadar dilakukan. 

Lalu dari generasi ke generasi saling mewariskan perilaku yang karena dengan cincin itu seolah sudah menggenggam nilai kebenaran. Padahal segala perilaku itu menyiksa dan menyengsarakan manusia lainnya.  

Dan akhirnya rusaklah hal yang tersimpan di balik mustika itu. Mustika yang kehilangan kesaktian atau kehilangan makna. Dan itu identik dengan Pancasila kita yang diambang kegagalan dan mendekati kematian.

Sampai dengan detik ini, jika seibarat kendaraan, dalam sudut pandang penulis, pancasila akhirnya kehilangan mesin inti, moral dan etos. Jika seibarat pohon, ia kehilangan akar. Akar yang tak mengikat jiwa. 

Ini karena ia tidak memiliki inti lagi atau karena manusianya yang tidak menemukan mesin inti itu. Kita pun dihadapkan pada kemungkinan berpecah karena sebagai sebaran bangsa-bangsa kita memang belum sepenuhnya terbentuk menjadi sebuah bangsa. 

Kita bangsa yang belum usai, belum jadi. Sementara proses akulturasi terlalu lama. Dari lebih dan kurangnya Pancasila, jujurlah kita bahwa ia belum menjadikan kita pantas disebut  sebagai sebuah bangsa yang tuntas. 

Kita butuh mesin inti moral dan etos yang bisa menjadikan kita mengalami percepatan menjadi sebuah bangsa. Sebuah moralitas terdalam dari manusia-manusia yang hidup berbeda. Sayangnya waktu yang berjalan hingga hampir seabad usia bangsa ini, tak ada anak ideologi bangsa ini yang menemukannya. Mirisnya, malah Pancasila yang makin buyar.

Meski demikian, walau kehilangan mesin inti, moral, etos dan akar jiwanya, kita masih bisa bersyukur makna pancasila yang tersisa, masih membuat kita sebagai bangsa bersatu. Walau ini pun dipaksakan. Setidaknya ada kesan memaksa yang lain yang tak sepaham. 

Dengan memaksa, kita terkesan tak menghargai perbedaan, bertentangaan dengan Hak Azazi sekaligus bertentangan dengan pancasila itu sendiri.  Dengan memaksa, akhirnya, sesama anak bangsa, logikanya mereka pun berhak memaksa kita yang tak sefaham jika mereka berkuasa. 

Sebuah kengerian di altar masa depan kita. Yang membuat kita saling curiga. Kengerian yang seharusnya tak perlu terjadi. Sebab idealnya suatu ideologi hidup, tidak membuat terpaksa, karena memiliki nilai universal. 

Sampai di titik ini, hanya karena  adanya TNI lah, walau compang-camping, secara fisik kita masih bisa bersatu dan tampak kuat. “Terima kasih TNI ku..”. Meski di balik semuanya hal yang sangat mengkhawatirkan bergelayut.

Teringat dengan semua masalah bangsa ini, teringat pula akan kekuatan dan kehebatan tentara yang harus kita bangun terus kemajuananya. Tapi kekuatan dan kehebatan tentara dengan senjatanya tak selalu membuat suatu negara kuat. Lihat sejarah Uni Sovyet dengan senjata yang super dahsyat dahulu. 

Soal alutsista, teringat dengan langkah Menhan kita yang baru, terhadap isyu Natuna, telah lama penulis menduga dan jika tak salah duga, di balik semuanya mungkin akan dijadikan isyu geopolitik dan dengan demikian kita punya alasan menaikkan anggaran serta memodernisasi alutsista kita.

 Namun ingat pula, di zaman ini, pertahanan terhebat sesungguhnya adalah ekonomi yang kuat lebih jauh adalah kesejahteraan yang adil sesama anak bangsa. Pun kuat yang sesungguhnya adalah yang tanpa keterpaksaan. Tanpa keterpaksaan, artinya kembali kepada rasa adil. 

Ya, keadilanlah yang mengikis rasa terpaksa untuk mengasihi sesama anak bangsa. Tanpa keadilan, kebersamaan terasa dipaksa. Segala hal yang dipaksa, adalah tanda bahwa sesuatu itu rapuh. Dan rapuh pertanda mendekati runtuh.

Kembali pada soal awal-awal bahasan kita, yaitu radikalisme. Kepada para pemimpin, terutama rezim yang kini berkuasa. Jika engkau tak mampu menemukan cara agar ideologi negara tak mati, jika engkau tak menemukan cara untuk membendung radikalisme, aku, dan kami para aktivis, tak akan lelah meski berada digaris belakang dan terbelakang, untuk menyalakan lilin walau redup. 

