Ya, rakyat sudah resah sejak awal rezim ini berkuasa. Ingat kita, awal kekuasaan rezim Jokowi, ditandai dengan dinaiknnya BBM menjulang tinggi. Saat itu, betapa galau dan resah rakyat dibuatnya.
Saat itu penulis masih tinggal di Jakarta. Penulis sangat tahu keresahan kalangan rakyat di pelosok-pelosok ibu kota.
Kita, kalangan aktivis sudah bersuara lantang agar BBM tidak naik, jika pun naik harapan kita tidak kelewat tinggi.
Namun Jokowi yang menyandang pemimpin dari rakyat dengan ciri khas blusukannya, dengan congkak sombong memindahkan harga BBM secara gila-gilaan ke harga baru yang sangat tinggi.
Akibatnya daya beli masyarakat jatuh. ekonomi lesu. Para usahawan yang membuka usaha dan menyewa lapak-lapak dagang di mol-mol banyak yang tak mampu bayar sewa lantaran daya beli masyarakat dan para pembeli tidak ada.
Saat itu termasuk penulis yang ambruk usahanya dan kembali ke kampung. Bila ingat saat itu, betapa sedihnya hati, bagaimana teman-teman buruh banyak yang dipecat. Ada yang lari berdagang batu akik, batu cincin, ada yang lari dagang nasi uduk. Celakanya karena daya beli masyarakat turun, buka usaha pun ambruk.
Sangat ingat penulis, benar-benar sangat mengingatnya. Itu tak akan terlupakan. Jokowi, saat itu di mata para usahawan, bak monster peneror, pencipta kehancuran.
Sedihnya pemindahan harga baru yang gila-gilaan itu tanpa ucapan pembelaan kepada rakyat oleh Jokowi. Tanpa perdebatan yang menunjukkan kepembelaan seorang Jokowi kepada penderitaan rakyat.
Pembelaan itu kecuali melalui bentuk dana-dana bansos, BLT dan sejenisnya.
Padahal dana BLT dan sejenisnya itu hanyalah alat bagi rezim agar rakyat terhibur dalam upaya terselubung mengeruk untung setelah rakyat runduk di permainan judi hidup yang terkalahkan.
Ya, hidup ini bak permainan judi. Yang memainkan adalah para elit. Rakyat yang terdampak dengan kata lain kalah dalam tarung kehidupan yang ditandai dengan jatuh di lubang kemiskinan, namun setelahnya dihibur dengan dana bantuan.
Kelak, dalam suatu kesempatan, suara mereka akan dipakai kembali untuk suatu permainan, yang mereka para elit namai sebagai demokrasi.
Kembali pada persoalan Jokowi dengan BBM yang pindah harga di awal kuasanya. Kenapa penulis dan orang-orang kala itu menyebutnya pindah harga?
Karena kelewat tingginya harga baru yang ditetapkan itu. pindah harga yang membuat rakyat sengsara.
Saat itu bagi yang sadar, yaitu orang-orang yang tidak membabi buta menyanjung wajah malaikat nan lugu itu, sudah digongi alam fikirannya oleh bayang kenyataan demi kenyataan yang akan tercipta kemudian dalam kekuasaan rezim berwajah malaikat ini.
Lalu akhir dari masa kekuasan periode pertama, sebenarnya Indonesia tidak terlalu membaik. Namun system pemilihan yang ada tidak memberi ruang bagi kehadiran pemimpin dengan gagasan baru, Jokowi pun naik lagi.
Jokowi lewat mesin media yang sudah di cocok hidungnya bak sapi dungu, menjadi sang pemimpin yang tertera di jagad sebagai pemipin dari rakyat.
Padahal bukan dari rakyat. Tapi pemimpin dari hasil survai yang mengelabuhi rakyat.
Okelah, jika kita tidak terlalu peduli dari mana dan dengan cara apa sang pemimpin berasal.
Asal ia mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat, pastilah sang pemimpin akan tetap kita acungi jempol sebagai penghargaan atas keberhasilannya menaikan kesejahteraan rakyat.
Dan kenyataannya, sejak pemilu 2019, menjadi semakin terasa rakyat entah akan di bawa kemana ketika rakyat meilhat tanda-tanda rezim mulai kehabisan dana. Sebab itu artinya apa?
Dalam logika rakyat awam saja, rezim pastilah akan semakin memeras rakyat.
Sisi lain dari itu, konsekwensi dan konvensasi naiknya jokowi secara mudah karena hasil dari dukungan kelompok tertentu, tidak bisa tidak kelompok ini akhirnya meminta jatah.
Segala bisnis proyek, penempatan atau pembagian jabatan, sangat telanjang dipertontonkan di depan mata rakyat.
Dan yang sangat parah serta menyesakkan dada adalah bagaimana para elit menghancurakan KPK sebagai cara agar kelompok tertentu itu mudah mengambil jatah lalu kembali menyiapkan dana besar bagi pemilu berikutnya.
Atas keadaan ini, terlepas dari naiknya jokowi adalah karena para bandit yang dengan rancangannya berharap Indonesia bisa mereka kendalikan, sesungguhnya kita para aktivis tidak lagi pantas menyalahkan mereka. Karena mereka adalah bandit yang tentu begitulah kerjaannya.
INI SESUNGGUHNYA ADALAH TANGGGUNG JAWAB PARA AKTIVIS, GENERASI INTELEKTUAL YANG KERITIS !!
Ya, kini sudah waktunya kaum intelktual kritis indonesia menandai siapa saja yang benar-benar membela kepentingan rakyat semesta.
Jangan ambil resiko untuk di kemudian hari kembali menyerahkan nasib serta masa depan bangsa hanya kepada dua kelompok peserta pemilu 2019.
Dua kelompok yang patut diragukan mampu membawa kehidupan rakyat lebih baik. Harus ada kelompok alternatif sebagai pilihan alternatif di masa depan demi kejayaan bangsa dan negara yang kita idam-idamkan.
Salam