Berharap cahaya lilin akan jadi penerang di lorong gelap. Aku dan kami tak akan lelah menasehati dan memberi saran untuk mu. Meski tak akan sepenuhnya mengajarimu, kamu dan rezimmu lebih pintar baik berpikir dan berkata. 

Sebab yang memangku jabatan dan mesti berpikir keras pun sesungguhnya adalah dirimu. Tapi aku dan kamilah rakyat, representasi rakyat. Maka, jika kami katakan kamu menempuh jalan yang keliru, mestinya ayok sadar dan berbenah. 

Sebab yang merasakan segala akibat pedih itu adalah rakyat jelata yang papa nun jauh tak tersentuh oleh pandang serta halus dan bersih tanganmu.

Jika tak mampu menemukan suatu ideologi yang dapat menghadang faham radikalisme itu, karena kebanyakan perubahan dunia yang baik itu digerakkan oleh sosok pemimpinnya, sementara fsikologi politik massa(manusia) dan fsikologi politik pemimpin sangat berkaitan dengan rasa suka pada sosok dan perilakunya, 

maka jalan satu-satunya agar negara ini tidak semakin mengarah pada keruntuhan, sederhana saja, ketika tak ada yang bisa kamu tawarkan, maka jadilah pemimpin dengan pribadi dan perilaku yang memenuhi rasa manusia lain, rasa rakyat mu. Cukuplah para pemimpin dengan berbagai kebijakannya berprilaku adil.

Adil, adalah sesuatu yang memang hilang dari Pancasila kita. Tapi adil bukanlah sesuatu yang penulis maksud sebagai mesin inti, moral etos, akar jiwa atau sebuah moralitas terdalam dari manusia-manusia yang hidup berbeda itu, bukan. 

Bagi penulis, kata-kata keadilan adalah utuh, sempurna dan alamiah serta dibutuhkan oleh setiap manusia. Tapi ia belum sempurna untuk memenuhi katagori ideologi. Kenapa? Terlalu panjang jika hendak menjelaskan hal ini. 

Namun demikian, adil, merupakan nilai yang paling dekat dengan moralitas terdalam dari manusia-manusia yang berbeda itu. Maka adil, walau tidak sepenuhnya, insyaallah bisa mengurangi beban dan tantangan terkini bangsa ini.

Meski adil dalam kekuasaan, bukan sekedar bagi-bagi jabatan sesama elit. Sederhana saja. Mengacu pada kenyataan dan fenomena kehidupan kekinian rakyat, maka berusahalah agar bangsa ini tidak terlalu ada dalam jurang ketimpangan. 

Buatlah rencana program yang bersungguh dalam 10 atau 50 tahun rakyat bawah jadi sejahtera. Permudah serta murahkan segala kebutuhan rakyat. Jangan hanya demi suatu ego dan tujuan politik, kamu mengorbankan rasa nyaman kehidupan mereka. 

Jadilah seorang bapak yang merasa miskin kasih dan mengasihi, yang khawatir anak-anaknya kehilangan bahagia jika kekurangan makan dan hiburan. Tegakkan hukum seadil-adilnya. Perkuat  dan jangan malah melemahkan satu-satunya lembaga anti rasuah yang dipercaya rakyat. 

Membela wong cilik itu bukan sekedar kata-kata yang keluar dari corong dan mulut besar. Rakyat butuh bukti. Omongan mu tak berarti  jika harga-harga tinggi dan semkin naik. Cerita derita kaum buruh perkebunan karet dan sawit  di pedalaman Sumatra, para pekerja yang awalnya ber status karyawan tetap, lalu  kontrak, dan kini hanya sebagai pekerja lepas lalu sebagai borongan dan system upah jam, adalah pemerasan atau penjajahan gaya baru yang tak berperikemanusiaan karena menghilangkan harga diri manusia dan kemanusiannya, tidak menghargai manusia yang mestinya makin berharga dengan pekerjaannya.  

Kini, setiap kebijaknmu, menuai curiga dan khawatir di hati para buruh dan segenap rakyat jelata. Sadarkah dan ngertikah kamu dengan persoalan ini hai pemimpinku??!! Dan ini salah satu bukti betapa pembelan dan omong besar pemimpin hanya sekedar omdo saja. 

Ingatlah, di mata sebagian rakyat anda kini telah teridentikan sebagai pemimpin tidak adil. Dan jika yang terus memimpin suatu negeri adalah orang yang tak adil, maka berisaplah keruntuhan anda dan keruntuhan negara.

Revolusi sebagai jalan yang baik dan terbaik demi menyelamatkan negeri

Jika negara hendak perang, tipu-tipu atau politik dagang mestinya terhadap pihak luar. Bukan terhadap rakyatnya sendiri. Sementara pemerintah Indonesia, terasa aneh, politiknya bagaimana memodusi rakyatnya sendiri.  

Lihat soal politik hukum negara juga soal kebijakan-kebijakan ekonomi yang jika hendak mengeluarkan kebijakan, termasuk soal buruh, soal korupsi atau ketika akan menaikan harga sesuatu, betapa negara main kucing-kucingan alias tipu-tipu dengan segala akal bulusnya. 

Dengan kenyataan seperti ini, salahkah jika kemudian rakyat muak, menggugat dan bahkan ingin memberontak? Bagi rakyat, negara dengan pemerintahan yang seperti ini sepertinya tak diperlukan lagi. Kasus Aceh, Kasus Papua atau bahkan keberadaan aliran radikalisme, adalah gambaran rakyat menggugat. 

Atau haruskah diperlukan lagi suara gugatan dari rakyat daerah lain, riau, Sumatra Raya dan lain-lainnya? Ini bukan rakyat yang menantang negara, melainkan Negaralah yang  seakan menantang rakyat dan akhirnya perlu digugat agar para elit yang membuat rakyat jijik dan muak itu sadar bahwa negara ini bukan warisan bapak moyang  mereka.

Agar pemerintah sadar dengan kekeliruannya dan demi menyelamatkan negeri, apakah rakyat dari kaum buruh hingga mahasiswa,  perlu kembali turun ke jalan untuk juga menggugat dan meneriakkan revolusi!? 

Karena keselamatan negeri juga di tangan mereka! Mungkin, untuk sekarang ada baiknya pemrintah tidak berencana dengan kebijakan-kebijakan baru yang sok sepktakuler. Malah negara makin rusak dengan warisan rusak bagi generasi berikutnya. 

Saat ini, terlihat berpihak pada pembarantasan korupsi saja, sudah merupkan  prestasi gemilang. Tapi jika dalam hal pemberantasan korupsi saja tidak memihak, apa lagi pemerintah terlibat, jangan pikir rakyat dan mahsiswa akan diam! 

Jika terlalu besar resiko negeri ini dipimpin oleh yang dianggap tak membawa perbaikan dan malah merusak serta menyengsarakan, maka revolusi, ganti rezim adalah sesuatu keniscayaan!

Hampir semua negara besar dunia pernah mengalami revolusi dalam menuju perubahan dan kemajuan besarnya. Revolusi hakekatnya bertujuan baik yaitu menyelamatkan kondisi suatu negeri. 

Yang membuat  seolah tidak baik karena stereotipe penguasa. Sesungguhnya kami para aktivis dan rakyat semesta sampai hari ini masih bersikap bijak. Memberi kesempatan pada pemimpin untuk membawa negeri ini ke jalan yang lebih baik. 

Maka gunakanlah kesempatan itu. Cam kanlah peringatan ini! Jika telah diperingati, tinggal terserah akal warasmu. Ini, bukan kebencian tapi pengharapan.

Karena cinta, tangan rakyat dan tangan tuhan tak kan pernah diam untuk membela

Maka,....oh Tuhan apalah cinta

Berputarlah dunia teruslah berputar

Jatuh cinta selalu pada putaran sama

Namun titik berbeda.......

Dan ingatlah sejarah, ketika istana di genggaman penguasa pongah, tak akan mendengar rintihan rakyat  yang lara. Penguasa yang kini telah berbeda, dan rakyat yang melawan meski tetap mencinta bangsa.  Ya, tetap mencinta meski di titik dan jalan yang tak sama.

Salam perjuangan dan pembebasan!!!

(Kalimat2 terakhir, kebetulan ada kesamaan makna dengan syair lagu ayu. Jadi sekalian aku pertegas dengan menuliskannya.


Pendamping setia, saat menulis dan mengedit kembali untuk blog ini: Fernando, Boulevard, rain and tears, house for sale, take my hand for a while, romance 09 dan iwan fals: kesaksian.




 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak